Anda di halaman 1dari 6

Nama: Nikita Pina Rahmadani

NIM: 201010550654
Tugas Struktural PAI Pertemuan-2

1. MUNGKINKAH MANUSIA TIDAK BERAGAMA DALAM HIDUPNYA?


JELASKAN ARGUMENT ANDA BESERTA ALASANNYA!
Manusia sangat mungkin tidak beragama, dalam ranah filsafat, agama adalah salah satu cara
untuk mencari kebenaran. artinya agama muncul karena manusia ada. agama kemudian
dijadikan sebagi pengatur dan pedoman manusia untuk menjalani hidup sebagai bekal di
kehidupan sesudah mati. pada perkembangannya, manusia yang mendasarkan pemikirannya
pada ratio tidak berterima dengan pandangan mengenai agama karena konsep ketuhanan
tidak dapat dijelaskan secara rasional. hingga akhirnya muncul yang namanya 'atheis' (tidak
mengakui tuhan dan agama) dan 'agnostis' (mengakui tuhan tanpa harus mengikuti aturan-
aturan agama).
Agama itu hanya sebuah tata cara yang direferensikan tokoh-tokoh atau yang lebih dikenal
Para Nabi dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Jika diambil kesimpulan tujuan agama
fokus kepada Tuhan dan sebagai bukti wujud dari seseorang itu mengenal Tuhan dia akan
mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan berdamai dengan orang lain, santun, beretika
dalam setiap tingkah laku, ucapan, perbuatan serta menghargai manusia lainnya sebagai
sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.Orang yang mengenal Tuhan didalam dirinya sendiri
akan hidup tertib, selalu menjaga dirinya sendiri untuk selalu menciptakan rasa nyaman jika
hadir dimanapun, pada suasana apapun, penuh kasih dan mengampuni serta memaklumi
dalam setiap permasalahan.

2. MENURUT ANDA SEBERAPA PENTING PERAN DAN FUNGSI AGAMA


BAGI KEHIDUPAN MANUSIA?
Agama sangat penting dan sangat memiliki peranan dalam membentuk dan membangaun tatanan
masyarakat melebihi teratur, terarah dan lebih maju karena petuah agama dapat membuat kerukunan
kultur dan memperbaiki kualitas pergaulan pada orang orang yang memiliki perbedaan agama pada
masyarakat yang majemuk supaya senantiasa hidup berdampingan tanpa berada rasa iri, dengki,
merasa sangat benaatau egoisr dan lain lain. Agama adalah tiang kehidupan – Seseorang yang tidak
mempunyai agama apapun maka kehidupannya akan dipenuhi dengan keraguan, cenderung suka
dengan perlintasan kemaksiatan dan budi pekerti perbuatan yang merugikan orang lain. tanpa agama
seseorang tidak akan mempunyai sesuatu yang selalu mengajaknya untuk berdoa, bersyukur,
menyesali budi pekerti dan memohon pengampunan pada tuhan yang diyakininya dapat menolongnya
merubah perlintasannya melebihi baik.
Agama adalah tiang dalam berfikir – Seseorang yang tidak memiliki agama maka akan sulit baginya
untuk memahami dan memahami cara menghormati perbedaan kita dengan orang lain. sulit dapat
menghargai ibadah orang lain dan sulit untuk menyayangi orang orang yang butuh bantuan . tanpa
agama kita tidak dapat berfikir jernih karena perlintasan kebaikan , kebenaran dan keadilan yang
diajarkan didalamnya tidak pernah dipahaminya dengan baik.Agama adalah tiang dalam berprilaku –
Tanpa agama seseorang tidak dapat berprilaku baik ditengah masyarakat karena agama yang selalu
mengajarkan kebaikaan tidak dimilikinya. tanpa agama seseorang sangat miskin dengan petuah segala
sesuatu yang diajarkan kebaikan, moral dan tentang norma norma yang mesti dijalankan dalam
masyarakat. tanpa agama seseorang cenderung tidak dapat berprilaku santun, tidak dapat
mengendalikan emosi, merasa menang sendiri dan tidak dapat menghargai hasil karya orang lain.
Agama adalah tiang dalam mengambil keputusan. – Agama selalu mengajarkan hal hal kebaikan
supaya manusia selalu berada dalam kebenaran dan tidak melakukaan hal hal yang dilarang yang
sebenarnya dapat berdampak buruk bagi orang lain. jika hidup saling rukun, saling menghormati dan
tidak saling menyakiti maka hidup bermasyarakat akan selalu terasa damai, lepas sama sekali dari
bahaya dan mudah dalam mengambil keputusan ketika masih bermusyawarah.Agama adalah tiang
negara – Suatu negara yang sangat maju tidak akan berati apa apa jika warga negaranya tidak
memiliki agama.karena tanpa agama manusia dengan manusia lainnya akan mudah terpancing dengan
hal hal yang dapat memecah belah persatuan, seseorang yang tidak beragama mudah terhasut , mudah
diperdaya dan mudah terpancing emosi dan memulai pertikaian, pertengkaran, permusuhan,
perkelahian, bahkan peperangan.

3. APA YANG DIMAKSUD AGAMA MERUPAKAN KEBUTUHAN FITRAH


MANUSIA, JELASKAN!
Manusia adalah makluk yang memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya.
Keistemawaan tersebut berwujud fitrah untuk mengenal hakikat dan mengetahui realitas.
Kata fithrah dijelaskan sebagai (baca; kecenderungan alamiah kepada) keyakinan tauhid.
Sebagaimana telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an surat ar-Ruum ayat 30
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Ayat tersebut di atas, hendak menjelaskan kepada kita apa itu fitrah. Secara eksplisit ayat
tersebut menjelaskan “fitrah sebagai agama”, yakni jalan lurus yang menghantarkan manusia
kepada tauhid atau penyaksian kepada Ketunggalan. Dalam hal ini, fitrah adalah sesuatu yang
universal bagi manusia. Tidak ada satu pun manusia yang dapat menyangkalnya. Ia tidak
hanya terbatas pada keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan, melainkan juga mencakup seluruh
ajaran dan prinsip yang benar. Kalau benar fitrah itu bersifat universal bagi manusia, lantas
mengapa masih saja kita temukan orang yang mengaku tidak bertuhan ataupun beragama?

Fitrah adalah keswasenyataan yang paling jelas, karena tidak ada satu permasalahan pun yang
melebihi kejelasannya. Tidak seorang pun mengingkarai hal ini. Oleh karenanya fitrah adalah
salah satu yang paling jelas dan paling nyata dari sekian banyak prinsip yang pasti benarnya.
Dalam ayat yang sama tersebut di atas menjelaskan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya

Dalam sebuah hadist populer (ahl ul-bait) mengatakan; “Setiap anak dilahir-kan dalam
keadaan fitrah.” Ia lebih dikenal dengan kuriositas (rasa ingin tahu). Rasa keingintahuan
manusia mampu mendorong manusia untuk mencari agama yang benar dan memikirkan
berbagai persoalan yang esensial dalam hidupnya.

Di samping itu, rasa ingin tahu manusia untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin
memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain
fitrah rasa ingin tahu. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan (baca: fitrah akan
kesempurnaan), manusia memerlukan beragam teori atau pengetahuan tertentu untuk
menggapainya. Dan bila agama bisa dijadikan ‘alat pemuas’ akan kebutuhan manusia atau
terdapat kekayaan terpendam di dalamnya, tentu saja manusia akan berbondong-bondong
menuju agama.

Sebut saja teori gambling Pascal. Dalam upayanya menjelaskan kepada orang-orang ateistik
tentang kebertuhanan dan keberagamaannya, ia berargumentasi setidaknya demikian; “Anda
harus bertaruh apakah agama—dalam hal ini jelas, Kristen—benar atau salah, meskipun
‘menurut akal, anda tidak dapat mempertahankan proposisi-proposisi semacam itu.” Anda
pun menerima tantangan dan menetapkan pilihan. “Mari kita timbang untung rugi dalam
taruhan tentang Tuhan,” kata Pascal. “Mari kita perhitungkan kedua peluang itu. Jika Anda
menang, Anda medapat segalanya; jika Anda kalah, tidak akan kehilangan apa-apa.”

Menurut M.T Misbah yazdi, sebagian ahli psikologi bahwa beragama dan beribadah kepada
Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa
beragama, mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, disamping
naluri rasa ingin tahu (kuriostika), rasa ingin berbuat baik (etika), dan rasa ingin keindahan
(estetika).  Para sejarawan dan arkeolog menemukan fakta bahwa rasa beragama dan
beribadah Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia
sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah salah satu bukti kuat bahwa religiusitas adalah fitrah
yang bersifat universal.

Maka tidak salah, dari fenomena religiusitas setiap peradaban, melahirkan sebuah istilah
umum, “Agama adalah jantung peradaban.” Setiap peradaban mempunyai pandangan dunia
holistik, dimana dimensi metafisik, filosofis dan teologis termasuk di dalamnya.

Sumber: http://ikmalonline.com/beragama-sebagai-fitrah-manusia/

4. AGAMA MERUPAKAN KEBUTUHAN ASASI, KEBUTUHAN YANG


SANGAT MENDASAR SIFATNYA BAGI SETIAP MANUSIA. DI ABAD
MODERN SEKARANG INI, AGAMA TETAP DIPERLUKAN. SEMAKIN
JAUH MANUSIA MENCAPAI KEMAJUAN, SEMAKIN MEMERLUKAN
AGAMA. TANPA AGAMA, SETIAP KEMAJUAN BELUM TENTU
MEMBAHAGIAKAN MANUSIA, MALAH MUNGKIN MEMBINASAKAN
MANUSIA.
Ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa peran agama sudah berakhir dan telah
digantikan perannya oleh ilmu pengetahuan modern. Asumsi ini jelas jauh dari nilai-nilai
kebenarandan sebuah asumsi yang sama sekali tidak dilandasi oleh unsur-unsur ilmiah.
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa agama itu ada dan jelas berguna bagi umat manusia
bukan sesuatu yang terjadi secara mendadak atau bersifat insidentil. Dan agama bagi
kehidupan umat manusia berada dalam hati sanubari mereka, bukan dianggap sebagai
pedoman sampingan yang bisa dibuang sewaktu-waktu. Oleh karena itu, sesungguhnya
kapanpun manusia hidup dan dimanapun ia berada, agama tetap merupakan kebutuhan asasi,
yang mendasar sifatnya. Apa lagi di abad modern seperti sekarang ini, agama sangat
diperlukan. Semakin jauh manusia mencapai kemajuan, semakin memerlukan agama. Tanpa
agama setiap kemajuan belum tentu membahagiakan manusia, justru akan semakin
membinasakan manusia.
Sumber: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwje0M_JmvPzAhUJU30KHZ6jB1oQFno
ECCcQAQ&url=http%3A%2F%2Frepo.iain-tulungagung.ac.id%2F1036%2F4%2FBAB
%2520II.doc&usg=AOvVaw3nbr7fxmVt5kTboOPNE-eT

5. SEKARANG INI KITA SERING MENDENGAR ADA ORANG YANG


MEMUTUSKAN UNTUK MENJADI ATHEIS DAN TIDAK MAU TERIKAT
DENGAN AGAMA APAPUN
Menurut situs web ateisme yang resmi: “Ateisme bukan penolakan atau penyangkalan allah;
ialah kurangnya kepercayaan pada allah.” Jadi mereka yang mengaku sebagai ateis berupaya
menekankan kekurangan kepercayaan mereka pada allah, bukan penolakan untuk percaya.
Mereka beranggapan bahwa ateisme lebih unggul secara intelektual daripada beriman pada
Allah. Akan tetapi, definisi inipun berbentrokan dengan sudut pandang Alkitab, yang
menyatakan, “Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah'" (Mazmur 14:1; 53:1).
Karena para ateis menyetujui bahwa semua manusia mempunyai kebebasan memilih
kepercayaannya masing-masing, pada artikel ini kita akan mendefinisikan ateisme sebagai
pilihan untuk tidak mempercayai adanya Makhluk Agung yang kepadanya umat manusia
harus bertanggung-jawab.

Statistik telah mengungkapkan bahwa ateisme sedang bertumbuh di negara-negara yang


secara sejarah banyak dipengaruhi oleh agama Kristen. Statistik tersebut juga melingkungi
mereka yang dibesarkan di rumah tangga yang sekuler, namun yang mencengangkan ialah
pertumbuhan dari rumah tangga yang dahulunya beragama. Ketika kita mendengar adanya
tokoh agama Kristen yang menolak agamanya, kita berpikir, “Kenapa?” Kenapa begitu
banyak orang tidak lagi mempercayai Allah meskipun karya-Nya dapat dijumpai dimana-
mana (Mazmur 19:1; 97:6; Roma 1:20)? Setiap kebudayaan di atas dunia mengakui adanya
dewa atau illah, namun mengapa pada saat ini ada begitu banyak orang yang tidak
mempercayai adanya allah sama sekali?

Ada beberapa alasan mengapa orang mengecap dirinya sebagai ateis. Yang pertama adalah
ketidaksadaran. Karena miskin akan pengetahuan yang benar, seseorang mencapai konklusi
bahwa tidak ada apapun di luar alam semesta serta pengalaman manusia di dalamnya. Karena
adanya begitu banyak yang tidak kita ketahui, maka kedunguan ini seringkali menciptakan
ide-ide baru untuk mengisi ketidaktahuannya. Seringkali langkah ini berujung pada agama
yang palsu atau ateisme. Pengetahuan yang meragukan tentang Allah seringkali telah
dicemarkan oleh mitos dan takhayul beragama sehingga kejadian supranatural apapun
dianggapnya sebagai dongeng. Karena telah diombang-ambingkan oleh berbagai klaim yang
membingungkan, ada mereka yang mencetuskan bahwa semuanya tidak benar tanpa
mempertimbangkannya sendiri.

Kekecewaan merupakan alasan lain mengapa ada orang yang menjadi ateis. Dikarenakan
oleh pengalaman yang buruk, seperti doa yang tidak terkabul atau perilaku munafik pada
orang beragama, seseorang mencapai konklusi bahwa Allah itu tidak ada. Karena Ia tidak
menjawab dengan cara yang mereka harapkan, maka mereka menyimpulkan bahwa Ia tidak
ada sama sekali. Mereka tersandung oleh konsep yang rumit seperti neraka, pembantaian
pada jaman Perjanjian Lama, dan kekekalan, dan menyimpulkan bahwa Allah yang
diperkenalkan Alkitab terlalu membingungkan. Kekecewaan mendorong orang untuk
mencari kelegaan pada hal yang nyata dan yang diakui, daripada mempercayai allah yang tak
nampak. Demi menghindari kekecewaan berulang kali, mereka meninggalkan segala upaya
beriman dan mencari kepuasan dengan memilih percaya bahwa Allah tidak ada.

Tidak jauh dari barisan orang kecewa terdapat mereka yang mengklaim diri sebagai “ateis,”
namun, kenyataannya, mereka bersifat anti terhadap Allah. Ateisme merupakan label yang
mereka gunakan untuk menyembunyikan kebencian mereka terhadap Allah. Disebabkan oleh
trauma pada masa muda atau pelecehan yang diatasnamakan agama, orang-orang ini
membenci semua yang berbau agama. Satu-satunya cara mereka dapat melawan Allah yang
mereka anggap kejam adalah dengan mati-matian menolak-Nya. Peristiwa di masa lampau
mereka telah meninggalkan bekas luka yang dalam sehingga adalah lebih mudah menyangkal
keberadaan Allah daripada mengaku bahwa mereka sebetulnya membenci-Nya. Ateis yang
sejati akan menolak kelompok kecil ini karena mereka menyadari bahwa kemarahan terhadap
Allah adalah sama dengan mengakui keberadaan-Nya. Namun faktanya banyak sekali orang
yang mengklaim diri sebagai ateis sambil mengutarakan hujatan mereka pada Allah yang
tidak mereka percayai ada.

Dan masih ada mereka yang menolak adanya Allah karena Ia sulit dijumpai. Seorang ateis
terkenal bernama Richard Dawkins diberi pertanyaan, “Apa yang bakal Anda katakan jika
Anda bertatap muka dengan Allah ketika meninggal?” ia menjawab, “Aku akan berkata pada-
Nya, 'Mengapa engkau begitu menyembunyikan diri?'” Ada mereka yang tidak senang
dengan fakta bahwa Allah adalah Roh, tak nampak, dan hanya dapat ditemukan melalui iman
(Ibrani 11:6; Yeremia 29:13). Mereka berpendapat bahwa Sang Pencipta alam semesta
berhutang pembuktian-Diri pada mereka selain daripada apa yang telah Ia nyatakan (Mazmur
19:1; 102:25; Roma 1:20). Yesus membahas pola pikir ini ketika Ia ada di dunia. Di dalam
Markus 8, Yesus telah memberi makan pada empat ribu orang dengan tujuh buah roti dan
beberapa ikan, namun para pakar intelektual mendatangi-Nya dan meminta sebuah pertanda
yang “membuktikan” bahwa Ia adalah Sang Mesias (ayat 11). Yesus mengulas kekerasan hati
macam ini dalam perumpamaan-Nya tentang orang kaya yang berada di neraka, yang ingin
memperingatkan saudara-saudaranya nasib yang menanti setelah kematian (Lukas 16:19-31).
Dari surga, Abraham menjawab, “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para
nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari
antara orang mati” (Lukas 16:31).

Penjelasan yang paling masuk akal bagi pertumbuhan ateisme belum berubah sejak peristiwa
kejatuhan di Taman Eden (Kejadian 3:6; Roma 3:23). Dasar dari semua dosa adalah
penentuan nasib pribadi. Dengna menolak keberadaan Sang Pencipta, para ateis dapat hidup
semaunya sendiri tanpa menghiraukan penghakiman dan konsekuensi kekal (Matius 12:36;
Roma 14:12; 1 Petrus 4:5; Ibrani 4:13). Di abad ke-21 ini, penyembahan diri sendiri telah
menjadi kebiasaan. Ateisme menarik bagi mereka yang dibesarkan menurut teori evolusi dan
relatifisme moralitas. Yohanes 3:19 menyatakan, “...Terang telah datang ke dalam dunia,
tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan
mereka jahat.” Jika manusia menciptakan dirinya sendiri, menentukan nasibnya sendiri, dan
egois, maka mereka tidak akan tunduk kepada hukum moralitas atau pencipta hukum
moralitas apapun. Tidak ada yang mutlak dalam anggapan mereka, sehingga mereka tidak
perlu bertanggung-jawab pada siapapun juga. Dengan pola pikir tersebut, para ateis dapat
memaksimalkan kesenangan mereka pada kehidupan ini saja.

Selama para pakar sains, profesor, dan filsuf menjual sudut pandang ateis mereka sebagai
kebenaran dan hikmat, maka manusia akan selalu menelannya karena penentuan nasib sendiri
sangat menarik bagi sifat pemberontak kita. Sikap ini bukanlah hal baru, yang berbeda
hanyalah norma kebudayaan yang telah memperbolehkannya. Roma 1:18-31 mendaftarkan
akibat dari penolakan otoritas Allah. Ayat 18 mengajar, “Dan karena mereka tidak merasa
perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang
terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas.” Dunia kita sedang mengamati
buah-buah pikiran yang terkutuk itu. Apa yang dijuluki “pencerahan” oleh para ateis, Allah
menjulukinya kebodohan. Roma 1:22 mengajar, “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh
hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Karena “permulaan hikmat adalah takut akan
TUHAN” (Mazmur 111:10; Amsal 1:7; 9:10), maka penolakan Allah (ateisme) adalah
permulaan kebodohan.

Sumber: https://www.gotquestions.org/Indonesia/begitu-banyak-ateis.html

Anda mungkin juga menyukai