Anda di halaman 1dari 19

TUGAS BELAJAR MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA

(DR. ALBERTUS SUJOKO, S.S., LIC. TH.)

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/III

PERTANYAAN

Jelaskanlah Pelayanan Pastoral Keluarga terhadap umat yang hidup dalam situasi khusus
seperti di bawah ini.

1. Pasangan kawin campur beda Gereja atau beda agama.


2. Pasangan yang pisah meja dan ranjang (Separatio mensis et cohabitationis).
3. Berpisah atau bercerai dan salah satu atau keduanya menikah lagi.
4. Pasangan yang menikah secara sipil saja dan belum menikah secara Gereja.
5. Pasangan yang melakukan perkawinan percobaan.
6. Pasangan yang „baku-piara’ (de facto hidup bersama).

JAWABAN

1. Beda Gereja atau Beda Agama

Cinta dapat tumbuh dan berkembang pada siapa pun dalam perkenalan dan
perjumpaan dengan siapa saja. ketertarikan yang menimbulkan cinta, jika itu berasal dari
kedua belah pihak maka, itu artinya mereka cocok. Namun, jika keduanya berbeda dalam
agama dan kepercayaan maka, itu akan menjadi permasalahan dalam hubungan keduanya.
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang menyebabkan konflik antara hak untuk
menikah dengan orang tertentu dan hak untuk memeluk agama maupun kepercayaan.
Misalnya Berta yang beragama katolik ingin menikah dengan Nyoman yang beragama
Hindu, atau Matthew yang beragama katolik ingin menikah dengan Mira yang memeluk
kepercayaan Shinto, dan sebagainya.

Pertama, Hak untuk menikah dengan orang yang dicintainya lebih diprioritaskan.
Sesuai dengan prinsip hak asasi untuk menikah bahwa orang yang ingin menikah dengan
yang satu ini, tidak boleh dihalang-halangi. Konsekuensinya ialah hak untuk memeluk
agama menjadi nomor dua. Orang rela pindah agama untuk menikah.

Kedua, Hak untuk memeluk iman lebih diutamakan. Dalam kasus ini, contohnya
Daniel yang beragama protestan ingin menikah dengan Anastasia yang beragama katolik
namun tidak diizinkan oleh orangtuanya dan akhirnya keduanya sama-sama
mempertahankan agamanaya masing-masing, sehingga demi menjaga nama baik orangtua
di masyarakat, mereka tidak jadi menikah.

Ketiga, melangsungkan perkwinan Campur. Kemungkinan mencitai orang yang beda


agama. Walaupun sulit dan tidak ideal, namun kawin campur tetap menjadi solusi bagi
kasus-kasus di mana hak untuk menikah dan hak untuk memeluk agama keduanya harus
dihargai. Kedua hak tersebut adalah hak azasi sehingga hak yang satu tidak boleh
dikorbankan demi yang lain. Ada dua jenis kawin campur atau matrimonium mixtum yaitu
matrimonia mixta religio (antara Katolik dan Protestan (beda Gereja) dan matrimonia
disparitas cultus (antara Katolik dan orang Islam, Hindu, Buddha (beda kepercayaan atau
beda iman).

Keempat, dalam Kanon 1125 menyatakan: Izin untuk kawin campur dapat diberikan
oleh Ordinaris Wilayah (Uskup) jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Alasan
semacam itu misalnya: calon nikah adalah pria dan wanita yang sudah dewasa,
berpendidikan cukup baik, matang dalam kepribadian, taat pada agama masing-masing
yang dipeluk dari kecil dalam keluarganya. Hubungan keduanya sudah cukup lama dan
usinya juga sudah tua. Untuk perkawinan campur beda Gereja disebut izin sedangkan
untuk beda agama disebut dispensasi. Izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi
syarat-syarat yakni:

Pertama, Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman


serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat
tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik.
Kedua, Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu, pihak yang lain
hendaknya diberitahu dalam persiapan perkawinan, sehingga jelas ia sungguh sadar akan
janji dan kewajiban pihak katolik.

Ketiga, Kedua belah pihak hatus diberikn penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta
sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorangpun dari
keduanya.

Terlepas dari itu, tujuan pernikahan adalah kebahagiaan suami istri, untuk melahirkan
dan mendidika anak, membangun masyarakat. Dan juga demi kesejateraan bersama yang
mana tidak ada lagi kumpul kebo dan tidak hidup bersama secara benar. Maka,
perkawinan campur dengan mengikuti ketentuan dan syarat-syarat tersebut dapat menjadi
solusi bagi pasangan yang beda agama maupun kepercayaan, maka hak untuk membentuk
keluarga melalui pernikahan yang sah dan hak memeluk agamanya dapat terealisasikan
secara seimbang.

Orang katolik yang menikah dengan orang kristen bukan katolik (beda Gereja atau
mixta religio) atau dengan orang bukan kristen (beda agama atau disparitas cultus) adalah
anggota umat yang hidup dalam keluarga dalam situasi khusus. Kekhususannya nampak
dalam hal adanya perbedaan antara suami-isteri di bidang yang sangat pribadi, yaitu soal
kepercayaan atau keyakinan iman. Kepercayaan atau iman adalah bagian yang paling
personal dan fundamental dari setiap manusia. Bagaimanapun juga seseorang menghayati
hidupnya atas dasar keyakinan-keyakinannya yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh
orang lain, termasuk pasangannya sekalipun. Secara personal, iman seseorang
menyangkut pemaknaan hidup, yakni soal cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak
seseorang. Bahkan secara psikologispun, kegembiraan atau kesedihan akan dihayati oleh
seseorang atas cara tertentu sesuai dengan keyakinan imannya. Dan secara sosial, agama
seseorang mempengaruhi dan mewarnai relasi-relasinya dengan orang lain. Sekurang-
kurangnya ia dikenal oleh masyarakat sebagai pemeluk agama tertentu. Pasangan yang
kawin campur berada dalam situasi khusus persis karena faktor yang sangat fundamental
itu. Kenyataan bahwa mereka memutuskan untuk kawin campur adalah phenomena
menarik yang pantas diperhatikan. Hal itu sekurang-kurangnya menunjuk pada dua hal.
Pertama, pasangan kawin campur adalah orang-orang yang tidak mau meninggalkan
agamanya masing-masing. Mereka bisa diandaikan sebagai orang-orang yang serius
menjalankan keyakinan agamanya. Kedua, pasangan itu adalah orang-orang yang tidak
mau mencampuradukkan antara perkawinan dan agama.

Perkawinan adalah keputusan untuk mengikat diri dengan seseorang karena cinta;
sedangkan agama adalah relasi khusus dengan Tuhan yang sudah diwarnai oleh
pendidikan dan pengalaman masa lampau. Tidak mudah bagi seseorang yang serius
dengan imannya untuk pindah ke agama lain. Agama adalah bagian dari kehidupan dan
kepribadiaan seseorang. Kalau seorang pria dan wanita bertemu dan saling mencintai
untuk kemudian mau menikah, maka mereka harus menerima pasangannya apa adanya,
termasuk keyakinannya agamanya. Keinginan untuk menikah dengan orang yang
dicintainya sebaiknya jangan dicampuradukkan dengan kemauan seseorang untuk
memeluk agama. Baik hak untuk menikah maupun hak untuk memeluk agama adalah hak
azasi. Pasangan yang memutuskan untuk kawin campur dari pada menyamakan agamanya
adalah kenyataan yang sungguh menarik. Dalam kenyataannya, perkawinan campur yang
dapat rukun dan bahagia boleh dikatakan jarang. Pasangan kawin campur yang bisa
bahagia rupanya membutuhkan kematangan psikologis, intelektual dan kedalaman iman
sehingga meskipun berbeda iman mereka dapat rukun dan bahagia. Mereka bisa saling
menerima dan menghormati tanpa bermaksud untuk memaksakan kehendak satu terhadap
yang lain. Dari pihak Gereja Katolik, perhatian pastoral terhadap keluarga kawin campur
terutama ditujukan kepada pihak katolik.

Familiaris Consortio no. 78 menyebut tiga kebutuhan pokok di bidang perhatian


pastoral: Pertama, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban iman pihak
katolik, yaitu untuk tidak meninggalkan imannya dan untuk mendidik anak-anaknya
dalam iman katolik. Dalam Kan 1125 ditetapkan,”Pihak katolik menyatakan bersedia
menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia
akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan
dididik dalam Gereja Katolik.” Kedua, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan
kesulitankesulitan khusus dalam relasi suami-isteri supaya tetap hormat pada kebebasan
beragama. Kebebasan beragama dilanggar apabila ada tekanan tidak wajar supaya
pasangan meninggalkan imannya. Kebebasan beragama juga dilanggar apabila
pengungkapan iman dalam ibadat-ibadat dihalanghalangi. Ketiga, menyangkut bentuk
liturgis dan kanonis perayaan kawin campur. Prinsipn yang diberikan oleh FC 78 ialah:
Ordinarius dapat mempergunakan wewenangnya seluas-luasnya, sesuai dengan pelbagai
kebutuhan. Mengenai bentuk liturgisnya dikatakan, ”Untuk menampakkan makna
ekumenis dari perkawinan campur antara kedua mempelai Kristiani, maka perlu
kerjasama antara pejabat katolik dan non-katolik sejak awal persiapan dan saat upacara
perkawinan." Tujuan pastoral keluarga kawin campur antara lain adalah:

1. Memberikan pembinaan agar pihak katolik tetap setia dan menjalankan kewajiban
imannya dalam kehidupan menggereja. Ia harus merasakan dukungan dari komunitas
umat beriman bahwa keadaannya yang demikian tidak mengurangi iman katoliknya.

2. Membantu pihak katolik untuk menjadi pewarta Kabar Gembira bagi keluarganya
dengan cara memberikan kesaksian hidup yang baik sebagai orang katolik. Tugas itu
dilaksanakan antara lain dengan menaruh hormat secara tulus atas kebebasan beragama
dari pasangannya.

3. Memberikan penjelasan atau kesaksian bagi pihak non-katolik bahwa perhatian


pastoral dari Gereja tidak dimaksudkan untuk mempengaruhinya dalam hal iman; Gereja
ingin memajukan semua hal yang sungguh-sungguh baik dan manusiawi bagi setiap
orang.

Makin bertambahnya jumlah pernikahan campuran antara pihak Katolik dan orang-
orang lain yang dibaptis juga memerlukan perhatian pastoral yang khusus dalam terang
pedoman-pedoman dan norma-norma yang tercantum dalam dokumen-dokumen paling
resen yang diterbitkan oleh Takhta suci, dan dalam dokumendokumen yang disusun oleh
Konferensi-konferensi para Uskup, untuk mengizinkan penerapan praktisnya pada aneka
situasi. Suami-istri yang hidup dalam pernikahan campuran mempunyai kebutuhan-
kebutuhan khas, yang dapat dibagi menjadi tiga golongan utama. Pertama perlu
diperhatikan kewajiban-kewajiban, yang oleh iman dibebankan para pihak Katolik,
mengenai pelaksanaan bebas iman, dan kewajiban berikut: menjamin sejauh mungkin
Baptis serta pembinaan anak-anak dalam iman Katolik1. Perlu diperhatikan kesulitan-
kesulitan khusus yang mewarnai hubungan antara suami dan istri berkenaan dengan sikap
menghormati kebebasan beragama. Kebebasan itu dapat dilanggar entah dengan adanya
tekanan yang tidak wajar supaya pihak lain berpindah agama, entah dengan menaruh
hambatan, sehingga pihak lain tidak bebas lagi mengungkapkan imannya dengan
mempraktikkan agamanya. Sehubungan dengan bentuk liturgis dan kanonis pernikahan,

1
Bdk. PAUS PAULUS VI, Motu Proprio “Matrimonia Mixta”, 4-5: AAS 62 (1970) hlm.257-259; PAUS
YOHANES PAULUS II, Amanat kepada para peserta Sidang Pleno Sekretariat untuk Memajukan Kesatuan
Kristen (tg1.13 November 1981): “L;Osservatore Romano”, 14 November 1981.
para Ordinaris dapat secara leluasa menggunakan kewenangannya untuk menanggapi
berbagai kebutuhan. Dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan khusus itu, henaklah
pokok-pokok berikut diindahkan: Dalam persiapan yang khas bagi corak pernikahan
seperti itu, setiap usaha yang wajar harus dijalankan untuk menjamin adanya pengertian
yang secukupnya tentang ajaran Katolik mengenai sifat-sifat dan kewajiban-kewajiban
pernikahan, begitu pula perlu dijamin agar jangan.sampai ada tekanan-tekanan dan
hambatan seperti tadi disebutkan.

Penting sekali bahwa berkat dukungan jemaat pihak Katolik diteguhkan imannya dan
dibantu secara positif untuk makin matang dalam pengertian dan pelaksanaan iman,
sehingga menjadi saksi yang layak diandalkan dalam keluarga melalui hidupnya dan
karena mutu cinta kasih nya terhadap pihak lain beserta anak-anak mereka. Pernikahan
antara orang Katolik dan orang yang dibaptis dalam Gereja lain mempunyai sifatnya
tersendiri, tetapi mencakup banyak unsur. yang memang dapat dimanfaatkan dengan baik
dan dikembangkan juga, baik demi nilai internnya, maupun karena ada kemungkinan
menyumbang kepada gerakan ekumenis. Khususnya itu terjadi bila kedua pihak tetap setia
terhadap kewajiban keagamaan mereka. Baptis yang sama-sama telah mereka terima dan
dinamisme rahmat membekali suami-istri dalam pernikahan itu dengan dasar dan motivasi
untuk mengungkapkan kesatuan mereka di bidang nilai-nilai moril dan rohani. Untuk
maksud itu, pun juga untuk menggarisbawahi pentingnya pernikahan campuran dari sudut
ekumenisme, bila pernikahan itu dihayati sepenuhnya dalam iman suami-istri Kristen,
perlu diusahakan untuk menjalin hubungan yang hangat antara para pelayan gerejawi
Katolik dan bukan Katolik sejak awal persiapan pernikahan serta upacara pernikahan,
kendati itu ternyata tidak selalu mudah. Sehubungan dengan ikut sertanya pihak bukan
Katolik dalam menyambut Komuni suci, norma-norma yang diterbitkan oleh Sekretariat
untuk Memajukan Kesatuan Kristen hendaknya dipatuhi2. Sekarang ini di banyak daerah
di dunia makin bertambahlah jumlah pernikahan antara orang Katolik dan orang yang
tidak dibaptis. Dalam banyak pernikahan seperti itu pihak yang tidak dibaptis menganut
agama lain, dan keyakinan keagamaannya harus dihormati, menurut prinsip-prinsip yang
digariskan dalam Pernyataan Konsili Vatikan II „‟Nostra Aetate” tentang hubungan
dengan agama-agama bukan Kristen. Akan tetapi di banyak pernikahan lain seperti itu,
khususnya dalam masyarakat yang mengalami sekularisasi, pihak yang tidak dibaptis

2
Instruksi “In Quibus Rerum Circumstantiis” (Dalam situasi yang mana) (tg1.15 Juni 1972): AAS 64 (1972)
hlm.518-525; Catatan pada tgl.17 Oktober 1973: AAS 65 (1973) hlm.616-619.
sama sekali tidak beragama. Berhubungan dengan pernikahan-pernikahan itu Konferensi-
Konferensi Uskup dan para Uskup secara perorangan memerlukan ke pastian, supaya ada
jaminan pastoral secukupnya bagi iman pihak Katolik dan bagi kebebasan untuk
mempraktikkan imannya, terutama berkenaan dengan tugasnya untuk sedapat mungkin
menjamin, supaya anak-anak dalam pernikahan itu dibaptis dan dididik secara Katolik.
Begitu pula pihak yang Katolik memerlukan pendampingan sejauh itu mungkin, supaya
dalam keluarganya dapat memberi kesaksian yang sejati tentang iman Katolik dan
perihidup Katolik.

2. Separatio mensis et cohabitationis

Bisa terjadi bahwa karena satu dan lain hal, suatu perkawinan katolik yang sah,
sakramental dan tidak terceraikan akhirnya kandas. Pasangan tidak mampu lagi hidup
bersama sehingga perpisahan adalah satu-satunya jalan keluar. Walaupun kedengarannya
aneh, namun bisa terjadi bahwa perpisahan itu membawa pembebasan dan kelegaan dari padai
hidup bersama yang sangat menyiksa. Setelah mereka berpisah, mereka tidak mau rukun
kembali, walaupun pelbagai macam usaha dilakukan. Kalau mereka berpisah dan masing-
masing tetap tidak menjalin hubungan dengan orang lain lagi bisa disebut Perpisahan meja
dan ranjang (Separatio Mensis et Cohabitationis).

Status seorang katolik yang telah berpisah dengan pasangannya dan tidak menikah lagi
biasanya dialami oleh seorang isteri yang secara tidak adil ditinggalkan oleh suaminya karena
telah ada wanita lain. Isteri tersebut menghayati perkawinan sakramental dan tidak terceraikan
sehingga berusaha untuk tetap setia dalam janji perkawinan yang telah diingkari oleh
suaminya. Namun bisa pula terjadi bahwa seorang bapa katolik yang secara tidak adil
ditinggal pergi oleh isterinya yang telah memiliki kekasih lain. Bapa yang saleh itu tetap setia
dan mengurus anak-anaknya dengan penuh tanggungjawab sebagai duda. Keadaan orang
yang ditinggalkan oleh pasangannya dan tidak mau menikah lagi karena menghayati
perkawinannya sebagai sakramen dan tidak terceraikan hanya secara material saja berpisah
dengan pasangan, namun secara formal perkawinan itu tetap ada. Secara formal dalam arti
dari segi kehendak dan maksud hati ia tetap mempertahankan indissolubilitas (tak dapat
diceraikannya) perkawinan katolik. Oleh karena itu orang katolik yang setia ini tidak mau
menikah lagi dan tetap hidup dalam keadaannya sambil mengamalkan iman katoliknya
dengan rajin. Tentang keadaan orang katolik yang berpisah, FC no. 83 menyatakan bahwa
”kesepian dan kesulitan-kesulitan lain kerap kali dialami oleh mereka. Komunitas kristiani
perlu membantu mereka dengan rasa hormat, penuh pengertian, rasa solider dan bantuan-
bantuan praktis. Kesetiaan mereka untuk tetap bertahan dalam keadaannya merupakan
kesaksian bagi tidak terceraikkannya perkawinan katolik. Gereja perlu memberikan bantuan
berupa pelayanan sakramen-sakramen. Orang yang berada dalam keadaan ini tidak
mempunyai halangan untuk menerima sakramen ekaristi.

3. Berpisah atau bercerai dan menikah lagi

Dalam kehidupan di tengah umat, semakin banyak dijumpai orangorang katolik yang
berpisah kemudian kawin lagi, jelas tanpa upacara peneguhan katolik lagi. Orang-orang
katolik yang berada dalam keadaan ini menimbulkan kesulitan baik bagi penghayatan iman
katoliknya maupun bagi Gereja sendiri. FC no. 84 memberikan petunjuk pastoral untuk
menghadapi masalah ini. Dua hal yang dipegang oleh Gereja sebagai dasar tindakan pastoral
adalah 1). Gereja tetap berpegang teguh kepada kebenaran indissolubilitas sakramen
perkawinan 2). Gereja memperlihatkan wajah belas kasih dan pengertian bagi umat yang
berada dalam keadaan itu. 1). Gereja berpegang teguh pada kebenaran yang diimaninya.
Kebenaran itu harus dijaga dari segala kemungkinan yang bisa mengaburkan pengertian umat.
Dalam konteks itu, maka sikap Gereja dalam menghadapi orang katolik yang berpisah dan
"kawin" lagi dengan pasangan baru adalah jelas dan tegas: melarang mereka untuk
menyambut komuni.

FC no. 84 menegaskan, ”Gereja menegaskan kembali praktek yang berdasarkan Kitab


Suci, yakni tidak mengizinkan mereka yang bercerai dan kawin lagi untuk menyambut
komuni. Mereka tidak diizinkan karena keadaan dan kondisi hidup mereka secara obyektif
bertentangan dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja, yang dilambangkan dan
diwujudkan dengan Komuni. Selain itu, ada alasan pastoral lain yang khusus: jika mereka itu
diizinkan menerima komuni, umat beriman akan disesatkan dan bingung mengenai ajaran
Gereja tentang tak terceraikannya perkawinan.”

Kecuali alasan pastoral di atas, ada pula alasan personal dan doktrinal. Alasan personal
maksudnya, seandainya pribadi yang bersangkutan itu diizinkan untuk sambut, padahal ia
sendiri tahu bahwa tidak boleh sambut, maka kemurahan Gereja itu tidak akan mendatangkan
berkat, melainkan menimbulkan perasaan bersalah dan penipuan diri. Alasan doktrinal berasal
dari makna sambut ekaristi itu sendiri sebagai tanda persatuan manusia dengan Tuhan Yesus
dan dengan Gereja-Nya yaitu umat Allah. Komuni yang menjadi lambang persatuan itu tidak
bisa diterima oleh orang yang tidak hidup dalam persatuan dengan pasangannya sendiri.

2). Gereja juga menampakkan wajah belas kasih dan pengertian. Hal nampak, misalnya,
dalam usaha Gereja untuk membedakan dengan teliti situasi-situasi khusus yang dialami oleh
masing-masing orang yang bersangkutan. Ada perbedaan situasi dan penilaian kasus-kasus
berikut ini: a. Orang yang dengan tulus telah berusaha menyelamatkan perkawinan
pertamanya, namun secara tidak adil telah ditinggalkan oleh pasangannya. b. Orang yang
karena kesalahannya sendiri telah menghancurkan perkawinan yang sah secara kanonik.
Contoh paling jelas ialah suami atau isteri yang menjalin hubungan dengan pihak ketiga
sehingga perkawinan sah itu menjadi hancur karenanya. c. Orang yang masuk dalam
perkawinan kedua demi pemeliharaan anakanak. Misalnya, pasangan pergi dan meninggalkan
anak-anak yang membuat ia terpaksa harus kawin lagi demi anak-anaknya. d. Orang yang
kadang-kadang secara subyektif yakin dalam hatinya bahwa perkawinan yang pertama dan
yang telah hancur dan tak dapat dipulihkan lagi itu merupakan perkawinan yang tidak pernah
sah.

Pembedaan-pembedaan di atas membuat pejabat Gereja akan lebih cermat melihat


kenyataan sehingga mampu menampilkan sikap pastoral yang tepat. Sikap belas kasih
bertumpu pada keyakinan bahwa tidak seorangpun dengan sengaja menginginkan kehancuran
rumah tangganya. Bahtera perkawinan yang kandas disebabkan oleh banyak faktor yang
sangat kompleks. Dalam arti tertentu orang-orang yang rumah tangganya hancur tidak dapat
dipersalahkan seratus persen. Barangkali mereka sendiri amat menyesali kehancuran itu.
Pendampingan pastoral belas kasih yang diusulkan ialah:

1. Meyakinkan pasangan yang telah berpisah dan kawin lagi bahwa mereka tidak perlu
menganggap diri mereka terpisah dari Gereja. Sebagai orangorang yang telah dibaptis
mereka dapat, bahkan harus, mengambil bagian aktif dalam hidup menggereja di Paroki,
Wilayah rohani dan kelompok kategorial lainnya.

2. Mereka harus didorong untuk membaca Kitab Suci, menghadiri Ekaristi, berkanjang
dalam doa-doa, memberikan derma dan terlibat dalam kegiatan sosial-ekonomi Gereja. 3.
Mereka diajak untuk membesarkan anak-anak mereka menurut iman Kristiani, memupuk
semangat berkorban dan laku tapa serta memohonkan rahmat Allah. 4. Gereja perlu
menyemangati dan mendoakan mereka dan memperlihatkan diri sebagai ibu yang penuh
pengertian dan belas kasih dan menopang mereka dalam iman dan pengharapan.

Akhirnya, petujuk pastoral praktis yang diberikan oleh FC no. 84 tentang pelayanan
sakramen-sakramen bagi pasangan nikah sah yang telah berpisah dan menikah lagi adalah: 1).
Pengampunan dalam Sakramen Tobat, yang dapat membuka jalan menuju Ekaristi, hanya
dapat diberikan kepada orang-orang yang menyesali diri karena telah melanggar tanda
perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus dan kemudian dengan tulus ikhlas siap sedia untuk
menempuh cara hidup yang tidak lagi bertentangan dengan indissolubilitas perkawinan
katolik. Secara praktis itu berarti bahwa pasangan yang hidup bersama secara tidak sah itu,
yang juga tidak boleh berpisah karena sudah ada anak-anak, hanya boleh menerima sakramen
tobat dan ekaristi apabila mereka hidup bertarak sama sekali.32). Demi penghormatan pada
sakramen Perkawinan, bagi pasangan suamiisteri sendiri dan bagi keluarga mereka, serta bagi
persekutuan umat beriman, setiap pastor dilarang, entah apapun alasannya, untuk
menyelenggarakan upacara apapun bagi orang-orang yang berpisah itu untuk kawin lagi.
Perayaan seperti itu akan memberikan kesan seolah-olah ada perkawinan baru yang sah secara
sakramental, dan dengan demikian akan menyesatkan umat mengenai tak terceraikannya
perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah.

Layak disayangkan, bahwa pelbagai alasan dapat menimbulkan kehancuran pernikahan


yang sah, yang kerap kali sudah tidak dapat dipulihkan lagi. Termasuk di situ tiadanya saling
pengertian dan ketidakmampuan menjalin hubungan antar pribadi. Sudah jelaslah perceraian
harus dipandang sebagai pelarian yang mutakhir, sesudah semua usaha lainnya untuk
menciptakan pendamaian ternyata gagal. Rasa kesepian dan kesulitan-kesulitan lainnya
seringkali menjadi nasib suami-istri yang bercerai, khususnya bila mereka tidak bersalah.
Jemaat gerejawi hendaknya lebih dari sebelumnya mendukung orang-orang seperti itu.
Hendaknya jemaat menunjukkan sikap hormat, solidaritas dan pengertian, serta memberi
bantuan praktis, sehingga mereka dapat mempertahankan kesetiaan mereka juga dalam situasi
mereka yang sesulit itu. Jemaat hendaknya menolong mereka memupuk rasa perlu
mengampuni, yang memang tercakup dalam cinta kasih Kristen, dan kesediaan barangkali
untuk kembali kepada hidup pernikahan mereka semula. Situasi yang serupa dialami oleh
mereka, yang bercerai, tetapi masih tetap menyadari bahwa ikatan pernikahan yang sah tidak

3
FC no. 84 mengutip pengajaran Yohanes Paulus II, dalam homili pada penutupan Sinode Keenam Para Uskup,
7 (25 Oktober 1980): AAS 72 (1980), hlm. 1082.
dapat ditiadakan, dan karena itu mengelakkan keterlibatan dalam persatuan baru, serta masih
tetap hanya menjalankan tugas-tugas mereka dalam keluarga dan tanggung jawab hidup
Kristen. Dalam kasus-kasus seperti itu teladan kesetiaan mereka dan sikap konsisten secara
Kristen beroleh nilai yang istimewa sebagai kesaksian di tengah masyarakat dan dalam
Gereja. Di situ bahkan masih lebih perlu lagi bagi Gereja menyediakan cinta kasih dan
bantuan terus-menerus, tanpa ada halangan apa pun untuk memperbolehkan mereka menerima
Sakramen-Sakramen. e) Mereka yang Bercerai dan Menikah Lagi 84. Patut disayangkan,
bahwa menurut pengalaman sehari-hari mereka yang telah bercerai lazimnya bermaksud
memasuki suatu persatuan baru, sudah jelas tanpa upacara keagamaan Katolik. Karena itu
sesuatu yang buruk, yang seperti hal-hal lain yang serupa melibatkan semakin banyak orang
Katolik juga, masalah itu perlu ditanggapi dengan tegas dan tanpa ditunda-tunda. Para Bapa
Sinode secara tangkas mempelajarinya. Gereja, yang didirikan untuk mengantar semua orang
kepada keselamatan, khususnya mereka yang dibaptis, tidak dapat membiarkan saja mereka,
yang sebelumnya sudah terikat oleh pernikahan sakramental, dan yang berani mencoba
pernikahan kedua, untuk mengikuti maksud mereka sendiri. Maka Gereja tiada jemunya akan
berusaha menyediakan bagi mereka upaya-upayanya untuk keselamatan. Para gembala
hendaklah menyadari bahwa demi kebenaran mereka wajib menjalankan penegasan rohani
yang saksama terhadap situasi-situasi. Memang ada perbedaan antara mereka yang dengan
tulus hati berusaha menyelamatkan pernikahan mereka yang pertama, dan yang ditinggalkan
secara tidak semestinya, dan mereka yang karena kesalahan mereka sendiri yang berat telah
menghancurkan pernikahan yang sah menurut Hukum Gereja. Akhirnya ada pula yang
memasuki persatuan kedua demi pendidikan anak-anak, dan yang kadang-kadang seeara
subjektif mempunyai keyakinan suara hati, bahwa pernikahan mereka sebelumnya yang
hancur tanpa dapat dipulihkan lagi, tidak pernah sah. Bersama dengan Sinode kami dengan
sungguh-sungguh meminta para gembala dan segenap jemaat beriman untuk membantu
mereka yang sudah bercerai, dan berusaha sebaik mungkin, supaya mereka itu jangan
menganggap diri seolah-olah sudah terpisah dari Gereja, sebab sebagai orang yang dibaptis
mereka dapat dan memang wajib ikut menghayati hidup Gereja. Hendaklah mereka didorong
untuk mendengarkan sabda Allah, menghadiri Korban Ekaristi, bertabah dalam doa,
menyumbang kepada karya-karya cinta kasih dan kepada usaha-usaha jemaat demi keadilan,
membina anak-anak mereka dalam iman Kristen, mengembangkan semangat serta praktik
ulah tapa, dan dengan demikian dari hari ke hari memohon rahmat Allah. Hendaklah Gereja
mendoakan mereka, mendorong mereka, dan menunjukkan diri sebagai Ibu yang penuh
belaskasihan, serta tetap membantu mereka dalam iman maupun harapan. Akan tetapi Gereja
menegaskan lagi praktiknya yang berdasarkan Kitab suci, untuk tidak mengizinkan mereka
yang bercerai, kemudian menikah lagi, menyambut Ekaristi suci.

Mereka tidak dapat diizinkan, karena status dan kondisi hidup mereka berlawanan dengan
persatuan cinta kasih antara Kristus dan Gereja, yang dilambangkan oleh Ekaristi dan
merupakan buahnya. Selain itu masih ada alasan pastoral khusus lainnya. Seandainya mereka
itu diperbolehkan menyambut Ekaristi, umat beriman akan terbawa dalam keadaan sesat dan
bingung mengenai ajaran Gereja, bahwa pernikahan tidak dapat diceraikan. Pendamaian
melalui Sakramen Tobat, yang membuka pintu kepada Ekaristis, hanya dapat diberikan
kepada mereka, yang menyesalkan bahwa mereka telah menyalahi lambang Perjanjian dan
kesetiaan terhadap Kristus, dan setulus hati bersedia menempuh jalan hidup, yang tidak
bertentangan lagi dengan tidak terceraikannya pernikahan. Dalam praktiknya itu berarti,
bahwa bila karena alasan-alasan serius, misalnya pendidikan anak-anak, pria dan wanita tidak
dapat memenuhi kewajiban untuk berpisah, mereka “sanggup menerima kewajiban untuk
hidup dalam pengendalian diri sepenuhnya, artinya dengan berpantang dari tindakan-tindakan
yang khas bagi suami-istri”4. Begitu pula sikap hormat yang semestinya terhadap Sakramen
Pernikahan, terhadap suami-istri sendiri beserta keluarga-keluarga mereka, pun juga terhadap
jemaat beriman, melarang setiap gembala, supaya – berdasarkan alasan atau dalih mana pun,
juga yang bersifat pastoral – jangan melaksanakan upacara apa pun bagi orang yang sudah
bercerai untuk menikah lagi. Upacara semacam itu akan memberi kesan perayaan suatu
pernikahan ulang yang sah sebagai Sakramen, dan dengan demikian mengantar umat ke
dalam kesesatan tentang tidak terceraikannya pernikahan yang dijalankan secara sah. Dengan
bertindak begitu Gereja menyatakan kesetiaannya sendiri terhadap Kristus serta kebenaran-
Nya. Sekaligus Gereja menunjukkan keprihatinan keibuannya terhadap putera-puterinya,
khususnya mereka, yang tanpa kesalahan mereka telah ditinggalkan oleh pasangan mereka
yang sah. Dengan kepercayaan penuh Gereja mengimani, bahwa mereka yang telah menolak
perintah Tuhan, dan masih hidup dalam keadaan itu, masih akan mampu menerima dari Allah
rahmat pertobatan dan keselamatan, asal mereka bertabah dalam doa, ulahtapa dan amalkasih.

4. Menikah secara sipil tidak secara Gereja

4
PAUS YOHANES PAULUS II, Homili pada penutupan Sinode VI para Uskup, 7 (tg1.25 Oktober 1980): AAS 72
(1980) hlm.1082.
Masalah ini juga diangkat dalam FC no. 82 dengan menegaskan, ”Makin banyak jumlah
orang katolik yang, karena alasan-alasan ideologis atau praktis, lebih suka menikah secara
sipil saja, tidak mau menikah menurut agama atau sekurang-kurangnya menundanya.”
Masalah pertama yang perlu diidentifikasi lebih jelas ialah: mengapa orang-orang katolik
tertentu memilih nikah sipil saja? Seumumnya orang katolik yang normal akan menikah
dalam Gereja. Orang katolik yang memilih menikah secara sipil saja bisa dianggap sebagai
”orang katolik tidak biasa". Praktek ini terjadi utamanya di negara-negara Eropa dan Amerika
dan negara-negara yang lebih sekular. Beberapa hal yang bisa disebut sebagai alasannya
ialah:5

1. Beberapa orang katolik menikah secara sipil saja karena tidak pernah memiliki iman
katolik yang hidup; mereka hanya tahu bahwa pernah dibaptis, namun tidak mengerti apa
maksud pembaptisan itu. Mereka tidak pernah dididik atau berkembang dalam suasana iman
katolik; Atau bisa juga mereka pernah memiliki iman yang hidup, namun hanya dangkal dan
sudah hilang. Atau orang-orang semacam itu tidak mau yang berbau religius, namun untuk
memberikan warna sosial dan pulbik dari perkawinan, mereka menikah secara sipil.

2. Beberapa orang katolik lainnya menikah secara sipil saja oleh karena mereka merasa tidak
wajib untuk menikah secara Gerejani; atau ada kemungkinan juga mereka ingin membiarkan
pintu tetap terbuka bagi perceraian seandainya perkawinan itu nantinya gagal.

3. Beberapa orang katolik lain lagi menikah secara sipil saja karena mereka menghargai
perkawinan Gerejani yang tidak terceraikan, namun mereka sendiri tidak sanggup untuk
menikah atas cara demikian. Mereka tidak berani mengucapkan janji kesetiaan untuk seumur
hidup, sehingga mereka memilih kawin sipil saja. Mereka berharap suatu saat nanti akan
menikah secara Gerejani kalau pernikahan mereka secara sipil itu terbukti cocok dan tahan
lama. Itu berarti mereka tidak bermaksud menolak perkawinan Gereja, malainkan merasa
belum sanggup untuk menjalani konsekuensinya.

4. Orang-orang katolik lainnya menikah secara sipil, karena memang mereka menolak
Gereja. Mereka ingin membebaskan diri dari pengaruh Gereja. Dan sebagai tanda penolakan
itu mereka sengaja untuk menikah secara sipil saja.

Bagaimana sikap pastoral Gereja terhadap mereka? Hal itu tergantung dari penilaian
Gereja terhadap nikah sipil. Menurut Kan. 1108 par. 1, perkawinan sipil tidak bisa disebut
sebagai perkawinan yang sah, sehingga orang-orang katolik yang menikah secara sipil belum
boleh hidup sebagai suami-isteri, karena mereka belum menikah sah. Walaupun demikian
perkawinan secara sipil adalah "sesuatu" yang punya nilai sosial kemasyarakatan. Orang yang
menikah secara sipil tidak boleh disamakan dengan orang yang hidup bersama tanpa upacara
nikah sipil. Sikap pastoral yang dianjurkan dalam FC no. 82 dirumuskan sbb: ”Tujuan reksa
pastoral dalam kasus itu ialah membuat mereka memahami perlunya konsistensi antara
pilihan hidup mereka dan iman mereka, dan berusaha melakukan segala-sesuatu yang
mungkin untuk mendorong mereka membereskan situasi mereka dalam terang asas-asas
kristiani. Sambil memperlakukan mereka dengan penuh kasih dan menuntun mereka ke dalam
hidup jemaat mereka, para gembala Gereja dengan menyesal tidak mengizinkan mereka untuk
menerima sakramen-sakramen.” Walaupun sikap pastoral Gereja terhadap nikah sipil sudah
jelas, namun refleksi atas realitas nikah sipil perlu dilakukan lagi. Beberapa gagasan yang
diusulkan oleh Egidio Ferasin antara lain ialah:

1. Masalah nikah sipil perlu dihadapi sebagai masalah pastoral yang kompleks. Bentuk nikah
sipil muncul dari pelbagai pertimbangan sosial dan kultural. Dewasa ini Gereja semakin
mengakui nilai ”otonomi wajar” dari hal-hal keduniaan (GS 36) dan pengakuan akan
"otonomi masyarakat sipil" (GS 74). Perlu diperhatikan pula kesadaran baru Gereja untuk
melihat hakekat cinta perkawinan pria dan wanita yang dikelilingi oleh situasi kompleks
zaman ini, di mana mereka hidup dalam masyarakat pluralistik dan sekular yang terdiri dari
orang-orang beriman dan ateis. Pengakuan "otonomi wajar bagi masyarakat sipil" membuat
kita perlu lebih cermat melihat perkawinan sipil. Kenyataan sekarang Gereja tidak mengakui
sahnya perkawinan sipil. Ferasin mengusulkan apakah perkawinan sipil bisa dianggap legitim
(sesuai hukum: lex, legis), waluapun bukan sakramental. Perkawinan sakramental, ratum et
consumatum dikhususkan hanya untuk perkawinan Gerejani.

2. Seandainya perkawinan sipil diakui sah (legitim) biarpun tidak sakramental, maka Gereja
dapat membuka dialog jujur dan tulus dengan orang-orang katolik yang hanya menikah secara
sipil saja. Sekarang ini orang-orang yang dibaptis katolik dan tidap memiliki iman yang hidup
menikah secara sipil, dan mereka mengalami jalan buntu. Mereka harus memilih antara dua
hal yang tidak mereka sukai, yaitu nikah sipil yang sama dengan "kumpul kebo" dan nikah
Gerejani yang tidak mereka sukai sehingga hanya menjadi upacara formalitas dan sandiwara
belaka.
3. Masalah iman dan permandian. Menurut Ferasin Gereja selalu mengulangi ajarannya
bahwa perjanjian nikah antara dua orang yang dibaptis adalah tidak terceraikan dan
sakramental. Maka timbul persoalan bagaimana dengan nikah sipil dari dua orang yang telah
dibaptis, apakah bisa disebut sah dan sakramantal pula? Rupanya, supaya nikah sipil di antara
dua orang yang telah dibaptis tidak menjadi sakramen, maka ditolak pula keabsahannya.

4. Pertimbangan lain yang membuat nikah sipil tidak sah ialah karena Gereja telah
menetapkan syarat-syarat badi sahnya perkawinan katolik adalah: Consensus, habilitas dan
forma canonica. Dalam nikah sipil tentau saja dua syarat pertama terpenuhi, hanya syarat
yang terakhir tidak terpenuhi sehingga tetap tidaklah sah.

Makin bertambah banyaklah kasus orang-orang Katolik, yang karena alasan-alasan


ideologis atau praktis lebih suka mengadakan pernikahan sipil melulu, dan yang menolak atau
sekurang-kurangnya menunda pernikahan keagamaan. Sudah barang tentu situasi mereka
tidak dapat disamakan dengan keadaan mereka yang semata-mata hidup bersama tanpa ikatan
mana pun juga, sebab pada kasus sekarang ini setidak-tidaknya ada komitmen tertentu
terhadap suatu status hidup yang berketentuan jelas dan barangkali juga stabil, sungguhpun
kemungkinan bagi perceraian di kemudian hari kerap kali ada pada pemikiran mereka yang
mengadakan pernikahan sipil. Dengan mengusahakan peng-akuan resmi terhadap ikatan
mereka dari pihak negara, pasanganpasangan itu menunjukkan, bahwa mereka sanggup
menerima bukan hanya keuntungan-keuntungannya, melainkan juga ke-wajiban-
kewajibannya. Meskipun begitu, keadaan itu pun tidak dapat diterima oleh Gereja. Sasaran
tindakan pastoral ialah menanam pada mereka itu kesadaran akan perlunya konsistensi antara
pilihan hidup mereka dan iman yang mereka ikrarkan, dan berusaha sedapat mungkin
mengajak mereka membereskan keadaan mereka dalam terang prinsip-prinsip Kristen. Sambil
memperlakukan mereka dengan cinta kasih yang besar dan mengantar mereka memasuki
kehidupan jemaat-jemaat yang bersangkutan, patut disayangkan, bahwa para gembala Gereja
tidak dapat mengizinkan mereka menerima Sakramen-Sakramen.

5. Perkawinan Percobaan

Masalah ini mungkin lebih banyak terjadi dalam budaya tertentu, yaitu budaya barat
(Eropa dan Amerika), namun barangkali juga sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
manapun yang terpengaruh oleh modernisasi. Masalah perkawinan percobaan diangkat dalam
FC no. 80. Perkawinan percobaan adalah suatu jenis persatuan hidup pria dan wanita tanpa
adanya upacara apapun, baik secara sipil maupun keagamaan, namun mereka telah hidup
bersama sebagai mana layaknya suami-isteri. Kawin percobaan dimaksudkan sebagai uji coba
hidup bersama, sebelum mereka memutuskan untuk menikah secara resmi baik sipil atau
agama. Orang-orang yang memilih untuk perkawinan percobaan membenarkan diri dengan
mengemukakan alasan-alasan antara lain:

1. Sebagai pengakuan akan nilai luhur perkawinan dan kelemahan manusia. Perkawinan
percobaan muncul dalam dunia barat yang sekular. Mereka dihadapkan pada dua kenyataan
yang saling betentangan. Dari satu pihak ada banyak perceraian, dan dari lain pihak ajaran
Gereja tentang perkawinan yang sangat luhur dan mulia. Mereka yang percaya akan tidak
terceraikannya perkawinan adalah orang-orang terpelajar yang tahu psikologi manusia.
Persatuan seumur hidup dalam perkawinan bukan hanya soal iman, melainkan soal kecocokan
seluruh kepribadian. Pria dan wanita yang sepakat untuk menikah percobaan punya maksud
yang tulus untuk menguji kecocokan mereka dalam segala bidang. Perkawinan percobaan itu
nantinya bisa dilanjutkan dalam perkawinan resmi ataupun diikuti dengan perpisahan,
tergantung dari hasil evaluasi terakhir yang mereka lakukan.

2. Sebagai pengakuan akan otonomi individu. Perkawinan percobaan mendasarkan diri


pada kesepakatan bebas pria dan wanita yang bersangkutan. Dalam perkawinan itu tidak ada
pihak yang dipaksa untuk memasuki hubungan coba-coba itu. Mereka memang sepakat untuk
hidup bersama atas cara demikian itu. Sebenarnya, berdasarkan ajaran consensus facit
matrimonium, maka kesepakatan itu sebenarnya adalah perkawinan. Apalagi kalau kita
mengakuai bahwa perkawinan sebagian adalah persoalan pribadi antara pria dan wanita itu.

3. Sebagai sikap hati-hati dan usaha mencegah perceraian. Nikah percobaan justeru
dimaksudkan sebagai sikap hati-hati dan tidak gegabah dalam urusan yang sangat penting itu.
Apalagi pengalaman juga menunjukkan bahwa perkawinan sipil dan Gereja banyak yang
berakhir dengan perceraian. Untuk menghindari perceraian itu, lebih baik pria dan wanita
melakukan uji-coba perkawinan lebih dahulu. Perkawinan sah sakramental sekalipunk kalau
dilakukan oleh pria dan wanita yang belum matang sama saja dengan "kawin percobaan" yang
disakralkan, sehingga ketidakcocokan kepribadian dengan mudah menyebabkan perceraian.
Perkawinan percobaan akan membuktikan bahwa orang-orang yang telah matang dan siap
masuk dalam perkawinan akan mampu membuktikan keluhuran martabat perkawinan yang
tidak terceraikan. Walaupun alasan-alasan yang dikemukakan di atas, FC no. 80 tetap
menolak dengan tegas perkawinan percobaan dengan menegaskan kembali "akal sehat" dan
"martabat manusia". Alasan-alasan yang dikemukakan FC adalah:
1. Berkat akal budi, orang dapat melihat bahwa perkawinan percobaan tidak dapat
diterima. Di sana terdapat sifat yang tidak meyakinkan dari "percobaan" dengan manusia.
Tiga alasan yang dikemukakan di atas tidak dapat membenarkan cara yang dipakai untuk
mencapai tujuan itu, yaitu percobaan terhadap manusia. Ada cara lain yang bisa ditempuh
untuk mencapai hal-hal yang disebutkan di atas; misalnya dengan menggantikan "perkawinan
percobaan" dengan mengintensifkan masa berpacaran dan bertunangan.

2. Martabat manusia menuntut bahwa ia tidak bisa dijadikan percobaan. Manusia haruslah
selalu menjadi tujuan untuk dirinya sendiri, bukan sarana percobaan untuk tujuan lain. Dalam
hal perkawinan, manusia menjadi tujuan cinta kasih yang memberikan diri tanpa pembatasan
waktu dan tanpa syarat-syarat. Perkawinan percobaan justeru menuntut syarat-syarat, dan
kalau syarat-syarat itu tidak ada, maka perkawinan dengan mudah dibubarkan.

3. Ciri hidup perkawinan percobaan tentu adalah hubungan suami-isteri. Sebagai manusia
sebaiknya ungkapan tubuh itu adalah ungkapan pemberian diri total. Tubuh bukanlah alat
melainkan peng-eja-wantahan manusia atau incarnasi dari roh, karena homo est corpore et
anima unus (GS 14). Pemberian diri total yang melibatkan persetubuhan tidak dapat bersifat
benar bila dianggap sebagai percobaan saja.

4. Perkawinan di antara pria dan wanita yang dibaptis tidak mungkin dilakukan secara
coba-coba. Perkawinan mereka adalah lambang persatuan sejati antara Kristus dan Gereja-
Nya, yang tidak bersifat cobacoba, melainkan sungguh-sungguh dan merupakan persatuan
yang setia secara abdi. Setelah melihat permasalahan perkawinan percobaan seobyektif
mungkin, kita setuju dengan pendapat FC 28 bahwa perkawinan percobaan tidak dapat
dibenarkan.

Contoh pertama situasi yang tidak semestinya ialah apa yang disebut “pernikahan
percobaan”, yang sekarang ini mau dibenarkan oleh banyak orang dengan mengakui adanya
nilai padanya. Akan tetapi nalar manusiawi sudah menunjukkan, bahwa pernikahan itu tidak
dapat diterima, dengan memperlihatkan bahwa tidak meyakinkan juga mengadakan
“eksperimen” dengan manusia, yang martabatnya meminta, supaya ia harus senantiasa dan
hanya merupakan tujuan cinta kasih penyerahan diri, tanpa pembatasan waktu atau kondisi-
kondisi mana pun lainnya. Pada pihaknya Gereja tidak dapat mengizinkan persatuan semacam
itu, berdasarkan alasan-alasan lain yang khusus dan yang dijabarkan dari iman. Sebab,
pertama, penyerahan tubuh dalam hubungan seksual merupakan lambang yang nyata bagi
penyerahan seluruh pribadi. Lagi pula penyerahan diri itu dalam kenyataannya sekarang tidak
dapat berlangsung dalam arti sesungguhnya tanpa peranserta cinta kasih yang dikurniakan
oleh Kristus. Kedua, pernikahan antara dua orang yang dibaptis merupakan lambang yang
nyata bagi persatuan antara Kristus dan Gereja, yang bukan persatuan sementara atau
“percobaan”, melainkan persatuan yang setia untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, antara
dua orang yang dibaptis hanya dapat ada pernikahan yang tidak terceraikan. Situasi seperti itu
biasanya tidak dapat diatasi, kecuali bila manusia sejak masih kanak-kanak, berkat bantuan
rahmat Kristus dan tanpa rasa takut, telah dilatih untuk menguasai hawanafsunya sejak awal,
dan untuk menjalin hubungan cinta kasih yang sejati dengan orang-orang lain. Itu tidak dapat
dijamin tanpa pendidikan yang sesungguhnya dalam cinta kasih yang tulus serta dalam
menggunakan seksualitas dengan tepat,– dengan mengantar manusia dalam segala aspek,
maka juga dari segi tubuhnya, ke dalam kepenuhan misteri Kristus. Akan besar faedahnya
meneliti sebab-musabab kendala itu, termasuk segi psikologis dan sosiologisnya, untuk
menemukan cara mengatasinya dengan tepat.

6. Baku Piara

Yang dimaksud dengan hidup bersama jenis ini ialah hidup bersama pria dan wanita
sebagaimana layaknya suami-isteri namun tanpa pengakuan publik oleh lembaga sosial dan
keagamaan apapun (FC 81). Bedanya dengan perkawinan percobaan ialah soal pengakuan
publik. Dalam perkawinan percobaan ada semacam "upacara publik" di kalangan teman-
teman dekatnya, sehingga mereka dapat mengumumkan diri sebagai pasangan yang menikah
secara private. Dalam persatuan bebas de facto tidak ada upacara publik apapun. Pria dan
wanita mulai hidup bersama secara diam-diam dan membiarkan keadaan itu untuk waktu
yang tidak terbatas. Mereka juga tidak bermaksud untuk membuat hidup bersama mereka itu
sebagai suatu perkawinan percobaan, yang nantinya akan mengarah kepada perkawinan yang
menetap. Alasan yang diangkat oleh FC 81 sebagai penyebab terjadinya persatuan bebas de
facto antara lain ialah:

1. Keadaan terpaksa oleh kesulitan ekonomi, budaya atau keagamaan, dengan alasan bahwa
jika mereka menikah dengan cara biasa, mereka akan mengalami kerugian (karena mas kawin
yang terlalu mahal) akan mengalami diskriminasi (karena pindah agama) atau akan ditolak
sebagai anggota suku dan agamanya.
2. Orang memilih persatuan bebas de facto karena menolak semua bentuk campur tangan
masyarakat dan agama dalam hal hidup pribadi pria dan wanita. Mereka melawan tatanan
sosial dan politik serta agama yang mencampuri urusan pribadi mereka.

3. Ada orang yang masuk dalam persatuan bebas de facto karena ketidaktahuan atau
kemelaratan yang teramat berat; atau karena adanya situasi yang tidak adil yang menghalang-
halangi orang untuk menikah secara biasa; atau karena ketidakmampuan psikologis yang
membuat mereka bimbang atau takut untuk memasuki suatu ikatan yang tetap dan pasti; atau
dalam beberapa negeri adat-istiadatnya mengatur bahwa perkawinan terjadi setelah jangka
waktu hidup serumah dan melahirkan anak pertama. Setelah memberikan beberapa
pertimbangan yang kiranya menjadi alasan persatuan bebas de facto, maka FC 81
memberikan penilaian pastoralnya: Hidup bersama pria dan wanita seperti itu harus ditolak.
Mencari penyebab dari phenomena itu adalah tanda perhatian dan kemauan baik untuk
memahami keadaan pria dan wanita dalam situasi khusus. Namun kemudian Gereja
menentukan sikapnya dan memberikan alasan sbb:

1. Konsekuensi keagamaan dan moral yang ditimbulkan oleh praktek semacam itu
sangatlah berat. Misalnya: hilangnya makna religius dari perkawinan; tidak adanya rahmat
sakramen yang merupakan tanda penyertaan ilahi bagi kehidupan manusia yang fana;
menimbulkan skandal yang berat bagi keluarga-keluarga kristiani pada umumnya; dan
hilangnya fungsi lambang perjanjian Allah dan manusia.

2. Konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh persatuan bebas de facto juga tidak kecil:
hancurnya konsep keluarga, melemahnya rasa kesetiaan dan komitmen pada hal-hal yang
serius dalam masyarakat pada umumnya; meningkatkan egoisme dan liberalisme;
kemungkinan ketidakstabilan psikis yang dialami oleh anak-anak yang lahir dari hubungan
semacam itu.

Anda mungkin juga menyukai