Anda di halaman 1dari 3

Pandangan Gereja tentang sifat monogam dalam Perkawinan Katolik

Persekutuan suami isteri yang luhur dan kekal melambangkan hubungan cinta yang
mesra antara Kristus dan Gereja sehingga tidak dapat diceraikan oleh siapapun kecuali Allah
sendiri sampai maut memisahkan mereka. Hukum perkawinan yang berlaku untuk setiap
agama tentu mempunyai perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Hukum perkawinan
secara otentik diatur sebagai awal kodrat dari segenap umat manusia (Kej. 2: 18).
Berdasarkan pewahyuan Kitab Kejadian, Yesus menegaskan kepada Kaum Farisi dan
para Rasul bahwa " Perkawinan itu dari dirinya sendiri dan hanya terbentuk dari dua orang
saja, dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorangpun
yang boleh menceraikannya (Mt 19: 5-6). Yesus menegaskan perkawinan bagi orang kristiani
bersifat monogam dan tak terceraikan. Perkawinan yang suci dan luhur tersebut bersifat
monogam dan tak terceraikan artinya hanya mempunyai satu istri dan satu suami sampai akhir
hidup. Monogam adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Prinsip
pernikahan seperti ini dianut dalam Gereja Katolik Dalam Kitab 1 kor 7: 12-13; 15)
Menegaskan bahwa sistem monogam menyangkut pribadi, dimana kesetiaan dan pengorbanan
suami isteri tidak dapat diberikan kepada pria dan wanita lain dalam kondisi dan situasi
apapun. Sedangkan bersifat tak terceraikan artinya perkawinan bukan hanya sementara namun
perkawinan sampai seluruh hidup yakni kematian yang dapat memisahkannya”.
Ajaran tentang sifat monogam ini kemudian direfleksikan semakin lebih dalam oleh
para bapa-bapa Gereja. Ignasius dari Antiokhia (110) menerngakan motivasi terbentuknya
sebuah perkawinan kristiani tidak lain ialah untuk semakin mempertegas nilai-nilai cinta kasih
seperti halnya cinta Kristus kepada Gereja.
“Katakanlah kepada para saudari (=perempuan Kristen), agar mencintai Tuhan dan
mencukupi dirinya dengan teman hidup secara badaniah dan rohaniah. Demikianpun
hendaklah menyuruh para saudaraku, agar mengasihi teman hidupnya (isteri) seprti
Tuhan mengasihi jemaat (bdk. Ef 5:15,29).”1

Groonen menganilisis bahwa Ignasius telah mengangkat perkawinan itu sendiri dalam
suatu hubungan ideal antara Kristus dengan jemaatNya sebagai model hubungan suami istri.
Sehingga sebagai mana hubungan Kristus dan Gereja yang merupakan persekutuan yang satu.
Demikian pun dalam perkawinan unitas dan sifat monogambegitu penting. Dalam refleksinya
Ignasius melihat persekutuan hidup dalam perkawinan termasuk dalam tata penyelamatan
Kristen.2

1
Bdk. C. Froonen, Perkawinan Sakramental (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 160.
2
Bdk. Ibid.
Di samping Ignatius, Bapa Gereja lain yang pada masa itu mengutarakan pemikirannya
berkaitan dengan sifat kesatuan dan kesetiaan dalam perkawinan, yakni Terutlianus (220).
Dalam karayanya De Monogamia, Tertulianus mengutarakan dukungannya terhadap
kesetiaan dalam perkawinan. Kesetiaan dalam perkawinan patut diperjuangakan sedangkan
perceraian merusak kesetiaan perkawinan karena di dalamnya terkandung perjanjian yang
suci. Seperti Ignatius yang menghubungkan persatuan dalam perkawinan terarah pada Kristus,
demikian ia menegaskan bahwa perkawinan seorang pria dan wanita telah disempurnakan
dengan relasi antara Kristus dengan Gereja. Sumpah untuk setia dan Bersatu merupakan
sesuatu yang sacral atau suci melalui peneguhan dari Allah. 3 Tentang pentingnya kesucian
suatu perkawinan yang satu dan tak terceraikan itu, Klemens dari A lexandria (214) setuju dan
amat menekankan bahwa perkawinan yang ada secara resmi haruslah terjadi dan dilaksanakan
sesuai dengan firman Allah. Karena itulah perkawinan berstatus suci adanya.
Pandangan Gereja menurut Konsili Vatikan II mencoba mengembangkan pemikiran
Bapa Gereja sebelumnya. Beberapa dokumen Gereja kemudian menguraikan pentingnya
untuk menjaga keutuhan hidup dalam perkawinan yang dasarnya tentu adalah kasih Kristus
yang mempersatukan. Para Bapa Konsili dalam Dokumen Gaudium et Spes menegaskan
bahwa perkawinan mempunyai martabat yang luhur dan patut dipelihara dan dikembangkan
dengan segenap cinta dan penuh kesetiaan. Hal ini diungkapkan dengan jelas dalam definisi
perkawinan dalam Gaudium et Spes yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan
“Persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra”4 Persekutuan itu dibangun oleh sang
Pencipta itu sendiri kemudian dikukuhkan oleh janji perkawinan yang tak dapat ditarik
kembali. Dalam definisi ini selain melihat perkawinan sebagai persekutuan yang berasal dari
Kristus, tapi ditekankan soal adanya kesepakatan (consensus) atas pilihan yang bebas dalam
perkawinan yang menjadikan perkawinan sebagai sesuatu yang terikat satu dan selamanya.
Sifat inilah yang kemudian menekankan soal sifat Perkawinan yang monogam dan
indisollubilitas yang kemudian ditegaskan dalam hukum Gereja.5
Dalam pendasaran ajaran para Bapa Gereja dan juga amanat Konsili, maka salah satu
sifat perkawinan yang mendasari hubungan persatuan antara suami dan istri adalah sifat
perkawinan yang monogam. Monogam (Yun: Monos=Satu, Gamein=kawin) merupakan
bentuk perkawinan yang mana suami mempunyai satu istir dan sebaliknya istri mempunyai

3
Bdk. Ibid., hlm. 51.
4
Bdk. GS, art. 48.
5
“Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan Indissolubilitas
(sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus
atas dasar sakramen” (Bdk. Kan. 1056).
satu suami. Gereja Katolik tidak mengenal adanya bentuk perkawinan Poligami, Poliandri,
atau pun Kawin Kontrak. Melainkan sifat monogam menunjukkan suatu kesatuan relasi antara
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup sebagai suami-istri sepanjuang hayat. 6 Sifat ini
kemudian menjadi jelas dalam Liturgi perkawinan Katolik khususnya pada bagian
pengungkapan janji perkawinan.

6
Bdk. Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja katolik (Malang:
Dioma), hlm. 85.

Anda mungkin juga menyukai