Perkawinan
“Foedus” dan
“Sakramen”
Fr. Leonardus Satrio
Perjanjian (foedus) perkawinan,
dengannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk antara mereka
persekutuan (consortium) seluruh hidup,
yang menurut ciri kodratinya terarah pada
kesejahteraan suami-istri (bonum
coniugum) serta kelahiran dan Pendidikan
anak, antara orang-orang yang dibaptis,
oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat
sakramen.
Kan. 1055 §1
Mengapa Perlu Ada
Perjanjian (foedus)?
Secara yuridis, pengucapan janji
perkawinan merupakan acara
pokok dalam sebuah perkawinan
Katolik.
—KGK 1626
Apa isi
perjanjian itu?
“Saya, (nama), memilih
engkau, (nama pasangan),
menjadi suami/istri saya.
Saya berjanji untuk setia
mengabdikan diri kepadamu
dalam untung dan malang, di
waktu sehat dan sakit. Saya
mau mengasihi dan
menghormati engaku
sepanjang hidup saya.”
Apa
Konsekuensi
Perjanjian itu?
“Maka dari itu, pria dan wanita, karena janji perkawinan bukan
lagi dua, melainkan satu daging (Mat 19:6), saling membantu
dan melayani berdasarkan ikatan mesra antar pribadi dan
kerja sama; mereka mengalami dan dari hari-ke hari makin
memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu,
sebagai saling serah diri antar dua pribadi, begitu pula
kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami istri
yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya
kesatuan mereka mutlak perlu”
—Gaudium et Spes 48
Perjanjian berbeda
dengan Kontrak
Kata ‘perjanjian’ (foedus)
memiliki nuansa biblis. Ada
perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru.
PL menggambarkan hubungan
kesetiaan cinta antara Yahwe
dan umat Israel.
PB menyatakan cinta kesetiaan
Yesus dan Gereja-Nya.
Perjanjian berbeda
dengan Kontrak
Pada PL, Allah menjadikan
Yerusalem (bangsa Israel)
sebagai istri-Nya
(Yeh. 16:3-14; Yes. 54:6; 62:4;
Yer. 2:2; Kid 1-dst).
Adanya kemauan
mempengaruhi keberhasilan
atau kesuksesan seseorang,
termasuk dalammenjaga janji
perkawinan. Sebaliknya, orang
tak bisa menikah jika dilandasi
keterpaksaan.
Sebelum menyatakan
komitmen nikah, setiap calon
nikah dituntut untuk
mengetahui pasangannya
secara baik.
—Gaudium et Spes 48
Sakramentalitas
Perkawinan
Sakramen pertama-tama adalah
tindakan Kristus.
Forma sacramenti:
Kesepakatan nikah sejauh
merupakan manifestasi lahiriah dari
kesepakatan nikah.
Sakramentalitas
Perkawinan
Kan. 1055 §2: “karena itu, antara
orang-orang yang dibaptis, tidak dapat
ada kontrak perkawinan sah yang tidak
dengan sendirinya sakramen”