Anda di halaman 1dari 14

A.

BEDA PERSEPSI PROTESTAN DAN KATHOLIK


Adalah tanggung jawab Gereja untuk mendorong dan mendoakan upaya membangun
rumah tangga sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah posisi Gereja Protestan dalam hal
perkawinan dan pembentukan rumah tangga. Luther berkata : “ Tugas Gereja dalam
hubungan dengan pembentukan rumah tangga adalah memberitakan Firman Tuhan kepada
mereka yang menikah”
Perkawinan menurut hukum sipil dianggap syah, begitu juga perceraian jika
diputuskan oleh hakim di pengadilan. Gereja tidak menikahkan dan juga tidak menceraikan
orang. Itu urusan keluarga dan kemudian negara. Tugas gereja adalah mendoakan berkat
Tuhan untuk perkawinan tersebut dan mendorong suami-istri itu membangun rumah tangga
sesuai firman Tuhan. Perpindahan agama baik dari maupun ke protestan tidak merusak
sebuah pernikahan yang sudah disyahkan sebelumnya. Perkawinan bukan sakramen. Kaum
Protestan memandang perkawinan yang kristen maupun non kristen adalah sama bobotnya.
Tuhan menjanjikan berkat dan pertolongan yang sama kepada semua orang yang menikah
jika mereka datang kepadaNya dalam iman untuk memohon kekuatan, penghiburan, dan
keselamatan atas rumah tangga mereka. Perkawinan tidak perlu dijadikan ritus yang khas dari
Gereja. Bagi Gereja Protestan perkawinan adalah anugerah. Ia tidak perlu dijadikan eksklusif
milik Gereja dan menjadi sebuah sakramen yang mengandung khasiat khusus atau yang
bekerja otomatis bagi keselamatan. Tidak! Dalam agama lain pun ada perkawinan. Orang-
orang yang menikah tidak serta-merta mewarisi surga, memperoleh keselamatan. Perkawinan
yang didoakan dan dilaksanakan oleh Gereja sekalipun bisa mendatangkan neraka bagi
pasangan mempelai kalau mereka tidak menjalaninya dengan ketaatan kepada Tuhan dan
kesedihan berkorban satu sama lain
Orang tidak wajib menikah untuk ambil bagian dalam keselamatan. Selain pilihan
untuk menikah, pilihan untuk membujang juga dihargai oleh Gereja Protestan. Orang yang
menikah dan orang membujang memiliki peluang yang sama untuk ambil bagian dalam
keselamatan Allah. Menikah termasuk dalam orde penciptaan dan bukan orde keselamatan.
Meskipun begitu ia bukan sebuah kemungkinan hidup yan lebih rendah atau lebih tinggi dari
selibat atau asketisme dan bahwa perkawinan adalah “hal duniawi” kata Luther. Di langit
yang baru dan bumi yang baru orang- orang tidak menikahi dan yang menikah memperoleh
kasih dan perhatian yang sama dari sang Bapa.
Gereja Katholik dan Orthodox memahami pernikahan secara lebih serius. Mereka
tidak dapat menerima sikap Kaum Protestan. Bagi mereka perkawinan harus menjadi urusan
Gereja. Memisahkan Gereja dengan urusan perkawinan sama dengan menduniakan
perkawinan, sekaligus menyangkali muatan religius dari perkawinan itu. Ini paling nyata dari
sikap kaum Protestan yang mengakui perceraian yang di syahkan oleh hukum sipil.
Persetujuan ini bertolak belakang dengan pemahaman Protestan tentang keluarga sebagai
Gereja Mini.1 Gereja Roma Katholik dan Orthodox menetapkan perkawinan sebagai
sakramen2 yang sama nilainya dengan baptisan dan perjamuan kudus 3. Dengan itu
perkawinan dijadikan eksklusif milik Gereja. Sejumlah aturan dan ketentuan ditetapkan untuk
melindungi milik ini, salah satunya adalah ketentuan bahwa syah tidaknnya perkawinan
ditentukan oleh Gereja. Mempelai yang menikah oleh hukum sippil oleh Gereja nikahnya
belum dianggap syah. Gereja Katholik tidak mengakui perkawinan menurut hukum sipil. 4
Begitu juga perceraian menurut hukkum sipil ditolak oleh Gereja. Perkawinan yang sah rusak
oleh perpindahan agam dari dan ke Katholik.
Kritik dari kaum Protestan terhadap pendapat ini adalah sebagai berikut. Pertama,
orang-orang Katholik menjalani dua kali pernikahan. Yang pertama menurut hukum sipil. Itu
tidak diakui gereja. Kedua menurut hukum gereja. Inilah perkawinan yang syah. Dengan ini
pihak Katholik mencampur-baurkan hukum dan iman. Gereja tampil sebagai institusi yang
sangat besar kuasanya dan tidak memerlukan negara dan pemerintah. Ini sama dengan
mengabsolutkan keputusan manusai sekaligus menduaniawikan iman. Sikap ini menggemuka
dalam kasus di mana gereja Katholik melarang perceraian dan tidak mengakui perceraian
menurut hukum sipil, tetapi perceraian diterima setelah yang bersangkutan menjalani
pernikahan kedua dalam satu pelayanan sakramen. Prinsip ex opere operato dalam aham
gereja Katholik mengenai sakramen jelas-jelas dibantah dalam praktek ini.
Kedua, menetapkan perkawinan sebagai urusan eksklusif gereja, seperti yang
dipahami dalam gereja Katholik dan Islam secara tidak langsung merupakan pemaksaan
agama. Dalam dua agama ini orang yang menikah harus mengucapkan janji menerima semua
ketentuan iman dalam kedua agama itu (sahadat dan devosi Maria), sekalipun dalam hati
mereka mungkin tidak menyetujuinya. Ini yang kami maksudkan dengan pemaksaan agama.
Hal ini bisa dihindari jika penentuan syah tidaknya sebuah perkawinan ada di tangan negara,
bukan di tangan lembaga agama.5 Agama hanya meneguhkan apa yang disyahkan negara
meskipun ada perbedaan pemahaman antara Katholik maupun Protestan mengenai syah
tidaknya perkawinan kedua gereja sama-sama sepakat bahwa perkawinan memiliki dua sifat :
1
J. Feineren dan L. Vischar. Nieuwe Woorden over God....469
2
Michael Pomanzansky. Orthodox Dogmatic Theology...303. Lihat juga Josef Koningsmann SVD. Pedoman
Hukum Perkawinan.
3
J. Feineren dan L. Vischar. Nieuwe Woorden over God....459
4
Josef Koningsmann SVD. Pedoman Hukum Perkawinan...19
5
J. Verkuyl. Etika Seksuil.118.
unitas (ksatuan) dan indissolubilitas (ketidak-perceraian). Itu merupakan ketetapan Allah
sejak penciptaan dunia (Kej 2 : 18) dan kontrak sosial yang takkan berakhir selama kedua
insan masih hidup.6
Jelas bahwa perbedaan-perbedaan tadi bukan pada soal perkawinan itu, melainkan
pada bagaimana gereja memahami, mengajarkan dan memberitakannya. Kita tidak perlu
memperdebatkan kebenaran dari kedua pandangan ini. Baiklah kedua gereja dengan cara
masing-masing mendampingi, mendoakan, dan menolong mereka yang menikah untuk
membangun rumah tangga begitu rupa sehingga tercermin cinta kasih, kesetiaan dan
persekutuan antara Kristus dan jemaahNya, antara Allah dan umatNya.
B. RUMAH TANGGGA KRISTIANI
Gereja Katholik dan Orthodoks menetapkan perkawinan sebagai sakramen. Gereja
Protestan melihatnya sebagai ritus yang dikenal dalam banyak agama. Kalau gereja ambil
bagian dalam ritus ini itu terjadi untuk mendampingi dan menolong mereka yang menikah
membangun rumah tangganya sebagai perumpamaan dari persekutuan antara Kristus dan
jemaat. Persepsi gereja-gereja ini boleh berbeda, tetapi nila-nilai kristiani yang dijadikan
patokan dalam mendampingi, menolong mereka yang menikah untuk membangun rumah
tangga adalah sama. Nilai-nilai itu sebagai berikut :
Pertama, perninkahan adalah institusi yang ditetapkan oleh Allah dengan tujuan
untuk memantulkan persekutuan antara Kristus dan jemaat. Sebagai institusi ilahi, ia tidak
meniadakan kehendak bebas dan peran manusia. Unutk masuk dalam institusi itu pilihan
bebas dari para mempelai dihormati. Cinta antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
disebut-sebut sebagai titik tolak bagi pembentukan rumah tangga. Duo in carne una, dua
menjadi satu daging merupakan muara dari adanya cinta diantara mereka.7
Pada sisi lain perkawinan juga merupakan kontrak sosial antara orang-orang yang
menikah dan juga antara keluarga dari kedua mempelai. Dalam kontrak itu ada berbagai
ketentuan dan kewajiban-kewajiban yang patut dihormati. Peran interseksi gereja mnejadi
urgen demi menjaga agar ketentuan-ketentuan dan kewajiban-kewajiban dalam kontrak itu
tidak bertentangan dengan ketentuan ilahi dan bersifat memberatkan para pihak sekaligus
mengarahkan perkawinan itu kepada kebaikan bersama demi kokohnya rumah tangga
tersebut.
Kedua, rumah tanggga kristiani adalah kesatuan hidup seutuhnya antara seorang laki-
laki dan perempuan (monogami). Perkawinan antara tiga-empat orang (poligami atau

6
A.W.Hoegen. Wezen en doel van het huwelijk. Dalam: D. Bont,dkk (tanpa tahun). Op.cit.996
7
A.W. Hoegen. Op cit. 993.
poliandri) bertentangan dengan karakter unitas ini. thomas Aquinas mengatakan “ Allah
membentuk perempuan pertama dari anggota tubuh laki-laki perta ma unutk mengaskan
bahwa laki-laki dan perempuan harus membentuk kesatuan hidup dalam berpikir,
berkehendak dan juga dalam keakuan yang lainnya.8
Sekurang-kurangnya ada tiga aspek persekutuan yang harus diwujudkan dalam
sebuah pernikahan kristen : persekutuan iman, ekonomi dan seksual. Unitas seksual hanya
sesaat, singkat saja waktuunya. Itu bisa juga terjadi di luar perkawinan. Gereja menolak
adanya persatuan seksual di luar perkawinan. Persekutuan seksual memberi legitimasi hukum
bagi status anak dalam keluarga. Perkawinan juga menyangkut persatuan iman. Ia teralami
dan dijalani setiap saat dan sepanjang hayat. Persekutuan ekonomi menjadi dasar
dibangunnya keluarga sebagau senuah unit sosial dii dalam masyarakatt.
Perkawinan bukan sekedar tempat seksualitas dinikmati tetapi juga tempat di mana
iman dihayati dan didalami. Bagi orang kirsten persekutuan seksualitas bukan dasar
melainkan puncak dari pernikahan.9 Ini juga yang mengemuka dalam kisah persekutuan
Adam dan Hawa sebagaimana yang disaksikan dalam Kejadian 2:4b-25. Dasar dari
pernikahan kristiani adalah iman kepada Kristus. Kalau begitu bagaimana dengan pernikahan
campur, dalam arti masing-masing partner tetap mempertahankan agama mereka meskipun
telah berjanji untuk duo in carne una?
Para pengikut Kristus sudah semestinya menghindari perkawinan campur meskipun
kedua pihak saling mencintai, karena itu bersifat merusak persekutuan iman. Cintba penting
bagi sebuah pernikahan. Tanpa cinta pernikahan jarang berfungsi dengan baik. Tapi cinta
bukan satu-satunya daya rekat bagi sebuah perkawinan. Keterpecahan dalam iman antara
orang-orang yang menikah membuat perkawinan sebagai cerminan persekutuan antara
Kristus dan jemaat menjadi rusak. Itu juga akan mengganggu pertumbuhan iman anak-anak
dari kedua mempelai.
Inilah yang melatar-belakangi sikap orang-orang percaya dalam Perjanjian Lama
unutk menghindari pernikahan dengan ornag-orang Kanaan. Dualisme dalam iman sama
dengan kematian cinta kasih, kecacatan komitmen saling memberi diri dan kelumpuhan
kesetiaan kepada Allah perjanjian. Memang dalam Perjanjian Lama kita juga menemukan
kisah perkawinan campur, seperti antara Yehuda dan Tamar, Salmon dan Rahab, Kilyon dan

8
Dikutip dari A.W. Hoegen. Op cit. 1007.
9
Dorothy I Marx. (2002). Itu’ kan Boleh? Bandung: Yayasan Kalam Hidup.41.
Rut. Ini merupakan insiden-insiden yang memang memiliki makna khusus bagi Israel dalam
rangka kelangsungan perjanjian Allah dan Israel.10
Dalam Perjanjian Baru terutama surat-surat Paulus ada bagian-bagian di mana Paulus
membuka dimensi baru yang membutuhkan pemikiran teologis yang mendalam dan sikap
yang jelas mengenai perkawinan campur. Ia misalnya meminta agar suami atau istri yang
beriman tidak boleh mengambil inisiatif unutk menceraikan pasangannya yang tidak seiman.
Nasihat ini tidak berarti ada kelonggaran dalam hal nikah campur. Ini demi mempertahankan
pernikahan yang sudah berlangsung sebelum agama kristen tiba. Ternyata, Paulus katakan
bahwa apabila pasangan yang tidak seiman itu mau bercerai. Biarlah ia bercerai ( I Kor.
7:15).
Ketiga, di kalangan warga gereja sering muncul pertanyaan : Apa sebenarnya yang
menjadi tujuan dari perkawinan? Apakah perkawinan itu bertujuan untuk prokreasi, yakin
untuk memperoleh anak demi kelanjutan hidupp marga atau nama sebuah keluarga? Dua
menjadi satu daging supaya melahirkan orang ketiga, anak dalam rumah tangga itu. Apakah
itu tujuan pernikahan kristen? Ataukah pernikahan itu bertujuan untuk kebahagiaan orang-
orang yang menikah, dalam arti mereka saling memperkaya dan saling mengisi dalam segala
hal sehingga terciptalah kondisi yang baik bagi pertumbuhan kepribadian masing-masing
secara penuh di mana tiap partner menemukan dirinya sendiri dan makna hidupnya?
Injil menegaskan bahwa pernikahan merupakan persekutuan hidup yang bersifat totall
dan berlangsung seumur hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tidak
diperkenankan adanya perceraian untuk alasan apapun (I Kor. 7:10 dst) termasuk alasan
kemandulan. Ini mengandaikan bahwa arti dan tujuan perkawinan kristen bukan pertama-
tama untuk memperoleh keturunan. Anak di dalam perawinan memang perlu, tetapi ia
bukakn alasan paling mendasar dan nilai yang terutama untuk menikah dan membentuk
rumah tangga. “Perkawinan kristen bukan alat untuk regenerasi saja,” kata Koningsmann
SVD.11
Di dalam perkawinan campur, di mana salah seorang partner tidak percaya kepad
Kristus, Paulus meminta agar istri atau suami yang beriman harus menjaga kelangsungan
pernikahannya. Dia yang beriman tidaklah boleh memprakarsai terjadinya perceraian. Ada
dua alasan yang Paulus ajukan. Pertama, demi sang anak. Kedua, demi keselamatan partner
yang tidak beriman itu (I Kor. 7:16). Di tempat lain ketika membicarakan lagi hubungan

10
Lihat Eben Nuban Timo. (2006). Penebusku Ada Di Betlehem. KOHTbah-Khotbah dari Kitab Rut. Jakarta: BPK
Gunung Mulia
11
Josef Koningsmann SVD. Pedoman Hukum Perkawinan.....7
suami-istri dalam perkawinan, Paulus kembali mendiskusikan topik sensitif tadi, yakni istri
atau suami yang beriman haruslah mengambil prakarsa untuk memperlihatkan kepada partner
masing-masing kasih Kristus melalui sikap dan pelayanan di dalam rumah tangga. Paulus
menyebut hal itu sebagai sebuah keharusan iman dan sebuah panggilan percaya (Ef.5:22-23).
Wejangan Paulus ini mengindikasikan bahwa tujuan perkawinan Kristen bukan juga
sekedar untuk kedua mempelai saling membahagiakan, meskipun hal ini penting bagi
kelanggengan hidup sebuah pernikahan. Hakekat dan tujuan perkawinan Kristen adalah
mencerminkan relasi hubungan Kristus dan jemaat. 12 Suami dan istri harus mencerminkan
hubungan Kristus dan jemaat. Suami harus mencintai istrinya seperti Kristus mencintai
gerejaNya. Istri harus mengikut suaminya seperti gereja mengikut Yesus. Inilah esensi dari
pernikahan dan pembentukan rumah tangga menurut kesaksian Alkitab.13
Peristiwa inkarnasi : di mana firman yang kekal masuk ke dalam daging yang fana
dengan cara itu membuat daging yang fana itu memiliki hidup yang kekal seperti nyata di
dalam Yesus orang Nazareth adalah hal yang mau dicerminkan dalam setiap perkawinan
kristiani. Itu sebabnya meskipun tidak ada anak dalam perkawinan dan betapapun
kebahagiaan perkawinan itu sulit diwujudkan perceraian tidaklah boleh diprakarsai oleh
partner yang beriman kepada Kristus.
Keempat, karena perkawinan merupakan tempat belajar untuk menjadi serupa dengan
Kristus maka tidak boleh ada perceraian (indissolubilitas) atas dasar apapun, baik karena
tidak mempunyai anak, tidak ada kebahagiaan, ataupun karena perzinahan. Yang terakhir ini
merupakan tuntutan yang berat. Untuk hal yang terakhir tadi, menurut Yesus bisa dijadikan
alasan untuk perceraian (Mt. 5:31). Tetapi itu bukan keharusan, melainkan kelonggaran,
konsesi. Suami-istri yang berkehendak menjadikan perkawinannya menjadi cerminan
persekutuan Kristus dan jemaatNya harus belajar saling mengampuni, juga dalam hal terjadi
perzinahan.
Kelima, keluarga atau rumah tangga Kristen merupakan sebuah persekutuan
horizontal. Yang dimaksudkan dengan istilah ini ialah hubungan antara suami-istri, juga
orang tua anak dan kakak-beradik bersifat setara; duduk sama tinggi berdiri sama rendah.
Suami bukan tuan di hadapan istri. Istri bukan pelengkap atau pembantu. Mereka berdua ada
dan berelasi sebagai mitra yang sejajar dan teman yang sepadan.

Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan baik dalam bentuk fisik, kehidupan
emosi, karakter, dan juga keadaan batin yang berbeda. Perbedaan ini dirancang untuk tugas
12
J. Feineren dan L. Vischar. Nieuwe Woorden over God.....466
13
Yohanes Calvin. Institutio...223
yang berbeda-beda juga. Allah melihat perbedaan itu baik adanya (Kej. 1:31). Tetapi
perbedaan itu tidak jatuh sama dengan ketidak-setaraan. Allah merancang perbedaan itu agar
mereka bisa membentuk sebuah persekutuan hidup yang setara, saling mengisi dan
melengkapi. Laki-laki dann perempuan berbeda tetapi keduanya setara karena sama-sama
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kesetaraan itu harus diperlihatkan dalam semua
lapangan kehidupan, termasuk dalam kehidupan perkawinan. Rumah tangga kristiani
merupakan persekutuan yang horizontal.
Keluarga yang horizontal ini memungkinkan adanya percakapan yang ramah dan
sejuk dalam rumah tangga. Kedua pihak siap dan dengan sukacita terus-menerus berusaha
untuk membangun kebersamaan dan persekutuan. Tidak ada yang merasa ditekan atau
ditindas. Yang ada ialah saling menjaga dan melindungi, memberi dan melayani, menolong
dan melengkapi. Ada keterbukaan dan sikap merendahkan diri seorang terhadap yang lain.
Kelebihan suami menjadi berkah bagi kekurangan dan keterbatasan sang istri. Begitu juga
sebaliknya. Hubungan dalam keluarga bersifat dinamis dan dialogis. Segala sesuatu dalam
rumah tangga berlangsung melalui satu proses musyawarah untuk menciptakan mufakat.
Ini berbeda dengan keluarga sebagai persekutuan vertikal. Dalam keluarga yang
model kedua ini, hubungan antara suami-istri, orang tua-anak, kakak-beradik sangat bersifat
statis dan kaku. Tidak ada hubungan yang seimbang antara suami-istri. Salah satu pihak
selalu merasa diri lebih dalam banyak hal dan meperlakukan pihak lain sebagai yang lemah
dan serbag kurang. Sifat relasi mereka ditandai dengan kuasa dan komando. Tidak ada
diskusi dan percakapan yang terbuka. Yang ada ialah suami memerintah, istri tunduk. Orang
tua paling berkuasa, anak-anak harus diam dan taat.
Keluarga sebagai persekutuan vertikal dicirikan oleh kuasa. Sedangkan keluarga
sebagai komunitas horizontal dibangun atas dasar kasih. Keluarga sebagai persekutuan
horizontal adalah tipe yang dikehendaki oleh Allah. Itu ditunjukkan Allah pertama-tama
dalam dirinya sendiri, yakni relasi dalam allah Tritunggal. Ada tiga cara berada dalam Allah :
yakni Bapa, Yesus Kristus (Anak), dan Roh Kudus. Tetapi tidak ada satupun dari mereka
yang berlaku lebih besar di hadapan yang lain. Mereka justru membangun persekutuan yang
harmonis, saling mengisi dan melengkapi (perichoresis). Relasi yang ada pada Allah ini,
dipantulkan Allah dalam manusia. Ia menurut cerita penciptaan menciptakan laki-laki dan
perempuan menurut gambar dan rupaNya. Artinya, Tuhan membuat adanya perbedaan-
perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, Ia menciptakan mereka
sebagai laki-laki dan perempuan dengan maksud mereka saling melengkapi, mengisi dan
membutuhkan.
Kenyataan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan-
perbedaan, tetapi menimbulkan dalam mereka dorongan untuk hidup dalam pernikahan harus
menjadi pokok pengucapan syukur. Salah satu wujud dari pengucapan syukur itu adalah
hidup dalam kasih satu sama lain. Adalah sebuah skandal apabila salah satu dari mereka
saling mencela, menindas, atau menghancurkan partnernya. Rumah tangga seperti ini masih
jauh dari hakekatnya sebagai cerminan persekutuan Kristus dan jemaat. Adalah tugas gereja
untuk terus mendoakan dan mendampingi rumah tangga tersebut.
Tapi bagaimana dengan teks Alkitab seperti Efesus 5:22-23 dan Kolose 3:18 yang
meminta istri tunduk kepada suami dalam segal hal? Bukankah ayat-ayat ini jelas-jelas
mengandaikan adanya semacam ketidak-sepadanan relasi antara laki-laki dan perempuan
dalam rumah tangga? Teks-teks ini sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk
menempatkan perempuan pada posisi inferior dan laki-laki superior di dalam rumah tangga,
sebab kekepalaan suami dan ketundukan istri kepada suami dalam rumah tangga terjadi
dalam bingkai kristologi. Artinya, suami sebaggai kepala menurut pola Kristus. Coba
perhatikan kalimat : “ sama seperti Kristus adalah kepala jemaat”. Kekepalaan suami yang
berpola pada kekepalaan Kristus berarti kesediaan untuk berkorban bagi keselamatan orang
yang dipimpinnya.14 Jelas tidak mungkin ada superioritas suami dan inferioritas istri kalau
kekepalaan dipahami dalam pengertisn readi to scrifice.
C. EXCURSUS : NIKAH CAMPUR
Sebagaimana sudah ditegaskan, Gereja ambil bagian dalam kehidupan perkawinan
warganya untuk menolong dan mendoakan setiap pernikahan dalam membangun atau
membentuk rumah tangga sesuai Firman Allah. Dalam menunaikan mnadat ini ada beberapa
persoalan rumit, yakni pantaskan Gereja menolong dan mendoakan pernikahan dari
mempelai yang sejenis kelamin dan yang berbeda latar belakang denominasi Gereja, bahkan
berbeda agama? Apakah Gereja dapat melayani ibadah pemberkatan dan peneguhan nikah
dari mempelai yang berbeda agama atau berbeda keanggotaan Gereja? Ungkapan yang
populer dalam masyarakat mengenai tipe perkawinan seperti ini adalah nikah campur.
Secara teologis, nikah campur tidak dapat diterima. Kita sudah menegaskan hal itu di
atas. Di Indonesia dalam praktek nikah campur tetap saja terjadi. Para pelayan dalam gereja
protestan mengalami kesulitan dalam menanggapi kasus ini. GMIT mengambil sikap yang
jelas : menolak nikah campur. Kedua mempelai yang berbeda agama dianjurkan untuk
memutuskan agama apa yang akan mereka peluk. Kalau mereka sepakat untuk menjadi
Kristen, Gereja melayani nikah keduanya. Persoalan menjadi rumit kalau keduanya memilih
14
Larry Christenson. (1970). The Christian Family. Minnesota: Bethany Fellowship.127.
untuk berpegang pada agama masing-masing, tetapi meminta agar nikahnya dikukuhkan
dalam Gereja. Reaksi para pendeta dan majelis jemaat terhadap kasus ini berbeda. Ada
pendeta dan majelis dari jemaat A yang menolak melayani nikah campur sekalipun salah satu
dari mempelai adalah warga setia di jemaat itu, tetapi waktu kedua mempelai datang ke
jemaat B yang juga adalah jemaat GMIT pendeta dan majelis jemaat di situ bersedia
melayani permintaan mereka. Di sini kita berhadapan dengan masalah pastoral. Bagaimana
menyikapinya?
Tanpa bermaksud meremehkan ketetapan sinodal yang dibuat oleh tiap denominasi
baiklah kita coba melakukan evaluasi kritis terhadap masalah ini dari sudut pandang Alkitab.
Kita sudah tegaskan bahwa perkawinan pertama-tama adalah urusan keluarga dan kemudian
negara. Tugas Gereja adalah menolong dan mendoakan setiap pernikahan dalam membangun
atau membentuk rumah tangga sesuai Firman Allah. Yesus hadir dalam perkawinan di Kana.
Di situ ia menolong kedua mempelai dari kesulitan yang mereka hadapi. Pertolongan itu di
lakukan atas dasar permintaan dari ibuNya, yang adalah salah satu anggota keluarga dekat
dari salah seorang mempelai. Dalam nasehat pastoral terhadap pasangan nikah yang berbeda
agama, Paulus meminta agar pasangan yang beriman jangan mengambil inisiatif untuk
menceraikan partnernya yang tidak beriman, karena partner yyang tidak beriman itu
dikuduskan oleh partner yang beriman (I Kor. 7:12-16).
Dua rujukan ini dapat kita pakai untuk mengkritisi keputusan pendeta dan majelis dari
jemaat A dan B untuk melayani niksh campur kedua mempelai atas permintaan. Penolakan
itu dibangun di atas dasar perbedaan agama dari kedua mempelai; yang seorang beragama
Kristen dan warga jemaat A, tetapi pasangannya beragama non-Kristen. Pendeta dan majelis
jemaat berpendapat bahwa adalah sebuah skandal apabila Gereja meminta berkat Tuhan atas
rumah tangga dari pasangan yang tidak seagama betapapun mempelai yang non-Kristen itu
setuju menjalani perkawinan menurut tata cara gerejawi.
Pada satu sisi sikap jemaat A baik. Mereka menolak melayani nikah campur. Tetapi
pada sisi lain sikap menolak permintaan mempelai berarti gereja menyia-nyiakan kesempatan
untuk memberitakan kasih Allha kepada orang yang bukan Kristen. Gereja juga melalaikan
tugasnya untuk memohon berkat Tuhan atas rumah tangga salah seorang warganya. Patut
pula kita catat bahwa perkawinan adalah institusi yang ditetapkan Allah untuk setiap orang
tanpa peduli identitas keagamaan para mempelai. Artinnya, tanpa pelayanan dari gereja pun
Allah tetap akan melimpahkan berkat atas rumah tangga tersebut.
Jadi Gereja menyangkali peran interseksi yang dipercayakan kepadanya jikalau ia
menolak menikahkan kedua mempelai Gereja. Gereja memperlihatkan keengganannya untuk
membimbing rumah tangga baru itu agar hidup berpadanan dengan kehendak Allah, atau
dalam bahasa teologis gereja keberatan membantu kedua mempelai untuk memantulkan
Kristus dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Di lain pihak, sikap jemaat B melayani pernikahan itu penuh dengan resiko. Gereja
sekedar diperalat oleh kedua mempelai. Yang perlu dibuat oleh jemaat B adalah meminta
mempelai yang bukan kristen untuk membuat pernyataan di hadapan Allah dan jemaat bahwa
dalam membangun rumah tangga, ia tidak akan menghalang-halangi partnernya untuk terus
hidup menurut agamanya dan membuka pintu rumahnya untuk semua bentuk pelayanan
majelis jemaat. Majelis jemaat B bersama dengan pendeta dan majelis jemaat yang
melakukan pelayanan peneguhan nikah kepada pasangan nikah campur perlu juga
diperingatkan bahwa peran interseksi bukan hanya terbatas pada awal pembentukan rumah
tangga dimaksud. Sekalipun usai pemberkatan nikah, kedua mempelai memutuskan untuk
masing-masing hidup menurut agamanya, Gereja patut terus menaikan doa dan memberikan
bimbingan kepada rumah tangga dimaksud untuk hidup dalam kekudusan Kristus. Kunjugan-
kunjungan pastoral kepada suami-istri nikah campur patut dilakukan secara tetap sejauh
keadaan memungkinkan. Jika karena pertimbangan jarak kunjungan itu tidak dapat
dilakukan, majelis jemaat di mana kedua mempelai memberi diri untuk diteguhkan nikahnya
perlu mencari bentuk bimbingan dan penguatan lain, seperti mengirim kartu ucapan selamat
berisi permohonan doa dan penguatan kepada kedua mempelai pada setiap ulang tahun
pernikahan mereka.

PERANAN AGAMA DALAM PERKAWINAN

1. PENTINGNYA AGAMA DALAM PERKAWIINAN


Di muka telah dijelaskan bahwa dasar dari perkawinan adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan
kekuatan yang ada di luarnya, hubungan dengan Tuhannya. Menyadari bahwa manusia
merupakan makhluk yang terbatas kemampuannya, maka pada suatu ketika manusia akan
menyerahkan segalanya kepada kekuatan yang ada di luarnya tersebut. Dengan rasa
Ketuhanan yang ada pada masing-masing pihak, ini akan menjadi penuntun dalam kegiatan-
kegiatannya. Bagamainapun keadaan diri manusia pada suatu waktu tertentu manusia akan
teringat kepada kekuatan yang ada diluarnya dirinya itu.
Dengan adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang trcermin dalam
agama yang dianutnya, akan memberikan tuntunan ataupun bimbingan kepada orang yang
memeluknya. Agama akan menuntun ataupun bimbingan kepada orang yang memeluknya.
Agama akan menuntun ke hal-hal yang baik, ke hal-hal yang tidak tercela, sehingga dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa makin kuat seseorang menganut agamanya, maka orang
tersebut akan mempunyai sikap yang mengarah ke hal-hal yang baik. Demikian pula kalau
hal ini dikaitkan dengan perkawinan, maka agama yang akan dianut oleh masing-masing
anggota pasangan akan memberikan tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak secara
baik. Banyak tindakan yang dapat dicegah pelaksanaanya karena dilatarbelakangi oleh
kuatnyna agama yang dianutnya. Dengan agama atau kepercayaan yang kuat, keadaan ini
akan dapat digunakan sebagai benteng yang tangguh untuk menanggulangi perbuatan-
perbuatan yang tidak terpuji.
Cukup banyak masalah yang dapat dipecahkan bila dikembangkan kepada agama
yang dianutnya. Dengan agama yang cukup kuat pada seseorang, maka dapat diperhitungkan
bahwa penyelewengan-penyelewengan dalam keluarga agar dapat dihindarkan, karena ajaran
agama digunakan sebagai acuannya.
Kalau pasangan suami istrii mempunyai agama yang sama, keadaan tersebut
merupakan hal yang ideal. Dengan kesamaan agama yang dianutnya, hal tersebut akan
memberikan pandangan, sikap, frame of reference yang relatif sama, sehingga dengan
demikian, persoalan yang timbul karena soal agama telah dihindari.
2. PASANGAN YANG BERBEDA AGAMA
Walaupun pada waktu ini adanya gejala perubahan padangan atau pendapat mengenai
perkawinan yang berbeda agama, kiranya akan lebih bijaksana biola dipertimbangkan lagi
sebelum mengambil keputusan terakhir kalau calon pasangan mempunyai agama yang
berbeda. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dalam perkawinan makin dekat kesesuaian
latar belakang dari pasangan tersebut, makin besar pula kemungkinannya untuk mendapatkan
kesuksesan dalam perkawinan, persoalan-persoalan akan dapat diiliminir sekecil-kecilnya.
Perkawinan antara pasangan yang mempunyai agama yang berbeda akan mempunyai
kecenderungan lebih tinggi untuk timbulnya masalah bila dibandingkan dengan perkawinan
yang seagama, yang akan meningkat sampai perceraian. Secara langsung mungkin tidak
dapat dikatakan bahwa hal tersebut semata-mata hanya karena perbedaan agama, tetapi
setelah dikemukakan di atas dengan perbedaan agama antara suami-istri, hal tersebut akan
membawa perbedaan dalam pendapat, sikap, kerangka acuan dan ini dapat berkembang lebih
jauh, yang akhirnya dapat terjadi perceraian seperti tersebut di atas..
Berhubungan dengan uraian di atas, bila dalam mencari pasangan mendapatkan
pasangan yang berbeda agama, maka perlu dipertimbangkan secara masak, karena hal
tersebut dapat mempunyai akibat antara lain :
- Adanya tekanan dari pihak keluarga, lembaga agama, karena adanya
penyimpangan dari keadaan biasa.
- Dapat terjadi tidak bersatunya interpretasi mengenai sesuatu, karena memang
kerangka acuannya berbeda, sehingga hal ini kadang-kadang membawa kesulitan.
- Setelah pasangan itu mempunyai anak, keadaan ini akan lebih terasa, karena
agama mana yang akan dididikkan kepada anak menjadi persoalan. Dalam
menentukan ini mungkin sering terjadi pertentangan antara suami dan istri. Bila
masing-masing pihak tetap bersitegang memegang pendapatnya sendiri-sendiri
akan makin merumitkan keadaan. Keadaan itu akan bertambah rumit lagi kalau
keluarga dari masing-masing pihak ikut campur tangan dalam menentukan agama
mana yang akan diberikan kepada anaknya.
Perbedaan agama antatra suami dan istri akan memberikan lingkungan yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan anak, karena banyak hal yang menjadi tanda tanya bagi
anak, anak akan menjadi bingung. Karena itu jalan yang baik dalam perkawinan beda agama
aini, ialah apabila salah satu pihak mengalah dan menyetujuji agama pihak lain. Namun
langkah ini bukanlah suatu langkah yang mudah, bukan semudah seperti orang mengganti
pakaiannya,
Pada waktu ini memang cukup ada pasangan keluarga dengan agama yang berbeda.
Kiranya hal ini menunjukkan gejala yang sudah tidak asing lagi. Banyak faktor yang menjadi
pendorong perkawinan yang demikian itu. Faktor-faktor tersebut antara lain dapat
dikemukakan :
a. Kenyataan di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa, juga adanya agama yang beraneka ragam di
Indonesia. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pergaulan sehari-hari, dalam
kehidupan bermasyarakat, bergaul begitu erat dan tidak membedakan agama satu
dengan yang lain.
b. Dengan makin majunya jaman, makin banyak anggota masyarakat yang dapat
menikmati pendidikan, dan makin banyak sekolah yang menggunakan sistem
campuran, baik campuran dalam sekse, maupun campuran dalam hal agama, yang
berarti tidak adanya batasan agama tertentu.
c. Mikin dirasakan usang terhadap pendapat bahwa keluarga mempunyai peranan
penentu dalam pemilihan calon pasangan bagi anak-anaknya, bahwa mereka harus
kawin dengan orang yang mempunyai agama yang sama.
d. Makin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon
pasangannya, dalam pemilihan tersebut bedasarkan atas cinta. Jika cinta telah
mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita, tidak jarang
pertimbangan secara matang-juga termasuk menyangkut agam-kurang dapat
berperan.
e. Dengan meningkatnya hubungan anak-anak muda Indonesia dengan anak-
anak muda dari mancanegara, sebagai akibat globalisasi dengan berbagai
macam bangsa, kebudayaan, agama serta latar belakang yang berbeda; hal
tersebut sedikit atau banyak ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi
terjadinya perkawinan beda agama. Sehingga bagi anak-anak muda kawin
dengan agama yang berbeda seakan-akan sudah tidak menjadi masalah lagi.

Namun masih cukup ada orang yang meragukan mengenai hal ini, sebab belum
tentu yang bersangkutan akan dapat menjadi penganut agama yang baik. Karena
mengubah kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah, tidak seperti menukar
pakaian seperti telah dikemukakan di atas. Tetapi bagaimanapun keadaannya, demi
untuk kebahagiaan keluarga, kebahagiaan anak, sebaiknya salah satu dari pasangan
itu harus rela berkorban menyerahkan kepercayaan agamanya, untuk mengikuti
agama pihak lain seperti telah dijelaskan di muka. Sebab kalau tidak anak-anak
akan menjadi bingung, agama mana yang mau diambil.

Anda mungkin juga menyukai