Anda di halaman 1dari 24

Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik

Arti Perkawinan KatolikArti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.1055


1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah
dokumen KonsiliVatikan II, Gaudium et Spes 48). GS dan KHK tidak lagi
mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Tujuan perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran
anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau
kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan
kelahiran anak (KB).
Sifat dasar perkawinan Katolik.

Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak
terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam
berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang indissolubile berarti,
setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah
dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak
terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam
Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).
Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti
tatacara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan
antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi
dapat terjadi perkawinan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis
di Gereja lain non-Katolik.
Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061)
sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut
perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan dengan
persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et
consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa
manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non
consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu
pasangan (kan. 1142)
Kesepakatan nikah

Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang
menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang membuat perkawinan itu
sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari pasangan suami-isteri itu sendri,
bukan dari orang lain.
Kesepakatan ini mengandaikan kebebasan dari masing-masing pihak untuk
meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-masing pihak harus 1bebas
dari paksaan pihak luar, 2tidak terhalang untuk menikah, dan 3mampu secara
hukum. Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut
norma hukum.
Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat
selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander
III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi
sejak terjadinya kesepakatan nikah . Namun perkawinan sakramen itu baru tak
terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena
setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih
antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan
seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan
di atas.
Penataan hukum

Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh
ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil
sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang
dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia
sebagai berasal dari Allah sendiri.
Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat
perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang,
tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja
adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat
Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis
Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan
dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada
hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil,
dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang
non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum
Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski
hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan
mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum
kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk
menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara
pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas
hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas
melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Penyelidikan kanonik

Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai
penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat
mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti
sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa
membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak.
Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.
Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan
dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara
khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti
diketahui baik oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan
oleh seluruh umat yang mengenal calon. (Rm. Erwin Santoso MSF)
BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN


1. Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh dua orang
yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain sampai
mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling menghormati dan mencintai, dengan modelnya
atau contohnya adalah Tuhan Jesus Kristus yang mencintai secara total umat manusia (modelnya
bukan artis atau manusia yang mencintai Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia
seluruhnya). Sedangkan pemberkatan perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan
dijanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti
isi janjinya sama: setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya
modelnya yang berbeda karena yang katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang
yang Islam memakai muhamad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha
atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya tidak menjadi
sakramen karena pihak yang tidak katolik tidak atau belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan
sarana keselamatan Allah bagi pasangannya, bahkan dia tidak/belum percaya pada sakramen itu.
Kalau pihak non katolik kemudian hari menjadi katolik dan percaya bahwa dirinya adalah sakramen,
maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda
agama yang telah mereka lakukan di gereja.
2. Yang paling sedikit berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan paling adalah pertanyaan
penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak
diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
3. Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan. Intinya
adalah pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati untuk
melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji perkawinan dengan intinya adalah kesetiaan,
saling mengasihi dan menghormati sampai kematian memisahkan, pengesahan perkawinan oleh
imam, doa pemberkatan oleh imam bagi pasangan itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan,
penandatanganan dokument perkawinan.
4. Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak langsung,
karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak
non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka tatacara itu tidak akan
mengganggu iman masing-masing. Yang mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu
dilangsungkan di mesjid karena pihak katolik harus mengucapkan syahadat, atau di beberapa gereja
protestan karena pihak katolik harus dibaptis secara protestan. Untuk jadi orang katolik tidak mudah,
harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan pastor,
melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis. Gereja katolik
tidak rakus pengikut, karena yang penting bukan banyaknya, tetapi mutunya pengikut Jesus. Banyak
yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih, kata injil. Semua dipanggil, tetapi kalau belum terpilih ya
tidak akan pernah menjadi orang katolik.
5. Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari pihak
katolik. Bahkan orang katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya diketahui pihak
non-katolik.
Sumber : http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai-
pernikahan-katolik
Kawin Campur

oleh: Romo Antonius Dwi Joko, Pr



Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan
persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-
manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa
dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih
pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat
terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan
keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh
perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan
agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah
dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun
tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar
yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu
yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang
perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Namun Gereja juga menyadari akan komplesitas dan pluralitas situasi
masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-
Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan
bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan
kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman
akan realita terjadinya perkawinan campur.


1. Pengertian

Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan
pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak
dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena
membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih
pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya
perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua
perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang
sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya,
semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi
kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.


2. Dua jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang
baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin. Perkawinan campur beda
agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis)
untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.


3. Persyaratan mendapatkan Ijin atau Dispensasi

a. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta
memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan
sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (kan.1125, 1).

b. Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus
dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan
kewajiban pihak Katolik (kan.1125, 2).

c. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat
hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya
(kan.1125, 3).

Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan
untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.


4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan
kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah
peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya
sendiri, mengapa tidak fifty-fifty: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja
Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang kan. 1127 $ 3
yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau
perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan
konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati
pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman
dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan
kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan
menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak
sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa
fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya)
dengan alasan: belum menikah sah.


5. Pastoral bagi Pasangan Kawin Campur

Yang paling krusial adalah masalah anak. Orangtua tetap bertanggung awab soal
pendidikan anak. Dan harus dibereskan sebelum menikah.

Sejak dulu kawin campur menjadi halangan, sebab menjadi ancaman iman. Maka
Gereja mengingatkan bagi mereka yang melakukan kawin campur agar supaya
tidak lupa akan janjinya. Selain itu mengingatkan orangtua akan kewajiban
mendidik anak. Sebenarnya dua-duanya diingatkan. Yang diharapkan Gereja
supaya mereka sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak
awal, sebenarnya hanya untuk membentengi iman. Bagi yang Katolik bila sudah
membaptiskan anak berarti sudah melaksanakan janji itu? Belum, sebab soal
pendidikan selanjutnya harus dipikirkan. Seandainya mengalami kesulitan besar
sehingga tidak membaptiskan anak, tidak berarti tidak berhasil mendidik anak.
Yang penting adalah melakukan yang baik untuk anak. Ini adalah resiko orang
menikah kawin campur.

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan
keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi
waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang
meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya
itu kerap kali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan
seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur
(misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang
menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya,
dan kawin campur pada khususnya. Kiranya pasangan kawin campur tidak hanya
menunggu saja, tapi perlu aktif membina diri dan mencari kesempatan untuk
memperkembangkan hidup imannya.

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada
pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto
dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan
tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan
pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.


6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU Perkawinan RI 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang
menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Sering
dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan
campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil,
apapun caranya.


7. Saran dan Harapan bagi Orangtua dan Mudika

Memang sudah cukup banyak usaha-usaha pastoral untuk mengurangi kawin
campur. Namun seringkali usaha-usaha itu masih sporadis, dan belum
menunjukkan hasil yang memuaskan. Kiranya perlu suatu gerakan bersama.
Belum lagi kesulitan banyak kaum muda untuk menemukan pasangan hidup yang
seiman.

Salah satu usaha pastoral tradisional untuk mengurangi kawin campur adalah
menggalakkan aktivitas Mudika. Namun kita sadari juga bahwa pada akhir-akhir
ini minat kaum muda untuk berkumpul, mengadakan aktivitas bersama rekan
seiman dirasa menurun.

Kiranya peran para orangtua untuk mendorong kaum muda untuk lebih banyak
berinteraksi dengan teman mudika perlu kembali ditingkatkan. Orangtua tidak
cukup kalau hanya mengharapkan atau bahkan menuntut agar anaknya tidak
melakukan kawin campur.

Tentu tak kalah pentingnya adalah usaha mudika sendiri untuk mengembangkan
diri dan menyiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki kehidupan keluarga
dan perkawinan. Banyak calon pasangan sungguh tidak siap memasuki hidup
perkawinan dan keluarga. Kaum muda perlu mempersiapan hidup perkawinan
sejak dini. Perlu memahami apa itu tujuan perkawinan, sifat-sifat hakiki
perkawinan Katolik. Perlu juga mengetahui halangan-halangan perkawinan, dan
sebagainya. Karena itu hendaknya kaum muda sungguh berani lebih terlibat
dalam aktivitas-aktivitas mudika. Di sana kaum muda juga akan berdiskusi
bersama dan lewat interaksi itu akan semakin memahami hakekat perkawinan
Kristiani dan mempersiapkan diri ke arah itu. Dan tentu saja, urusan pasangan
hidup, kiranya tetap tekun memohon kasih karunia Tuhan untuk itu.

Sumber: http://yesaya.indocell.net/id1066.htm























Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim (beda
agama)

Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat
diperbolehkan, tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu
sebaiknya kita memahami terlebih dahulu sudut pandang dari non muslim itu sendiri.

1. laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang
dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang
telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat
dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang
sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam.
Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al
quran, Surat Al Maidah(5):5,

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi.

2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan
non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit),
yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan
diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk
kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran
al Baqarah(2):222

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.

Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.

Dari al quran al Baqarah(2):221 sudah jelas tertulis bahwa:

"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman..."

Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam
islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak
segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai
suami istri dianggap sebagai perbuatan zina.

Kesimpulannya:
Seorang laki-laki muslim boleh menikahi perempuan yang bukan non muslim selama
perempuan itu menganut agama samawi, apabila lelaki muslim menikahi perempuan
non muslim yang bukan agama samawi, maka hukumnya haram.
Sedangkan bagi perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-
laki yang tidak seiman.
Sumber : http://www.islamnyamuslim.com/2012/12/hukum-pernikahan-beda-agama-
islam-dan.html




















Hukum Nikah Beda agama

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr.wb. Saya seorang hamba Allah di bumi Allah ingin menanyakan kasus berikut: Ada seorang
laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggung
jawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut:
1. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah digereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara
Islam, kemudian catatan negara dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan.
2. Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki
istilahnya terpojokkan karena sudah menghamili. Sehingga HARUS menikahi dengan cara tersebut, dengan tetap
pada keyakinan masing-masing. Dalam prosesnya, orangtua (bapak) dari laki-laki itu sudah mengusahakan dengan
semaksimal mungkin untuk menikah dengan cara Islam tanpa syarat, wanita tersebut harus masuk Islam
dulu. Namun dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian akhirnya, dengan berbagai
pertimbangan orangtua ini menyetujui prosesi tersebut. Dan untuk proses bertaubat, mau diarahkan untuk kembali ke
jalan yang benar. Laki-laki tadi juga akan menyeru istrinya untuk masuk Islam. Proses tersebut belum terjadi dan
masih menunggu hari H. Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya yang sesuai syariat Islam untuk kasus di atas?
2. Bagaimana status anak yang sudah dikandung ini dan apabila terlahir?
3. Bagaimana hukum dari tindakan orang tua dari laki-laki ini?
4. Bagaimana sikap saya (sebagai saudara sepupu) jika nanti proses itu terjadi? Tentang menghadiri pestanya?
Karena dalam benak saya saat ini, haram untuk menghadiri yang seperti itu.Mohon penjelasan dengan sangat detail,
mengingat saya masih awam. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu alaikum wr. wb.Hamba Allah di Jawa Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi (Disidangkan pada
hari Jum'at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)
Jawaban:
Wa 'alaikumus-salam wr. wb. Saudara hamba Allah dari Jawa Tengah yang baik, berikut ini jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan saudara:
1. Hukum nikah beda agama menurut syariat Islam itu sudah kami terangkan beberapa kali dalam rubrik Tanya
Jawab Agama ini, bahkan telah pula menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur.
Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki
Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu,
Konghuchu dan lainnya). Dalilnya firman Allah:
Artinya "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran."( A\-Baqarah {2]: 221) Yang diperselisihkan para ulama ialah:
Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada
yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Ada pula yang
mengatakan tidak boleh, Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak
boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi saw. Semua
Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan babwa Uzair
itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
b. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama
dilaksanakannya pernikahan.
c. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih
banyak dari kaum laki-lakinya.
d. Sebagai upaya syadz-adz-dzari'ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suamilistri dan anak-
anak yang akan dilahirkan.Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boieh menikahi wanita Ahlui Kitab menurut
sebagian ulama, sebagaimana kami katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak
menganjurkan perkawinan tersebut karena syarat wanitaAhlul Kitab yang disebut dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang
dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan, yang artinya
wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Perhatikan firman
Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Artinya Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapusfah amalannya dan la di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi."( Al-Maidah [5j: 5) Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama,
karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan: "Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." ini artinya,
negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki beragama
Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan
secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan
Sipil sebagaimana penduduk non muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka disana.Perlu ditekankan di sini,
pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa terpojokkan sehingga "HARUS" menikahi wanita Katolik itu
sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu bisa saja terjadi karena atas dasar suka sama suka sehingga
menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar menikahkan mereka berdua dengan
cara Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus dilakukan semaksimal mungkin.
2. Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kamijelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi
menikah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar
perkawinan yang sah. Dan perzinaan itu tidak menimbulkan dampak menetapan nasab anak tersebut (kepada laki-
laki yang berzina dengan ibunya), menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah
kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi,
mendidik,menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh
didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah Hadits berikut:

Artinya "Rasulullah saw bersabda: "Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi
ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)"."(al-Bukhari dan Muslim) Hadits
ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang
mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab
menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam. Pendapat yang menasabkan anak hasil
zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHl) pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya".

Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk Islam, maka jika anak tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan
dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas. Alasannya ialah, tempo
kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki -laki Muslim
tersebut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan,
kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang Sah. Namun jika anak
hasil zina tersebut lahir sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan
laki-laki Muslim tersebut tetap bretanggung jawab terhadap nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah
anak istrinya. TApi daris egi perwalian dan pewarisan, laki-laki musluim tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan
tidak waris mewarisi dengannya. Ini menurut ulama fiqih.

NAmun perlu diketengahkan disini bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut
dapat dinasabkan kepada si laki-laki muslim di atas karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah:a Anak
dilahirkan dalam atau akibat perkawonan yang sah.b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan demikian demi kemaslahatan tersebut.

3. MEngenai tindakan orang tua laki-laki Musli di atas sebaiknya tetap berusaha untuk menikahkan keduanya secara
Islam, yaitu KUA.

4. MEngenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkawinan jika proses perkawinan seperti yang
dikehenadaki keluarga katolik itu terjadi, saudara boleh menghadiri bila diundang.
Wallahu aalam bi showab.

Sumber: http://www.muhammadiyah.or.id/14-content-188-det-tanya-jawab-alislam.html



















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-
pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan
yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan
yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya
dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam
beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct.
Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan,
sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus
dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern
mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit
masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah
komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang
spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat
Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan
memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada
beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya
melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan
pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual
seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang
mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini
sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan
satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan
inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan
bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna
kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan
mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda,
makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam
masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam
dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik
maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita
musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria Islam
dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat
221 Q.S. al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian
halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula
ulama yang melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis
akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab
empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat
ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?
2. Bagaimana hukum perkawinan lintas agama?
3. Bagaimana pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama.
2. Mengetahui hokum perkawinan lintas agama.
3. Mengetahui pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama.









BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perkawinan
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai
pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung
esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan
tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan
adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan
pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36
dan arti Q.S. al-Muminun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas
bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap
makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia
yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah
salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah
tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2
perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau
mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan
ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan
antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang
beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam.
Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan
calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami
beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun
musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia
sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah
bagi yang melaksanakannya, sedangkan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non
Islam.

2.2 Hukum perkawinan lintas agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas
agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria
atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama
Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan
(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul
kitab ataupun musyrik. Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum
perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih
muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini
disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan
perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan
mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan
mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu,
apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.,
atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau
musyrik.
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non
Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-
Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal
ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, yang artinya Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang
dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka
seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka
perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim
dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar
perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama
haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab
juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan
perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5
telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah
karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan
kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam
keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam
lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa
apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya
yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah
dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan
tidak beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari
perbuatan zina).
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis
berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki
konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama
yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut
mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran
yakni Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang
melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini
dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan
masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu
QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non
muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan
Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut
kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim
dalam buku Dekonstruksi Syariah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman
perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang
ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria
memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum,
sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang
melakukan penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta
mendapatkan hasil yang mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat
dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data
ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan
oleh Maulana Muhammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang
menikah dengan pria non muslim akan menemukan banyak permasalahan dan problem
dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan
dasar melarang perkawinan antar agama.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh
sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita muslim dengan
seorang pria non-muslim apakah dia dari golongan ahlul kitab, ataukah musyrik.

2.3 Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober
1975 mempunyai cirri khas kalu dibandingkan dengan hokum perkawinan sebelumnya
terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan
diwariskan oleh pemerintah colonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau
perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hokum agama. Undang-undang
perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya
sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan
cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu
ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang
Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang
Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Anak kalmiat agamanya dan kepercayaannya itu berasal dari ujung ayat 2 Pasa 29
Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan
berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di
sahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di muka, bahwa perkataan kepercayaan
dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar
1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik
Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di
bawah judul agama dan perkataan itu yang terletak setelah perkataan kepercayaan
dimaksud. Kepercayaan menurut aliran kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama.
Oleh Karena itu adalah logis kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.
Dengan demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak
boleh dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang
diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan Buda
di tanah air kita. Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah
kalu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang
dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia.
Tentang perkawinan oran-orang berbeda agama, akalau dihubungkan dengan
Undang-undang Perkawinan (1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1). Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama
dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan seseorang
untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pegaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut
pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang
perkawinan campuran peninggalan belanda dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya
pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan pernikahan.
2). Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUD No. 1 Tahun 1974, tidak mengatur
perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini,
perkawinan antar pasangan yang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan ingin menjalin
hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu
dirumuskan ketentuan hukunya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih baik
membenarkan atau mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh cinta itu,
meskipun keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3). Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang
yang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang yaitu Pemerintah
dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1
mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan. Dalam
pasal huru (f) Undang-undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa, Perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
yang beralaku dilarang kawin. Artinya Undang-undang Perkawinan melarang dialkukan
atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku
dalam Republik Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini
Selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu pula
pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama,
selain dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama, sesungguhnya,
bertentangan pula dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap warga
Negara dan penduduk Indonesia.

2.4 Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan
antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim,
apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum
perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka
para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul
kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang
hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun
pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita
kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut
mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut
mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab
ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi
dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada
Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini,
perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim,
karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka
adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan
daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat
yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-
wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam)
maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika
dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan
meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak
karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini
menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan
beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafii.
Demikian halnya dengan mazhab syafii, juga berpendapat bahwa boleh menikahi
wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafii
adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak
termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang
dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada
dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang
menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul
yaitu semenjak sebelum Al-Quran diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut
Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Quran diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani
kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut
banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafii. Tetapi tidak membatasi bahwa
yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum diutus menjadi Rasul.























BAB III
KESIMPULAN

Perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik
pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat
perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli
kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat memengaruhi
perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980
yang berpendapat seperti di atas.
Kelompok pemikir liberal-pluralis semisal Jaringan Islam Liberal (JIL) beranggapan
bahwa semua agama sama dan oleh karena itu tidak mempersoalkan perkawinan antar
agama karena semua agama menurut mereka membawa dan mengajarkan kebenaran.
Wallahu Alamu Bis shawab.
Perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau
seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
pertama hukum pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama,
dengan cara pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya
dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum
agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut
Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan campuran antara orang-orang
yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada dirinya, sehingga dalam
perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut,
sukar terwujud. Ketiga perkawianan campuran antara orang-orang berbeda agama adalah
penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan
Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini
kendatipun ada kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan
sendiri. Keempat Pria atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran
bebeda agama sebaiknya memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan
demikian berada di bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di
tanah air kita.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi Syariah (Terj) Bandung: Mizan.
Ahmad Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri, 1969. Kitab fiqh ala mazahibul al-arbaah, Juz IV, Beirut .
Ali Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz I Makkah: Dar Al-Quran Al-Karim.
Amir Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.
Asnawi Ihsan, Warna-warni Hukum Perkawinan beda agama,
Kartini Kartono, 1997 , Pantologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar al- Qolem.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al
Maarif.
Yusuf al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa Muasiraoh,Kairo: Dar Afaq.

Anda mungkin juga menyukai