NIM: 201010550654
Tugas Struktural PAI Pertemuan-2
Ayat tersebut di atas, hendak menjelaskan kepada kita apa itu fitrah. Secara eksplisit ayat
tersebut menjelaskan “fitrah sebagai agama”, yakni jalan lurus yang menghantarkan manusia
kepada tauhid atau penyaksian kepada Ketunggalan. Dalam hal ini, fitrah adalah sesuatu yang
universal bagi manusia. Tidak ada satu pun manusia yang dapat menyangkalnya. Ia tidak
hanya terbatas pada keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan, melainkan juga mencakup seluruh
ajaran dan prinsip yang benar. Kalau benar fitrah itu bersifat universal bagi manusia, lantas
mengapa masih saja kita temukan orang yang mengaku tidak bertuhan ataupun beragama?
Fitrah adalah keswasenyataan yang paling jelas, karena tidak ada satu permasalahan pun yang
melebihi kejelasannya. Tidak seorang pun mengingkarai hal ini. Oleh karenanya fitrah adalah
salah satu yang paling jelas dan paling nyata dari sekian banyak prinsip yang pasti benarnya.
Dalam ayat yang sama tersebut di atas menjelaskan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya
Dalam sebuah hadist populer (ahl ul-bait) mengatakan; “Setiap anak dilahir-kan dalam
keadaan fitrah.” Ia lebih dikenal dengan kuriositas (rasa ingin tahu). Rasa keingintahuan
manusia mampu mendorong manusia untuk mencari agama yang benar dan memikirkan
berbagai persoalan yang esensial dalam hidupnya.
Di samping itu, rasa ingin tahu manusia untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin
memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain
fitrah rasa ingin tahu. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan (baca: fitrah akan
kesempurnaan), manusia memerlukan beragam teori atau pengetahuan tertentu untuk
menggapainya. Dan bila agama bisa dijadikan ‘alat pemuas’ akan kebutuhan manusia atau
terdapat kekayaan terpendam di dalamnya, tentu saja manusia akan berbondong-bondong
menuju agama.
Sebut saja teori gambling Pascal. Dalam upayanya menjelaskan kepada orang-orang ateistik
tentang kebertuhanan dan keberagamaannya, ia berargumentasi setidaknya demikian; “Anda
harus bertaruh apakah agama—dalam hal ini jelas, Kristen—benar atau salah, meskipun
‘menurut akal, anda tidak dapat mempertahankan proposisi-proposisi semacam itu.” Anda
pun menerima tantangan dan menetapkan pilihan. “Mari kita timbang untung rugi dalam
taruhan tentang Tuhan,” kata Pascal. “Mari kita perhitungkan kedua peluang itu. Jika Anda
menang, Anda medapat segalanya; jika Anda kalah, tidak akan kehilangan apa-apa.”
Menurut M.T Misbah yazdi, sebagian ahli psikologi bahwa beragama dan beribadah kepada
Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa
beragama, mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, disamping
naluri rasa ingin tahu (kuriostika), rasa ingin berbuat baik (etika), dan rasa ingin keindahan
(estetika). Para sejarawan dan arkeolog menemukan fakta bahwa rasa beragama dan
beribadah Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia
sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah salah satu bukti kuat bahwa religiusitas adalah fitrah
yang bersifat universal.
Maka tidak salah, dari fenomena religiusitas setiap peradaban, melahirkan sebuah istilah
umum, “Agama adalah jantung peradaban.” Setiap peradaban mempunyai pandangan dunia
holistik, dimana dimensi metafisik, filosofis dan teologis termasuk di dalamnya.
Sumber: http://ikmalonline.com/beragama-sebagai-fitrah-manusia/
Ada beberapa alasan mengapa orang mengecap dirinya sebagai ateis. Yang pertama adalah
ketidaksadaran. Karena miskin akan pengetahuan yang benar, seseorang mencapai konklusi
bahwa tidak ada apapun di luar alam semesta serta pengalaman manusia di dalamnya. Karena
adanya begitu banyak yang tidak kita ketahui, maka kedunguan ini seringkali menciptakan
ide-ide baru untuk mengisi ketidaktahuannya. Seringkali langkah ini berujung pada agama
yang palsu atau ateisme. Pengetahuan yang meragukan tentang Allah seringkali telah
dicemarkan oleh mitos dan takhayul beragama sehingga kejadian supranatural apapun
dianggapnya sebagai dongeng. Karena telah diombang-ambingkan oleh berbagai klaim yang
membingungkan, ada mereka yang mencetuskan bahwa semuanya tidak benar tanpa
mempertimbangkannya sendiri.
Kekecewaan merupakan alasan lain mengapa ada orang yang menjadi ateis. Dikarenakan
oleh pengalaman yang buruk, seperti doa yang tidak terkabul atau perilaku munafik pada
orang beragama, seseorang mencapai konklusi bahwa Allah itu tidak ada. Karena Ia tidak
menjawab dengan cara yang mereka harapkan, maka mereka menyimpulkan bahwa Ia tidak
ada sama sekali. Mereka tersandung oleh konsep yang rumit seperti neraka, pembantaian
pada jaman Perjanjian Lama, dan kekekalan, dan menyimpulkan bahwa Allah yang
diperkenalkan Alkitab terlalu membingungkan. Kekecewaan mendorong orang untuk
mencari kelegaan pada hal yang nyata dan yang diakui, daripada mempercayai allah yang tak
nampak. Demi menghindari kekecewaan berulang kali, mereka meninggalkan segala upaya
beriman dan mencari kepuasan dengan memilih percaya bahwa Allah tidak ada.
Tidak jauh dari barisan orang kecewa terdapat mereka yang mengklaim diri sebagai “ateis,”
namun, kenyataannya, mereka bersifat anti terhadap Allah. Ateisme merupakan label yang
mereka gunakan untuk menyembunyikan kebencian mereka terhadap Allah. Disebabkan oleh
trauma pada masa muda atau pelecehan yang diatasnamakan agama, orang-orang ini
membenci semua yang berbau agama. Satu-satunya cara mereka dapat melawan Allah yang
mereka anggap kejam adalah dengan mati-matian menolak-Nya. Peristiwa di masa lampau
mereka telah meninggalkan bekas luka yang dalam sehingga adalah lebih mudah menyangkal
keberadaan Allah daripada mengaku bahwa mereka sebetulnya membenci-Nya. Ateis yang
sejati akan menolak kelompok kecil ini karena mereka menyadari bahwa kemarahan terhadap
Allah adalah sama dengan mengakui keberadaan-Nya. Namun faktanya banyak sekali orang
yang mengklaim diri sebagai ateis sambil mengutarakan hujatan mereka pada Allah yang
tidak mereka percayai ada.
Dan masih ada mereka yang menolak adanya Allah karena Ia sulit dijumpai. Seorang ateis
terkenal bernama Richard Dawkins diberi pertanyaan, “Apa yang bakal Anda katakan jika
Anda bertatap muka dengan Allah ketika meninggal?” ia menjawab, “Aku akan berkata pada-
Nya, 'Mengapa engkau begitu menyembunyikan diri?'” Ada mereka yang tidak senang
dengan fakta bahwa Allah adalah Roh, tak nampak, dan hanya dapat ditemukan melalui iman
(Ibrani 11:6; Yeremia 29:13). Mereka berpendapat bahwa Sang Pencipta alam semesta
berhutang pembuktian-Diri pada mereka selain daripada apa yang telah Ia nyatakan (Mazmur
19:1; 102:25; Roma 1:20). Yesus membahas pola pikir ini ketika Ia ada di dunia. Di dalam
Markus 8, Yesus telah memberi makan pada empat ribu orang dengan tujuh buah roti dan
beberapa ikan, namun para pakar intelektual mendatangi-Nya dan meminta sebuah pertanda
yang “membuktikan” bahwa Ia adalah Sang Mesias (ayat 11). Yesus mengulas kekerasan hati
macam ini dalam perumpamaan-Nya tentang orang kaya yang berada di neraka, yang ingin
memperingatkan saudara-saudaranya nasib yang menanti setelah kematian (Lukas 16:19-31).
Dari surga, Abraham menjawab, “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para
nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari
antara orang mati” (Lukas 16:31).
Penjelasan yang paling masuk akal bagi pertumbuhan ateisme belum berubah sejak peristiwa
kejatuhan di Taman Eden (Kejadian 3:6; Roma 3:23). Dasar dari semua dosa adalah
penentuan nasib pribadi. Dengna menolak keberadaan Sang Pencipta, para ateis dapat hidup
semaunya sendiri tanpa menghiraukan penghakiman dan konsekuensi kekal (Matius 12:36;
Roma 14:12; 1 Petrus 4:5; Ibrani 4:13). Di abad ke-21 ini, penyembahan diri sendiri telah
menjadi kebiasaan. Ateisme menarik bagi mereka yang dibesarkan menurut teori evolusi dan
relatifisme moralitas. Yohanes 3:19 menyatakan, “...Terang telah datang ke dalam dunia,
tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan
mereka jahat.” Jika manusia menciptakan dirinya sendiri, menentukan nasibnya sendiri, dan
egois, maka mereka tidak akan tunduk kepada hukum moralitas atau pencipta hukum
moralitas apapun. Tidak ada yang mutlak dalam anggapan mereka, sehingga mereka tidak
perlu bertanggung-jawab pada siapapun juga. Dengan pola pikir tersebut, para ateis dapat
memaksimalkan kesenangan mereka pada kehidupan ini saja.
Selama para pakar sains, profesor, dan filsuf menjual sudut pandang ateis mereka sebagai
kebenaran dan hikmat, maka manusia akan selalu menelannya karena penentuan nasib sendiri
sangat menarik bagi sifat pemberontak kita. Sikap ini bukanlah hal baru, yang berbeda
hanyalah norma kebudayaan yang telah memperbolehkannya. Roma 1:18-31 mendaftarkan
akibat dari penolakan otoritas Allah. Ayat 18 mengajar, “Dan karena mereka tidak merasa
perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang
terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas.” Dunia kita sedang mengamati
buah-buah pikiran yang terkutuk itu. Apa yang dijuluki “pencerahan” oleh para ateis, Allah
menjulukinya kebodohan. Roma 1:22 mengajar, “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh
hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Karena “permulaan hikmat adalah takut akan
TUHAN” (Mazmur 111:10; Amsal 1:7; 9:10), maka penolakan Allah (ateisme) adalah
permulaan kebodohan.
Sumber: https://www.gotquestions.org/Indonesia/begitu-banyak-ateis.html