Anda di halaman 1dari 28

TUGAS BELAJAR MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA

(DR. ALBERTUS SUJOKO, S.S., LIC. TH)

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/III

PERTANYAAN

Uraikanlah pendapatmu mengenai Visi Pastoral Keluarga menurut kreativitasmu dengan


kondisi zaman sekarang, termasuk Situasi Normal Baru akibat Pandemik Covid-19:

1. Keluarga sebagai Persatuan Iman.


2. Praktek dan kebiasaan berdoa bersama dalam keluarga, apakah ada?
3. Praktek pendalaman iman dalam keluarga, apakah ada? Bagaimana dilakukan?
4. Bagaimana melatih anak untuk melakukan pelayanan (diakonia) dalam keluarga?
5. Bagaimana hidup rumah tangga bisa menjadi kesaksian iman bagi para tetangganya yang
beragama lain sampai tertarik masuk untuk belajar agama Katolik?

1|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


Introduction

Keluarga merupakan awal dari sebuah kehidupan. Gereja sendiri dibangun dan
dibentuk dari sebuah keluarga. Gereja itu sendiri merupakan keluarga umat Allah yang
menjadi tempat karya Allah dinyatakan dan diwartakan. Pewarta dan karya misi keluarga bagi
banyak orang pertama-tama dilihat dari perspektif keluarga itu sendiri atau dengan kata lain
keluarga menjadi awal dari karya misi Gereja itu lahir, bertumbuh dan berkembang.
Pertumbuhan dan perkembangan itu dapat dilihat dari setiap unsur, aspek dan keterlibatan
secara aktif dari individu di dalamnya. Hal ini mennadai adanya sebuah gerakan untuk maju
dan terus melangkan ke depan bersama sebagai keluarga. Ini terjadi karena adanya visi dan
tujuan yang sama yakni kesejahteraan dan kedamaian dalam Tuhan. Maka, Gereja senantiasa
mengusahakan agar setiap keluarga menampilkan belas kasih Allah atau Dives in
Misericordiae di yang ditampilkan dalam terang iman atau Lumen Fidei dan berkat itu
menjadi karya nyata yang menjadi warta gembira atau Evangelii Gaudium bagi setiap orang
demi terwujudnya keselamatan di tengah dunia. Maka, hal ini menjadi jelas bahwa visi
keluarga bukan hanya melulu pada kesejahteraan pribadi manusia tetapi juga bagi sesama dan
demi kemuliaan Allah atau Glorificatio Dei yang terpancar dari sukacita kasih atau Amoris
Laetitia yang nyata dan tulus.

Berkaitan dengan karya Gereja, apa yang menjadi relevansi dari visi tersebut dalam
situasi kemajuan zaman dan adanya pandemic sekarang ini? Hal itu membuat suatu visi
keluarga akan menjadi extra conditional dan selalu melakukan preventif juga perhatian secara
intensif mengenai berbagai hal. Maka, keluarga yang nota benenya sebagai penggerak
masyarakat harus terus bergerak melalui kreativitas yang inovatif dan membawa keuntungan
juga kesejahteraan di setiap aspek dan bagi setiap anggotanya. Namun, bagi keluarga Kristiani
visi keluarga juga harus didasari atas Panca Perutusan Gereja dan Tres Munera Christi1
yang telah diterima dalam Sakramen Pembaptisan dan Krisma. Panca Perutusa ini menjadi
tolak ukur dan arah serta tujuan dari setiap umat beriman Kristiani dalam mengusahakan
hidup yang dijalani saat ini. Memang pada masa ini ditambah dengan kondisi yang
semenatara berada pada masa pandemic senantiasa supaya setiap umat beriman khususnya
keluarga menghidupi dan terus mempertahankan kesatuan Panca Perutusan irtu dalam setiap
aspek kehidupan. Maka, akan dijelaskan dalam visi pastoral keluarga yang juga didasari oleh
Panca Perutusan Gereja dan pada tujuan hidup keluarga kristiani. Oleh sebab itu beberapa hal
yang menjadi bagian dari visi pastoral keluarga diuraikan sebagai berikut.

1
Panca Perutusan Gereja atau 5 Tugas Perutuasan Gereja yakni Koinonia, Liturgia, Kerygma, Diakonia, dan
Martyria dan Tria Munera Christi yang secara umum diterima umat (dan Khusus hanya kaum Klerus) yakni
menjadi imam, nabi dan gembala (raja) atau munus docendi, munus regendi et munus sanctificandi.

2|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


1. Keluarga sebagai Persatuan Iman (Koinonia)

Keluarga merupakan persekutuan yang di dalamnya iman, harap dan kasih


diwujudnyatakan dan dihadirkan. Keluarga menjadi gambaran pesekutuan iman yang setiap
anggotanya selalu mengusahakan kepercayaan dan kasih. Iman ini menyatakan adanya sebuah
tanggapan terhadap penyelenggaraan dan kehendak Allah bagi umat manusia yang dinyataka
melalui persatuan priadan wanita dan membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan
keluarga. Oleh sebab itu, pada masa ini perlu memperhatikan dan mengingat keluarga dan
perannya dalam setiap segi kehidupan manusia, termasuk dalam hidup Gereja apalagi dalam
menghadapi tantangan zaman ini mulai dari modernisasi dan pandemic yang muncul pada
saat ini. Maka, pertama-tama harus terlebih dahulu melihat apa yang menjadi penghayatan
hidup dan misi Keluarga dalam kaitannya dengan Gereja. Keluarga harus terus menjadi
persekutuan yang selalu mengutamakan kepentingan akan pemeliharaan dan pemberdayaan
serta pendalaman iman dalam hidup setiap hari saat kapan pun bahkan dalam situasi seperti
yang sekarang dialami oleh setiap orang di dunia.

Gereja adalah persekutuan umat beriman. Demikian pula keluarga adalah persekutuan
orang-orang beriman. Para anggota disatukan dalam iman yang sama. Dengan sendirinya
keluarga semacam ini hanya berlaku untuk keluarga yang semua anggotanya beriman katolik.
Keluarga kawin campur atau keluarga yang anggotanya adalah pemeluk beberapa agama tidak
termasuk dalam kategori ini. Karena dimensi koinonia ini menggarisbawahi pentingnya
kesatuan iman. Keluarga kristiani mempersiapkan, melaksanakan atau menghidupi rumah
tangganya dalam kerangka iman katolik. Pemuda-pemudi katolik yang taat akan menyiapkan
rumah tangganya atas dasar iman itu. Realisasi hidup berkeluarga sebagai kesatuan iman
nampak dalam persatuan suami-isteri dan persatuan orang tua dengan anak-anaknya.
Beberapa unsur dari dimensi koinonia ini bisa dijelaskan secara detail dan rinci yakni berikut.

Pertama, Membina Persatuan Suami-Isteri bahwa Kebahagiaan suami isteri adalah


sendi yang memperlancar roda perputaran hidup berkeluarga. Kalau hubungan suami-isteri
macet, maka suasana rumah tangga menjadi kacau. Jika hubungan suami-isteri bahagia, maka
suasa keluarga juga cerah dan menghidupkan. Membina kesatuan suami-isteri adalah salah
satu tugas pastoral keluarga yang sangat penting. Para pastor dan pemimpin umat perlu
memikirkan secara kreatif bentuk-bentuk kegiatan yang memperkuat kesatuan suami-isteri.
Salah satu bentuk pastoral keluarga semacam itu ialah gerakan Marriage Encounter (ME).
Gerakan itu tumbuh dalam gereja tidak lebih dari 50 tahun terakhir ini. Pastoral jenis ini
termasuk bentuk baru dalam mendampingi hidup berkeluarga. Ada bentuk lainnya misalnya
Couple for Christ dan juga gerakan Choice yang mendampingi perkembangan mudamudi dari

3|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


keluarga-keluarga kristiani. Gerakan ME muncul pertamakali si Sanyol tahun 1952 dengan
nama Incontro Conjugal. Berawal dari kedatangan sepasang suami-isteri kepada seorang
imam muda dan bertanya apakah yang dapat mereka lakukan sebagai pasutri untuk
menyumbangkan tenaga bagi Gereja. Imam muda itu mengusulkan untuk berbuat sesuatu bagi
pasangan suami-isteri dalam umat. Kemudian mereka mulai bekerja dan selama 10 tahun
mereka mendapatkan metode yang rupanya cocok untuk meningkatkan relasi dan komunikasi
di antara pasutri. Metode itu dilakukan dalam Week-End ME. Tahun 1962 dimulai week-end
yang pertama dengan 28 pasutri. Tahun 1967 mulai menyebar di Amerika. Tahun 1974
gerakan ME masuk ke Indonesia di Jakarta atas inisiatif dari Mgr. Leo Soekoto SJ. Bulan
September 1982 ME masuk di Keuskupan Manado. Sampai dengan tahun 1994 di Keuskupan
Manado ada 550 pasutri, 21 Imam dan 19 biarawan/wati yang sudah mengikuti week-end ME.
Kalau melihat pengalaman dalam week-end, maka acara tersebut bisa dianggap sebagai saat
inisiasi atau proses masuk ke dalam gerakan ME. Karena week-end itu membuat para pasutri
memiliki pengalaman yang sama dengan para pasutri ME lainnya. Metode ME di seluruh
dunia adalah sama sehingga para anggota ME membagi bersama pengalaman yang sama pula.
Usaha membina kesatuan suami-isteri diarahkan supaya mereka mengalami suasana keluarga
yang harmonis dan menguntungkan perkembangan semua anggotanya. Anak-anak juga akan
mengalami perkembangan yang baik bila relasi orang tuanya harmonis.

Kedua, Menciptakan Suasana Dialog dan Keterbukaan. Dialog adalah bentuk


komunikasi dua arah. Artinya pihak-pihak yang berkomunikasi rela mendengarkan pihak lain
dan rela menyesuaikan diri dengan kesepakatan yang dicapai dalam dialog itu. Dialog adalah
bentuk komunikasi verbal, artinya menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan diri. Dialog
suami-isteri adalah cara yang baik untuk membina kesatuan mereka. Dialog dapat
meningkatkan mutu relasi melalui pembincaraanpembicaraan pribadi. Mereka dapat bertukar
pikiran untuk menyampaikan gagasan-gagasan mengenai apa saja untuk kebaikan keluarga.
Dialog dan keterbukaan juga dapat mencegah timbulnya konflik-konflik yang tidak perlu.
Konflik bisa muncul karena perasaan terpendam yang tidak diungkapkan. Dialog dapat
membebaskan pasutri dari perasaan-perasaan negatif atau kecurigaan yang perlu penjelasan
dari pasangan. Percakapan dan dialog keterbukaan di antara suami-isteri tentulah hal yang
dengan sendirinya diandaikan terjadi secara baik. Namun kenyataannya sering tidak
demikian. Bahkan mereka perlu dilatih dalam week-end ME misalnya untuk balajar lagi
mendengarkan pasangan secara benar. Adakalanya pasangan juga mengalami ketakuatan atau
kekhatiran apakah bila menceritakan sesuatu kepada pasangannya nanti ia tidak akan marah,
kecewa atau meninggalkannya. Ada penasehat perkawinan yang mengatakan bahwa demi
keharmonisan rumah tangga dan demi cinta yang tulus, kadang-kadang orang perlu

4|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


merahasiakan sesuatu untuk dirinya sendiri sampai mati. Sikap semacam itu bukan berarti
tidak mau terbuka, melainkan keberanian untuk bertindak bijaksana dalam suatu situasi
konkret.

Ketiga, Menjaga Kesetiaan Ikatan Janji Perkawinan Kesetiaan pada janji perkawinan
merupakan syarat mutlak bagi keharmonisan hidup berkeluarga. Tidaklah sulit untuk
mengucapkan janji, yang sulit adalah untuk mempertahankannya. Kesetiaan janji perkawinan
dapat dipertahankan melalui dua cara. Pertama dengan cara mengindari hal-hal yang dapat
melanggar kesetiaan perkawinan. Misalnya dengan menjaga penglihatan, pikiran dan hati
supaya tidak tergoda untuk menyelewang. Menjaga diri dalam pergaulan sehingga tidak
memasukkan diri dalam relasi-relasi yang bisa mengarah pada penyelewengan. Lingkungan
kerja di kantor atau relasi bisnis bisa merupakan kondisi yang mempengaruhi orang untuk
menjalin relasi-relasi khusus di luar perkawinanya. Cara kedua untuk mempertahankan
kesetiaan perkawinan ialah dengan meningkatkan kwalitas relasi pasutri. Pasangan harus
merasa didukung untuk mengembangkan dirinya. Pria dan wanita yang menikah bukan hanya
ingin hidup berkeluarga untuk punya pasangan dan anakanak, melainkan juga mengharapkan
agar dirinya berkembang. Perkembangan bisa menyangkut kepribadiaannya dan bisa pula
mengenai ketrampilan dan kemampuannya. Memberi kesempatan kepada pasangan untuk
mengembangkan bakatnya dan kepribadiaanya bisa bermanfaat untuk relasi suami-isteri itu
sendiri.

Keempat, Saling Menolong Dalam Urusan Rumah Tangga. Cara meningkatkan


keharmonisan relasi pasutri bisa ditempuh melalui usaha saling menolong dalam urusan
rumah tangga. Pasutri, terlebih yang masih muda, tidak perlu terpaku pada pandangan
tradisional bahwa suami bagian luar rumah dan isteri bagian domenstik. Mentalitas itu
membuat pembedaan tugas suami-isteri yang tidak menunjang relasi mereka berdua. Saling
menolong atau mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama akan meningkatkan relasi
suami-isteri. Suami yang mau mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama akan
mendapatkan manfaat ganda. Pertama, mereka dapat membuat pekerjaan rumah lebih cepat
selesai dan bisa beristirahat bersama-sama. Kedua, sambil bekerja bersama itu sendiri mereka
mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebersamaan. Barangkali usulan untuk
mengerjakan pekerjaan rumah bersamasama itu masih dipengaruhi juga oleh jenis pekerjaan
dari pasangan itu. Kalau mereka jarang berada di rumah sepanjang siang, tentulah sulit untuk
melakukan hal itu. Dan faktor usia pasutri juga perlu diperhitungkan. Barangkali untuk
pasangan muda, mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama bisa merupakan seni relasi
sekaligus menghemat anggaran dari pada membayar pembantu.

5|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


Kelima, Membina Kesatuan Orangtua dan Anak-anak Mewujudkan hidup berkeluarga
sebagai koinonia mencakup relasi orang tua dengan anak-anak juga. Salah satu tugas
pendidikan yang tidak mudah adalah menciptakan suasana keluarga yang memungkinkan
anakanak berkembang secara sehat jasmani dan rohaninya. Hal-hal yang bisa diusahakan oleh
orangtua misalnya adalah: a. membiasakan adanya percakapan di dalam rumah; b. melatih
anak-anak untuk bisa terbuka dan berdialog dengan orang tuanya; c. memberikan kepercayaan
dalam pembagian tugas-tugas rumah tangga.

Keenam, Membiasakan Adanya Percakapan di Dalam Keluarga Orang tua yang ingin
akrab dengan anaknya perlu menjadi seorang teman bagi anaknya sendiri. Pendekatan
paternalistik atau maternalistik yang secara spontan dimiliki oleh orang tua tidak
memungkinkan kesatuan orangtua-anak. Kedua pendekatan itu menganggap orang tua tahu
segalanya dan anak tidak tahu apa-apa; orang tua selalu benar dan anakanak selalu salah.
Sikap orangtua yang selalu memarahi anak adalah sikap paternalistik dan maternalistik yang
perlu dihindari. Kalau orangtua ingin menjadi teman bagi anak-anaknya, mereka harus
memulainya dari awal. Sejak anak mulai dapat berbicara, ia harus dihargai sebagai seorang
yang menjadi teman bicara. Kata-katanya perlu didengarkan dan anak-anak diajari untuk
berfikir tentang apa saja yang ia inginkan. Orangtua perlu memberikan pujian juga. Orangtua
bisa tertawa atas tingkah lakunya yang lucu. Cara-cara semacam itu akan menanamkan
persahabatan antara orangtua dan anak. Pada saat anak-anak dalam usaia bertanya, orangtua
memberikan jawaban-jawaban tanpa perlu merasa bosan dan marah.

Bila anak sudah terbiasa bercakap-cakap dengan orangtuanya, maka orangtua sudah
bisa merebut kepercayaan anaknya. Anak perlu merasakan bahwa orang tua adalah sahabat
yang paling baik dan bisa diandalkan. Dalam suasana relasi semacam itu lebih bisa
diharapkan bahwa anak-anak akan terbuka pada orangtuanya. Anak-anak memiliki keberanian
untuk menceritakan kepaada orangtuanya apa saja yang ia alami. Kalau iklim semacam itu
bisa diciptakan dalam rumah tangga, anak-anak akan berkembang secara sehat secara rohani
dan jasmani. Hal itu merupakan bagian dari pendidikan yang amat penting.

Ketujuh, Mendidik Anak-anak untuk Terbuka dan Berdialog Orangtua perlu


mengusahakan agar anak-anaknya dapat terbuka kepada orangtuanya. Usaha itu tidaklah
mudah. Secara psikologis dan menurut tingkat perkembangan usia anak, anak-anak tidak akan
mampu terbuka dengan kekuatan sendiri. Adalah terlalu naif bagi orangtua untuk
mengharapkan bahwa anak-anak mereka harus terbuka kepada orangtua hanya karena mereka

6|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


adalah orangtuanya. Orangtualah yang perlu membantu anak-anak untuk bisa terbuka.
Kegagalan dalam hal ini akan dibayar mahal oleh orangtuanya, yaitu bahwa mereka tidak
dapat mengenal anak mereka sendiri. Dan lebih jauh lagi orangtua tidak mampu lagi untuk
mengendalikan anaknya. Orangtua kehilangan kewibawaan kontrol atas anak-anaknya karena
anak-anaknya tidak berani terbuka pada orangtuanya. Persoanalan yang dihadapi anaknya
akan dipecahkan dengan minta bantuan kepada siapa saja, kecuali orang tuanya. Ini adalah hal
yang sangat tragis dalam hubungan antara orangtua-anak. Sebelum orangtua kehilangan
anak-anaknya, maka perlu diciptakan suasana keterbukaan, kebaikan hati dan semangat dialog
yang tulus antara orangtua dan anak. Anak-anak harus yakin bahwa orangtuanya baik dan
tidak akan marah sembarang marah. Kalau orangtua sampai marah, itu berarti ada kesalahan
serius yang mamang tidak bisa dibenarkan. Anak sendiri akan belajar dari sikap-sikap
orangtuanya dan akan mengambil kesimpulan apakah orangtuanya bisa dipercayai atau tidak.
Jangan sampai terjadi bahwa anak-anak tidak percaya pada orangtuanya sendiri, dan lebih
percaya kepada orang lain, tetangga, teman-teman atau siapa saja yang menjadi lingkungan
pergaulan mereka. Sadar akan hal ini menunjuk pada fakta bahwa tidaklah mudah menjadi
orangtua yang baik bagi anakanaknya.

Kedelapan, Memberikan Keparcayaan Dalam Tugas Rumah Tangga. Salah satu cara
memumpuk kesatuan orangtua-anak ialah dengan memberikan kepercayaan dan melibatkan
anak-anak dalam tugas-tugas rumah tangga. Anak-anak perlu diberi kepercayaan untuk
bertanggungjawab sendiri atas tugas yang sudah diberikan kepadanya. Tugas semacam itu
sangat penting bagi perkembangan diri anak; khususnya yang menyangkut kepercayaan diri
dan kebutuhan untuk dihargai atau dilibatkan dalam keluarga. Sehubungan dengan
pentingnyaketerlibatan anak dalam tugas-tugas keluarga, beberapa hal ini perlu diperhatikan
yakni sebagai berikut.

1) Perlunya prinsip subsidiaritas. Orangtua yang mempercayakan sesuatu tugas


rumah tangga, misalnya: mengatur tempat tidur, membersikan ruangan,
mencuci piring, membayar rekening listrik, harus sadar dan sabar bahwa anak-
anak itu belum orang dewasa. Orangtua sering menuntut bahwa pekerjaan itu
harus diselesaikan dengan sempurna, sehingga kalau hasilnya tidak maksimal
orangtua jadi marah. Tujuan utama pemberian tugas itu ialah disamping
melatih anak bertanggungjawab, juga untuk membina relasi yang baik dengan
orangtua. Latihan tanggungjawab adalah lebih penting daripada hasilnya.
Maka tanggungjawab yang sudah dipercayakan kepada anak tidak perlu
dicampuri oleh orangtua, itulah prinsip subsidiaritas. Mungkin dalam

7|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


mengatur tempat tidur kurang rapi, dalam mencuci piring kurang bersih, tetapi
tidak perlu langsung dimarahi dan tidak dipercaya lagi untuk membuat tugas
itu.
2) Jangan memberi tanggungjawab terlalu berat. Dalam situasi hidup keluarga
tertentu, sering tanggungjawab anak terlalu berat. Anak-anak tidak hanya
dilibatkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, melainkan diminta
untuk mencari nafkah. Anak-anak menjadi cepat dewasa secara psikologis
melebihi usia biologisnya karena sudah harus memikirkan hal-hal yang
menjadi tanggungjawab orang dewasa. Terlebih lagi anak-anak kehilangan
pengalaman masa kecil yang menyenangkan karena beban yang terlalu berat
dalam pekerjaan. Sayangnya, ini menjadi pengalaman begitu banyak anak dari
keluarga miskin yang jumlahnya tidak sedikit.
3) Jangan memberi tanggungjawab terlalu ringan. Dalam situasi keluarga
lainnya, anak-anak sering terlalu dimanja sehingga tidak ada kesempatan
untuk melatih diri di bidang tanggung jawab. Keluarga yang mampu sering
tidak membiarkan anak-anaknya melakukan pekerjaan rumah karena sudah
ada banyak pembantu. Dari segi pembinaan anak, hal tersebut tidak terlalu
membantu. Orangtua yang secara ekonomis mampu pun tidak boleh
memanjakan anak-anaknya. Perlu pula mereka melatih anak-anak untuk
bertanggungjawab.

Keluarga Kristen ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja, yang mendengarkan
sabda Allah dengan khidmat serta mewartakannya penuh kepercayaan2. Begitulah keluarga
Kristen menjalankan peranan kenabiannya dengan menyambut setulus hati serta menyiarkan
sabda Allah. Keluarga dari hari ke hari makin berkembang sebagai persekutuan yang beriman
dan mewartakan Injil. Suami-istri dan orangtua Kristen diminta mempersembahkan
“kepatuhan iman”3. Mereka diharapkan menyambut sepenuh hati sabda Tuhan, yang
menyingkapkan kepada mereka warta yang mengagumkan – Kabar Gembira – tentang hidup
mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, yang dikuduskan dan dijadikan sumber kekudusan
oleh Kristus sendlri. Hanya dalam imanlah mereka mampu menemukan serta mengagumi
penuh rasa syukur dan gembira keunggulan martabat, yang berkat kemurahan Allah
dianugerahkan kepada pernikahan dan keluarga, dengan menjadikannya lambang serta tempat

2
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi, art.1
3
Rom 16:26.

8|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


pertemuan perjanjian cinta kasih antara Allah dan manusia, antara Yesus Kristus dan Gereja
Mempelai-Nya.4

Masa persiapan pernikahan Kristen sendiri sudah merupakan perjalanan iman. Bagi
pasangan yang bertunangan masa itu membuka peluang khusus untuk menggali dan
memperdalam iman yang mereka terima pada saat Baptis dan dikembangkan melalui
pendidikan Kristen. Begitulah mereka mulai mengakui serta menerima dengan bebas
panggilan mereka untuk mengikuti Kristus dan membaktikan diri bagi Kerajaan Allah dalam
status hidup menikah. Perayaan Sakramen Pernikahan merupakan saat yang penting sekali
bagi iman suami-istri. Pada hakikatnya Sakramen itu mewartakan dalam Gereja Warta
Gembira tentang cinta kasih suami-istri. Itulah sabda Allah, yang “menyingkapkan” dan
“memenuhi” Rencana Allah yang bijaksana dan penuh kasih mengenai suami- istri, dan
memungkinkan mereka ikut serta secara misterius dan nyata dalam cinta kasih Allah sendiri
terhadap umat manusia. Karena perayaan sakramental pernikahan sendiri ialah pewartaan
sabda Allah, maka harus berupa “pengikraran iman” juga di dalam dan bersama Gereja
sebagai persekutuan iman, pada pihak semua saja, yang dengan berbagai cara ikut
merayakannya. Pengikraran iman itu perlu tetap dilangsungkan dalam kehidupan suami-istri
beserta keluarga mereka. Allah, yang memanggil pasangan ke arah pernikahan, tetap
memanggil mereka di dalam pernikahan5. Di tengah dan melalui peristiwa-peristiwa,
masalah-masalah, kesulitan-kesulitan dan kenyataan-kenyataan hidup sehari-hari, Allah
mengunjungi mereka, sambil mengungkapkan dan mengajukan “syarat-syarat” konkret bagi
partisipasi mereka dalam cinta kasih Kristus terhadap Gereja-Nya dalam keluarga tertentu,
dalam situasi sosial dan gerejawi, yang tengah mereka alami. Penemuan Rencana Allah serta
kepatuhan terhadapnya pada pihak persekutuan nikah dan keluarga harus berlangsung dalam
“kebersamaan”, melalui pengalaman manusiawi cinta kasih antara suami dan istri, antara
orangtua dan anak-anak, serta harus dihayati dalam Roh Kristus. Begitulah Gereja rumah
tangga yang kecil, seperti Gereja yang lebih besar, perlu terus menerus dan secara intensif
diwartai Injil. Itulah dasar kewajibannya mengenai pendidikan terus menerus dalam iman.

Keluarga Kristen menjadi persekutuan pewarta Injil, sejauh menerima Warta Gembira
dan makin matang imannya. Mari didengarkan lagi ungkapan Paus Paulus VI: “Keluarga,
seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan, dan Injil memancarkan sinarnya. Dalam
keluarga, yang menyadari misi itu, semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan Injil.
Orangtua tidak sekadar menyampaikan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan dari anak-

4
Bdk. Familiaris Consortio tentang Keluarga Kristen sebagai Persekutuan yang Beriman dan Mewartakan Injil,
hlm. 81.
5
Bdk. PAUS PAULUS VI, Ensiklik “Humanae Vitae”, 25: AAS 60 (1968) hlm.498.

9|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


anak mereka sendiri mereka dapat menerima Injil itu juga, dalam bentuk penghayatan mereka
yang mendalam. Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta Injil bagi banyak keluarga lain, dan
bagi lingkungan kediamannya”6. Seperti diungkapkan ulang oleh Sinode, dan sambil
mengangkat lagi apa yang kami serukan di Puebla, masa depan pewartaan Injil sebagian besar
tergantung dari Gereja rumah tangga7. Misi kerasulan keluarga itu berakar dalam Baptis, dan
beroleh dari rahmat Sakramen Pernikahan kekuatan baru untuk menyalurkan iman, untuk
menguduskan dan merombak masyarakat kita sekarang menurut Rancangan Allah.
Khususnya pada zaman sekarang ini keluarga Kristen menerima panggilan istimewa untuk
memberi kesaksian tentang perjanjian Paska Kristus dengan tiada hentinya memancarkan
kegembiraan cinta kasih serta pastinya harapan, yang harus dipertanggungjawabkannya:
“Dengan lantang keluarga Kristen menyiarkan baik keutamaan-keutamaan Kerajaan Allah
untuk masa kini, maupun harapan akan hidup bahagia di masa mendatang”8.

Paus Santo Yohanes Paulus II memberikan perhatian khusus kepada keluarga dalam
katekesenya tentang kasih manusia dan teologi tubuh. Pada kedua hal tersebut ia telah
memberikan kepada Gereja kekayaan refleksi tentang makna perkawinan tubuh manusia dan
rencana Allah terhadap perkawinan dan keluarga sejak awal mula penciptaan. Khususnya,
dengan membicarakan kasih suami istri, ia menjelaskan bagaimana pasangan suami istri,
dalam cinta kasih mereka satu sama lain, menerima karunia Roh Kristus dan menghayati
panggilan mereka menuju kekudusan. Dalam Surat kepada Keluarga Gratissimam Sane dan
khususnya dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II menunjuk
keluarga sebagai “jalan Gereja.” Ia juga memberikan pandangan umum panggilan laki-laki
dan perempuan kepada cinta kasih dan mengajukan pedoman dasar untuk reksa pastoral
keluarga dan kehadiran keluarga dalam masyarakat. “Dalam pernikahan dan keluarga
dibentuk suatu kompleks hubungan-hubungan antarpribadi – hidup sebagai suami istri,
kebapaan dan keibuan, hubungan dengan anak dan persaudaraan. Melalui relasi-relasi itu
setiap anggota diintegrasikan ke dalam „keluarga manusia‟ dan „keluarga Allah‟, yakni
Gereja”.9

Paus Fransiskus, dalam ensiklik Lumen Fidei, menyebutkan kaitan antara keluarga
dan iman: “Tempat pertama di mana iman menerangi kota kediaman manusia adalah
keluarga. Saya berpikir pertama-tama dan terutama tentang kesatuan stabil antara laki-laki
dan perempuan dalam perkawinan; Menjanjikan cinta untuk selama-lamanya dimungkinkan

6
Anjuran Apostolik “Evangelii Nuntiandi”, 71: AAS 68 (1976) hlm.6061.
7
Bdk. Amanat kepada Sidang Umum III para Uskup Amerika Latin (tg1.28 Januari 1979), IV a: AAS 71 (1979),
hlm.204.
8
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.35.
9
Bdk. Anjuran Apostolik “Familiaris Consortio” 15.

10 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
bila kita memahami rencana yang lebih besar daripada gagasan dan upaya-upaya kita”10.
Dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, paus mengingatkan sentralitas keluarga di
antara berbagai tantangan budaya saat ini: “Keluarga sedang mengalami krisis budaya yang
luar biasa, sebagaimana halnya dengan semua ikatan komunitas dan sosial. Dalam kasus
keluarga, melunturnya ikatan-ikatan ini sungguh serius karena keluarga adalah sel dasar
masyarakat, di mana kita, meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dan menjadi
milik satu sama lain; keluarga juga merupakan tempat di mana orangtua mewariskan iman
kepada anak-anak mereka. Perkawinan masa kini cenderung dipandang sebagai bentuk
kepuasan emosional belaka yang dapat dibangun atau diubah sekehendaknya sendiri. Tetapi
sumbangan berharga perkawinan terhadap masyarakat melampaui perasaan dan kebutuhan-
kebutuhan sesaat pasangan”.11

Berkaitan dengan krisis yang disampaikan oleh Paus Fransiskus mengenai keluarga itu
mungkin menjadi seruan kepada keluarga pada masa sekarang. Keluarga pada masa modern
ditambah dengan wabah pandemic Covid-19 ini sangat harus memperhatikan kesatuan dan
semangat dalam iman akan Kristus yang telah lama dijaga, dirawat dan dikembangkan sejak
dulu. Iman yang didasari cinta kasih haruslah membawa kegembiraan dan manfaat yang
secara konkret kepada keluarga. Keluarga yang hidupnya senantiasa didasarkan atas iman,
pengharapan dan kasih benar-benar menjadi keluarga yang bersatu dan mewujudkan
persatuan dalam kesatuan dengan Kristus. Oleh sebab itu, krisis yang terjadi akibat wabah ini
bukan membuat persatuan keluarga menjadi kendor tetapi menjadi kuat dan bahu-membahu
selalu mengusahakan kesejahteraan bersama. Walau kenyataannya masih ada yang secara
ekonomi tak memadai, miskin, terlantar dan korban PHK yang juga merupakan hasil dari
wabah ini namun, hal itu sebenarnya bukanlah suatu musibah atau beban melainkan menjadi
satu bentuk cara Tuhan untuk mengingatkan agar terus berjuang dan kuat dalam menjalani
hidup dan memperjuangkan kesejahteraan keluarga. Maka, keluarga dalam tantangan pastoral
masa ini harus lebih kreatif, inovatif dan tulus dalam menjalankan semua hal termasuk dalam
relasi dengan sesame. Dengan demikian, keluarga sungguh menjadi persatuan akan iman yang
wujud tindakannya nyata dan jelas serta terarah pada Tuhan sendiri.

Sanggar suci Gereja dalam rumah tangga Pewartaan Injil serta penerimaannya dalam
iman mencapai kepenuhannya dalam perayaan Sakramen-Sakramen. Gereja, yakni
persekutuan yang beriman dan mewartakan Injil, sekaligus ialah umat rajawi, yang
dianugerahi martabat serta partisipasi dalam kuasa Kristus Sang Imam Agung Perjanjian Baru

10
Bdk. Ensiklik “Lumen Fidei” 52.
11
Bdk. Seruan Apostolik “Evangelii Gaudium” 66.

11 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
dan Kekal12. Keluarga Kristen pun tergolong dalam umat rajawi itu, yakni Gereja. Melalui
Sakramen Pernikahan, yang merupakan akar serta sumber pertumbuhannya, keluarga Kristen
terus menerus dihidupkan oleh Tuhan Yesus, serta dipanggil dan dilibatkan-Nya dalam dialog
dengan Allah melalui Sakramen-Sakramen, melalui pengorbanan hidup, dan melalui doa.
Itulah peranan sebagai imam, yang dapat dan harus dijalankan oleh keluarga Kristen dalam
persekutuan eratdengan Gereja semesta, melalui kenyataan-kenyataan sehari-hari yang
dialami dalam hidup pernikahan dan keluarga. Begitulah keluarga Kristen dipanggil untuk
dikuduskan dan untuk menguduskan jemaat gerejawi serta dunia.

Dari semuahal itu, harus juga melihat dasar biblis dan hubungan antara iman dan
keluarga. Dalam perjalanan Abraham menuju ke kota kediaman masa depan, surat kepada
orang-orang Ibrani menyebut tentang berkat yang diberikan para ayah kepada para putra (lih.
Ibr. 11:20-21). Tempat pertama di mana iman menerangi kota kediaman manusia adalah
keluarga. Saya berpikir pertama-tama dan terutama tentang kesatuan stabil antara laki-laki
dan perempuan dalam perkawinan. Kesatuan tersebut lahir dari cinta kasih mereka, sebagai
tanda dan kehadiran kasih Allah sendiri, serta pengakuan dan penerimaan akan kebaikan
perbedaan seksual, yang dengannya pasangan dapat menjadi satu tubuh (lih. Kej. 2:24), dan
mampu melahirkan kehidupan baru, suatu perwujudan kebaikan, kebijaksanaan serta rencana
kasih Sang Pencipta. Berlandaskan cinta kasih ini, laki-laki dan perempuan dapat saling
menjanjikan kasih timbal-balik dalam suatu tanda yang melibatkan hidup mereka seluruhnya
dan mencerminkan banyak ciri iman. Menjanjikan cinta untuk selamalamanya dimungkinkan
bila kita memahami rencana yang lebih besar daripada gagasan dan upaya-upaya kita, suatu
rencana yang menopang kita dan memampukan kita untuk menyerahkan masa depan kita
secara penuh pada seseorang yang kita cintai. Iman juga membantu kita untuk memahami
dalam segala kedalaman dan kekayaannya dalam melahirkan keturunan, sebagai suatu tanda
kasih Sang Pencipta yang mempercayakan misteri pribadi baru kepada kita. Demikianlah
yang terjadi pada Sara, dengan iman, menjadi seorang ibu, sebab dia percaya pada kesetiaan
Allah akan janji-Nya (lih. Ibr. 11:11).13

Dalam keluarga, iman mengiringi setiap masa kehidupan, mulai sejak masa kanak-
kanak: anak-anak belajar untuk percaya pada kasih orangtua mereka. Itulah mengapa begitu
penting bahwa dalam keluarga-keluarga mereka para orangtua mendorong adanya saling
berbagi pengalaman iman, yang dapat membantu anak-anak secara bertahap menjadi dewasa
dalam iman mereka. Orang-orang muda khususnya, yang melewati masa-masa hidup mereka
yang begitu kompleks, kaya dan penting bagi hidup iman mereka, perlu merasakan adanya
12
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.39.
13
Bdk.Ensiklik “Lumen Fidei” art. 52.

12 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
kedekatan dan dukungan terus-menerus dari keluarga-keluarga mereka serta Gereja dalam
peziarahan iman mereka. Kita telah melihatnya, selama Hari Kaum Muda Sedunia,
kegembiraan yang ditunjukkan oleh orang-orang muda dalam iman mereka serta dalam hasrat
mereka akan kehidupan iman yang semakin lebih kuat dan murah hati. Orang-orang muda
ingin menghayati kehidupan mereka sampai pada kepenuhannya. Dengan menjumpai Kristus,
dengan membiarkan diri mereka dipeluk dan dituntun oleh kasih-Nya, memperluas cakrawala
kehidupan, memberinya harapan kokoh yang tidak akan mengecewakan. Iman bukanlah
tempat pengungsian bagi para pengecut, namun sesuatu yang menumbuhkan kehidupan kita.
Iman menjadikan kita sadar akan panggilan yang agung, panggilan kasih. Iman meyakinkan
kita bahwa kasih tersebut dapat dipercaya dan pantas diterima, sebab iman berakar pada
kesetiaan Allah yang lebih kuat daripada setiap kelemahan kita. Inilah yang menjadi dasar
pastoral dari keluarga. Dengan demikian, keluarga benar-benar menjadi persekutuan yang
memancarkan persatuan dan kesatuan dalam iman akan Allah Tritunggal Mahakudus yang
Esa dan tak terbagi.

2. Keluarga sebagai Rumah Doa (Liturgia)

Dalam pengalaman konkret dari keluarga saya yang diceritakan langsung oleh
ayah,ibu dan adik-adik saya bahwa selama pandemic yang pernah sebelum Gereja di buka
untuk umum, juga jaringan internet di daerah saya yang terkadang mengalami gangguan
sehingga membuat misa online tak bisa diikuti, maka orangtua saya mengambil inisiatif
mengadakan ibadat sabda bersama setiap minggu dan hari raya begitu pula dengan doa rosario
yang biasanya diadakan berbasis wilayah rohani bersama umat namun, kini bersama anggota
keluarga batih. Hal ini menjadi jelas bahwa praktek hidup doa di masa pandemic ini ada
kemungkinan meningkat da nada pula yang mengalami krisis iman karena tidak adanya
pelayanan klerus maupun pelayan luarbiasa dari Gereja. Namun, terlepas dari itu, keluarga
benar-benar menjadi tempat di mana hidup doa dan iman akan Tuhan dikuatkan dan
dibaharui.

Doa keluarga memiliki ciri-cirinya sendiri. Doa itu dipanjatkan bersama: suami dan
istri bersama-sama, orangtua dan anak-anak bersama-sama. Persekutuan dalam doa sekaligus
merupakan konsekuensi dan persyaratan persekutuan, yang dikurniakan melalui Sakramen
Baptis dan Pernikahan. Kata-kata, yang mengungkapkan janji Tuhan Yesus bahwa Ia akan
hadir, dapat diterapkan pada para anggota keluarga Kristen secara khas: “Aku berkata
kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga,
permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di surga. Sebab di mana dua atau

13 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”14. Bahan
khusus bagi doa dalam keluarga ialah kehidupan keluarga itu sendiri, yang dalam segala
situasinya yang silihberganti dipandang sebagai panggilan dari Allah dan dihayati sebagai
tanggapan manusia selaku putera atau puteri-Nya terhadap panggilan-Nya. Suka maupun
duka, harapan dan kekecewaan, kelahiran anak dan ulang tahun, ulang tahun pernikahan
orangtua, keberangkatan, perpisahan dan pulangnya anggota, keputusankeputusan yang
penting dan berjangkauan jauh, kematian mereka yang sangat dicinta, dan sebagainya, –
semuanya itu menandai campurtangan Allah yang penuh kasih dalam riwayat keluarga.
Hendaklah peristiwa-peristiwa itu dianggap sebagai saat-saat yang cocok untuk bersyukur
kepada Allah, memohon sesuatu, untuk penyerahan keluarga penuh kepercayaan ke dalam
tangan Bapa mereka bersama di surga. Martabat serta tanggung jawab keluarga Kristen selaku
Gereja rumah tangga, hanyalah dapat terwujudkan berkat bantuan Allah yang tidak pernah
berhenti, yang pasti akan diberikan bila itu dimohon dengan rendah hati dan penuh
kepercayaan dalam doa.

Karena martabat serta perutusannya, orangtua Kristen mengemban tanggung jawab


khas membina anak-anak mereka dalam doa, sambil mengajak mereka menemukan secara
berangsurangsur misteri Allah, dan berwawancara secara pribadi denganNya: “Terutama
dalam keluarga Kristen, yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen
Pernikahan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah serta ibu – seraya
mengamalkan imamat rajawi mereka – menyelami lubuk hati yang terdalam anak-anak
mereka, serta membekaskan kesan, yang tidak terhapuskan oleh peristiwa-peristiwa hidup
mereka di kemudian hari. Marilah kita dengarkan lagi seruan Paus Paulus VI kepada para
orangtua: “Ibu-ibu, benarkah anda mengajarkan doa-doa Kristen kepada anak-anak anda?
Benarkah anda, bersama dengan para imam, menyiapkan mereka untuk menyambut
Sakramen-Sakramen, yang mereka terima selagi masih muda: Sakramen Tobat, Komuni dan
Krisma? Benarkah anda mendorong mereka, kalau sedang sakit, untuk mengenangkan Kristus
yang menderita sengsara, untuk memohon pertolongan kepada Santa Perawan Maria dan para
kudus? Apakah anda bersama mendoakan Rosario keluarga? Dan anda, bapak-bapak,
benarkah anda berdoa bersama dengan anakanak anda, dengan seluruh keluarga, setidak-
tidaknya kadang- kadang? Contoh kejujuran anda dalam pikiran maupun perbuatan, berpadu
dengan doa bersama, menjadi pelajaran untuk hidup, tindakan ibadat yang bernilai istimewa.

14
Mat 18:20

14 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Itulah cara anda membawa damai ke dalam rumah tangga anda: ‘Pax huic domur’, semoga
damai turun di atas rumah ini! Ingat, begitulah anda membangun Gereja”15.

Doa liturgis dan doa pribadi Ada ikatan yang mendalam dan penting sekali antara doa
Gereja dan doa orang beriman perorangan, seperti telah dinyatakan dengan jelas oleh Konsili
Vatikan II16. Suatu tujuan penting bagi doa Gereja rumah tangga ialah: mengantarkan anak-
anak dengan cara yang lazim kepada doa liturgis seluruh Gereja, baik dalam arti menyiapkan
mereka untuknya, maupun dalam arti memperluasnya ke lingkup kehidupan pribadi, keluarga
dan masyarakat. Oleh karena itu perlulah semua anggota keluarga Kristen secara berangsur-
angsur ikut serta dalam perayaan Ekaristi Suci, khususnya pada hari Minggu dan hari-hari
raya, begitu pula dalam perayaan Sakramen-Sakramen lainnya, khususnya
SakramenSakramen inisiasi Kristen bagi anak-anak. Pedoman-pedoman Konsili membuka
kemungkinan baru bagi keluarga Kristen, ketika mencantumkannya pada daftar kelompok-
kelompok, yang diimbaunya untuk mendoakan bersama Ibadat Harian17. Begitu pula
hendaklah keluarga Kristen berusaha merayakan di rumah, dan dengan cara yang sesuai
dengan para anggotanya, saat-saat serta pesta-pesta tahun liturgi. Sebagai persiapan ibadat
yang dirayakan di gereja, dan sebagai kelanjutannya di rumah, keluarga Kristen
memanfaatkan doa pribadi, yang tampil dalam aneka macam bentuknya.

Kemacamragaman itu memperlihatkan kekayaan luar biasa, yang digunakan oleh Roh
Kudus untuk menghidupkan doa Kristen. Selain itu juga menanggapi pelbagai kebutuhan
serta situasi hidup mereka, yang menghadap Tuhan dalam doa. Kecuali doa pagi dan doa
malam, berbagai bentuk doa selayaknya mendapat dukungan yang jelas, menurut petunjuk-
petunjuk para Bapa Sinode, misalnya: membaca dan merenungkan sabda Allah, menyiapkan
penerimaan SakramenSakramen, devosi dan persembahan kepada Hati Kudus Yesus, berbagai
bentuk kebaktian kepada Santa Perawan Maria, doa sebelum dan sesudah makan, dan praktik
devosi-devosi umat. Seraya menghormati kebebasan putera-puteri Allah, Gereja di masa
lampau selalu dengan perhatian serta dorongan yang khas menyajikan praktik-praktik devosi
tertentu kepada umat beriman. Di antaranya layak disebutkan doa Rosario: “Untuk
melanjutkan gagasan para pendahulu kami, sekarang kami ingin menganjurkan dengan sangat
supaya keluarga berdoa Rosario ... Pantang diragukan, bahwa ... Rosario layak dipandang
termasuk doa bersama yang terbaik dan paling efektif, yang keluarga Kristen dihimbau untuk
mendoakan. Kami suka berpikir dan dengan tulus mengharapkan, bahwa bila pertemuan
keluarga menjadi saat doa, Rosario merupakan cara berdoa yang kerap digunakan dan

15
Amanat pada audiensi umum, tgl.11 Agustus 1976: “Insegnamenti di Paolo VI”, XIV (1976) hlm.640.
16
Bdk. Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” tentang Liturgi, art.12.
17
Bdk. “Institutio Generalis de liturgia Horarum” (Peraturan umum untuk Ibadat Harian), 27.

15 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
memang disukai”18. Demikianlah devosi autentik kepada Santa Maria, yang diungkapkan
dalam cinta kasih yang tulus dan usaha sungguh suka rela untuk meneladan sikap rohani
Santa Perawan Maria, merupakan suatu upaya khusus untuk memantapkan persekutuan penuh
kasih dalam keluarga, dan untuk mengembangkan spiritualitas pernikahan dan keluarga.
Sebab Maria, Bunda Kristus dan Bunda Gereja, secara istimewa menjadi Bunda keluarga-
keluarga Kristen, Gereja-Gereja rumah tangga.

Doa dan kenyataan hidup Jangan pernah dilupakan, bahwa doa merupakan unsur
pokok kehidupan Kristen, ditinjau dari kepenuhannya dan sitat sentralnya. Memang doa itu
bagian sungguh penting dalam kemanusiaan kita sendiri: “ungkapan pertama kenyataan batin
manusia, syarat pertama bagi kebebasan batin yang autentik”19. Doa sama sekali bukan
semacam pelarian dari kesanggupankesanggupan sehari-hari, melainkan merupakan dorongan
yang paling kuat bagi keluarga Kristen, untuk seutuhnya memikul dan memenuhi segala
tanggung jawabnya sebagai sel utama dan mendasar bagi masyarakat manusia. Begitulah
partisipasi nyata keluarga Kristen dalam kehidupan serta misi Gereja berada dalam proporsi
langsung dengan kesetiaan serta intensifnya doa, ikatan persatuan keluarga dengan pokok
anggur yang subur, yakni Kristus Tuhan20. Kesuburan keluarga Kristen dalam pengabdiannya
yang khas terhadap pengembangan manusiawi, yang pada hakikatnya hanyalah menuju
perombakan dunia, bersumber pada persatuan nya yang hidup dengan Kristus, dimantapkan
oleh Liturgi, persembahan diri dan doa21.

Sakramen Pernikahan merupakan sumber istimewa dan upaya yang asli bagi
pengudusan suami-istri maupun keluarga Kristen. Pernikahan itu mengangkat lagi serta
mengkhususkan rahmat pengudusan Baptis. Berkat misteri wafat dan kebangkitan Kristus,
yang karena pernikahan suami-istri ikut menghayati secara baru, cinta kasih mereka
dimurnikan dan dikuduskan: “Cinta kasih itu oleh Tuhan dipandang layak dianugerahi kurnia-
kurnia khusus, anugerahanugerah rahmat dan cinta kasih yang menyembuhkan,
menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu”22.

Karunia Yesus Kristus tidak tuntas dilimpahkan dalam perayaan Sakramen Pernikahan
sendiri, melainkan menyertai suami-istri seumur hidup mereka. Hal itu secara eksplisit
18
PAUS PAULUS VI, Anjuran Apostolik “Marialis Cultus” (tentang devosi kepada S. Maria), 52, 54: AAS 66
(1974) hlm.160-161.
19
PAUS YOHANES PAULUS II, Amanat pada tempat ziarah Mentorella (tg1.29 Oktober 1978): “Insegnamenti
di Giovanni Paolo II”, I (1978) hlm.78-79.
20
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekrit “Apostolicam Actuositatem” tentang Kerasulan Awam,
art.4.
21
Bdk. PAUS YOHANES PAULUS I, Amanat kepada para Uskup, yang termasuk Wilayah Pastoral XII,
Amerika Serikat (tg1.21 September 1978): AAS 70 (1978) hlm.767.
22
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes”tentang Gereja dalam Dunia
Modern. art. 49.

16 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
ditegaskan oleh Konsili Vatikan II dengan menyatakan, bahwa Yesus Kristus “tinggal
bersama mereka, sehingga – seperti la mengasihi Gereja serta menyerahkan Diri demi
keselamatannya, – begitu pula suami-istri saling mengasihi dengan kesetiaan seumur hidup
dengan saling menyerahkan diri ... Oleh karena itu suami- istri Kristen memiliki Sakramen
khas yang menguatkan mereka; mereka menerima semacam pentakdisan dalam tugas-tugas
serta martabat status hidup mereka. Berkat Sakramen itu, sementara suami-istri menunaikan
kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh
Kristus, yang memenuhi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan dan cinta kasih.
Begitulah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling pengudusan
mereka, dan karena itu bersamasama berperanserta demi kemuliaan Allah”23.

Suami-istri Kristen tercakup dalam panggilan universal untuk kesucian. Bagi mereka
panggilan itu dikhususkan oleh Sakramen yang telah mereka rayakan, dan secara konkret
diwujudkan dalam kenyataan-kenyataan yang khas bagi hidup mereka selaku suami- istri
dalam keluarga24. Dari situ timbullah rahmat serta tuntutan akan spiritualitas (corak khas
hidup rohani) suami-istri dalam keluarga, yang autentik dan mendalam. Spiritualitas itu
menimba inspirasinya dari tema-tema penciptaan, perjanjian, salib, kebangkitan, dan
lambang, yang berulang kali ditekankan oleh Sinode. Pernikahan Kristen sendiri, seperti
Sakramen-Sakramen lainnya, “yang tujuannya ialah menguduskan umat, membangun Tubuh
Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah”25, merupakan tindakan liturgis
untuk memuliakan Allah dalam Yesus Kristus dan dalam Gereja. Dengan merayakannya
suami-istri Kristen menyatakan syukur terima kasih mereka kepada Allah atas kurnia luhur
yang mereka terima, yakni: mampu menghayati dalam hidup mereka sebagai suami-istri
dalam keluarga cinta kasih Allah sendiri terhadap umat manusia, dan cinta kasih Yesus Tuhan
terhadap Gereja mempelai-Nya. Dari Sakramen suami-istri menerima anugerah serta
tanggung jawab untuk menjabarkan dalam hidup sehari-hari pengudusan yang dilimpahkan
atas diri mereka. Begitu pula Sakramen itu memberi mereka rahmat serta kewajiban moril
untuk mengubah seluruh hidup mereka menjadi “korban rohani”26. Apa yang oleh Konsili
dinyatakan tentang kaum awam berlaku juga bagi suami-istri dan orangtua Kristen, khususnya
berkenaan dengan kenyataan-kenyataan duniawi yang bersifat sementara, yang merupakan

23
FC, art. 48.
24
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art. 41.
25
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium”tentang Liturgi, art. 59
26
Bdk. 1 Ptr 2:5; KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja,
art.34.

17 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
ciri perihidup mereka: “Sebagai umat yang beribadatmenjalani hidup yang kudus di mana pun
juga, kaum awam mentakdiskan dunia sendiri kepada Allah”27.

Pernikahan dan Ekaristi Suci Peranan menguduskan, yang ada pada keluarga Kristen,
didasarkan pada Baptis dan mencapai ungkapannya yang paling luhur dalam Ekaristi dan
kehidupan keluarga Kristen, sungguh perlulah menyingkapkan ulang dan mengukuhkan
hubungan itu. Ekaristi Sucilah yang menjadi sumber pernikahan Kristen. Sebab Korban
Ekaristi menghadirkan perjanjian cinta kasih Kristus dengan Gereja, yang dimeteraikan
dengan darah-Nya di Salib28. Dalam Korban Perjanjian Baru dan Kekal itu suami-istri Kristen
menemukan sumber bagi perjanjian nikah mereka sendiri, sumber tata susunan internnya dan
pembaharuannya terus menerus. Sebagai penghadiran korban cinta kasih Kristus terhadap
Gereja, Ekaristi memancarkan cinta kasih. Dalam karunia cinta kasih melalui Ekaristi
keluarga Kristen menemukan dasar serta jiwa “persekutuan” dan “misi”-nya, yakni: dengan
ikutserta menyambut Roti Ekaristi, pelbagai anggota keluarga Kristen menjadi satu tubuh,
yang mengungkapkan dan ikutserta menghayati kesatuan Gereja yang lebih luas. Partisipasi
mereka dalam Tubuh Kristus yang “diserahkan” dan dalam Darah-Nya yang “ditumpahkan”
menjadi sumber tiada habisnya bagi dinamisme misioner-apostolis keluarga Kristen.

Sakramen Pertobatan dan Rekonsiliasi Suatu aspek hakiki dan tetap dalam peranan
pengudusan keluarga Kristen ialah menanggapi seruan untuk bertobat, yang oleh Injil
ditujukan kepada semua orang Kristen, yang tidak selalu setia terhadap “hidup baru” yang
mereka terima melalui Baptis, yang menjadikan mereka “kudus”. Keluarga Kristen pun ada
kalanyatidak setia terhadap hukum rahmat serta kekudusan berdasarkan Baptis, yang sekali
lagi diwartakan dalam Sakramen Pernikahan. Penyesalan dan pengampunan timbal-balik
dalam pangkuan keluarga Kristen, unsur begitu penting dalam hidup sehari-hari, mendapat
ungkapannya yang khas sakramental dalam Pertobatan Kristen. Dalam Ensiklik “Humanae
Vitae” Paus Paulus VI mencantumkan tentang para suami-istri: “Dan sekiranya dosa masih
juga menawan mereka, janganlah mereka putus asa, melainkan hendaklah mereka dengan
tabah dan rendah hati mempercayakan diri kepada kerahiman Allah, yang secara melimpah
dicurahkan dalam Sakramen Pertobatan”29. Perayaan Sakramen Tobat memperoleh makna
yang istimewa bagi kehidupan keluarga. Dalam iman suami-istri serta anggotaanggota
sekeluarga lainnya menemukan, bahwa dosa melanggar tidak hanya perjanjian. dengan Allah,
melainkan juga perjanjian antara suami dan istri serta persekutuan keluarga. Mereka lalu

27
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.34.
28
Bdk. Yoh 19:34
29
No. 25: AAS 60 (1968) hlm.499.

18 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
terdorong untuk berjumpa dengan Allah, yang “kaya kerahiman”30, yang melimpahkan atas
diri mereka cinta kasih-Nya, yang lebih berkuasa dari dosa31, dan yang membangun kembali
serta menyempurnakan perjanjian pernikahan maupun persekutuan keluarga.

Doa keluarga adalah tanda kesatuan yang sangat penting. Dalam berdoa bersama
keluarga mewujudkan dirinya sebagai ecclesia domestica. Doa keluarga memberikan suasana
yang baik bagi pertumbuhan rohani para anggotanya. Orangtua yang memperhatikan hal ini
telah berbuat hal yang paling tepat demi keluarganya. Pastoral keluarga perlu diarahkan oleh
visi yang mendorong keluarga untuk melakukan doa bersama. Banyak hambatan dialami oleh
keluarga untuk mewujudkan doa bersama. Penanggungjawab dan inisiatif pertama adalah
orangtua. Tetapi pada kenyataannya sering orangtua enggan melakukan hal itu. Pengaruh dari
kehidupan modern juga sering menyebabkan doa keluarga menjadi sulit. Pengaruh TV dan
pelbagai macam kegiatan menjadi bagian dari gaya hidup yang tidak memberi tempat bagi
kebiasaan doa keluarga.Dalam hal mewujudkan doa keluarga, maka sebaiknya ada bantuan
dari para pemimpin umat. Katekese keluarga perlu digalakkan untuk memberikan motivasi
dengan cara menjelaskan pentingnya menciptakan suasana doa. Beberapa hal penting yang
perlu ditegaskan untuk mewujudkan doa keluarga antara lain sebagai berikut.

Petama, Menyediakan perlengkapan Semangat doa sering kali sangat dipengaruhi


oleh suasana ruangan. Langkah pertama yang perlu dibuat ialah dengan menyediakan
perlengkapan doa. Dalam keluarga hendaknya disediakan ruangan dan perlengkapan doa:
meja dan alasnya (kain putih); tempat lilin, salib meja, patung, Kitab Suci, rosario, buku-buku
doa, buku nyanyian, bahkan bukubuku rohani dan renungan. Kalau perlengkapan doa dimiliki
oleh keluarga, maka pelaksanaan doa akan lebih terbantu. Memang sarana yang lengkap tidak
dengan sendirinya membuat orang berdoa. Namun kenyataan bahwa keluarga sudah
menyiapkan perlengkapan doa adalah pertanda baik adanya perhatian di bidang ini. Kita bisa
bertanya: orang mampu membangun rumah dengan pelbagai macam ruangan dan fasilitas,
namun sering tidak berfikir bahwa perlu ada ruang doa untuk keluarga. Dalam anggaran
belanja juga dipikirkan pelbagai macam perabot rumah tangga yang akan dibeli, namun lupa
atau tidak terpikir untuk memasukkan alatalat doa sebagai kebutuhan yang harus ada dalam
rumah. Umat terlalu sering berfikir bahwa kita akan berdoa di Gereja seminggu sekali.
Mereka beranggapan bahwa rumah bukan tempat untuk berdoa.

Kedua, Doa Harian Keluarga Ada kemungkinan bahwa gambaran tentang doa
membuat orang enggan berdoa. Doa keluarga dibayangkan sebagai kegiatan doa bersama

30
Ef 2:4.
31
Bdk. PAUS YOHANES PAULUS II, Ensiklik “Dives in Misericordia”, 13: AAS 72 (1980) hlm.1218-1219.

19 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
yang menggunakan waktu khusus semacam ibadat. Doa juga dibayangkan sebagai ungkapan
doa-doa spontan, sedangkan orang katolik tidak biasa dengan doa spontan. Gambaran doa
semacam itu membuat orang sudah malas sebelum mulai. Doa keluarga bisa dilakukan sesuai
dengan waktu-waktu kebersamaan dalam hidup keluarga itu sendiri. Misalnya doa bersama
waktu makan, doa malam sebelum masing-masing tidur atau masih ada yang mau menonton
TV. Doa malam bisa digantikan juga dengan membacakan Kitab Suci. Kalau doa harian
terlalu membosankan, bisa diatur beberapa hari saja dalam seminggu semua anggota keluarga
makan bersama dan doa bersama. Keinginan yang terlalu muluk untuk melakukan doa setiap
hari sering membuat orang justeru merasa berat sebelum mulai.

Ketiga, Doa Pada Masa-masa Khusus Gerejani. Sebagai pemberi motivasi doa,
keluarga bisa menyesuaikan diri dengan kalender liturgi Gereja. Misalnya pada bulan Mei dan
Oktober doadoa keluarga diisi dengan doa rosario.Masa Adven dan Masa Pra-paska bisa
dipakai pula untuk berdoa sesuai dengan temanya. Demikian pula masa pesta natal dan paska
bisa mewarnai doa keluarga sesuai dengan suasana pesta Gerejani itu.

Keempat, Doa Pada Kesempatan-kesempatan Khusus Keluarga Saat-saat khusus itu


misalnya hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan, saat kenaikan kelas, saat lulus ujian, saat
salah satu keluarga sakit dan sembuh dari sakit dan pelbagai macam peristiwa yang pantas
disyukuri bisa menjadi motivasi mengadakan doa keluarga. Kebiasaan merayakan pesta
ulang tahun atau ulang tahun perkawinan lebih menonjolkan pestanya. Padahal keluarga bisa
merayakannya pula dengan cara lain, yaitu dengan mensyukuri rahmat Tuhan melalui doa-doa
keluarga. Apalagi kalau keadaan ekonomi tidak memungkinkan untuk membuat pesta, doa
keluarga akan lebih menghemat dan secara rohani memiliki makna yang mendalam. Secara
pastoral kita perlu memberikan mengertian atau katekse kepada umat supaya merayakan
kehidupan atas cara lain, yaitu dengan berdoa keluarga, bukan hanya dengan berpesta saja.

3. Praktek Pendalaman Iman Keluarga (Kerygma)

Dalam situasi pandemic yang sementara terjadi di seluruh dunia maka, Iman perlu
diwartakan melalui hal-hal sederhana mulai dari dalam keluarga sendiri. Keluarga sebagai
persekutuan iman mengemban tugas untuk mewartakan iman. Keluarga perlu menjadi tempat
di mana pewartaan iman itu terjadi. Sama seperti Gereja, demikian pula keluarga bertugas
untuk mewartakan Injil.32 Tanda bahwa keluarga adalah gereja rumah maka harus ada
pewartaan Injil di dalamnya. Pewartaan injil itu harus terjadi pertama-tama di dalam keluarga
32
Dalam Engelii Nuntiandi no. 71 Paulus VI menulis, ”Berbicara tentang peranan umat dalam pewartaan Injil,
tidak mungkin mengabaikan peranan penginjilan dari keluarga. Sepanjang sejarah Gereja, keluarga dijuluki
ecclesia domestica. Itu berarti bahwa dalam setiap keluarga kristiani, sama seperti dalam Gereja, harus ada
tempat di mana Injil dipancarkan.”

20 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
itu sendiri. Dalam persekutuan hidup iman keluarga Injil perlu dibacakan dan diterangkan.
Pada saat keluarga mendengarkan injil ia menyantap perjamuan Sabda yang memberikan
makanan rohani. Dalam Familiaris Consortio no. 51, Yohanes Paulus II mengulangi ajaran
Paulus VI tentang arti keluarga mewartakan injil. ”Keluarga seperti Gereja harus menjadi
tempat injl disiarkan dan asal injil memancar. Dalam keluaraga yang menyadari tugas
perutusan itu semua anggota mewartakan injil dan diinjili. Orang tua tidak hanya
menyampaikan injil kepada anak-anak mereka, tetapi dari anakanak mereka sendiri dapat
menerima injil yang sama seperti yang mereka hayati secara mendalam”. Selanjutnya
Yohanes Paulus menambahkan bahwa dalam situasi tertentu di mana Gereja tidak dapat
secara terangterangan mewartakan injil, keluarga menjadi satu-satunya tempat di mana injil
tetap diwartakan kepada anak-anak.33 Kalau penginjilan sudah terjadi di dalam rumah, maka
pewartaan keluarga itu memancar pula kepada tetangga. Seperti gereja, keluarga menjadi
pewarta injil untuk orang lain. Bahkan keluarga yang mewartakan itu merupakan sujud gereja
yang mewartakan injil. Melalui keluargakeluarga kristiani Gereja Kristus mewartakan injil.
Tugas kerasulan keluarga itu berakat dalam sakramen baptis dan sakramen perkawinan.
Mereka mengemban tugas untuk menyiarkan iman dan mewarnai hidupmasyarakat selaras
dengan rencana Allah. Untuk dapat mewujudkan tugas pewartaan keluarga, maka sarana
perwartaan perlu disediakan. Maka, sarana tersebut yakni:

Pertama, Menyediakan Sarana Katekese Supaya keluarga menjadi tempat di mana


Sabda Allah diwartakan, maka dibutuhkan Kitab Suci. Sebagai Gereja rumah keluarga perlu
menjadi tempat di mana orang membacakan dan mendengarkan Kitab Suci. Di samping itu
diperlukan penjelasan dari sabda Tuhan tersebut. Itu berarti diperlukan pula bacaan-bacaan
rohani, buku-buku atau majalah yang berguna untuk membinaan iman. Bagi keluarga yang
taraf hidup ekonominya baik, maka saranasarana pendalaman iman seperti langganan buku,
majalah yang menambah wawasan keagaaman sangatlah penting. Kita membutuhkan awam
yang berkembang pengetahuan imannya sejajar dengan perkembangan pengetahuan di bidang
ilmu duniawi. Banyak penganut agama lain menjadi ahli imannya sendiri tidak tergantung
dari pemimpin agamanya. Umat Gereja terlalu menyerahkan hal-hal rohani kepada pemimpin
agama, sedangkan mereka sendiri tidak berusaha untuk meningkatkan pengetahuan imannya.

Kedua, Membaca dan Mendalami Kitab Suci Keluarga Secara pastoral kita boleh juga
mengharapkan bahwa keluargakeluarga mendasarkan hidup mereka atas pendalaman Kitab

33
”Di tempat-tempat perundang-udangan anti-agama berdaya upaya untuk menghalangi pendidikan iman, dan di
tempat-tempat pertumbuhan keagamaan yang nyata praktis tidak mungkin karena menyebarluasnya peri hidup
tak beriman dan masuknya sekularisme, "gereja rumah" tetap merupakan satu-satunya tempat bagi anak-anak
dan orang-orang muda untuk dapat menerima katekese yang sejati" (dikutip dari FC no. 52 dan Catechesi
Tradendae (1979), no. 68.

21 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Suci. Bapaibu berlaku sebagai katekis bagi anak-anaknya untuk mengajari mereka membaca
Kitab Suci dan mengajarkan cerita-cerita Injil sebelum tidur. Pada saat anak-anak dapat
membaca, mereka mulai memperkenalkan bacaan Kitab Suci. Kesulitan pertama untuk
melaksanakan hal yang baik ini adalah tidak adanya minat dari orang tua sendiri. Tidak
adanya minat itudisebabkan oleh banyak faktor. Misalnya karena terlalu sibuk bekerja, pulang
di rumah sudah lelah atau juga karena tidak tahu banyak tentang Kitab Suci. Namun orang tua
yang menginginkan perkembangan anaknya dalam hal mengenal Kitab Suci pastilah akan
mengusahakan supaya anakanaknya mengenal Kitab Suci.

Ketiga, Pengajaran Iman Orangtua kepada Anak-anak . Supaya keluarga menjadi


persekutuan iman yang mewartakan, maka iman keluarga itu sendiri perlu dikembangkan.
Pembinaan iman keluarga terjadi melalui pelajaran agama. Seharusnya orangtua yang sudah
lebih dahulu mengenal agamanya dapat memberikan pengetahuan agama pula kepada anak-
anaknya. Orang tua pastilah dapat memberikan keterangan sederhana mengenai pokok-pokok
ajaran iman kepada anak-anaknya. Misalnya cerita-cerita Kitab Suci yang sudah sering
mereka dengarkan bisa diceritakan kepada anak-anaknya. Apalagi pengajaran iman orangtua
kepada anak-anak juga perlu terjadi melalui kesaksian hidup. Kepercayaan kepada Allah
sebagai Bapa, misalnya, membuat orang tua baik hati dan bertindak sebagai bapa-ibu yang
penuh perhatian. Kepercayaan akan kehadiran Tuhan Yesus menyebabkan orangtua rajin
mengikuti Misa pada hari Minggu. Keyakinan akan penyertaan Bunda Maria, Ibunda Yesus,
membuat orangtua mengajar anak-anaknya untuk berdoa rosario. Apabila orangtua tidak
mampu memberikan pelajaran agama secara formal, maka mereka memang bisa meminta
tolong kepada sekolah. Di sekolah katolik atau sekolah negeri diharapkan anak-anak itu
mendapatkan pelajaran agama dari para guru agama. Namun sebaiknya pula orangtua
memperhatikan pula kemajuan anak-anaknya di bidang pengetahuan agama itu.

4. Anak dalam Karya Pelayanan (Diakonia)

Situasi pandemic dan perkembangan zaman yang terjadi saat ini menuntut keluarga
untuk bergerak secara ekstra dalam pendidikan moral anak juga dalam berbagai aspek
kehidupan. Salah satu semangat hidup atau spiritualitas kristiani adalah pelayanan (serviam).
Semangat itu dikatakan oleh Yesus sendiri, ”Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani”.(Mrk. 11:45). Pada kesempatan lain lagi Yesus mengajarkan,”
Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari
semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35). Dengan ajaran itu maka Gereja

22 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
seluruhnya dipanggil kepada pelayanan. Para anggota Gereja diharapkan untuk saling
melayani. Hal yang sama berlaku untuk gereja rumah. Proses sosialisasi yang terjadi di dalam
keluarga perlu diarahkan kepada sikap untuk melayani. Keluarga perlu menjadi tempat di
mana anak-anak belajar untuk melayani kebutuhan orang lain. Pendidikan untuk melayani
sejalan dengan visi kristiani tentang perkembangan. Perkembangan sejati seorang manusia
terletak dalam kemampuannya untuk keluar dari dirinya dan bisa melayani orang lain.
Keluarga menjadi tempat di mana suami-isteri dan anak-anak belajar untuk saling melayani.
Secara lebih konkret usaha-usaha ke arah perkembangan itu diusahakan antara lain melalui
beberapa tahap berikut ini.

Pertama, Membina Sikap Untuk Memperhatikan Orang Lain Secara alamiah anak-
anak memiliki sifat egosentris.34 Anak melihat dirinya sebagai pusat dan minta perhatian dari
semua orang di sekitarnya. Bila anak mulai berkembang, maka sifat egosentrisnya akan mulai
berkurang. Orangtua perlu mendidik anak-anak supaya belajar memperhatikan kepentingan
orang lain. Misalnya orang tua tidak terlalu memanjakan anak. Anak perlu dilatih untuk
berkorban. Anak-anak perlu dilatih bahwa mereka hidup bersama dengan orang-orang lain
yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dihormati. Anak-anak perlu belajar untuk
tidak memaksakan keinginannya sendiri saja. Memperhatikan orang lain bagi anak-anak bisa
mulai dari anggota keluarga sendiri. Misalnya dalam hal pembagian makanan perlu
memperhatikan kakak-kakaknya; atau kalau bapa sedang istirahat karena lelah pulang kerja,
anak-anak tidak boleh terlalu ribut dalam bermain. Hal memperhatikan kepentingan orang
lain yang dimulai dari keluarga, kemudian bisa dikembangkan kepada tetangga dan orang-
orang lain dalam masyarakat, sampai akhirnya anak dilatih untuk memiliki kesadaran akan
kepentingan umum. Pembinaan untuk memperhatikan orang lain mengandung pendidikan
nilai yang tinggi yaitu tanggungjawab dan pengorbanan. Kesadaran akan pentingnya
memperhatikan orang lain pada saatnya nanti dapat membuat anak-anak memiliki keberanian
dan kerelaan untuk terlibat atau berjerih lelah untuk menghidupi nilai pengorbanan itu.
Dengan cara demikian anak-anak (dan orangtuanya juga) berkembang untuk semakin keluar
dari dirinya dan menjadi manusia kristiani yang sejati.

Kedua, Membina Sikap Mandiri Kemampuan untuk melayani mengandaikan


kemampuan untuk mandiri. Hanya orang yang sudah cukup kuat dengan dirinya bisa
memperhatikan sesamanya. Tugas untuk memperhatikan orang lain tidak mungkin dilakukan
oleh orang yang masih membutuhkan banyak perhatian. Pembinaan sikap mandiri pada anak
34
Sifat egosentris tidak sama dengan egoistis. Egosentris berkaitan dengan tingkat perkembangan psikologis
seorang anak yang tidak ada kaitannya dengan penilaian moral. Artinya sifat egosentris tidak bisa dinilai buruk
secara moral. Sebaliknya, sifat egoistis adalah sikap mementingkan diri sendiri yang terjadi pada orang dewasa
dan hal ini bisa dinilai buruk secara moral.

23 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
adalah tugas yang penting bagi setiap keluarga. Dan sikap mandiri itu bisa dicapai apabila
ditumbuhkan kepercayaan diri. Dan kepercayaan diri itu muncul dari gambaran diri yang
positif. Gambaran diri anak menjadi positif atau negatif sedikit banyak dipengaruhi pula oleh
cara-cara orangtua memperlakukan anak-anak mereka. Keluarga memiliki tugas yang sangat
penting untuk menumbuhkan gambaran diri yang positif pada diri anak-anaknya. Gambaran
diri anak akan menjadi positif kalau pada umumnya anak itu merasakan pengalaman yang
baik: dicintai, diperhatikan, didukung, mendapatkan pujian dan diterima apapun keadaannya.
Namun perhatian kepada anak juga jangan sampai berlebihan sampai bisa memanjakannya.
Diperlukan keseimbangan antara memberi perhatian yang sehat dan menuntut tanggungjawab
anak juga. Gambaran diri anak akan menjadi negatif apabila ia merasakan bahwa orangtuanya
tidak menerimanya. Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki misalnya, akan bisa
merasakan hal itu di dalam hatinya. Sikap orang tua yang terlalu keras dan suka menghukum
dengan hukuman badan yang berlebihan juga bisa membuat anak-anak menjadi minder dan
trauma. Anak-anak yang sehat dan normal secara psikis pada umumnya akan berkembang
baik dalam hal kemandirian. Kalau ia mampu mencapai kemandirian yang nampak dalam
kepercayaan diri, tiadanya kehausan untuk minta perhatian secara berlebihan, kerelaan untukb
berkorban, maka anak-anak itu akan menjadi orang yang bisa melayani sesamanya.

Ketiga, Membina Sikap Pelayanan Setelah menjelaskan sedikit tentang sikap


memperhatikan orang lain dan kemandirian, kini kita membahas tema diakonia dalam
keluarga. Keluarga perlu menjadi komunitas umat beriman yang saling melayani. Keutamaan
kristiani berupa pelayanan (esse est servire) perlu dilatih dan dibiasakan sejak usia anak-anak
di dalam keluarga. Dalam surat kepada keluarga-keluarga, 2 Februari 1994, Yohanes Paulus II
menguraikan bahwa dalam hidup berkeluarga perlu pemberian diri yang tulus. Menurut Paus,
sikap untuk melayani daripada dilayani berakar pada pemberiaan diri yang tulus dari Kristus.
Paus menulis, ”Manusia tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati
memberikan dirinya. Hal itu merupakan paradoks yang indah dari keberadaan manusia:
keberadaannya ialah untuk mengabdi kebenaran dalam kasih. Kasih menyebabkan manusia
mendapatkan pemenuhan melalui pemberian diri yang tulus. Pemberian diri suami-isteri
mencakup kewajiban yang lebih serius, karena mereka telah dibeli dengan bayaran yang amat
mahal berupa pemberian yang paling tulus dari semua pemberian yang ada, Darah Kristus,
yang mereka terima lewat sakramen. Puncak liturgis dari upacara perkawinan adalah Ekaristi,
kurban berupa ”Tubuh yang telah diserahkan”dan ” Darah yang telah ditumpahkan”, yang
dalam arti tertentu diungkapkan dalam persetujuan dari suami-isteri.”35 Keluarga sebagai

35
Yohanes paulus II, Surat kepada keluarga-keluarga, 2 Februari 1994, Seri Dokumen Gerejawi No. 34. Hlm.
30.

24 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
persekutuan yang ber-diakonia perlu diwujudkan secara nyata dan bertahap sesuai dengan
perkembangan para anggotanya, baik suami-isteri maupun anak-anak. Dalam pelbagai tahap
kehidupan mereka perlu mengusahakan sikap-sikap untuk saling membantu dan melayani
dalam kehidupan bersama. Secara psikologis usaha saling melayani dalam keluarga akan
menciptakan perkembangan psikis yang sehat. Anak-anak akan merasa bahwa hidup bersama
itu menyenangkan karena bisa saling menolong. Secara sosial, praktek diakonia dalam
keluarga menyiapkan anak-anak untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi orang
banyak.

5. Keluarga sebagai Kesaksian Iman (Martyria)

Gereja, umat yang bersitat kenabian, imamat dan rajawi, diserahi perutusan
mengundang semua orang untuk menerima sabda Allah dalam iman, untuk merayakan serta
mengikrarkannya dalam Sakramen-Sakramen dan dalam doa, serta untuk mewujudkannya
dalam kenyataan-kenyataan hidup konkret selaras dengan karunia serta perintah baru cinta
kasih.

Hukum kehidupan Kristen terdapat bukan dalam bentuk tertulis, melainkan dalam
karya pribadi Roh Kudus, yang mengilhami serta membimbing orang Kristen. Itulah “hukum
Roh kehidupan dalam Kristus Yesus”36. “Cinta kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati
kita melalui Roh Kudus, yang telah dikurniakan kepada kita”37.

Begitulah keluarga Kristen diilhami dan dibimbing oleh hukum baru Roh Kudus, dan
– dalam persekutuan yang erat sekali dengan Gereja umat rajawi – dipanggil untuk
mengamalkan “pengabdiannya” dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesamanya
manusia. Seperti Kristus sendiri menjalankan kekuasaan rajawi-Nya dengan melayani kita38,
begitu pula orang Kristen menemukan makna autentik partisipasinya dalam martabat raja
Tuhannya dengan berbagi semangatnya serta pelaksanaan pengabdiannya kepada sesama.
“Kuasa itu oleh Kristus disalurkan kepada para murid, supaya mereka pun diangkat ke dalam
kebebasan rajawi, dan dengan mengingkari diri serta hidup suci mengalahkan kerajaan dosa
dalam diri mereka sendiri (lih. Rom 6:12); bahkan supaya mereka melayani Kristus juga
dalam sesama, dan dengan demikian dengan rendah hati dan kesabaran mengantarkan
saudara-saudara mereka kepada Sang Raja; mengabdi kepada-Nya berarti memerintah. Sebab
Tuhan ingin memperluas kerajaan-Nya juga melalui kaum beriman awam, yakni kerajaan
kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan

36
Rom 8:2.
37
Rom 5:5.
38
Bdk. Mrk 10:45.

25 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
damai. Dalam kerajaan itu makhluk akan dibebaskan dari perbudakan kebinasaan, dan
memasuki kebebasan kemuliaan anak-anak Allah (Iih. Rom 8:21)”39.

Iman dalam keluarga sebagai Gereja rumah yang mewarnai cara hidup para
anggotanya bisa menjadi kesaksian iman bagi lingkungan sekitar. Keberadaan keluarga
kristiani di tengah masyarakat hendaknya menjadi tanda hadirnya kebaikan dan kasih yang
mendasari semangat Injil. Saya kutipkan proposisi no. 30 Sinode Para Uskup di Roma dengan
tema Peranan Keluarga Kristiani dalam dunia modern. Laporan tentang hasil sinode itu dibuat
oleh Jan Grootears dan Joseph A. Selling dalam buku mereka yang berjudul, ”The 1980 Synod
of Bishops On the role of the Family, (Leuven, 1983). Pada hlm. 148 bicara misalnya tentang
Social and Cultural Role of the Family dan pada hlm. 311 bicara tentang Role of the Family
According to Familiaris Consortio. Beberapa butir pemikiran yang diangkat antara lain
sebagai berikut.

Pertama, Oleh karena keluarga membentuk sel-sel pertama dari masyarakat yang
kepadanya keluarga-keluaga itu tetap disatukan dalam hubungan vital secara organik, maka
keluarga tetaplah harus terbuka bagi keluargakeluarga lainnya dan bagi masyarakat. Keluarga
tidak boleh tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan harus terbuka bagi masyarakat agar
terbentuklah suatu budaya cinta (a civilization of love).

Kedua, Tugas utama seluruh keluarga manusia adalah membangun dunia ini untuk
menjadi tempat di mana hidup manusia dalam arti yang sesungguhnya dapat diwujudkan.
Keluarga adalah wahana pemanusiaan (the vehicle of humanization and personalization) yang
memiliki kewibawaan dan kuasa paling besar dalam menyalurkan nilainilai budaya.

Ketiga, Relasi antar person dalam keluarga menciptakan kondisi yang memungkinkan
bagi terciptanya dan bertumbuhnya semangat dialog dan hormat pada orang lain. Kebiasaan
untuk mempraktekkan keterlibatan atau partisipasi dalam kehidupan rumah tangga serta sikap
solider dengan saudara-saudari yang dipelajari di dalam rumah merupakan fondasi yang
kokoh untuk kehidupan bersama dalam masyarakat manusia pada umumnya.

Keempat, Peranan khas keluarga-keluarga pertama-tama harus dicari dalam hal


mengedepankan keyakinan etik dan nilai moral yang bisa mempengaruhi para pembuat
keputusan untuk lebih mewujudkan keadilan dan ketertiban dalam kehidupan bersama
sehingga setiap orang dimungkinkan untuk hidup secara layak dan bermartabat.

39
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.36.

26 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Kelima, Relasi antara negara dan keluarga perlu dilandasi dan diarahkan oleh prinsip
subsidiaritas sehingga negara tidak boleh mencampuri urusan intern keluarga-keluarga
(misalnya dalam hal: sterelisasi, aborsi dan kontrasepsi). Negara bahkan perlu mengusahakan
agar keluargakeluarga mampu menjalankan peranannya yang khas secara bebas. Keluarga-
keluarga kristiani dapat pula membentuk organisasi internasional dalam asosiasi atau
perkumpulan yang memperjuangkan kasih, kebenaran, keadilan dan kebebasan.

Dokumen Sinode para Uskup itu masih menambahkan lagi peranan keluarga dalam
karya misi Gereja. Dalam proposisi no. 34 antara lain dikatakan bahwa masa depan
evangelisasi secara luas tergantung dari Gereja Rumah. Tugas misioner keluarga berdasar
pada permandian dan menerima kekuatan baru dalam sakramen perkawinan. Sakramen itu
memberikan iman dan membentuk pengudusan supaya keluarga hidup sesuai dengan rencana
Allah. Keluarga perlu mendidik anak-anak supaya terbuka untuk menerima panggilan Allah.
Keluarga perlu terbuka bagi nilainilai transenden dan berkanjang dalam kegembiraan
pelayanan bagi sesama.

Conclution

Keluarga Kristen dipanggil untuk secara aktif dan bertanggung jawab ikut serta
menjalankan perutusan Gereja dengan cara yang asli dan istimewa, dengan membawakan diri
– dalam kenyataan maupun kegiatannya – sebagai “persekutuan mesra kehidupan dan cinta
kasih”, dalam pengabdian kepada Gereja dan masyarakat. Keluarga Kristen itu rukun hidup,
tempat hubunganhubungan diperbaharui oleh Kristus melalui iman dan Sakramensakramen.
Maka peranserta keluarga dalam misi Gereja harus mengikuti pola persekutuan. Hendaklah
suami-istri serentak sebagai pasangan, orangtua beserta anak-anak selaku keluarga,
menghayati pengabdian mereka kepada Gereja dan dunia. Mereka harus “sehatisejiwa”40
dalam iman, dengan semangat merasul bersama yang menjiwai mereka, dan melalui
kesanggupan mereka bersama untuk menjalankan karya-kegiatan pengabdian dalam jemaat
gerejawi maupun masyarakat sipil. Selain itu keluarga Kristen membangun Kerajaan Allah
dalam sejarah melalui kenyataan sehari-hari, yang berkaitan dengan status hidupnya serta
termasuk kekhasannya. Dengan kata lain, dalam cinta kasih antara suami dan istri, serta antara
para anggota keluargalah, – cinta kasih yang dihayati beserta seluruh kekayaannya yang luar
biasa berupa nilai-nilai dan tuntutantuntutannya: sifatnya sebagai keseluruhan, kesatuan,
kesetiaan serta kesuburannya41, – di situlah diungkapkan dan diwujudkan partisipasi keluarga
Kristen dalam misi kenabian, keimaman dan rajawi Yesus Kristus beserta Gereja-Nya. Oleh

40
Kis 4:32
41
Bdk. PAUS PAULUS VI, Ensiklik “Humanae Vitae”, 9: AAS 60 (1968) hlm.486- 487.

27 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
karena itu cinta kasih dan kehidupan merupakan intipati perutusan penyelamatan keluarga
Kristen dalam Gereja dan bagi Gereja. Konsili Vatikan II mengenangkan kenyataan itu ketika
menulis: “Keluarga-keluarga dengan murah hati akan berbagi kekayaan rohani mereka
dengan keluarga-keluarga lain juga. Begitulah keluarga Kristen, yang bersumber pada
pernikahan sebagai pantulan perjanjian cinta kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja-
Nya, dan sebagai partisipasi dalam perjanjian itu, akan menunjukkan kepada semua orang
kehadiran Sang Penyelamat yang nyata di dunia, sekaligus juga hakikat sejati Gereja. Itu akan
dilaksanakan oleh keluarga melalui cinta kasih timbal balik kemurahan hati, melalui
solidaritas serta kesetiaan mereka, dan dengan penuh kasih yang mewarnai kerja sama semua
anggota keluarga”42. Seusai meletakkan dasar bagi partisipasi keluarga Kristen dalam
perutusan Gereja, kini tiba saatnya menguraikan makna pokoknya dengan mengacu kepada
Yesus Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja, – tiga aspek dalam satu kenyataan, – dengan
menggambarkan keluarga Kristen: 1) sebagai persekutuan yang beriman dan mewartakan
Injil, 2) sebagai persekutuan dalam dialog dengan Allah, dan 3) sebagai persekutuan dalam
pengabdian kepada sesama.

42
Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.48.

28 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A

Anda mungkin juga menyukai