Anda di halaman 1dari 3

Karya: Alberth Keavin Owen Wee

Bahtera Tua; Indonesia


Selimut pilu

Menyulamkan kayu

Berlayar mengarungi samudera berombak deru

Di bawah tuntunan nahkoda ulung

Bahtera tua itu masih terus berlayar mengarungi samudera

Tak lekang dalam pergolakan ombak yang berniat kandaskan perjalanan

Meskipun selalu dinanti arunika di setiap penghujung hari

Namun seringkali ia tersesat di dalam badai yang selalu terus menghantui

Senyum pun hampir tak terlihat

Perihal sejarah yang mengubur dalam-dalam jasad para pejuang

Dalam gelap gulitanya dasar samudera

Selalu ada harapan dalam perjalanan panjang peziarahannya

Terbeban bakti yang selalu mengusik keresahan di bumi ibu pertiwi

Niat pun terbakar atas dosa yang tak kunjung menghampiri

Pelabuhan tempat mu merdeka

Kini menjadi asing karena perlahan hilang di makan samudera


Karya: Alberth Keavin Owen Wee

Tak kunjung habis perjuanganmu

Yang masih diancam karam seakan mencaci habis kesucian hati

Sebab nahkoda mu mulai gelisah perihal pulau harapan yang belum dicapai

Selalu tubuh bahteramu dihantam ombak menakuti seisi penumpangmu

Meskipun kau selalu diganggu para bajak laut yang tak berbudi

Merampas segala hartamu sebagai modal berjudi

Tetapi kau masih tetap berani menyeret bedebah itu dengan tangan besi

Demi menjaga hati para penumpang dengan niat hati yang murni

Layar kapal mu nyaris dibakar oleh perampok berkedok suci

Sekujur tubuh nahkodamu dirajam habis-habisan tertusuk ribuan belatih

Tetapi tak semudah abu tertiup angin

Kau tetap berlayar jauh mencari daratan sebagai tempat peraduan ibu pertiwi

Sesekali kau senyumi penjahat bertopeng badut

Berdiam dalam bahtera menggenggam cinta yang semu

Mereka menyuap laksamana demi mendapat simpati untuk bertedu

Sungguh miris nasib mu wahai bahteraku


Karya: Alberth Keavin Owen Wee

Oh ibu pertiwi

Meskipun kau teguh memegang janji para pendahulu

Kau masih terisak tangis menyaksikan drama “pemburu” yang dilakoni awak
bahteramu

Sujud bakti kami para putera-puterimu tak sanggup menghapus tetesan air
matamu

Kami hanya bermodalkan tombak meruncingkan kesadaran

Berjalan perlahan mengusung panji kebenaran

Layaknya para pendahulu yang dibakar dengan semangat yang bernyala

Berusaha meresapi jiwa, hendak menyembuhkan hati ibu pertiwi yang terluka

Wahai hati yang tak berbudi

Masakan kau terus menyayat hati ibu pertiwi?

Tak sadarkah kau perlahan menggali lubang samudera sebagai liang kubur mu?

Perihal dosa yang kau taruh atas nisan para pendahulu...

Wahai bahtera tua...

Bisikanlah kepada kami semangat untuk melanjutkan pelayaran

Layaknya pilar bahtera yang kokohkan bentangkan layar

Kami putera-puterimu siap menjadi tombak runcing mengukir peradaban

Anda mungkin juga menyukai