Anda di halaman 1dari 2

Kebaikan yang Benar

Pw. S. Skolastika, Prw (P). BcE Kej 3:1-8; Mzm. 32:1-2,5,6-7; Mrk 7:31-37; atau dr RUbys

Allah menjadikan segala-galanya baik adanya. Ia mencipta karena cinta-Nya. Karena


itulah, Ia menjadikan segala-galanya baik. Baik dan sesuai dengan takaran dan porsinya,
sesuai dengan karunia dan anugerah-Nya kepada setiap orang, sesuai dengan apa yang akan
Ia kerjakan atas orang itu, dan sesuai dengan kemampuan serta talenta yang kelak akan harus
setiap orang kembangkan guna menghasilkan buah yang baik bagi dirinya dan orang lain.
Baik juga pertama-tama berarti Ia menjadikan manusia menurut citra-Nya dan haruslah
manusia demikian yakni menjadi seperti Dia yang Mahabaik itu. Dengan demikian halnya
juga dengan setiap orang menjadi baik dan terbuka bagi kebaikan Tuhan. Sebab, Ia
menjadikan segala-galanya baik. Namun, apakah kita telah melakukan kebaikan yang benar
dalam hidup?

Kitab Kejadian dalam kisah penciptaan banyak kali menyebutkan kalimat ini, “Allah
melihat semuanya itu baik.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa Ia menciptakan segalanya
baik dalam kebaikan-Nya. Hal itu pula yang juga Ia lakukan kepada manusia ciptaan-Nya. Ia
menciptakan manusia itu baik adanya dengan karunia pengetahuan, hati nurani dan
kebebasan. Namun dalam perjalanannya, manusia itu terlilit oleh pilihannya sendiri demi
kemegahan dirinya hingga menjatuhkannya pada ketelanjangan diri dan bersembunyi karena
malu dengan perbuatannya. Padahal Ia diciptakan karena kebaikan dan demi kebaikannya.
Hal itulah juga dikisahkan dalam kisah penyembuhan orang tuli dan bisu dalam Injil Markus.
Pertama, orang tuli menjadi gambaran mereka yang sebenarnya mendengar tapi tak mau, tak
mampu, pura-pura tidak bisa mendengar apa yang baik dan benar demi dirinya yang
disampaikan Tuhan. Kedua, orang bisu menjadi gambaran orang yang terkekang oleh
ketidakjujuran, sikap tak mau bicara kebenaran, memilih diam dengan kejahatan, pura-pura
bisu dengan kejahatan. Alhasil, mereka tak mampu mendengar suara Tuhan dan tak mampu
membicarakan kebaikan-Nya kepada banyak orang.

Menjadi baik bukan perkara ‘saya sudah baik kepada si dia ini, yang penting saya
baik. Itu saja cukup.’ Baik sesungguhnya ialah menjadi benar karena perkataan, perbuatan
dan kesaksian hidup. Menjadi baik pula bukan sebuah perkara melukis lukisan indah dan
menaruh prasasti hidup bahwa orang ini baik. Karena terkadang, ada yang baik karena ada
maunya, ada urusan, ingin popular, mau ria, demi kemegahan diri, yang akhirnya bukan
kebaikan yang dituai melain kebohongan dan kejahatan dengan selubung kebaikan. Maka,
Sabda Tuhan, ‘Efata’ juga menjadi pesan sekaligus peringatan bahwa hendaklah kita terbuka.
Terbuka bagi Sabda Allah, terbuka bagi Kebaikan dan mampu membuka diri pada kebenaran.
Akhirnya, kita yang dulu tuli kini mampu mendengar dan akhirnya mampu berbicara
mengenai kebenaran dan kebaikan Tuhan dalam hidup kepada semua orang. Santa Skolastika
telah membaktikan hidupnya pada pewartaan dan mampu terbuka bagi kebaikan dan
kebenaran Tuhan maka, hidupnya pun menjadi tanda kebaikan Tuhan bahwa Ia menjadikan
Skolastika, salah satu saksi dan teladan bagi banyak orang tentang kebaikan dan kebenaran
kasih-Nya.

(Fr. Feighty Sandehang)

“Ia menjadikan segala-galanya baik.” (Mrk. 7: 37a)

Marilah berdoa:

Tuhan, jadikanlah aku pembawa kebaikan dan kebenaran bagi banyak orang. Amin.

Anda mungkin juga menyukai