Anda di halaman 1dari 3

1. Jelaskan sifat-sifat hakiki 'perkawinan kristiani' !

2. Mengapa perkawinan katolik 'tak terceraikan' ? Berikan latar belakangnya ! Jelaskan !


3. Sakramen Perkawinan dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus
dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen
dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Jelaskan dan berikan contoh !
jawaban

selamat malam pak sugeng , kali ini saya mencoba menjawab pertanyaan dari pak sugeng
terkait materi perkawinan pada katholik

sifat-sifat katholik

 Monogami:

Perkawinan katolik bersifat monogami, artinya bahwa perkawinan itu dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Perempuan dicipta dari tulang rusuk laki-laki, untuk
menunjukkan kesetaraan dan kesederajatan, seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Kenapa
tulang rusuk? Itu untuk pertanda kesederajatan, dari tengah, biar tidak merendahi dan
direndahi: sejajar biar tidak dikuasai maupun menguasai. Agar mereka berdua saling
memiliki, saling memberi dan menerima secara adil dan seimbang. Karena sehakekat dan
semartabat itulah perkawinan yang satu “lawan” satu itu menjadi sudah lengkap, penuh dan
sempurna. Itu sesuai kehendak Allah sendiri, ‘Laki-lakimeninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya dankeduanya menjadi satu daging’, dalam tingkat yang sama-sama
seimbang; menjadi satu daging berarti kedua pribadi itu akan menyatu secara mesra dan intim
dalam cinta yang sejati dan benar. ”.

Menurut St. Paulus persatuan perkawinan suami istri ini menggambarkan persatuan ilahi
antara Anak Domba Allah dengan mempelai-Nya, atau antara Kristus dan Gereja-Nya, dan
bukan sebaliknya. Oleh karena itu persatuan Ilahi itulah yg mendasari perkawinan katolik,
sehingga martabat perkawinan katolik diangkat ke dalam martabat ilahi dan sakramental,
sebagai persatuan yang menyelamatkan, sebagaimana Kristus menyelamatkan Gereja-Nya.

Perkawinan yang bersifat monogami tentunya dikehendaki Allah sendiri. Allah ingin agar
pilihan hidup manusia untuk menikah dan membentuk keluarga membawa mereka kepada
kebahagiaan yang utuh dan lengkap. Oleh karena itu hendaknya pasangan benar-benar
mengerti apa artinya sifat monogami ini dan menghayatinya dengan sungguh. Keinginan-
keinginan untuk membiarkan diri jatuh pada godaan-godaan hadirnya pihak lain dalam
keluarga, relasi-relasi rahasia dengan orang lain menjadi sesuatu yang amat bertentangan
dengan sifat monogami ini. Maka sudah selayaknya dihindari. Karena perkawinan adalah
sarana keselamatan (sakramen) maka penodaan terhadapnya tentulah merupakan dosa.

 Tidak dapat diceraikan

Sebetulnya ini berkaitan erat dengan sifat monogami dari perkawinan katolik tadi. Sebab,
kalau perjanjiannya itu sah, hanya maut yang bisa memisahkan. Jadi tidak ada kuasa apapun
yang boleh dan dapat memisahkan atau memutuskan ikatan perkawinan itu. Di dalam ikatan
Perkawinan ini, kesepakatan suami dan istri yang telah dibaptis untuk saling memberi dan
saling menerima,telah dimetiraikan oleh Allah sendiri. Atas dasar inilah, maka Perkawinan
Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan melalui perjanjian yang layak dan legitim
tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri,
dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah
penetapan kebijaksanaan Allah ini.

Perkawinan yang bersifat tak dapat diceraikan ini mengisyaratkan bahwa idealnya tak ada
alasan apapun yang bisa menceraikan perkawinan setelah perkawinan itu disahkan. Sebab
perkawinan yang bersyarat tak akan pernah terjadi atau dilangsungkan. Sesuatu yang
bersyarat tidak memiliki kepastian dan tidak berasal dari keputusan bebas. Idealnya lagi tidak
akan ada perkawinan katolik yang mengandaikan kesetiaan pasangannya, pada sesuatu yang
belum terjadi. Entah itu peristiwa buruk, ataupun ketidakcocokan. Mengatakan begitu berarti
membuka peluang untuk mencari alasan-alasan yang egoistis. Maka juga idealnya
ketidakcocokan atau kecocokannya sudah diketemukan sebelum perkawinan. Kalau pada
kenyataannya ada ketidakcocokan pasti itu soal sedang tumbuhnya benih-benih egoisme.
Apalagi kalau sampai pada keputusan tak sanggup lagi hidup bersama terus mau berpisah. Itu
sudah jelas lari jauh dari hakikat perkawinan itu sendiri, apalagi kalau sebetulnya sudah punya
anak. Kalau pasangan sudah punya anak, lalu mengatakan mau bercerai demi anak, ini sebuah
pernyataan yang aneh. Kalau sudah demi anak, mustinya mereka kembali bersatu,
meninggalkan ego mereka. Kalau berpisah demi anak bisa, kenapa bersatu malah tidak bisa ?

 Seumur hidup

Perkawinan katolik, yang monogami dan tak terceraikan itu mengisyaratkan ikatan
kebersamaan antara suami dan istri selama hidup. Batas akhir dari ikatan itu ada pada batas
hidup salah satu di antara mereka. Maka dikatakan bahwa ikatan itu tetap ada sampai ketika
maut memisahkan mereka. Dan ketika maut memisahkan mereka secara otomatis segala
ikatan formal baik secara hukum maupun tanggungjawab moral, menjadi tidak ada lagi. Tentu
saja karena tidak ada lagi ikatan perkawinan dengan yang sudah meninggal, maka yang masih
hidup tidak terhalang lagi jika ingin mengadakan ikatan perkawinan baru dengan orang lain.

Oleh karena ikatan perkawinan ini bersifat seumur hidup, maka selama masih hidup suami
istri terikat secara eksklusif dan tetap sejak diucapkannya janji perkawinan, sampai maut
memisahkan mereka. Adanya persoalan apapun, yang terjadi setelah perkawinan, sejauh
dahulu perkawinannya adalah layak dan sah, tidak pernah dapat dijadikan alasan bahwa ikatan
perkawinan menjadi longgar, atau rusak atapun batal.

lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh kematian
salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan
malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat
dituntut.
2. Mengapa Perkawinan Katolik Tak Terceraikan? Simak Penjelasannya, Bagi orang
gami itu tak terceraikan artinya sampai ajal menjemput kedua mempelai.
Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan dengan jelas arti dari persatuan pria dan wanita,
seperti yang dikehendaki Pencipta sejak permulaan. Yesus menegaskan bahwa izin yang
diberikan oleh Musa untuk menceraikan isteri adalah suatu penyesuaian terhadap ketegaran
hati; Bdk. Mat 19:8.Oleh karena itu, kesatuan perkawinan antara pria dan wanita tidak tercerai
sebab Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).Sakramen Perkawinan adalah tanda untuk perjanjian
antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami isteri, agar saling mencintai
dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja.Dengan demikian rahmat Sakramen
menyempurnakan cinta manusiawi suami isteri, meneguhkan kesatuan yang tak terhapuskan
dan menguduskan mereka di jalan menuju hidup abadi. Bdk. Konsili Trente: DS 1799.

Prinsip tak terceraikan dalam perkawinan menurut Hukum Kanonik adalah bahwa hidup
perkawinan tidak bisa diceraikan oleh kuasa manusiawi manapun dan dengan alasan apa pun
karena perkawinan katolik adalah perkawinan sakramental; institusi ini lahir sebagai sarana
keselamatan Allah bagi manusia sekaligus sarana penciptaan Allah dalam kehidupan manusia.
Melalui keluarga, Allah menciptakan manusia-manusia baru untuk melanjutkan karya
keselamatan-Nya di muka bumi ini. Penegasan ini (pekawinan tak teceraikan) memperoleh
dasar yuridisnya dalam ajaran gereja Katolik pada Kanon 1055 dan 1056 serta Kanon 1141.
Yang dimaksud dengan “tak terceraikan” atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang
telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak
dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian. Sifat tak
terceraikan (indissolubilitas) perkawinan Katolik dibedakan menjadi dua,
yakni: Indissolubilitas absoluta: yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh
kuasa manapun kecuali oleh kematian satu-satunya perkawinan yang
memiliki indissolubilitas absoluta adalah perkawinan sakramen yang sudah disempurnakan
dengan persetubuhan (ratum et consummatum), sebagaimana dikatakan dalam Kanon 1141.
Sebagaimana Kristus selalu setia dan tidak pernah meninggalkan gereja-Nya demikian juga
antara suami-isteri yang telah dibaptis tidak dapat saling memisahkan diri (bdk. Ef. 5 ayat 22-
33). Dan Indissolubilitas relativa: yaitu bahwa ikatan perkawinan tersebut memang tidak
dapat diputuskan atas dasar konsensus dan kehendak suami-isteri itu sendiri, namun dapat
diputuskan kuasa gerejawi yang berwenang setelah terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang
dituntut oleh hukum seperti diatur dalam Kanon 1142 (matriomonium non consummatum) dan
Kanon 1143-1149 (khusus untuk perkawinan non sakramen). Implikasi konsep perkawinan
yang tak terceraikan ini dalam kehidupan Perkawinan, yakni bahwa: Perkawinan Katolik
adalah Perkawinan yang Monogam dan Tak Terceraikan (Kanon 1065); Perkawinan Katolik
adalah Perkawinan yang Sakramental (1055 dan 1056); Perkawinan Katolik adalah
Perkawinan yang Tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi mana pun dan dengan alasan apa
pun (Kanon 1141); dan Perkawinan Katolik memperoleh Perlindungan Hukum (Kanon 1

Anda mungkin juga menyukai