Anda di halaman 1dari 20

Monica Putri Pertiwi

SAKRAMEN
Sakramen Perkawinan &
Sakramen Tahbisan

MPP APA ITU SAKRAMEN?

ADA BERAPA
SAKRAMEN?

Pengertian Sakramen 2
SAKRAMEN
Kata sakramen berasal dari bahasa Latin sacramentum yang berarti hal-hal yang berkaitan
dengan yang kudus atau yang ilahi. Sakramen juga berarti tanda dan sarana keselamatan
Allah yang diberikan kepada manusia. Konsili Vatikan II mengajarkan, "Sakramen-
sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan
akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah" (Sacrosanctum Concillium 59).
Berdasarkan pengertian tersebut, Gereja Katolik memandang perlu adanya sakramen
karena meyakini bahwa sakramen ini berasal dari Yesus Kristus yang senantiasa berkarya
dalam Gereja melalui Roh Kudus, dan sungguh menyelamatkan umat beriman Katolik.

Presentation title 3
Membangun Keluarga secara Katolik
Iman Katolik memahami dan meyakini perkawinan sebagai panggilan
Allah. Allah memanggil pria dan wanita untuk hidup secara khusus, yaitu
membangun hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga hendaknya dipahami
dan diyakini sebagai bentuk kehidupan yang suci, agung, dan patut
disyukuri karena bentuk kehidupan itu merupakan kehendak Allah sendiri.
Allah telah mempertemukan dua hati yang salin mencinta dan ingin hidup
bersama sebagai suami istri. Berkanaan dengan pemahaman dan
penghayatan yang benar mengenai perkawinan Katolik, baiklah kalau
diperhatikan beberapa hal pokok dan penting melalui pemaparan berikut.

Presentation title 4
Paham Perkawinan Katolik
Perkawinan Katolik dipahami sebagai "perjanjian (foedus) perkawinan,
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka
persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah
pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan
anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat
sakramen" (Kitab Hukum Kanonik Kanon 1055 § 1). Dari rumusan tersbut, dapat
diterangkan beberapa unsur pokok paham Gereja Katolik mengenai perkawinan
sebagai berikut:

Presentation title 5
Paham Perkawinan Katolik
1. Perjanjian perkawinan menunjuk pada a) lambang yang riil mengenai relasi antara Tuhan dan umat-Nya, baik itu dalam Perjanjian Lama
antara Yahwe dan Israel maupun dalam Perjanjian Baru antara Kristus dan Gereja serta b) dimensi personal atau pribadi relasi suami istri
yang ingin menghayati perkawinannya untuk sehidup semati. Perjanjian ini terjadi dalam kesepakatan bebas antara suami istri tanpa
adanya paksaan terhadap kedua belah pihak.
2. Kebersamaan seluruh hidup mengandung makna bahwa relasi pribadi antara suami istri memiliki aspek kualitatif dan bukan kuantitatif di
seala bidang kehidupan, baik menyangkut soal cinta, penyerahan diri secara timbal balik, kesetiaan, kesejahteraan keluarga, dan
sebagainya. Kebersamaan seluruh hidup ini lebih diartikan sebagai hidup yang utuh dan menyeluruh - mencakup jiwa maupun raga - dari
suami istri.
3. Antara pria dan wanita berarti bahwa kebersamaan hidup dalam keluarga terjadi antara pria dan wanita, yang saling membutuhkan,
melengkapi, dan memperkaya dalam satu daging. Dengan demikian, bukan kebersamaan hidup antara pria dengan pria atau wanita dengan
wanita.
4. Terarah pada kesejahteraan suami istri mengandung arti bahwa tujuan hidup berkeluarga pertama-tama bukan untuk menyalurkan hasrat
seksual semata-mata, tetapi lebih pada mencari dan mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin bagi suami istri. Hal ini tidak hanya terjadi
saat menikah, tetapi untuk selamanya.
5. Terarah pada anak berarti bahwa perkawinan sealu terbuka pada prokreasi atau hadirnya keturunan akibat hubungan seksual antara suami
istri. Keterbukaan akan keturunan ini mengarah pada usaha untuk mendidik anak-anak sebaik-baiknya, khususnya dalam pendidikan iman.
6. Perkawinan sebagai sakramen mengandung arti bahwa perkawinan yang terjadi antara dua orang yang dibaptis, baik baptis Katolik
maupun baptis Kristen yang diakui oleh Gereja Katolik, menjadi lambang hubungan sakramental antara Kristus dan Gereja.

Presentation title 6
Sifat Hakiki Perkawinan
Perkawinan Katolik memiliki sifat-sifat ang hakiki, yaitu monogam dan tak
terceraikan (lih. Kitab Hukum Kanonik Kanon 1056). Monogam berarti bahwa
perkawinan terjadi antara seorang pria dan seorang wanita sehingga poligami dan
hubungan seksual dengan pihak ketiga tidaklah dimungkinkan. Tak terceraikan
berarti bahwa perkawinan tidak dapat diputuskan, baik oleh kemauan suami istri itu
sendiri maupun kuasa manusia, misalnya orangtua, sanak saudara, negara, dan
sebagainya. Satu-satunya yang dapat memutuskan perkawinan adalah kematian
pasangan yang terjadi secara wajar.

Presentation title 7
Halangan Perkawinan
Halangan perkawinan dirumuskan sebagai berikut: "Halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens)
membuat seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah" (Kitab Hukum Kanonik
Kanon 1073). Berbicara mengenai halangan, ada beberapa halangan perkawinan yang perlu diketahui yaitu:
1. Halangan Usia merupakan halangan perkawinan yang disebabkan karena usia dan dirumuskan sebagai
berikut: "Laki-laki sebelum berumur genap enambelas tahun, dan perempuan sebelum berumur genap empatbelas
tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah" (Kitab Hukum Kanonik Kanon 1083 § 1) Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) menetapkan batas umur minimal pria 20 tahun dan wanita 18 tahun untuk dapat
dinikahkan secara Katolik. Negara menetapkan batas minimal pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, Hukum Kanonik
menetapkan batas minimal pria 16 tahun dan wanita 14 tahun (karena berlaku untuk di seluruh dunia). Maka atas
pertimbangan dan kewenangan, Gereja Katolik di Indonesia memakai ketetapan dari KWI di atas.

2. Halangan Impotensi menyangkut impotensi yang terjadi sebelum perkawinan dilaksanakan dan impotensi itu
sifatnya tetap (tidak dapat disembuhkan). Impotensi yang dimaksud entah diketahui atau tidak tetap membuat
perkawinan tidak sah secara Katolik. Sedangkan kemandulan tidak melarang atau menggagalkan perkawinan
Katolik.

Presentation title 8
Halangan Perkawinan
3. Halangan Ikatan Nikah terjadi jika ikatan perkawinan yang pertama belum atau tidak dapat diputuskan.
Ikatan nikah yang pertama menjadi halangan untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah dengan
orang berikutnya. Meski perkawinan yang dahulu (yang pertama) tidak sah atau telah diputuskan atas
alasan apa pun, perkawinan baru tidak boleh dilangsungkan, sebelum ada kepastian yang jelas menurut
hukum bahwa perkawinan tersebut tidak sah atau telah diputuskan. Halangan ini didasari atas sifat
perkawinan Katolik yang tunggal dan tidak dapat diceraikan.

4. Halangan Hubungan Darah mencakup hubungan darah garis lurus dalam semua tingkat (baik ke atas
maupun ke bawah; baik yang sah maupun tidak ayah-anak-cucu-cicit-dst). Halangan ini tidak akan pernah
mendapatkan dispensasi.

5. Halangan Beda Agama mencakup perkawinan orang yang telah dibaptis Katolik dengan orang yang
belum atau tidak dibaptis (lih. Neh 13:23-27, Im 21:13-15, 1 Kor 6:14-15) serta perkawinan orang yang
telah dibaptis Katolik dengan orang yang telah dibaptis non Katolik (dari Gereja Kristen yang baptisannya
tidak diakui oleh Gereja Katolik). Perkawinan semacam ini perlu minta izin.

Presentation title 9
Halangan Perkawinan
6. Halangan Tahbisan Suci mencakup tahbisan tingkat diakonat, imamat, dan episkopat yang menuntut hidup
selibat. Sumpah untuk hidup selibat ini menjadi halangan perkawinan bila tahbisan itu sah dan diterima dengan
bebas. Perkawinan yang akan dijalani oleh orang tertahbis ini hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan
dispensasi dari Paus.

7. Halangan Kaul Religius mencakup kaul kekal dalam hidup membiara. Kaul kekal yang melibatkan sumpah
untuk hidup selibat melalui kaul kemurnian menjadi halangan terjadinya perkawinan. Meskipun demikian, kaul
kemurnian dapat dianulir dan perkawinan dapat dilangsungkan jika ada dispensasi dari Paus.

8. Halangan Kriminal terjadi jika demi perkawinan yang baru, seseorang membunuh pasangan (suami atau istri)
sendiri atau pasangan dari orang yang hendak dikawini atau jika 2 orang yang ingin kawin, bekerjasama secara
fisik atau moral melakukan pembunuhan terhadap suami atau istri mereka. Halangan ini didasari atas
perlindungan akan keluhuran Sakramen Perkawinan, perlindungan kesetiaan dan keselamatan suami-istri, agar
tidak ada orang yang ingin kawin dengan nekat merusak perkawinan yang sudah ada, dan agar menjadi hukuman
bagi perbuatan kejahatan berat yang dilakukan. Dispensasi dari halangan ini hanya dapat diperoleh dari Paus.

Presentation title 10
Halangan Perkawinan
9. Halangan Penculikan terjadi jika demi perkawinan, seseorang menculik orang yang akan dinikahi dan memaksanya untuk melangsungkan
perkawinan. Halangan ini didasari atas sifat bebas dalam perkawinan. Orang yang mau menikah harus dalam keadaan bebas sehingga bisa
menentukan keputusannya secara sadar dan tanpa tekanan agar keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

10. Halangan Hubungan Darah Garis Menyamping berlaku sampai tingkat keempat (kakak-adik, paman/bibi-kemenakan, saudara sepupu). Orang
yang akan menikahi sepupu akan terhalang melangsungkan perkawinan Katolik, tetapi selebihnya sudah tidak. Hubungan darah garis menyamping
sampai pada tingkat dua tidak pernah akan mendapat dispensasi. Dasar dari halangan ini adalah demi keturunan, supaya cinta tidak hanya berputar
di sekitar keluarga saja, dan agar cinta persaudaraan tetap murni sebagai cinta persaudaraan (lih. Im 18:6-18).

11. Halangan Hubungan Semenda merupakan halangan yang muncul dari unsur kesemendaan. Semenda adalah persaudaraan antara suami dengan
saudara-saudari istrinya, dan sebaliknya. Yang menjadi halangan hanya pada garis lurus dan untuk semua tingkat (suami/istri dengan mertua atau
mertua tirinya; suami/istri engan anak tirinya, dll).

12. Halangan Kelayakan Publik timbul dari perkawinan tidak sah setelah hidup bersama dan diketahui secara umum. Konkretnya, A hidup bersama
dengan B tanpa menikah sah. Maka, hubungan antara A dengan saudara B baik garis lurus (anak, orangtua) maupun garis menyamping (kakak,
adik) terhalang.

13. Halangan Pertalian Hukum berkenaan dengan pertalian hukum yang timbul dari adopsi. Ini menjadi halangan, dalam garis lurus (orangtua anak
angkatnya), dalam garis menyamping hanya untuk tingkat dua saja (anak kandung anak angkat).

Presentation title 11
Beberapa Persoalan Seputar Perkawinan
Apakah perkawinan merupakan keharusan? Perkawinan bukanlah suatu keharusan bagi orang
Katolik. Ada orang-orang yang memang dipanggil untuk mengikuti Yesus dalam hidup
keperawanan atau selibat demi Kerajaan Allah. Mereka yang memilih panggilan hidup ini ingin
memusatkan diri pada perkara-perkara ilahi serta berusaha melayani dan mengabdi Allah dengan
utuh. Kehidupan mereka menjadi tanda keunggulan mutlak cinta Kristus dan penantian kembali
akan kemuliaan-Nya.
Apakah orang Katolik boleh menikah dengan orang non Katolik? Perkawinan campur (antara
seorang Katolik dan seorang non Katolik) memerlukan izin otoritas Gereja. Izin yang diberikan
dikenal dengan istilah dispensasi. Yang perlu terjadi dalam perkawinan campur adalah bahwa
kedua belah pihak mengakui dan menerima tujuan pokok dan ciri khas perkawinan. Perlu juga
ditekankan bahwa pihak yang non Katolik harus mengetahui bahwa pihak yang Katolik berhak
untuk menghayati imannya serta membaptis dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik.

Presentation title 12
Beberapa Persoalan Seputar Perkawinan
Apakah buah perkawinan Katolik? Sakramen Perkawinan menetapkan ikatan kekal dan eksklusif
antara suami istri. Allah memeteraikan kesepakatan perkawinan mereka sehingga perkawinan yang
sudah dilaksanakan dengan sah dan dilengkapi dengan hubungan suami istri tidak dapat diceraikan.
Sakramen ini memberikan rahmat untuk mencapai kesucian dalam kehidupan perkawinan serta
menerima tanggung jawab untuk merawat dan mendidik jika dianugerahi keturunan.
Apa dosa yang melawan perkawinan Katolik? Perzinahan dan poligami bertentangan dengan
Sakramen Perkawinan karena berlawanan dengan martabat kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan serta kesatuan dan eksklusivitas perkawinan. Penolakan secara sadar atas kemungkinan
mempunyai keturunan juga bertentangan dengan Sakramen Perkawinan karena hal ini bertentangan
dengan kesuburan cinta perkawinan serta keterbukaan akan anugerah Allah. Perceraian juga
merupakan hal yang bertentangan dengan Sakramen Perkawinan karena perkawinan memiliki sifat
tak terceraikan.

Presentation title 13
Sakramen Imamat
Apa Itu ?

MPP
Presentation title 14
LATAR BELAKANG
Yesus Kristus menjadi tokoh sentral dalam Perjanjian Baru. Ia tampil sebagai gembala (bdk. Yoh 3:2; 7:14.16) dan sebagai
nabi besar (bdk. Luk 7:16.26-27). Menjelang akhir hidup-Nya, Ia bertindak sebagai imam ketika memimpin perjamuan
malam terakhir (bdk. Luk 22:14-23). Dalam Surat kepada Orang Ibrani, Yesus adalah Imam Agung. Ia melenyapkan
sebagai penyakit dan kelemahan. Secara keseluruhan, Yesus menjadi seorang pelayan masyarakat. Yesus adalah seorang
pemimpin umat atau gembala, guru atau pengajar, bahkan seorang nabi besar yang memberitakan kabar gembira tentang
kedatangan Kerajaan Allah, sekaligus seorang imam bahkan Imam Agung yang mempersembahkan diri-Nya sebagai
kurban demi keselamatan manusia. Dalam kurun waktu pelayanannya, Yesus mengumpulkan dua belas murid yang
disebut rasul. Mereka dipanggil secara khusus untuk mengikuti-Nya dan dijadikan sebagai penjala manusia (bdk. Mat
4:19). Untuk itu, Yesus mendidik mereka dengan cara hidup dalam persaudaraan, hidup dalam doa, mendengarkan sabda-
Nya, pergi diutus berdua-dua dan memberitakan Injil, menyembuhkan orang sakit, dan mengusir setan. Namun, yang
paling penting adalah mereka harus tetap menjalin hubungan dengan Yesus dan melaksanakan tugasnya dengan semangat
pelayanan seperti Yesus datang untuk dilayani tetapi untuk melayani. Para rasul menjalankan tugas kepemimpinan setelah
Yesus naik ke surga. Guna menjamin kelangsungan pengutusan, sebelum para rasul wafat, kuasa yang diberikan oleh
Yesus kepada para rasul diteruskan kepada para penggantinya. Pengganti para rasul adalah Uskup, yaitu mereka yang
menerima penumpangan tangan dari para rasul. Penumpangan tangan ini berkembang menjadi sebuah sakramen yang
disebut Sakramen Tahbisan atau Sakramen Imamat.

Presentation title 15
Imamat Dalam Gereja Katolik
Sakramen Tahbisan pertama-tama diterimakan kepada Uskup. Penahbisan ini membuat seorang Uskup menjadi
penerus sah para rasul dan mendapat wewenang mengajar, menguduskan, dan menggembalakan. Uskup
menjadi pemimpin dan kepala yang kelihatan dalam Gereja lokal atau di keuskupan. Tahbisan Uskup
dilaksanakan paling sedikit oleh tiga orang Uskup di hadapan para Uskup lainnya serta terjadi dalam Perayaan
Ekaristi. Calon Uskup berlutut di hadapan pentahbis. Para pentahbis menumpangkan tangan di atas kepala
calon Uskup lalu mengucapkan doa pentahbisan Uskup. Uskup sebagai gembala di keuskupan dibantu oleh
para imam dan diakon.
Sakramen Tahbisan juga diterimakan kepada Imam. Imam melalui tahbisannya menjadi rekan sekerja dan
pembantu uskup. Mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung abadi untuk mewartakan Injil serta
menggembalakan umat beriman dan untuk merayakan ibadat ilahi khususnya Perayaan Ekaristi. Berkat rahmat
tahbisan, para imam diberi kuasa istimewa untuk menghadirkan Tubuh dan Darah Kristus. Mereka diberi kuasa
oleh Kristus sendiri untuk menguduskan umat dengan menerimakan sakramen-sakramen. Dalam tahbisan
imam, pentahbis adalah Uskup Diosesan, dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi dimana Uskup (disertai imam-
imam lainnya) menumpangkan tangan ke atas calon imam sambil mengucapkan doa tahbisan imam.

Presentation title 16
Imamat Dalam Gereja Katolik
Sakramen Tahbisan juga diterimakan kepada Diakon. Tahbisan diakonat merupakan jenjang jenjang
hirarki paling rendah tetapi menjadi jenjang awal untuk tahbisan lebih tinggi. Calon Diakon
ditumpangi tangan oleh Uskup Diosesan dalam tahbisannya dengan tugas utamanya melayani umat
Allah dalam pelayanan liturgi sabda, karya karitatif. Diakon dapat melayankan sakramen baptis dan
perkawinan.
Tahbisan mengikat seseorang seumur hidup dan menjadikan orang tersebut sebagai anggota hirarki
yang mengemban jabatan kepemimpinan Gereja. Karena ada tiga macam tahbisan, dikenal tiga
jabatan kepemimpinan dalam Gereja Katolik. Uskup adalah pimpinan utama, Imam adalah pembantu
umum Uskup, dan Diakon adalah pembantu khusus Uskup. Seseorang yang telah menerima tahbisan
secara istimewa mengambil bagian dalam martabat Yesus sebagai Imam. Nabi, dan Raja. Ia diutus
oleh Yesus untuk memimpin dan mempersatukan umat beriman, mewartakan Injil, menguduskan
umat melalui sakramen-sakramen, serta memperjuangkan Kerajaan Allah melalui penegakan nilai-
nilai keadilan, cinta kasih, kejujuran, dan damai sejahtera bagi semua orang.

Presentation title 17
Imamat Dalam Gereja Katolik
Agar seorang tertahbis dapat memberikan diri seutuhnya kepada Kristus dan umat-Nya, Gereja menuntut agar
ia mengikuti pola hidup Yesus dengan mengucapkan tiga janji seturut nasehat Injil yaitu selibat, taat dan
miskin. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
I. Selibat: janji untuk tidak menikah dan mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Yesus
berbicara tentang orang yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. Gereja berpendapat bahwa orang yang
tidak menikah akan lebih bebas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan demi Kerajaan Allah (Mat
19:12).
II. Taat: janji untuk taat kepada pembesar atau pemimpin lembaga atau keuskupan yang diikutinya. Yesus
taat kepada Bapa-Nya dalam melaksanakan tugas bahkan sampai mati di kayu salib. Seorang tertahbis
bersedia taat kepada atasannya seperti Kristus taat kepada Bapa-Nya demi Kerajaan Allah (Yoh 4:34).
III. Miskin: janji untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Diungkapkan bahwa Yesus tidak memiliki apa-
apa. Seorang tertahbis bersedia hidup miskin dalam arti bersedia melepaskan secara sukarela hak untuk
memiliki harta benda (Mat 8:20, Luk 9:58).

Presentation title 18
Imamat Dalam Gereja Katolik
Tiga janji tersebut diucapkan oleh Imam biarawan atau Imam Ordo; sedangkan
Imam Diosesan mengucapkan dua janji yakni janji selibat dan janji taat kepada
Uskup untuk melaksanakan tugas perutusannya. Untuk menerima tahbisan, seorang
pria Katolik harus menjalani pendidikan di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi.
Mereka harus menjalani jenjang waktu tertentu sejak pelantikan lektor dan akolit,
tahbisan diakonat, tahbisan presbiterat hingga tahbisan episkopat. Panggilan tahbisan
adalah rahmat dari Tuhan, bukan jasa manusia. Pada umumnya mereka yang
ditahbiskan merasa tidak pantas menerima rahmat ini tetapi mereka tidak mau
menolak cinta Tuhan. Tahbisan juga bukan akhir dari cita-cita, tahbisan barulah awal
dari pengabdian. Tahbisan tidak membuat seseorang menjadi yang serba mampu
dalam segala hal, maka mereka masih terus membutuhkan doa-doa umat.

Presentation title 19
Terima Kasih
Berkah Dalem

Anda mungkin juga menyukai