Anda di halaman 1dari 15

BAHTERA CINTA, TANTANGAN, DAN

TANGGUNGJAWAB
Yoachim Agus Tridiatno

PENGANTAR
“Bahtera Cinta” bisa menjadi ungkapan yang tepat bagi sebuah lembaga
perkawinan. Perkawinan diawali oleh ungkapan “jatuh cinta” dari dua orang anak
muda laki-laki dan perempuan. Bila tautan cinta sudah mantap, cinta dua sejoli itu
lalu diteguhkan dalam Sakramen Perkawinan. Selanjutnya di tengah derasnya
gelombang kehidupan, bahtera perkawinan tersebut akan tetap bertahan oleh
karena kekuatan cinta. Namun, tidak sedikit bahtera yang karam, tenggelam,
berantakan, dan tercerai berai.
Lalu perkawinan bukan lagi bahtera cinta, tetapi neraka jahanam. Ia, kerap
kali, bagaikan bahtera Titanic yang sudah bocor dan kemudian tenggelam.
Gaudium et Spes (1965) sudah menyebutkan faktor-faktor yang mengoyak
bahtera perkawinan yaitu polgami, perceraian, cinta diri, hedonisme, praktik-
praktik kontrasepsi untuk melawan kelahiran anak, masalah ekonomi, psikologi
dan kemasyarakatan. Sinode para uskup tentang keluarga diadakan pada tahun
2014 dan 2015 di Vatikan. Hasilnya dilaporkan kepada Paus Fransiskus pada
tanggal 24 Oktober 2015. Berdasar hasil sinode para uskup tersebut Paus
Fransiskus menerbitkan Anjuran Apostolik Amoris Laetitia (2016).
Amoris Laetitia menambahkan pelbagai tantangan bagi lembaga
perkawinan saat ini. Pertama, ketidaksetaraan gender yang masih terdapat di
banyak tempat di mana kedudukan perempuan masih lebih rendah dari laki-laki
(AL 54-55). Banyak terjadi eksploitasi tubuh perempuan dan kekerasan terhadap
perempuan dalam perkawinan. Begitu pula peran laki-laki yang begitu dominan
dalam keluarga menyebabkan ketergantungan keluarga pada laki-laki (suami).
Dengan demikian, sebuah keluarga dapat berantakan bila kehilangan sosok laki-
laki (suami).
Ada pula ideologi gender yang menolak perbedaan seksual antara laki-laki
dan perempuan. Dengan demikian, menjadi laki-laki atau perempuan adalah
sebuah pilihan yang bukan berdasarkan kodrat (AL 56). Ini tentu saja berdampak
bagi eksistensi perkawinan yang menuntut heteroseksualitas. Begitu pula revolusi
dalam bidang teknologi reproduksi yang mengakibatkan kelahiran anak tidak
tergantung hubungan seksual laki-laki dan perempuan. Masih ada tantangan-
tantangan lain yang sangat kontekstual tergantung pada budaya setempat.
Misalnya, hidup bersama tanpa menikah, perkawinan beda agama, dan
perkawinan beda gereja.
1
Di tengah aneka macam tantangan zaman semamcam ini, pemuda dan
pemudi masih berani mengungkapkan “jatuh cinta,” saling berpacaran, lalu ingin
membangun bahtera perkawinan. Di situlah pentingnya belajar dan
mendiskusikan moral perkawinan dan keluarga agar anak-anak muda berfikir
secara kritis tentang upaya-upaya untuk membangun bahtera perkawinan yang
kokoh, hambatan-hambatan yang harus dihadapi, dan tanggungjawab yang
dituntut dari mereka.

PEMBAHASAN

Hakikat Perkawinan
Perkawinan adalah Persekutuan
Perkawinan adalah persekutuan yang bersifat pribadi atau personal dari
suami istri. Bersifat pribadi artinya tanggung jawab dan kebebasan ada pada diri
suami dan istri itu sendiri, bukan ada pada orang tua, wali, atau siapapun. Ini
berdasar pernyataan Konsili Vatikan II yang menggunakan istilah perjanjian atau
kesepakatan, bukannya kontrak, “Persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang
mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-
hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak
dapat ditarik kembali” (GS 48). Dengan menggunakan kata “perjanjian” (foedus,
consensus, covenant), bukannya kontrak (contractus) sebagaimana terdapat pada
kanon 1012 Kitab Hukum Kanonik 1917, Konsili Vatikan II ingin menegaskan
sifat personal atau pribadi dari persekutuan perkawinan (Rubiyatmoko, 2012:2).
Persekutuan antara laki-laki dan perempuan dalam lembaga perkawinan terjadi
karena persetujuan pribadi antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama
sebagai suami istri. Kesepakatan itu dilakukan secara sadar, bebas, tahu sama tahu
dan saling setuju. Kesepakatan (consensus) itulah yang menyebabkan perkawinan
itu terjadi secara sah atau ratum (Kanon 1057; Rubiyatmoko, 2012).
Dengan perjanjian yang bersifat personal itu maka relasi antara pasangan
suami istri adalah relasi dua orang yang sederajat dan semartabat, dibangun secara
sadar demi tujuan tertentu, tanpa ada paksaan dan saling mengalahkan. Relasi
antara suami istri adalah relasi yang seimbang, tanpa ada saling mengalahkan.
Kekhususan persekutuan antara suami istri dalam perkawinan adalah
keterarahan kodratinya pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta
kelahiran dan pendidikan anak (KHK Kanon 1055 ayat 1). Perkawinan
merupakan persekutuan yang membolehkan suami-istri untuk melakukan
hubungan seksual. Dengan demikian perkawinan terbuka akan lahirnya keturunan
dan pendidikan anak. Oleh karena itu, tujuan seks tidak bisa dilepaskan dari
perkawinan, yaitu untuk melahirkan keturunan dan membahagiakan suami dan
istri. Hubungan seks hanya boleh dilakukan di dalam perkawinan. Sebaliknya
perkawinan hanya menjadi sah dan tak terceraikan (ratum et consumatum) apabila
telah disempurnakan dengan hubungan seks antara suami dan istri.

2
Dengan menegaskan bahwa persekutuan antara suami istri adalah hubungan
dua pribadi yang semartabat dan sederajat, maka hubungan seksual antara suami
istri adalah hubungan yang saling membahagiakan dan saling menyejahterakan.
Tidak boleh ada bentuk-bentuk kekerasan seksual di dalam perkawinan.
Perkawinan adalah Tanda Cinta Tuhan
Orang yang percaya kepada Tuhan selalu melibatkan Tuhan dalam segala
aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal perkawinan. Perkawinan bukanlah
sekedar ikatan antara laki-laki dan perempuan, tetapi Tuhan terlibat di tengah-
tengah mereka. Tuhanlah yang mempertemukan mereka, laki-laki dan perempuan,
yang kemudian mengikatkan diri dalam perkawinan. Tuhan pula yang hadir dan
terus menyertai hidup perkawinan itu.
Dalam Gereja Katolik, perkawinan antara orang yang sudah dibaptis adalah
adalah sakramen (Kanon 1055). Perkawinan adalah tanda cinta Tuhan kepada
umat-Nya, cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Cinta suami dan istri di dalam
perkawinan menampakkan dan mewujudkan cinta Kristus dan Gereja. Kristus
mengasihi umat-Nya sehabis-habisnya dengan menyerahkan diri secara total bagi
umat-Nya. Begitulah cinta antara suami – istri dalam perkawinan. “Ketika seorang
laki-laki dan perempuan merayakan sakramen perkawinan, Tuhan hadir di situ,
Tuhan dicerminkan dalam mereka; dia ditampakkan dalam mereka ....
Sesungguhnya, Tuhan juga merupakan persekutuan: tiga pribadi Bapa, Putra dan
Roh Kudus hidup abadi dalam kesatuan. Inilah misteri perkawinan: Tuhan
membuat pasangan suami istri menjadi satu keberadaan tunggal” (Catechesis 2
April 2014 dalam AL 121). Sakramen Perkawinan mendatangkan rahmat bagi
pasangan suami istri untuk menjalani hidup bersama dalam perkawinan.
Surat Paulus kepada umat di Ef 5:22-24 menjadi bacaan rujukan bagi
hubungan suami-istri. Cinta istri kepada suami dan cinta suami kepada istri harus
merupakan cinta yang utuh, total, dan mutlak, sebagaimana kesatuan mistik antara
Kristus dan Gereja. Kesatuan istri dan suami adalah kesatuan yang erat yang juga
diwujudkan dalam persetubuhan. Tidak ada ungkapan subordinasi, yang satu
mengalahkan yang lain, antara suami dan istri. Istri dan suami berkedudukan
semartabat sebagai manusia yang segambar dengan Tuhan. Istri menyerahkan diri
secara penuh kepada suaminya sebagai bentuk kepercayaannya yang mutlak
kepada suami. Begitu pula, suami mencintai istrinya secara penuh (Peschke
1994:493).
Penerjemahan Ef 5:22-24 yang sering diperdebatkan oleh para feminis
harus dikritisi secara cermat. Penafsiran teks Ef 5:22 yang terkesan merendahkan
perempuan dipengaruhi kondisi budaya waktu itu (bdk. AL 156).

5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,


5:23 karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah
yang menyelamatkan tubuh.
5:24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada
suami dalam segala sesuatu.

3
5:25 Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya.

Mengapa istri harus “tunduk” sedangkan suami harus “mengasihi”?


Pemilihan kata “tunduk” kurang tepat. Dalam Kitab Suci berbahasa Inggris,
dipakai kata to submit yang juga bisa berarti “menyerahkan”. Penerjemahan ini:
“Hai isteri, serahkanlah dirimu kepada suamimu seperti kepada Tuhan,” akan
lebih tepat. Dengan penerjemahan demikian, tidak ada kesan bahwa istri harus
tunduk kepada suami, tetapi menyerahkan diri sebagai ungkapan cinta yang total.
Begitu pula suami harus mengasihi istrinya secara penuh. Artinya, di dalam
perkawinan, suami tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan istrinya,
sebagaimana cinta Kristus kepada Gereja. Cinta macam apakah itu? Paus
Fransiskus menjelaskan makna dari kidung kasih dalam 1Kor 13:4-7 (AL 90-
119).

13:4. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong.
13:5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia
tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
13:6 Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
13:7 Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu,
sabar menanggung segala sesuatu.

Cinta itu sabar, bukanlah berarti pasif, membiarkan kesalahan dan tidak
berani bertindak serta melawan. Sebaliknya, “sabar” menurut Paulus menunjuk
pada kesabaran Tuhan yang bermurah hati kepada orang yang berdosa. “Sabar”
bukan berarti selalu mengalah, tetapi mau bermurah hati, mengampuni pendosa,
dan melakukan yang baik bagi orang lain (AL 92).
Begitu pula, cinta itu tidak iri hati. Cinta itu berarti mampu mengatasi diri
sendiri, dan tidak membiarkan diri dikuasai oleh iri hati akan nasib baik orang
lain, seperti kisah saudara-saudara Yusuf yang menjual adiknya ke Mesir karena
iri pada nasib baik adiknya (AL 95, bdk. Kis 7:9). Cinta harus berani memuji
keberhasilan dan capaian orang lain, dan tidak mengingini milik orang lain
sebagaimana diperintahkan dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:17). Cinta itu
berarti mau turut bersukacita apabila orang lain mengalami kebahagiaan (AL
110).
Cinta juga tidak sombong dan memegahkan diri, artinya tidak menjadikan
diri sendiri sebagai pusat perhatian, tetapi fokus pada orang lain, memberi
perhatian dan tempat bagi orang lain (AL 97). Cinta itu rendah hati, bersedia
menjadi pelayan bagi yang lain (Mat 20:27). Kerendahan hati itu ditunjukkan
dengan bersedia memaafkan orang lain dan tidak mendendam (AL 94, 95). Tentu
saja memaafkan tidaklah mudah. Memaafkan mengandung arti kesediaan untuk
tidak membalas apa yang telah dilakukan orang lain terhadapnya. Memaafkan
berarti mampu menguasai diri sendiri dan tidak terjebak ke pengalaman masa lalu,
telah diperlakukan secara tidak baik oleh orang lain.

4
Pada bagian terakhir dari kidung kasih (1Kor 13:7), Paulus empat kali
menyebutkan frasa “segala sesuatu,” yaitu menutupi, percaya, mengharapkan, dan
menanggung segala sesuatu. Dengan ini Paulus ingin menunjukkan kekuatan
cinta. “Menutupi segala sesuatu” yang dimaksud di sini berkaitan dengan
membatasi diri untuk membicarakan orang lain dengan maksud untuk kedamaian
orang lain. Ini juga mengandung arti ‘tidak menghakimi orang lain, tidak
berbicara tentang keburukan orang lain (AL 112). “Percaya akan segala sesuatu”
berarti tidak ada keinginan untuk mengontrol dan menguasai orang lain. Dengan
demikian relasi antara dua orang menjadi bebas, tidak saling menguasai.
Selanjutnya terciptalah keterbukaan dan kejujuran (AL 115). Cinta itu juga penuh
pengharapan. Cinta itu tidak pesimis tentang masa depan, karena selalu ada
pengharapan bahwa orang lain akan berkembang menjadi baik (AL 116).
Terakhir, “menanggung segala sesuatu” berarti selalu siap dan berani untuk
menghadapi segala tantangan.
Dalam perkawinan, kesabaran terhadap pasangan akan membuat relasi
antara suami istri langgeng, karena ada kesediaan untuk bermurah hati, mau
memaafkan kesalahan pasangan dengan kesadaran bahwa diri sendiri pun
memiliki kekurangan. Begitu pula bila suami istri selalu mau memperhatikan
pasangan mereka masing-masing dan tidak berfokus hanya pada diri sendiri, tidak
mudah menghakimi dan membatasi diri dalam membicarakan keburukan
pasangan. Akhirnya, relasi dalam perkawinan akan abadi bila dilandasi oleh saling
percaya, keterbukaan, penuh harapan akan kebaikan pasangan, dan keyakinan
bahwa segala tantangan dapat diatasi bersama.
Perkawinan adalah Lembaga Masyarakat
Persekutuan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan adalah
lembaga masyarakat. Artinya, masyarakat mengakui bahwa hanya dalam
perkawinanlah laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama sebagai suami istri
dengan segala hak dan kewajibannya, termasuk untuk melakukan hubungan
seksual dan memiliki anak. Masyarakat tidak mengakui hidup bersama laki-laki
dan perempuan bila belum disahkan dalam perkawinan. Dibolehkannya hidup
bersama laki-laki dan perempuan tanpa ikat perkawinan di pelbagai negara sangat
melemahkan lembaga perkawinan. Oleh karena perkawinan adalah lembaga
masyarakat, maka masyarakat turut serta menentukan seluk beluk perkawinan itu.
Pengucapan kesepakatan laki-laki dan perempuan untuk menikah
diucapkan di muka “umum”, bukan diucapkan hanya di hadapan pengantin
berdua. Kesepakatan tersebut bersifat publik, maka juga diakui oleh masyarakat.
Dalam GS 48 disebutkan: ”Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling
menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu
lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan
ketetapan ilahi.” Di samping itu, masyarakat turut menentukan ciri-ciri
perkawinan yang baik, entah itu monogami atau poligami, entah dapat diceraikan
atau tidak. Karena manusia selalu hidup di dalam masyarakat, maka sebaiknya

5
ketentuan-ketentuan masyarakat tentang perkawinan dihormati (Purwa
Hadiwardaya, 2006: 53).
Perkawinan juga merupakan lembaga negara, maka negara juga mengatur
perkawinan dengan hukum-hukumnya. Ini berarti bahwa perkawinan diakui oleh
negara sebagai ikatan laki-laki dan perempuan yang kokoh yang memungkinkan
laki-laki dan perempuan hidup bersama sebagai suami istri. Anak-anak yang lahir
dari perkawinan itulah yang diakui sebagai anak-anak yang sah. Hukum negara
juga mengatur banyak hal lain yang berkaitan dengan perkawinan termasuk ciri-
ciri perkawinan yang baik, entah monogami atau poligami, entah dapat diceraikan
atau tidak dapat diceraikan. Biasanya selaras dengan pandangan mayoritas warga
negara itu (Purwa Hadiwardaya, 2006: 55).
Perkawinan Katolik diatur oleh hukum ilahi, hukum kanonik, “dengan tetap
berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-
mata sipil dari perkawinan itu” (Kanon 1059).1 Hukum ilahi atau hukum kodrat
adalah “hukum yang dipahami oleh akal sehat manusia sebagai yang berasal dari
Allah sendiri” (Rubiyatmoko, 2012: 28). Berkaitan dengan perkawinan, hukum
ilahi mengatur unsur-unsur pokok perkawinan, seperti: tujuan perkawinan, sifat
perkawinan, kesepakatan nikah, dan halangan kodrati perkawinan. Hukum
kanonik atau hukum Gereja adalah “norma-norma tertulis yang disusun dan
disahkan oleh Gereja atas dasar penafsiran terhadap hukum ilahi sejauh sudah
diwahyukan kepada manusia” (Rubiyatmoko, 2012: 28). Berkaitan dengan
perkawinan, hukum kanonik mengatur perkawinan orang Katolik, baik yang
menikah dengan sesama orang Katolik maupun yang menikah dengan non
Katolik. Hukum negara, hanya menentukan efek-efek sipil perkawinan orang-
orang Katolik.
“Di Indonesia, negara mengakui secara penuh perkawinan agama. Kerena
itu tidak ada perkawinan sah yang tidak dilangsungkan menurut hukum masing-
masing agama. Kantor Catatan Sipil hanya bertugas mencatat perkawinan yang
telah diresmikan secara agama dan mengeluarkan akta perkawinan sipil. Kantor
Catatan Sipil tidak bertugas melaksanakan perkawinan dalam arti mengesahkan
suatu perkawinan (UU Perkawinan 1974 dan Statuta Keuskupan Regio Jawa,
pasal 116, tentang Pencatatan Sipil). De facto, negara selalu merumuskan dan
mengesahkan hukum perkawinan yang mengikat semua warganya, tanpa
membedakan agama. Karenanya, semua orang Katolik juga terikat oleh hukum
perkawinan sipil agar mendapat efek sipil, sejauh norma-norma hukum sipil tidak
bertentangan norma-norma hukum Gereja. Namun bagi orang Katolik,
perkawinan sipil saja belum dianggap sah, karena ia masih terikat oleh hukum
kanonik” (Rubiyatmoko, 2012: 31).

Sifat Perkawinan
Monogam

1
Penjelasan tentang hal ini diambil dari Robertus Rubiyatmoko, Pr, 2012:28-31.

6
Menurut tradisi Katolik, ciri pokok perkawinan adalah unitas atau
“kesatuan” dan monogam. Perkawinan itu menyatukan suami dan istri menjadi
satu daging, serta hanya sah bila dilakukan antara satu laki-laki dan satu
perempuan. Perkawinan poligami, baik poligini (satu laki-laki dengan banyak
perempuan) maupun poliandri, (satu perempuan dengan banyak laki-laki) adalah
tidak sah. Sebagai perwujudan cinta yang total, perkawinan haruslah monogami,
antara satu laki-laki dan satu perempuan.
Meskipun dalam Perjanjian Lama terdapat banyak kisah para raja memiliki
banyak istri, namun terdapat kecenderungan pada masyarakat Israel untuk lebih
menghargai perkawinan monogami. Nubuat nabi-nabi dan buku-buku
Kebijaksanaan menunjukkan kecenderungan akan perkawinan monogami tersebut
(Peschke, 1994: 475). Perkawinan manusia pertama Adam dan Hawa di Taman
Firdaus merupakan cita-cita ideal dari sebuah perkawinan monogami. Begitu pula
penggunaan kata-kata “seorang penolong yang sepadan” (Kej 2:20) dan “Lalu
berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku” (Kej 2:23) menunjuk pada relasi eksklusif antara pasangan berdua dan
hanya untuk pasangan berdua itu.
Dalam Injil, Yesus tidak mengajarkan secara eksplisit tentang perkawinan
monogami. Yesus bersabda, ”Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
(Mrk 10:6-8). Dalam pernyataan “keduanya akan menjadi satu daging” tersirat
ungkapan kesatuan antara suami istri dalam perkawinan monogami.
Gereja Katolik terus memperjuangkan perkawinan monogami sebagai ciri-
ciri perkawinan. Hanya dalam perkawinan monogami itu cinta yang setia dan total
dapat diwujudkan.
Tak Terceraikan
Sifat “tak terceraikan” juga merupakan ciri perkawinan Katolik. Sifat ini
diawali dan dinyatakan dalam janji perkawinan yang diucapkan pada waktu
penerimaan Sakramen Perkawinan. Janji pasangan pengantin itu menyatakan
bahwa mereka akan saling mengasihi tanpa syarat dan saling setia dalam pelbagai
situasi kehidupan, “dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit”.
Mengulangi kata-kata Yesus (Mrk 10:9), dalam penerimaan Sakramen
Perkawinan selalu diucapkan, “apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.” Perkawinan hanya berakhir oleh karena kematian, meski
salah satu atau kedua dari pasangan itu tidak setia sekalipun.
Sifat tak terceraikan ini mendapat dasar kuat dalam tradisi Perjanjian Lama
yang memuncak pada kitab Mal 2:14-16 yang menegaskan kesetiaan Tuhan.
“TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang
kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri
seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh?

7
Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu!
Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku
membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel” (Peschke, 1994: 481).
Di dalam injil, Tuhan Yesus menunjuk sikap menolak perceraian (Mrk
10:2-12; Mat 5:31; 19:3-9; Luk 16:18). Paulus dalam 1Kor 7:10 juga menolak
perceraian. “Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi
Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.”
Konsili Vatikan II juga menegaskan sifat perkawinan yang tak terceraikan (GS
48). Beberapa alasan untuk menolak perceraian adalah: (1) demi kesejahteraan
suami istri, (2) demi perkembangan anak, (3) demi kesejahteraan masyarakat,
dibutuhkan keluarga yang stabil/tidak terceraikan, (4) perkawinan adalah
sakramen (Peschke, 1994: 483-485). Pasangan suami istri akan terus belajar dan
berusaha saling menyesuaikan demi membangun kelanggengan perkawinan, kalau
perkawinan itu tak terceraikan. Perkembangan psikologis anak akan terjamin di
dalam keluarga yang utuh, tak bercerai. Perkawinan yang utuh juga akan
memperteguh keseimbangan masyarakat.
Meski demikian, Gereja Katolik memberi kesempatan bagi pasangan untuk
berpisah yang disebut “perpisahan tidak sempurna” karena ikatan perkawinan
masih tetap. Pemisahan perkawinan yang tidak sempurna itu disebut “pisah
ranjang dan meja makan.” Pemisahan itu hanya bersifat sementara dan bila
mungkin dapat dipersatukan kembali. Alasan-alasan pisah ranjang dan meja
makan itu adalah perzinahan (kanon 1152) dan apabila terdapat bahaya besar bagi
jiwa atau badan bagi salah satu pasangan (kanon 1153). Ini berarti bahwa sifat
“tak terceraikan” dari perkawinan Katolik bersifat mutlak. Namun bila ada alasan-
alasan tertentu pisah ranjang dan meja makan dimungkinkan.

Tujuan Perkawinan
Kanon 1055 KHK menyatakan bahwa perkawinan menurut “ciri kodratinya
terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran dan pendidikan anak.” Dua
tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami istri dan melahirkan keturunan dan
mendidiknya. Dalam KHK ini tidak ada pemeringkatan tujuan pertama dan kedua
sebagaimana terdapat pada KHK 1917. “Tujuan primer perkawinan adalah
prokreasi dan pendidikan anak; sekunder adalah saling membantu dan penyaluran
nafsu” (kanon 1013 $1 KHK 1917). Di sini tersirat bahwa mempunyai anak
adalah tujuan utama perkawinan. Maka lahirnya anak harus diupayakan sungguh-
sungguh agar tujuan perkawinan itu tercapai. Kalau tidak punya anak berarti
kegagalan perkawinan, karena tidak berhasil mencapai tujuan yang utama.
Sebaliknya, bila tujuan utama mendapatkan anak itu sudah tercapai, kemudian
tujuan kedua yaitu menyejahterakan suami istri diabaikan. Kaharmonisan dan
kehangatan cinta suami istri tidaklah diutamakan, bahkan dilalaikan, karena tujuan
utama untuk mendapatkan anak tercapai.
Tidak adanya pemeringkatan tujuan pertama dan kedua perkawinan
menunjukkan bahwa kedua tujuan itu sama pentingnya. Kesejahteraan suami istri

8
tetap dikejar meskipun lahirnya keturunan sudah tercapai. Kalau sebuah
perkawinan tidak dikaruniai anak, bukan berarti cinta yang gagal. Tujuan kedua,
kesejahteraan suami istri, masih dapat diupayakan. Dengan demikian lahirnya
anak bukanlah tuntutan yang mutlak, sebab kalau lahirnya anak menjadi tujuan
utama, kemungkinan yang terjadi adalah adanya usaha mati-matian untuk
mendapatkan anak. Bila tidak mempunyai anak lantas muncul alasan untuk
memnceraikan perkawinan itu. Dampak lainnya adalah berkembang pesatnya
upaya-upaya untuk menolak kelahiran anak dengan pellbagai cara, karena
lahirnya anak bukan tujuan utama. Nilai anak menjadi instumental saja, untuk
memenuhi tuntutan lahirnya anak. Oleh karena itu ada kewajiban bagi suami istri
untuk memberikan pendidikan pada anak-anak bila mereka dikaruniai anak.
Anak bukan sekedar untuk memberikan kepuasan bagi suami istri,
melainkan wujud partisipasi di dalam karya Tuhan, yaitu meneruskan generasi
manusia dan mendidik serta membesarkan mereka. Istilah prokreasi menunjukkan
bahwa suami istri turut ambil bagian dalam karya Tuhan untuk melangsungkan
generasi manusia.
Tujuan untuk memberikan kesejahteraan suami istri mengandung arti
pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis. Termasuk di dalam pemenuhan
kesejahteraan fisik adalah sandang, pangan, papan, dan semacamnya. Pemenuhan
kebutuhan psikologis adalah rasa aman, rasa dicintai, dilindungi, kenikmatan
hubungan seksual, dan semacamnya. Perkawinan akan menyempurnakan cinta
antara suami istri apabila suami istri mendapatkan kesejahteraan di dalam
perkawinan itu.

Tantangan
Perkawinan Campur
Gereja Katolik membedakan perkawinan campur menjadi dua, yaitu (1)
perkawinan beda agama (disparitas cultus) antara orang yang dibaptis Katolik
dengan orang yang tidak dibaptis non Katolik, dan (2) perkawinan antara orang
yang dibaptis Katolik dengan orang yang dibaptis non Katolik, orang-orang dari
Gereja Protestan (mixta religio). Tata peneguhan perkawinan campur beda agama
dan beda Gereja harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Gereja
Katolik (lih. Kanon 1124, 1125, 1127), yaitu mendapatkan surat dispensasi dari
ordinarus wilayah setempat.
Di zaman yang sangat terbuka ini, pergaulan orang-orang yang berbeda
agama/keyakinan semakin terbuka. Perkawinan campur semakin sulit dihindari.
Apalagi jumlah pemuda dan pemudi Katolik tidak banyak. Pemuda-pemudi
Katolik yang tidak banyak itu semakin leluasa untuk bergaul dengan kawan-
kawan mereka yang tidak Katolik. Sementara itu kesempatan bertemu antar
pemuda-pemudi Katolik juga tidak banyak.
Harus disadari bahwa pelbagai kesulitan akan ditemui dalam perkawinan
campur, karena keyakinan tentang paham-paham yang mendasar, seperti: asal dan

9
tujuan hidup, serta kaidah-kaidah hidup moral yang baik sudah merasuk sangat
mendalam dalam diri seseorang. Hal-hal mendasar ini tidak mudah untuk
dipertemukan dengan keyakinan dan kaidah-kaidah hidup yang lain. Maka laki-
laki dan perempuan yang berbeda keyakinan tentu saja tidak mudah untuk
dijadikan satu dalam persekutuan perkawinan. Kalau perkawinan campur itu
terjadi, maka pelbagai kesulitan akan dihadapi. Kesulitan akan bertambah apabila
keluarga, kelompok, dan komunitas dari suami atau istri yang berbeda keyakinan
itu turut mencampuri urusan perkawinan seseorang.
Perceraian
Konon angka perceraian di Indonesia sejak tahun 2009 terus meningkat 16-
20 % tiap tahun. Gugatan cerai setiap tahun dapat mencapai 340.000 kasus.
Kasus-kasus gugatan perceraian Katolik tidak sebesar itu, karena dalam
perkawinan Katolik tidak ada perceraian. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa
terdapat juga perceraian secara sipil untuk perkawinan Katolik. Angkanya pun
juga meningkat. Mengapa?
Kursus persiapan perkawinan selalu diselanggarakan untuk menyiapkan
pasangan-pasangan yang akan menikah. Perkawinan tidak cukup disiapkan
dengan kursus. Perkawinan berkaitan dengan tekad dan komitmen pribadi. Maka
komitmen inilah yang harus dibangun terus menerus dalam diri suami istri yang
telah menikah. Apalagi pelbagai tantangan zaman terus bertambah dan semakin
beraneka. AL memaparkan pelbagai tantangan itu pada nomor 32-57. Pergeseran
budaya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan masalah
perkawinan sangat kompleks: masalah ekonomi, masalah migrasi, masalah
komunikasi, pemahaman tentang kesetaraan gender dll.
Gereja Katolik menyediakan pelayanan pastoral bagi pasangan-pasangan
suami istri yang menghadapi masalah-masalah perkawinan. AL menyarankan
pendampingan bagi perkawinan muda, pendampingan bagi pasangan yang telah
bercerai, dan juga pendampingan bagi pasangan yang melakukan pernikahan
kedua setelah bercerai. Semangat yang ingin ditegaskan, Gereja harus tetap
terbuka dan merangkul siapapun yang sedang menghadapi masalah, tidak
mengucilkan dan menyingkirkan mereka sebagai pendosa.

Menolak Kelahiran Anak


Besarnya tuntutan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomis untuk mendidik
dan membesarkan anak mendorong suami istri untuk menolak untuk mempunyai
anak. Begitu pula dengan alasan untuk mengejar peningkatan karier, suami istri
tidak mau memiliki anak. Di kota-kota besar keluarga lebih suka memelihara
hewan, seperti anjing, dari pada memiliki anak. Mereka yang berjalan-jalan
menuntun anjing tampak lebih bahagia dari pada menggendong anak. Didukung

10
oleh kemajuan dalam teknologi di bidang kehidupan (bioteknologi) usaha untuk
menolak kelahiran anak dapat dimudahkan.
Penilaian moral atas tindakan menolak kelahiran anak menjadi perhatian
bidang moral hidup. Maka tidak dibahas di sini. Yang menjadi keprihatinan di sini
adalah kesengajaan untuk menolak kelahiran anak bertentangan dengan tujuan
perkawinan Katolik, karena perkawinan Katolik harus terbuka bagi kelahiran anak
dan pendidikan anak. Kesengajaan untuk menolak kelahiran anak berarti sengaja
menolak panggilan Tuhan untuk bekerja sama (prokreasi) dalam melangsungkan
generasi manusia.
Hidup Bersama tanpa Nikah
Dalam masyarakat yang kepedulian sosialnya rendah, kaidah-kaidah hidup
bermasyarakat sering diabaikan. Di kota-kota besar tertentu, hidup bersama tanpa
menikah dijadikan cara hidup bagi laki-laki perempuan yang sudah berhubungan
dekat atau berpacaran.demi alasan ekonomis dan kebutuhan praktis. Karena
mereka sudah merasa dekat satu sama lain, lalu mereka hidup bersama tinggal
satu rumah supaya sera ekonomis lebih murah, karena tidak perlu menyewa dua
rumah. Di Jawa ada istilah “kumpul kebo” untuk menyebut hidup bersama laki-
laki perempuan tanpa nikah.
Menanggapi gejala hidup bersama tanpa menikah, Dewan Kepausan
mengeluarkan dokumen yang berjudul Family, Marriage and “De Facto
Unions.” Menurut dokumen ini, hidup bersama tanpa menikah menghindari
komitmen akan janji nikah. Pasangan tidak mau menanggung akibat secara publik
janji perkawinan yang diucapkan dalam upacara perkawinan, maka mereka
melakukan hidup bersama tanpa mengucapkan janji perkawinan. Tentu saja ini
bertentangan dengan hakikat perkawinan Katolik, bahwa perkawinan terjadi
setelah laki-laki perempuan mengucapkan janji nikah secara bebas tanpa paksaan.
Hidup bersama tanpa menikah juga merendahkan martabat seksualitas.
Dalam cara hidup semacam ini, hubungan seksual hanya merupakan coba-coba
sebelum pasangan benar-benar telah melangsungkan perkawinan. Padahal tujuan
hubungan seksual tidak boleh dilepaskan dari tujuan perkawinan yaitu melahirkan
dan mendidik anak serta menyejahterakan suami istri. Terlapas dari tujuan
perkawinan, hubungan seksual hanya demi kepentingan ego manusia untuk
mencari kenikmatan dan hiburan semata.
Masalahnya akan menjadi serius bila ada negara-negara yang bersedia
memberikan pengakuan hidup bersama tanpa menikah ini setara dengan
perkawinan. Kalau ini yang terjadi maka martabat perkawinan direndahkan,
dianggap setara dengan hidup bersama tanpa menikah. Kalau demikian, lembaga
perkawinan dapat hancur.

Perkawinan Sejenis

11
Gejala lain yang muncul akhir-akhir ini adalah keinginan untuk
mendapatkan pengakuan resmi hubungan antara dua orang yang sejenis dalam
seks. Pengakuan resmi mendatangkan konsekuensi sosial bahwa hidup bersama
antara orang-orang sejenis tersebut setara dengan hubungan laki-laki perempuan.
Bila sudah mendapatkan pengakuan resmi negara, maka persekutuan orang-orang
yang sejenis tersebut mempunyai hak dan kewajiban sama seperti suami istri
dalam keluarga. Orang-orang yang mempunyai orientasi seks yang sejenis
tersebut adalah lesbian (orientasi seks pada sesama perempuan), gay (orientasi
seks pada sesama laki-laki), biseksual (orientasi seks pada laki-laki dan
perempuan), transgender (orang melakukan perubahan seks dengan operasi).
Tanggapan Gereja Katolik terhadap isu-isu tentang homoseksualitas dapat
dilihat pada dokumen-dokumen: Declaratio de quibusdam questionibus ad
Sexualem Ethicam Spectantibus (29 Desember 1975), Letter to the Bishops of the
Catholic Church on the Pastoral Care of Homosexual (‘Surat kepada Para Uskup
Gereja Katolik tentang Reksa Pastoral Orang-Orang Homoseksual’ 1 Oktober
1986), Katekismus Gereja Katolik (15 Agustus 1997) artikel 2357-2359,
Considerations regarding Proposals to Give Legal Recognition to Unions
between Homosexual Persons (‘Pertimbangan –Pertimbangan sehubungan dengan
Usul untuk Memberikan Pengakuan Legal kepada Hudup Bersama Orang-Orang
Homoseksual’ 3 Juni 2003), Amoris Laetitia (‘Sukacita Kasih, 2016).
Menurut pandangan Gereja Katolik, mengakui hidup bersama pasangan
sejenis layaknya seperti perkawinan bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu
terbuka pada kelahiran dan pendidikan anak. Hanyalah perkawinan heteroseksual
yang memungkinkan kelahiran anak. Persekutuan antar pasangan sejenis tidak
mungkin terarah pada lahirnya anak. Bahkan untuk pendidikan dan
pengembangan pribadi anak, persekutuan hidup bersama pasangan sejenis
tidaklah sehat karena dalam persekutuan hidup semacam itu anak tidak akan
mengalami kebapaan dan keibuan. “Membiarkan anak-anak diadopsi oleh orang-
orang dalam hidup bersama seperti itu berarti melakukan kekerasan terhadap
anak-anak ini, dalam arti bahwa kondisi ketergantungan mereka akan digunakan
untuk menempatkan mereka di dalam suatu lingkungan yang kurang kondusif
untuk perkembangan manusiawi seutuhnya.” (Kongregasi Ajaran Iman, 2003
Nomor 7).
Dalam hal ini Gereja Katolik sangat menegaskan pentingnya pelayanan
bagi laki-laki dan perempuan yang memiliki kecenderungan untuk melakukan
hidup bersama dengan pasangan sejenis. Tidak boleh ada bentuk-bentuk
diskriminasi dalam pelayanan sakramen dan peminggiran terhadap mereka.

Tanggungjawab
Tanggungjawab Pasangan Suami Istri

12
Menikah adalah keputusan pribadi laki-laki dan perempuan. Keputusan
itupun dilakukan dalam keadaan bebas dan tanpa paksaan apapun. Maka pasangan
suami istri harus bertanggungjawab sepenuhnya terhadap perkawinan yang telah
mereka bangun. Tanggungjawab tersebut dimulai sejak mempersiapkan diri untuk
menerima Sakramen Perkawinan. Pasangan harus saling mengenal satu sama lain
secara pribadi. Tentu sesorang tidak mungkin mengenal segala-galanya dari calon
pasangannya. Bagaimanapun keputusan akhirnya harus diambil untuk menikah
dengan pasangan itu. Selanjutnya dibutuhkan komitmen untuk berjuang bersama
membangun bahtera perkawinan itu, termasuk di dalam menghadapi masalah-
masalah yang berat.
Kesiapan dalam hal ekonomi akan sangat mendukung dalam membangun
bahtera keluarga. Seyogyanya sebelum menikah pasangan sudah memiliki
pekerjaan yang tetap sehingga dapat memenuhi secara minimal kebutuhan
ekonomi. Ketidaksiapan dalam ekonomi akan merepotkan dalam mengawali
sebuah perkawinan, karena akan terjadi ketergantungan pada pihak lain yang
menyebabkan adanya campur tangan pihak lain tersebut. Campur tangan orang tua
kerap kali menimbulkan masalah bagi keluarga yang sedang dibangun.
Betapapun perkawinan itu telah disiapkan pasti masalah-masalah tetap akan
bermunculan. Maka menyerahkan segala permasalahan perkawinan dalam doa
dan menyatukan segala penderitaan dengan penderitaan Kristus akan menjadi
kekuatan yang mujarab di dalam mengarungi samodra kehidupan perkawinan.
Tanggungjawab Gereja
Perkawinan adalah sakramen. Maka Gereja memiliki tanggungjawab atas
persekutuan suami istri yang dikehendaki oleh Tuhan itu dan kesucian janji
perkawinan itu (Peschke, 1994: 494). Gereja bertanggungjawab untuk mengatur
tata hidup perkawinan orang Katolik, dan orang Katolik terikat oleh ketentuan
hukum perkawinan Gerejawi tersebut. Orang Katolik tidak cukup hanya
mengikuti hukum-hukum sipil.
Gereja juga harus menyediakan pelayanan-pelayanan yang memungkinkan
berkembangnya spiritualitas hidup perkawinan. Dengan pelayanan-pelayanan itu
Gereja terlibat dalam suka duka, kegagalan, dan aneka permasalahan hidup
perkawinan umatnya.
Tanggungjawab Negara
Mutu sebuah bangsa dan negara sangat tergantung pada kualitas warganya.
Kualitas warga bangsa dan negara tergantung kualitas kehidupan perkawinan.
Maka negara turut bertanggungjawab akan kelangsungan perkawinan.
Tanggungjawab negara diwujudkan dalam upaya untuk menjaga tetap hidupnya
lembaga perkawinan. Salah satu cara dapat dilakukan dengan menetapkan
perkawinan laki-laki dan perempuan sebagai satu-satunya lembaga hidup bersama
yang sah. Ketetapan ini secara tegas mengimplikasikan bahwa hidup bersama
tanpa nikah harus ditolak. Begitu pula perkawinan sejenis tidak diakui sebagai

13
lembaga yang legal. Dengan ketetapan yang tegas tersebut martabat perkawinan
tetap terjaga dan tidak akan dirongrong oleh bentuk-bentuk hidup bersama
lainnya.

RANGKUMAN
Perkawinan Katolik adalah persekutuan pribadi laki-laki dan perempuan
yang dikehendaki Tuhan dengan tujuan untuk saling menyejahterakan dan terbuka
bagi kelahiran dan pendidikan anak. Perkawinan antara dua orang dibaptis adalah
sakramen, yaitu tanda cinta kasih Tuhan kepada manusia, sebagaimana cinta
Kristus kepada Gereja. Cinta kasih adalah dasar utama bagi perkawinan.
Perkawinan Katolik bersifat monogam dan tak terceraikan. Bentuk hidup bersama
laki-laki perempuan tanpa menikah tidak diterima oleh Gereja Katolik. Begitu
pula hidup bersama orang-orang dengan seks yang sama tidak diakui.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dokpen KWI. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993.
2. Dokpen KWI. Hidup Bersama Pasangan tanpa Nikah. Jakarta: Dokpen KWI,
2006.
3. Dokpen KWI. Homoseksualitas. Jakarta: Dokpen KWI, 2010.
4. Episcopal Commission on Catechesis and Catholic Education of the Catholic
Bishops’ Conference of the Philippines. Catechism of the Catholic Church.
Edisi Bahasa Inggris. Manila: Word & Life Publications, 1994.
5. Paus Fransiskus. Post-Synodal Apostolic Exhortation Amoris Laetitia, 2016.
6. Peschke, Karl H. Christian Ethics. Moral Theology in the Light of Vatican II.
Revised Edition. Manila: Divine Word Publications, 1994.
7. Rubiyatmoko, R. Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik.
Yogyakarta: Kanisius, 2012.
8. Purwahadiwardaya, Al. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

14
15

Anda mungkin juga menyukai