Anda di halaman 1dari 33

ARTI PERKAWINAN KRISTIANI

Rm. Ag. Tri Edy W.


Pengantar
Ø Dibuka dengan 8 kanon pengantar à sebagian bersifat kanon-
kanon doktrinal dan sebagian berisi norma-norma hukum secara
umum
Ø Sintesis kanon-kanon pengantar:
1. Perkawinan merupakan sebuah tindakan yuridis bilateral antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan
2. Tindakan yuridis ini dinamankan sekaligus “janji perkawinan”
(kan. 1055 §1) atau ”kontrak perkawinan” (kan. 1055 §2)
3. Obyek perkawinan adalah kebersamaan seluruh hidup (kan.
1055 §1)
Kanon 1055 KHK 1983
• §1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan
(consortium) seluruh hidup, yang menurut sifat khas kodratnya
terarah pada kebaikan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran
dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus
Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
• §2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada
kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Kanon 1012 KHK 1917
• §1. Kristus Tuhan mengangkat kontrak perkawinan antara orang-
orang yang dibaptis ke martabat sakramen.
• §2. Karena itu di antara orang dibaptis tidak ada kontrak perkawinan
sah yang bukan dengan sendirinya adalah sakramen.
Hakikat, Tujuan dan Sifat Perkawinan
Hakikat Perkawinan (kan. 1055 §1)
• Perkawinan adl sebuah PERJANJIAN (foedus, consensus, covenant)
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membangun
kebersamaan seluruh hidup (bdk. GS 48) à unsur dinamis, intimitas,
relasi interpersonal dua pribadi berbeda seksualitas
• Kan. 1012 KHK 1917 hanya memandang perkawinan sebagai suatu
institusi statis à KONTRAK: persetujuan antara dua atau bbrp org yg
slg mewajibkan diri utk memberikan, melakukan atau menghindarkan
sesuatu (persetujuan bilateral antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan)
• KV II kendati tdk memakai istilah contractus utk mengartikan
perkawinan, tetapi tidak menolak hakikat perkawinan sbg suatu
kontrak krn di dlm perjanjian perkawinan terdapat unsur-unsurnya:
a) FORMA à kesepakatan pribadi antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan;
b) OBYEK à kebersamaan seluruh hdp;
c) AKIBAT à hak atas kebersamaan seluruh hdp, termasuk
hubungan suami-isteri
• Dua istilah ini dipakai scr bersama-sama dlm kanon 1055 §1 (foedus)
dan kanon 1055 §2 (contractus) utk menunjukkan kedua unsur pokok
dari arti perkawinan
Tujuan Perkawinan: kan. 1055 §1
1. “Ciri kodrati” : menunjuk semua jenis perkawinan (sakramen dan non-
sakramen)
2. Tujuan à bonum coniugum dan bonum prolis
a) Bonum coniugum: kesejahteraan suami dan istri
Ø Kesejahteraan lahir: pangan, sandang dan papan
Ø Kesejahteraan batin: mapan à harmoni dan hubungan seksual
b) Bonum prolis:
Ø Prokreasi – keterbukaan terhadap keturunan
Ø Edukasi – pendidikan anak secara manusiawi (humaniora) dan
spiritual (iman dan agama katolik)
Kan. 1013 §1 KHK 1917: “Tujuan primer perkawinan adalah prokreasi
dan pendidikan anak; sekunder adalah saling membantu dan
penyaluran nafsu”

• Ada perbedaan tingkatan tujuan perkawinan:


1. Prokreasi dan pendidikan anak
2. Kesejahteraan suami-isteri yang disederhanakan sbg penyaluran
nafsu
• Membawa dampak dalam teologi moral???
Ø Sulit membenarkan praktik pembatasan jumlah anak (KB)
sebab prokreasi menjadi tujuan primer perkawinan
Sakramentalitas Perkawinan
• Semua perkawinan SAH antara orang-orang yg telah dibaptis scr SAH
menurut kategori kan. 849, dengan sendirinya mrpk sebuah sakramen
(tak dituntut maksud khusus dr mempelai utk menerimanya) à Dasar: Ef.
5,22-32
• Sakramentalitas tdk terletak pd pemberkatan pastor krn yg mjd pelayan
sakramen adl kedua mempelai sendiri
• Orang yang dibaptis tdk dpt menikah dgn SAH jika dgn maksud positif dan
jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan
• Perkawinan antar orang yg tak baptis, dgn sendirinya akan diangkat ke dlm
martabat sakramen jika keduanya dipermandikan à bg mereka tak
dituntut adanya perjanjian nikah yg baru!
Kanon 1056
Ciri-ciri hakiki esensial (proprietates essentiales) perkawinan ialah
unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang
dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar
sakramen.
Sifat Hakiki Perkawinan: kan. 1056
A. Ciri hakiki: menunjuk semua jenis perkawinan (sakramen dan non-
sakramen)
B. Dua ciri hakiki perkawinan: unitas et indissolubilitas
1. Unitas:
• Kesatuan: keduanya menjadi satu persona “suami-istri”; satu
daging – sejiwa seraga – garwa.
• Monogam: antara seorang laki-laki dan seorang perempuan à
DITOLAK: poligami (poligini dan poliandri) sehingga tidak akan
diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan yang kedua
selama ikatan perkawinan pertama belum dinyatakan secara
legitim telah diputus atau dibatalkan oleh Gereja.
Ø INGAT: perceraian sipil TIDAK PUNYA EFEK YURIDIS dalam
Gereja Katolik.
2. Indissolubilitas: tak-terputuskan/tak-terceraikan
• Efek: sekali perkawinan dilangsungkan secara SAH, mempunyai
akibat tetap dan eksklusif
Ø Tetap: ikatan nikah bertahan sampai akhir kehidupan à
tidak ada perpisahan atau perceraian
Ø Eksklusif: ikatan tersebut terjadi hanya antara suami-istri
à setia hanya dengan pasangannya, sampai kapanpun;
tidak ada pihak III dst.
• Absoluta: tak terputuskan kecuali karena kematian (Mrk 10,9),
yaitu perkawinan ratum et consummatum (kan. 1141)
• Relativa: tak terputuskan, kecuali oleh otoritas gereja yang
berwenang dan karena alasan tertentu seperti dalam hukum
(kan. 1142; 1143-1147; 1148; 1149)
C. Sifat sakramental perkawinan: kan. 1055-1056
a) Sakramen dalam arti teknis-yuridis: perkawinan SAH antara dua
orang yang telah dibaptis (katolik atau non-katolik) à kan. 1061
b) Sakramen dalam arti teologis: lambang nyata relasi kasih Kristus
dan Gereja à Dasar: Efesus 5,22-33
1) Pasangan menjadi tanda kasih Allah; melalui pasangan,
mencintai Allah.
2) Relasi suami dan istri berpolakan pada relasi Kristus dan
Gereja:
Ø Dilandasi cinta yang semakin subur
Ø Dengan kesetiaan total sampai mati
c) Sakramentalitas perkawinan juga dapat dipahami dalam arti sempit,
yakni sebagai salah satu dari 7 sakramen Gereja.
1) Materia sacramenti: sepasang laki-laki dan perempuan yang saling
memberi dan menerima diri sebagai suami-isteri
2) Forma sacramenti: manifestasi eksternal dari kesepakatan timbal-
balik
3) Hal yang ditandakan: ikatan suami-isteri yang bersifat tetap
4) Efek/buah yang dihasilkan: rahmat adikodrati
5) Pelayan dan penerima sakramen: suami-isteri itu sendiri
Kanon 1057
• §1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara
orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan;
kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
• §2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri
dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan
perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Kesepakatan Nikah (kan. 1057)
• Arti perjanjian nikah: kan. 1057
Ø Tindakan kemauan untuk saling memberi dan menerima
üJanji nikah merupakan komitmen/kesepakatan bebas dan penuh
kemauan (causa efficiens dari perkawinan)
Ø Eksklusif dari pasangan sendiri yang mampu secara hukum
üJanji nikah terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang tidak terkena halangan nikah (ad validitatem: kan. 1083-1094)
dan larangan nikah (ad liceitatem: kan. 1124)
Ø Dinyatakan secara publik dan SAH menurut norma hukum
üJanji nikah diucapkan di depan otoritas berwenang dan 2 orang
saksi
q Forma canonica à untuk yang katolik (kan. 1108)
q Forma publica à untuk yang non-katolik (Sipil, KUA)
• 3 Sifat perjanjian atau kesepakatan nikah:
Ø Sungguh-sungguh/verus: menikah dengan serius, tidak simulatif atau
berpura-pura (kan. 1101 §2) dan tanpa syarat (kan. 1102)
ü Simulatio totalis à menolak perkawinan itu sendiri
ü Simulatio partialis à menolak sebagian unsur hakiki perkawinan
Ø Penuh/plenus: menikah tanpa mengecualikan unsur hakiki perkawinan
(kan. 1101 §2)
ü Hakikat: persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae)
ü Tujuan: kesejahteraan pasangan (bonum coniugum) dan anak (bonum
prolis)
ü Sifat hakiki: kesatuan (unitas) dan tak-terceraikan (indissolubilitas)
ü Sakramentalitas perkawinan
Ø Bebas/liber: menikah tanpa paksaan (vis) dan ketakutan besar (metus
gravis – metus reverentialis) dari luar dirinya (kan. 1103)
Sejak kapan consensus matrimonium facit ?
• Teori copulativa: Gratianus (Bologna Italia)
• Perkawinan terjadi/ada sejak consensus diberikan secara SAH
• Perkawinan menjadi sakramen sejak terjadinya hubungan seksual
• Perkawinan memiliki indissolubilitas absoluta sejak terjadi hubungan seksual
• Teori consensuale: Petrus Lombardus (Paris)
• Perkawinan terjadi/ada sejak consensus diberikan secara SAH
• Perkawinan menjadi sakramen sejak consensus diberikan secara SAH
• Perkawinan memiliki indissolubilitas absoluta sejak consensus diberikan secara SAH
• Sintesa: Alexander III (1159-1182)
• Perkawinan terjadi/ada sejak consensus diberikan secara SAH
• Perkawinan menjadi sakramen sejak consensus diberikan secara SAH
• Perkawinan memiliki indissolubilitas absoluta sejak terjadi hubungan seksual
• KONSEKUENSI:
Ø Perkawinan sakramen yang BELUM disempurnakan dengan
persetubuhan antara suami-isteri DAPAT diputuskan oleh kuasa
Gereja, sejauh ada alasan yang wajar (kan. 1142).
Ø Perkawinan yang telah disempurnakan dengan persetubuhan
TIDAK DAPAT diputuskan oleh kuasa manusia manapun, kecuali
oleh kematian (kan. 1141).
Ø Obyek Kesepakatan Nikah:
• Kan. 1081 §2 KHK 1917 à obyek kesepakatan nikah adalah hak
eksklusif dan tetap terhadap tubuh (ius in corpus) pasangannya dengan
tujuan utama untuk mendapatkan keturunan (bdk. Ef. 5,25-31).
• Kan. 1057 §2 KHK 1983 à obyek kesepakatan nikah adalah
kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae) yang terarah
pada tiga hal: kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak dan pendidikan
anak.
• INGAT: cinta kasih suami-isteri BUKANLAH obyek kesepakatan nikah
sehingga tidak dapat digunakan untuk menentukan SAH TIDAK-nya
kesepakatan atau perjanjian nikah.
Kanon 1058
Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang
hukum.
Hak untuk Menikah (kan. 1058)
• Hak untuk menikah (ius conubii) adalah hak asasi dan fundamental
manusia.
• Hak ini TIDAK bersifat ABSOLUT dan TANPA BATAS.
• BOLEH menikah, jika:
1. Tidak dilarang oleh hukum (kan. 1124) à LARANGAN demi
kelayakan (ad liceitatem), karena itu membutuhkan IZIN dari
otoritas yang berwenang.
2. Tidak dihalangi oleh hukum (kan. 1083-1094) à HALANGAN
demi keabsahan (ad validitatem), karena itu membutuhkan
DISPENSASI (kelonggaran atas hukum) dari otoritas yang
berwenang.
Kanon 1059
Perkawinan orang-orang Katolik meskipun hanya sepihak yang Katolik,
diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum
kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai
akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
Penataan Institusi Perkawinan: kan. 1059
• Perkawinan orang Katolik selalu diatur oleh ketiga hukum:
1) Hukum ilahi/kodrati: hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar
pewahyuan, yang dipahami oleh akal sehat manusia sebagai yang berasal dari
Allah sendiri à terkait dengan unsur esensial perkawinan (tujuan, sifat hakiki,
kesepakatan nikah, halangan kodrati) yang mengikat semua orang (katolik &
non-katolik) dan diterapkan pada semua perkawinan
2) Hukum kanonik: norma-norma tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja
atas dasar penafsiran terhadap hukum ilahi sejauh sudah diwahyukan kepada
manusia à sifatnya gerejawi dan hanya mengikat atau berlaku untuk orang-
orang yang dibaptis secara Katolik dan mereka yang mau menikah dengan
orang Katolik (bdk. Kan. 11)
3) Hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil: konteks Indonesia à
negara mengakui penuh perkawinan agama sehingga Kantor Catatan Sipil
mempunyai tugas HANYA untuk mencatat perkawinan yang telah diresmikan
secara agama dan mengeluarkan akta perkawinan sipil!
Kanon 1060
Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu
dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan,
sampai dibuktikan kebalikannya.
Perlindungan Hukum terhadap institusi
perkawinan: kan. 1060
• Prinsip:
Ø Hukum selalu membela, mengutamakan dan memihak pada SAH-nya
perkawinan
• Konsekuensi:
ü Dalam keragu-raguan mengenai validitas-nya, hukum melindungi dan
mempertahankan sahnya perkawinan, sampai terbukti kebalikannya setelah
melalui berbagai macam investigasi dan pembuktian
ü Dkl, keraguan atas sahnya perkawinan BUKAN-lah alasan kuat untuk
membatalkan perkawinan à dituntut suatu kepastian moral bahwa
perkawinan secara obyektif TIDAK SAH!
Kanon 1061
• §1. Perkawinan sah (matrimonium validum) antara orang-orang yang dibaptis
disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum, bila
pasangan telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara
manusiawi yang pada sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk itulah
perkawinan menurut kodratnya terarahkan, dan dengannya pasangan menjadi
satu daging.
• §2. Setelah perkawinan dirayakan, bila pasangan tinggal bersama, diandaikan
adanya persetubuhan, sampai terbukti kebalikannya.
• §3. Perkawinan yang tidak sah disebut putatif bilamana dirayakan dengan itikad
baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak, sampai kedua pihak menjadi pasti
mengenai nulitasnya itu.
Matrimonium ratum, ratum et consummatum
dan putativum: kan. 1061
a. Matrimonium ratum (sakramen): perkawinan sah yang dilangsungkan
oleh dua orang yang telah dibaptis, yaitu sejauh dilaksanakan sesuai
dengan norma-norma kanonik (forma canonica)
Ø Ratum tantum: sejauh BELUM disempurnakan dengan persetubuhan
antara suami-istri (= perkawinan ratum et non-consummatum) à
indissolubilitas perkawinan ini TIDAK MUTLAK!
b. Matrimonium ratum et consummatum: perkawinan sah antara dua
orang yang telah dibaptis dan SUDAH disempurnakan dengan
persetubuhan à indissolubilitas perkawinan ini MUTLAK!
Ø INGAT: Persetubuhan ini dilakukan setelah perkawinan!
c. Persetubuhan “secara manusiawi” (consummatio in humano modo):
1. consummatio mengandaikan beberapa unsur: ereksi, penetrasi dan
ejakulasi di dalam vagina;
2. dilaksanakan hanya oleh suami-istri yang bersangkutan secara sadar,
bebas, tanpa paksaan dan kekerasan;
3. dilakukan dengan keterbukaan untuk kelahiran anak (intentio maritalis) à
coitus interuptus dan contraseptive sexual intercourse = mengeksklusikan
bonum prolis!
d. Matrimonium putativum: perkawinan yang secara permukaan tampak sah,
namun secara obyektif tidak sah karena:
ü Halangan yang membatalkan perkawinan (kan. 1083-1094)
ü Cacat kesepakatan/consensus (kan. 1095-1107)
ü Cacat tata peneguhan/forma canonica (kan. 1108-1112)
• Konsekuensi: anak yang lahir dari perkawinan putatif diakui sebagai anak
yang sah meskipun pada akhirnya kedua orangtuanya mengetahui bahwa
perkawinan mereka sebenarnya secara obyektif tidak sah
Kanon 1062
• §1. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua pihak, yang
disebut pertunangan, diatur menurut hukum partikular yang
ditetapkan Konferensi para Uskup dengan mempertimbangkan
kebiasaan serta undang-undang sipil, bila itu ada.
• §2. Dari janji untuk menikah tidak timbul hak pengaduan untuk
menuntut perayaan perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk
menuntut ganti rugi, bila ada.
Pertunangan: kan. 1062
• Prinsip:
q Pertunangan diatur oleh hukum partikular yang dirumuskan dan
disahkan oleh Konferensi Para Uskup masing-masing
q Pertunangan tidak dituntut demi SAH-nya perkawinan, walaupun
berguna bagi langkah awal menuju perkawinan
• Konsekuensi:
ü Dari pertunangan tidak ada hak untuk menuntut dilaksanakannya
perkawinan à motivasi: melindungi hak untuk menikah secara bebas
ü Dapat dituntut ganti rugi oleh pihak yang merasa dirugikan jika
pertunangan diputuskan

Anda mungkin juga menyukai