Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN MATERI KULIAH

Setiap pemeluk agama berkeyakinan bahwa ajaran agamanya adalah


benar, atau bahkan yang paling benar. Ajaran itu bukan hanya diyakini
sebagai benar melainkan juga sebagai pembawa kebahagiaan dan
keselamatan di dunia dan akherat. Kalau suatu ajaran hanya benar saja,
tetapi tidak membawa keselamatan dan kebahagiaan, apalah artinya?
Benar berkaitan dengan kenyataan di akherat yang ditunjuk oleh ajaran
Agama itu. Kebahagiaan dan keselamatan berkaitan dengan pengalaman
orang. Orangnya merasakan bahwa iman dalam agamanya membahagiakan
dan menyelamatkannya, baik di dunia ini maupun di akherat nanti.
Bahwa orang beragama menganggap agamanya yang paling benar
tidak usah mengherankan kita. Dalam pergaulan antar umat beriman
sering terjadi saling curiga dan saling “mengkafirkan” di antar kelompok-
kelompok penganut agama. Dalam suatu forum pertemuan para tokoh
agama, seorang peserta berkata terus terang, “Maaf, bagi saya keyakinan
iman akan agama yang saya anut adalah mutlak dan sakral. Kalau tidak
demikian, maka agama adalah non-sense.” Dia mau mengatakan bahwa di
antara para pemeluk agama adalah sah untuk mengklaim bahwa agama
yang diyakini adalah yang paling benar. Dan kalau demikian, maka secara
logis harus disimpulkan bahwa agama orang lain adalah tidak benar untuk
dia. Karena baginya, hanya agamanyalah yang paling benar. Kalau tidak
demikian, maka tentu saja ia akan pindah. Sikap ini mungkin lebih tepat
disebut militansi, bukan fanatisme. Militansi masih terbuka bagi toleransi,
sedangkan fanatisme sama sekali tidak ada ruang bagi toleransi.
Bagi saya, orang yang mengatakan bahwa agamanya adalah yang
benar, sehingga kalau demikian agama orang lain adalah tidak benar
untuk dia adalah sikap yang sangat wajar dan bisa dimengerti. Bahkan
perlu ditegaskan bahwa memang sudah seharusnya demikian bagi setiap
orang yang sungguh-sungguh beriman. Dengan catatan asalkan
penghayatan itu hanya dalam tataran batin sebagai suatu sikap iman
pribadi. Menjadi tidak benar kalau sikap itu dituduhkan secara langsung
kepada penganut agama lain.
Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa jika “fanatisme fajar” itu
hanya dalam tataran penghayatan pribadi, maka hal itu kiranya memang
seharusnya demikian. Sebagai moralis saya membatasi diri pada
pentingnya mengikuti hati nurani seseorang dalam memegang teguh
kebenaran yang diyakininya. Mengikuti hati nurani adalah kewajiban
mutlak. Melawan hati nurani adalah dosa. Saya tidak menolak
kemungkinan teologis bahwa bisa dicapai suatu pertemuan kebenaran di
antara pelbagai agama. Di antara orang-orang beriman bisa terdapat
kesepakatan misalnya tentang: adanya Tuhan; bahwa Tuhan telah
menciptakan dunia dan segala isinya ini; bahwa Tuhan ada di sorga dan
menerima kembali semua orang yang meninggal di dalam kehidupan kekal,
dan seterusnya. Namun karena keyakinan iman melekat erat dalam hati
seseorang, yang ujung-ujungnya ialah klaim bahwa agamanyalah yang
paling benar bagi dia, maka keyakinan itu pastilah akan berbeda-beda dan
tidak bisa (dan tidak usah juga) dipertemukan. Demikian pula kalau ia
merasa diutus oleh Tuhan untuk mewartakan kebenaran itu kepada orang
lain dengan cara-cara yang simpatik, saling menghormati, dan dalam
suasana damai, maka kegiatan menyebarkan ajaran agama melalui
kegiatan dakwah, misi, dan penginjilan adalah konsekuensi wajar dari
keyakinan iman itu. Maka kita tidak usah kebakaran jenggot kalau
menghadapi “fanatisme wajar” dari orang beragama. Setiap orang beragama
justeru harus militan seperti itu. Kalau tidak, itu namanya suam-suam
kuku, tidak panas dan tidak dingin, dan Tuhan sendiri akan memuntahkan
orang itu keluar dari mulut-Nya (Why. 3:16). Menurut Kitab Wahyu tadi
Tuhan sendiri juga muak dengan orang yang seperti itu. Manusia tidak
diperbolehkan untuk mengadakan kompromi di bidang keyakinan iman.
Sebaliknya, setiap orang hendaknya beriman teguh dan kokoh karena “
imanmu menyelamatkan kamu” (Luk. 7:50; 8:40; 17:19; 18:42). Dan
prinsip ini berlaku untuk setiap orang beriman dari agama apa saja.
Bahkan mungkin orang yang tidak beragamapun, pada akhirnya akan
dinilai dari apa yang diyakininya atau dipercayainya atau suara hatinya.
Yang perlu dibangun dalam kehidupan bersama ialah sikap
menghormati pribadi seseorang secara utuh dan dengan tulus iklhas,
termasuk dalam hal imannya. Kalau kita bergaul dengan sesama manusia
apa adanya, maka kita akan berjumpa dengannya sebagai seorang pribadi
nyata, termasuk agama yang dipeluknya. Bahkan mungkin ia sudah lahir
dari keluarga yang memiliki tradisi agama itu secara turun temurun sejak
nenek moyang mereka. Kita harus mengembangkan sikap menghargai
seseorang sebagai pribadi yang sama dengan saya. Agama yang dipeluk
seseorang itu adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
orang. Bahkan dalam pergaulan yang nyata setiap hari, masalah perbedaan
agama akan menjadi cair dengan sendirinya dalam sikap-sikap kepatutan
dalam sopan santun pergaulan antar warga masyarakat. Sikap ramah dan
senyuman yang ikhlas akan mendekatkan manusia satu sama lain, tidak
peduli dengan perbedaan ras dan agama.
Orang-orang beragama mungkin secara tidak sadar dikontrol dan
dibatasi oleh sentimen agamanya dalam pergaulan dengan sesamanya.
Sehingga orang beragama yang seharusnya menjadi orang baik karena
dekatnya hubungan mereka dengan Tuhan, justeru menjadi orang yang
menyebalkan dalam pergaulan dengan sesamanya karena terjebak oleh
formalisme agamanya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu sikap itu bukan
hanya menyebalkan, melainkan membahayakan keselamatan sesama
manusia karena sikap formalisme agama itu bisa muncul dalam bentuk
yang sangat ekstrim dan kejam sampai pada titik mau melenyapkan orang
yang berbeda dari agamanya. Kelompok teroris yang beberapa kali
meledakkan bom di banyak tempat di Indonesia rupanya cukup jelas
menjadi contoh bagaimana keyakinan agama tertentu dibajak dan
dibelokkan oleh sekelompok orang fanatik sampai pada titik di mana orang
merasa yakin bahwa mengebom orang yang dianggap kafir akan
mendatangkan pahala sorga.
Tidak bisa disangkal pula bahwa agama adalah realitas sosial yang
memiliki bentuk atau forma yang khas. Agama memuat unsur penghayatan
personal dan unsur formalitas insitusional tertentu. Formalitas agama
memberikan bentuk atau daging-jasmani, sedangkan iman personal
memberikan jiwa-rohani yang memberikan hidup. Keduanya saling
menyatu dan melengkapi. Dalam buku ini saya ingin memaparkan terlebih
dahulu sikap yang seimbang antara militansi dan toleransi. Baru kemudian
saya ingin menerapkan sikap itu bagi penghayatan sakramen baptis bagi
orang-orang katolik. Sakramen baptis hendaknya membuat orang katolik
menjadi militan, dalam arti sungguh yakin akan panggilan Allah yang telah
menuntunnya menerima sakramen baptis. Namun dari lain pihak rahmat
itu bukan membuatnya sombong, melainkan rendah hati dan penuh
syukur. Semangat rendah hati itu perlu diwujudkan dalam sikap toleransi
dan penghargaan yang tulus terhadap orang-orang yang beragama lain.
Saya berharap apa yang akan saya sampaikan dalam buku ini ada
manfaatnya biarpun kecil untuk membangun kehidupan bersama yang
rukun dan harmonis dalam masyarakat kita yang majemuk. Selanjutnya
saya akan membahas secara khusus salah satu unsur formal suatu agama,
yaitu ritual penerimaan seseorang untuk masuk ke dalam agama tertentu,
dalam hal ini agama kristen katolik. Setiap agama biasanya mempunyai
ritus penerimaan masuk menjadi anggotanya. Dalam agama kristen ritus
penerimaan itu disebut baptisan.
Salah satu arti baptisan bagi orang Kristen ialah memasukkan orang
itu menjadi anggota Gereja dan memberikan kepadanya kehidupan kekal.
Apakah kehidupan kekal itu? Injil Yohanes menjawab, “Inilah hidup yang
kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang
benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh. 17: 3).
Kehidupan kekal dimulai pada saat orang mengenal Allah yang benar.
Upacara baptisan memasukkan orang ke dalam perjalanan menuju
kesatuan penuh dengan Allah yang benar itu. Dengan upacara baptisan
diwujudkan sakramen keselamatan yang akan bermuara pada keselamatan
abadi dalam kehidupan kekal bersama dengan Allah di sorga. Kalau orang
mau mendapatkan keselamatan kekal, maka ia harus mau dibaptis. “Sebab
kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Mat. 28:18-19).
Namun kenyataannya bahwa di dunia ini ada banyak orang yang tidak
dibaptis. Bahkan mungkin lebih banyak orang yang tidak dibaptis dari pada
yang dibaptis. Orang Kristen jumlahnya lebih kecil kalau dibandingkan
dengan penduduk dunia ini yang bukan Kristen. Maka menjadi pertanyaan
apakah baptisan adalah mutlak perlu bagi semua orang untuk
mendapatkan keselamatan kekal? Pertanyaan itu menghantar pada
permasalahan teologis tentang hubungan antara baptisan dan keselamatan.
Ajaran Gereja tentang hal ini mengalami perkembangan dan modifikasi di
dalam sejarahnya.
Bagian pertama buku ini secara sederhana menyajikan perkembangan
pemikiran tentang perlunya baptisan bagi keselamatan. Perlunya baptisan
bagi keselamatan dalam sejarah Gereja pernah diungkapkan dengan
semboyan extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan). Maka kalau orang mau selamat, ia harus mau dibaptis dan
rela dimasukkan ke dalam keanggotaan Gereja. Namun semboyan itu bisa
merupakan arogansi kekristenan yang pada zaman sekarang ini terasa
tidak simpatik dan tidak bijaksana. Masalah ini harus menjadi jelas bagi
kita supaya kita dapat memahami duduk persoalannya dengan baik.
Kekaburan pengertian dalam soal ini dapat mengakibatkan sikap fanatik
berlebihan ataupun sikap relativistis yang tidak bertanggungjawab.
Buku ini dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran teologis di
bidang sikap orang Kristen terhadap orang bukan Kristen. Sikap itu secara
langsung berkaitan dengan teologi baptisan yang membuat pengelompokan
antara orang dibaptis (baptizati) dan orang tidak dibaptis (non-baptizati).
Kita akan melihat bagaimana para teolog berusaha untuk memecahkan
persoalan perlunya baptisan bagi orang kristiani dari satu pihak dan tidak
perlunya baptisan bagi orang non-kristiani dari lain pihak.

PERLUNYA BAPTISAN BAGI KESELAMATAN

Dalam buku ini saya akan membahas tiga tema, yaitu perlunya
baptisan bagi keselamtan; bagaimana caranya baptisan itu dilaksanakan
supaya sah; dan bagaimana baptisan dihayati supaya menghasilkan buah-
buah kebaikan dan keselamatan. Masing-masing akan dijelaskan dalam
bab tersendiri secara berurutan.
Praktek baptisan dalam Gereja Kristen itu berangkat dari pesan
Yesus sebelum Ia naik ke sorga dengan bersabda, “Pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Putera dan Roh Kudus.” (Mat. 28: 19). Perintah Yesus yang disebut
“formula misi” itu mendorong para murid untuk pergi ke seluruh dunia
mewartakan injil dan membaptis orang-orang yang percaya berkat
pewartaan mereka. Unsur kepercayaan ini ditekankan dalam Injil Markus.
“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa
yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak
percaya akan dihukum” (Mrk. 16: 15-16).
Dalam sejarah Gereja, perintah Yesus untuk membaptis itu telah
membuat orang-orang Kristen pergi ke seluruh dunia dan membaptis
sebanyak mungkin orang. Kita mempelajari kegiatan misioner Gereja yang
sekapal dengan proses penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa yang kristen
terhadap bangsa-bangsa di benua Amerika, Australia, Asia dan Afrika. Kita
tahu bahwa penemuan benua Amerika oleh Christoforus Colombus pada
tahun 1492 itu langsung disusul bagi penginjilan benua baru itu oleh
Imam-imam Dominikan dan Fransiskan. Sampai sekarang wilayah Amerika
Latin menjadi daerah Katolik berkat penginjilan mereka. Kita mengenal juga
para misionaris besar, misalnya St. Fransiscus Xaverius SJ (1506-1552)
yang menyebarkan agama kristiani dengan cara membaptis sebanyak
mungkin orang. Ia bahkan sampai di Kepulauan Maluku yang menandai
sejarah kekristenan di Indonesia. Perintah Yesus di dalam Injil tadi telah
ditafsirkan secara harafiah oleh orang kristen bahwa semua orang di muka
bumi ini harus dibaptis supaya mereka diselamatkan oleh karya penebusan
Kristus. Penafsiran teologis itu telah menjadi penggerak karya misioner
Gereja untuk mewartakan injil dan membaptis semua orang dari segala
ujung bumi.
Perintah Yesus dalam Injil yang secara eksplisit mengatakan bahwa
pembaptisan harus diterimakan kepada semua orang demi keselamatan,
secara wajar telah ditafsirkan oleh Gereja sebagai perintah untuk
mengkristenkan seluruh dunia. Berbeda dari Yudaisme yang hanya
diperuntukkan untuk bangsa Yahudi saja, sekte Kristen lebih bercorak
ekspansif, dalam arti ia berpretensi untuk menjadi agama universal.
Pembaptisan adalah tanda orang dimasukkan ke dalam keanggotaan agama
Kristen. Dan agama Kristen diyakini sebagai tempat keselamatan telah
terjadi. Sehingga sangat wajar bahwa pembaptisan dianggap sebagai syarat
mutlak bagi keselamatan.
Pertanyaan kita selanjutnya ialah “dalam arti apa pembaptisan adalah
syarat mutlak bagi keselamatan seseorang?” Benarkah bahwa pembaptisan
adalah syarat mutlak keselamatan bagi semua orang, termasuk orang-
orang yang tidak sempat dibaptis selama hidup di dunia ini? Apakah orang
yang tidak sempat dibaptis dalam hidupnya di dunia ini tidak akan
mendapat keselamatan kekal? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini secara
teologis ini adalah sangat penting dan serentak juga secara personal dan
sosial sangat sensitif. Sangat penting karena menyangkut keyakinan pokok
umat kristiani. Sangat sensitif karena kita hidup dalam zaman pluralisme
agama dan hak asasi di bidang memeluk agama. Kalau kita katakan bahwa
baptisan itu mutlak perlu bagi keselamatan, sehingga orang yang tidak
dibaptis tidak mendapatkan keselamatan karena mereka tidak
mendapatkan penebusan Kristus, maka kita akan menyinggung perasaan
umat beragama non-kristen. Tetapi kalau kita katakan bahwa baptisan itu
tidak mutlak perlu bagi keselamatan, sehingga orang-orang yang tidak
dibaptis pun akan diselamatkan oleh Tuhan, maka kita akan dianggap
meremehkan pentingnya baptisan bagi keselamatan orang-orang kristen.
Pertanyaan-pertanyaan tadi sudah menjadi pokok refleksi para teolog
sejak lama. Francis A. Sullivan, SJ, dosen teologi dogmatik di Universitas
Gregoriana Roma, mengumpulkan pelbagai refleksi para teolog itu dalam
bukunya yang berbahasa Inggris, dan kalau diterjemahkan akan berbunyi:
“Keselamatan di luar Gereja? Melacak jejak jawaban katolik dalam
sejarah”1. Saya ingin mengajak pembaca untuk menyimak bagaimana
persoalan perlunya baptisan bagi keselamatan dan kenyataan bahwa umat
kristiani hidup dalam masyarakat multi-agama ini dijawab oleh para teolog
katolik. Kalau kita tidak memiliki pengertian yang tepat tentang masalan

1 Francis A. Sullivan, SJ, Salvation Outside the Church? Tracing the History of the
Catholic Response, Rome, 1992.
ini, maka kita akan jatuh pada dua ekstrim berikut. Pertama, kita menjadi
orang yang fanatik dan tertutup, karena kita yakin bahwa hanya melalui
baptisan manusia bisa mendapatkan keselamatan. Sedangkan orang-orang
yang tidak dibaptis pasti akan masuk neraka. Padahal kita tahu juga
bahwa pada zaman orang menghormati hak-hak asasi dan kebebasan
beragama ini, maka sikap ekstrim itu akan dianggap kolot dan ketinggalan
zaman. Sikap semacam itu nampak pada segelintir orang dari sekte atau
agama tertentu yang tidak toleran terhadap perbedaan. Kedua, kita bisa
pula jatuh pada ekstrim lainnya yaitu relativisme yang menganggap bahwa
baptisan tidak perlu bagi keselamatan. Orang-orang yang tidak dibaptis
pun dapat memperoleh keselamatan. Setiap orang dari agama apapun
dapat memperoleh keselamatan melalui agamanya masing-masing. Ada
banyak jalan menuju Roma, demikian pula ada banyak jalan menuju Sorga.
Tetapi untuk orang-orang kristiani yang percaya bahwa baptisan adalah
syarat mutlak baginya untuk memperoleh keselamatan, maka sikap relatif
itu terasa tidak adil. Bahkan tidak adil pula terhadap setiap pemeluk agama
lain yang dengan yakin nan teguh percaya bahwa agamanyalah yang paling
benar. Sehingga sikap relativistis itu adalah musuh semua agama. Sikap
yang relativistis di bidang iman itu tidak baik untuk umat kristiani yang
percaya akan baptisan dan tidak baik pula untuk penganut agama non
kristen yang percaya bahwa agamanyalah jalan menuju keselamatan. Kalau
anda mulai bingung berarti anda mulai mengerti bahwa persoalan ini
tidaklah sederhana. Itulah sebabnya maka dalam bagian prakata dan
pendahuluan di atas permasalahan ini saya uraikan agak panjang lebar.
Marilah kita mencari kejelasan atas masalah yang tidak sederhana ini
bersama-sama.

Anda mungkin juga menyukai