Anda di halaman 1dari 6

Pandangan Gereja Katolik terhadap Media Sosial

Kehadiran sarana komunikasi moderen, yang dikenal dengan sebutan “media sosial digital” telah
menjadi pengalaman harian manusia dewasa ini. Bahkan orang merasa bingung dan kehilangan, bila dia
tidak memiliki sarana media sosial baru. Dengan perubahan yang begitu cepat dalam aneka perniknya,
media sosial semakin merayu manusia, bahkan membentuk sejenis ketergantungan yang tumbuh dan
berkembang secara meluas, khususnya di kalangan kaum muda. Inilah bagian dari gaya hidup semasa,
khususnya dalam menciptakan jejaring sosial sebagai bentuk “pengakuan dan perwujudan diri” di
dalam budaya digital. Tantangan-tantangan kemanusiaan baru pun muncul berbarengan dengan
perkembangan serta kemajuan media sosial dan pada gilirannya memengaruhi sikap serta perilaku
manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari, terutama dalam keluarga.

Gereja sebagai persekutuan para murid Kristus mengarus-utamakan “komunikasi sosial” yang harus
berkembang di antara manusia, yaitu komunikasi yang memelihara dan memuliakan martabat pribadi
manusia menurut rencana penciptaan Allah. Dengan memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan
dalam teknologi informasi, Gereja tidak boleh terperangkap oleh kecenderungan teknis belaka, tetapi
bagaimana secara cakap memanfaatkannya demi mekarnya komunikasi manusiawi yang membangun
keadilan dan perdamaian. Gereja bukanlah jurnalistik, tetapi pewarta Sabda Tuhan dalam
menggerakkan manusia beserta seluruh alam tercipta menurut rancangan Pencipta. Dengan membuka
diri pada media sosial yang berkembang sangat pesat, persekutuan gerejawi tetap berpegang pada
upaya penyadaran, agar media sosial menjadi bantuan bagi evangelisasi dalam dunia yang semakin
kompleks. Mudah-mudahan umat beriman Kristiani, khususnya yang bergerak dalam teknologi informasi
dan komunikasi, semakin siap dan mampu memanfaatkan media sosial demi suburnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam dunia ini, terutama dalam lingkungan hidupnya.

Perjalanan media sosial baru mendorong manusia untuk siap sedia menerima perubahan dalam upaya
komunikasi, karena media sosial baru sedang hadir sebagai peradaban baru dalam dunia semasa,
khususnya di daerah perkotaan. Pelayanan pasar serta penawaran barang-barang sekarang ini dapat
dilakukan dengan menggunakan media sosial baru. Akibatnya, manusia dewasa ini memiliki pandangan
baru terhadap waktu, ruang dan tempat. Perkembangan yang demikian cepat membuat bahwa waktu
menjadi sempit, ruang menjadi luas dan tempat tanpa batas lagi. Kecenderungan lama yang membatasi
waktu, ruang dan tempat menjadi terbuka, dan orang dapat berkomunikasi kapan, dalam ruang dan
tempat dimana saja. Tapal batas hilang secara virtual.

Di dalam dunia yang berubah cepat ini, orang perlu belajar menjadi bijaksana secara baru pula, agar
kehadiran media sosial menjadi bernilai bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam peradaban
baru ini, orang perlu menemukan kembali martabatnya sebagai manusia yang bertanggungjawab atas
kehidupan. Manusia harus belajar agar dia tidak menjadi budak dari media sosial baru, tetapi tetap
menguasainya demi kebaikan bersama. Dalam keadaan perkembangan teknologi komunikasi ini, orang
perlu sadar akan panggilan hidupnya sebagai penanggungjawab bersama menuju suatu keseimbangan
manusiawi yang semakin sejati. Oleh karena itu, orang memang perlu membangun kemampuan dalam
penggunaan media sosial dengan sikap kritis dan kreatif dalam konteks wawasan etis yang memajukan
nilai-nilai kemanusiaan.

Sesungguhnya komunikasi sosial, yang berkembang menurut gerakan media sosial baik yang bercorak
tradisional maupun digital, merupakan upaya manusiawi untuk menjalin hubungan dalam semangat
saling membantu, saling melengkapi, saling menghidupkan, saling memajukan dan saling
memberdayakan. Dengan demikian apa pun yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup media sosial
hendaknya menjadi petunjuk adanya suatu peradaban manusiawi yang berkembang guna mempererat
jejaring yang menghormati serta menghargai martabat manusiawi. Nyatanya, kemajuan media digital
menimbulkan banyak pertanyaan dalam hubungannya dengan persoalan hidup manusia, khususnya
tanggungjawab etis dalam penggunaan media sosial.

“Media Sosial: ruang baru untuk evangelisasi” adalah tema yang dianjurkan oleh Sri Paus Benediktus XVI
untuk Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia 2013. Tema ini tentu saja berhubungan dengan tema dari
Sinode para Uskup di Roma 2012 dan menjadi tulang punggung dari perayaan Tahun Iman. Kiranya
ruang baru ini sungguh menyemangati kembali umat beriman Katolik untuk memanfaatkan media sosial
secara lebih berfaedah dalam upaya menemukan kembali kegembiraan iman Kristiani menuju
kecakapan kristiani dalam tata dunia yang berkembang demikian cepat. Bilamana umat Katolik
menggunakan media sosial dengan benar dan baik, maka karya evangelisasi melalui media komunikasi
akan menjadi bantuan yang sangat berharga dan bernilai bagi pembangunan kesejahteraan bersama,
khususnya dalam komunikasi sosial ekonomi.

Persekutuan gerejawi di keuskupan, paroki atau pun lingkungan basis semakin tersedia untuk
menggunakan media sosial sebagai sarana informasi hidup bersama. Pertanyaannya, apakah sarana
media sosial sudah menjadi alat pewartaan yang membangun komunikasi iman yang menggembirakan
dan menumbuhkan pengharapan. Jalinan komunikasi yang tersebar dan nampaknya menyatukan belum
sepenuhnya menerjemahkan hakikat gereja sebagai persekutuan misioner dalam lingkungan hidup ini.
Media sosial belum sepenuhnya menjadi media pembelajaran hidup iman: ruang baru yang terbuka
lebar masih berada dalam tataran gaya hidup materialistik, yaitu lingkungan rasa menyenangkan dalam
berkomunikasi tanpa suatu upaya untuk melakukan penilaian manusiawi. Nampaknya, hal yang utama
adalah memiliki perangkat media sosial untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri, sehingga keterasingan
dan kesepian tetap mengintai dalam masa kemajuan media komunikasi sosial.

Dalam Tahun Iman, persekutuan gerejawi Katolik seantero jagat hendak menemukan kembali daya dan
kekuatan iman Kristiani, yang sedang mengalami demikian banyak tantangan, khususnya di masa
perkembangan media sosial digital sekarang ini. Evangelisasi baru di jaman media sosial baru pasti tidak
menghadirkan pewartaan Injil yang baru, tetapi bagaimana menempatkan pewartaan Injil dalam
lingkungan yang berubah akibat kemajuan teknologi media sosial. Atau dengan kata lain, bagaimana
Gereja menghadirkan pewartaan iman Kristiani sesuai dengan tuntutan serta perkembangan lingkungan
hidup manusiawi yang semakin terpaut pada perkembangan ilmu dan teknologi moderen. Lingkungan
manusiawi di jaman media sosial baru tetap perlu mendapat peduli pewartaan, agar media sosial
menjadi ruang baru evangelisasi di jaman sekarang ini. Kecenderungan untuk bergaya hidup ‘digital’
telah menggiring generasi baru kepada suatu lingkungan yang hanya mementingkan kepemilikan media
sosial yang sama menurut konteks perubahan yang bergerak sangat cepat.

Kita sadar akan perutusan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus, ialah menjadi bentara Kabar
Gembira. Lingkungan hidup manusiawi berubah, tetapi Kabar gembira tetap sama: perwujudan tanda-
tanda Kerajaan Allah di dunia kita. Kehadiran media sosial harus dipandang sebagai “anugerah” yang
mudah-mudahan mendorong semangat berevangelisasi dl dalam ruang baru yang senantiasa berubah.
Tanda-tanda Kerajaan Allah itu adalah kenyataan pemajuan martabat manusiawi di tengah segala
kemajuan teknologi, agar manusia tidak menjadi budak belian yang hidup dalam lingkungan berhala
akibat keserakahan manusia sendiri. Oleh karena itu pelayanan komunikasi sosial dalam dunia baru
media sosial hendaknya mampu mencermati tanda-tanda jaman guna memberikan tanggapan
manusiawi yang adil dan damai. Artinya, kemajuan dalam teknologi media sosial harus menjadi alat
untuk membangkitkan tanggungjawab manusia menurut tuntutan keadilan dan perdamaian. Media
sosial, yang menghadirkan peradaban digital dala dunia kita, hendaknya membuka kesadaran manusia
secara baru dalam upaya untuk menegakkan budaya kehidupan, ialah peradaban kasih di mana
martabat setiap orang mendapat penghormatan dan penghargaan dalam kesetaraan yang saling
melayani. Dengan kata lain, media sosial harus menjadi sarana untuk membangun sikap dan tindakan
ekologis yang berkelanjutan secara manusiawi.

Dalam gerakan mendunia akibat kemajuan teknologi, persekutuan gerejawi harus memelajari
bagaimana kehadiran media sosial berperan dalam menyebarkan informasi yang mendukung kerjasama
mendunia dalam aneka bidang kehidupan, khususnya politik dan ekonomi. Kedua bidang ini pada
gilirannya akan mendorong lahirnya suatu budaya baru dengan gaya hidup yang baru pula. Gereja
Katolik semesta mempunyai pengalaman tentang keadaan mendunia bukan karena kekuatan teknologi,
tetapi kekuatan hati nurani, biarpun penuh dengan tantangan dan kelemahannya. Pada sekarang ini
budaya mendunia atau apa yang disebut “globalisasi” semakin menjadi bagian hidup keseharian
manusia. Dalam keadaan yang berkembang demikian, persekutuan gerejawi harus tekun hadir sebagai
“an expert in humanity”. Dalam keadaan apa pun, persekutuan gerejawi mempunyai perutusan untuk
memajukan nilai-nilai kemanusiaan, agar dunia kita hidup dalam keadilan dan perdamaian dengan
bantuan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, di mana setiap orang, biarpun tetap berbeda,
mempunyai kesetaraan dalam menemukan jati diri yang bermartabat.

Banyak keuskupan atau pun paroki, bahkan komunitas basis sudah memiliki ‘website’ sebagai wadah
komunikasi jejaring sosial dalam lingkungan pelayanannya. Nyatanya, wadah media sosial ini belum
sepenuhnya menjadi sarana komunikasi yang menumbuhkan semangat bersaudara dalam komunikasi
iman. Bahkan beberapa website hanya menjadi pajangan sebagai tanda bahwa persekutuan gerejawi
tertentu sedang menguti gaya hidup semasa, namun tidak memberikan nilai tambah dalam pemajuan
nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai bagian dari pemerkayaan data base umat, website tersebut tidak
membantu pencerahannya, karena updatenya hampir tidak terjadi dan tidak dikerjakan. Penggunaan
media sosial dalam karya pastoral memerlukan komitmen yang berbasis kompetensi(teknis, kritis,
kreatif, etis dan spiritual), agar peduli media sosial dalam karya pastoral menjadi berfaedah dalam
membangun komunikasi sosial yang berkelanjutan secara manusiawi.

“Hal mendasar dalam menilai sistem informasi adalah pertanyaan apakah sistem informasi
bersangkutan memberi sumbangan agar pribadi manusia menjadi lebih baik; artinya, apakah sistem
informasi itu membuat orang lebih matang secara spiritual, semakin sadar akan martabat
kemanusiaannya dan tanggung jawabnya serta lebih terbuka untuk orang lain, terutama yang paling
membutuhkan dan paling lemah” (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, no. 415).

Persekutuan para murid Kristus, ialah Gereja, yang melibatkan diri dan memerhatikan pastoral
komunikasi sosial, seyogiyanya mendorong diri untuk menjadi cakap dan tekun dalam hal-hal berikut:

Pertama, iman Kristiani adalah anugerah Allah yang perlu dipelihara dan diperkembangkan dalam
perjalanan hidup kita. Pada umumnya, iman Kristiani diterima sebagai warisan dalam keluarga bagaikan
sumber komunikasi iman hidup kita. Siapa yang tumbuh dan berkembang dalam suatu proses bina diri,
dia itu melibatkan diri pada apa yang disebut komunikasi sosial. Terdapat banyak unsur yang
memperlihatkan pentingnya pendidikan dan bina diri dalam komunikasi sosial. Oleh karena itu, Gereja
kita perlu suatu orientasi pendidikan serta pembinaan komunikasi sosial, agar kepemimpinan Kristiani
semakin menjadi efektif dan berfaedah bagi pelayanan dan perutusan komunikasi iman.

Kedua, siapa saja yang dipanggil untuk melayani dalam Gereja, menerima panggilan ini dengan suka
rela. Oleh karena itu, harus ada alasan, kobaran semangat, tenaga dan hasrat batiniah yang
menggerakkan seseorang untuk mewartakan Injil. Pelayanan komunikasi Kristiani tanpa hasrat yang
berkobar secara mendalam adalah seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Terdapat banyak ahli
komunikasi dalam Gereja, tetapi sebagian dikuasai oleh teknologi dan sebagian dikuasai oleh peragaan
yang menyenangkan. Sedikit orang yang dikuasai oleh perutusan komunikasi pastoral.

Ketiga, komunikasi tidak terjadi dalam ruang kosong. Kehadiran serta makna budaya merupakan utama
dalam komunikasi. Para pelayan gerejawi harus memiliki pemahaman akan budaya di mana Injil
diwartakan. Beatus Yohanes Paulus II menyebutnya “Aeropagus baru” untuk melukiskan komunikasi
dalam dunia moderen. (Redemptoris Missio, no. 37).

Keempat, pelayanan pastoral komunikasi harus memerhatikan dua hal kunci, yaitu kemendesakan dan
kewaktuan. Komunikasi yang tidak memerhatikan kemendesakan akan sia-sia dan gagal. Kita tidak boleh
mengesampingkannya dalam hubungan dengan komunikasi. Siapa yang tidak memanfaatkan waktu
akan kehilangannya. Dalam dunia yang cepat berubah dan bercorak sesaat, persoalan waktu sangatlah
menentukan. Nyatanya, Gereja biasanya lambat dalam membaca manfaat waktu dan kurang tanggap
terhadap hal yang mendesak. Dalam upaya pastoral komunikasi sosial, penundaan berarti sama dengan
ketertinggalan, bahkan mungkin kematian.

Kelima, memahami komunikasi dari sudut pandang Kristiani dan merenungkan bagaimana Kristus
berkomunikasi, akan memampukan kita untuk mengerti komunikasi sebagai jejaring atau hubungan
sosial manusiawi daripada semata-mata urusan teknologis. Konsili Vatikan II mernggunakan istilah
“Komunikasi Sosial” daripada mass media atau media. Media lebih mementingkan alat komunikasi
secara teknis dan hal ini hanyalah satu aspek dari komunikasi. Yang utama dalam komunikasi Kristiani
adalah pribadi manusia Cfr CP, 1,8. Pelayanan Kristiani dalam komunikasi harus meliputi serta
merangkul seluruh dimensi hidup manusiawi.

Keenam, pengkotakan antara hal agamawi dan hal duniawi telah menguasai pemahaman serta praktek
hidup kita. Kita berpikir bahwa dunia itu rusak dan jahat, tanpa harapan. Oleh karena itu, Gereja tidak
perlu berhubungan dengan dunia. Kenyataan ini juga berkaitan dengan sikap kita terhadap media.
Namun, tantangan kita dewasa ini adalah membawa perspektif injili ke dalam dunia. Kita tidak dapat
melaksanakannya secara efektif, jika kita mengambil jarak dari lingkungan duniawi. Seharusnya,
komunikasi sosial membuat hubungan antara hal agamawi dan hal duniawi. Komunikasi menyediakan
kesempatan untuk mengadakan kontak dengan dunia yang jauh dari nuansa ilahi. Komunikasi sosial
memampukan kita untuk menyentuh hasrat hati manusiawi yang merindukan Allah. Komunikasi sosial
Gereja harus memerikan perhatian pada apa yang ada dalam hati manusia, yang seringkali berada jauh
dari Tuhan atau berada dalam kerinduan akan Tuhan.

Ketujuh, komunikasi Kristiani harus melampaui perspektif yang melibatkan media secara teknis, agar
pemanfaatannya mampu menyebar-luaskan pesan Kristus. Segala jenis sarana serta prasarana
komunikasi tidak dengan sendirinya menambah kemampuan efektif untuk pastoral komunikasi.
Keterlibatan pada media moderen memang perlu, tetapi terdapat juga ruang yang perlu perhatian dan
pandangan kritis. Ini bersangkutan dengan cara dan metode pewartaan yang menggunakan media
elektronik. Persoalannya, keterlibatan pada media komunikasi seakan-akan untuk memertobatkan
orang menjadi umat Kristiani. Gereja harus mengarus-utamakan komunikasi yang berkelanjutan secara
manusiawi, sedangkan pertobatan hati terserah pada tangan Tuhan. Keterlibatan pastoral efektif dalam
komunikasi sosial dapat menerangi kehadiran kristianitas dengan tekad untuk membangun dunia yang
lebih baik. Di dalam negara Indonesia di mana sering terdapat salah paham akan pewartaan Injil,
komunikasi sosial dapat membantu untuk memperjelas dan mengadakan perbaikan, dengan
memerhatikan bahasa, perbendaharaan kata, gaya dan metodenya.

Kedelapan, usaha pastoral memang memerlukan pembiayaan. Pastoral komunikasi sosial dalam Gereja
tidak dapat dilepaskan dari unsur investasi, biarpun hal ini hanya merupakan salah satu aspek. Perlu
infrastruktur, sumber daya manusiawi, penggunaan yang bijak dan terarah dari barang-barang dan
fasilitas, dan juga rencana keberlanjutan: semuanya perlu untuk membuat pelayanan komunikasi sosial
menjadi karya pastoral yang sejatinya mewartakan tanda-tanda kerajaan Allah. Tetapi kenyataan adalah
bahwasanya dengan banyak wacana dan rencana, rencana penganggaran kurang mendapat perhatian.
Perlu suatu keseimbangan antara yang material dan sumber daya manusiawi untuk menjamin bahwa
investasi bercorak efektif dan strategis.

Kesembilan, terdapat anggapan yang keliru bahwa komunikasi sosial dalam Gereja hanya bagi para
pakar. Nyatanya, kita harus belajar dari Moses (Bil 11:29). Sungguh luar biasa bila seluruh umat Allah
adalah pelayan komunikasi sosial dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Ketrampilan
media tidak dibawa sejak lahir dan juga bukan saja hak dari para pakar. Setiap orang harus
mengembangkan ketrampilan komunikasi dasar (mendengar, membaca, menulis dan berbicara serta
berjejaring) yang diperlukan untuk melakukan kepemimpinan pastoral: uaskup, pastor, pengkotbah,
katekis, pemimpin umat setempat etc.

Kesepuluh, peran Gereja dalam komunikasi sosial perlu tata tertib dan pengaturan. Para pelayan
komunikasi sosial Gereja harus mempunyai pengaturan yang jelas dan tepat sasaran. Perlu manajemen
serta kepemimpinan yang tertata secara organisatoris, agar bila pemimpinnya berganti, maka
organisasinya berjalan terus dan membarui diri sesuai perkembangan jaman. Struktur komunikasi sosial
tidak dapat tumbuh menurut selera satu dua orang, tetapi harus menjadi bagian utuh dari seluruh tertib
pastoral. Bila tidak demikian, maka karya komunikasi selalu mengalami kesulitan atau kesakitan, karena
hanya terbangun seputar selera beberapa orang tanpa rencana yang terbuka bagi keberlanjutan karya.
Harus ada usaha untuk menjaga keberlanjutannya. Di samping itu, jejaring adalah suatu unsur yang
utama dalam komunikasi pastoral yang berhasil. Jejaring sosial dapat mengembangkan kemampuan
yang terbatas dalam meningkatkan kekuatan dan menambah mutu dalam karya pelayanan.

Kesebelas, komunikasi Kristiani berakar mendasar dalam pengosongan diri Yesus Kristus. Setiap
komunikator Kristiani harus masuk ke dalam proses pengosongan diri untuk menemukan efektivitas
pastoral dalam menunaikan komunikasi sosial. Sungguh menyedihkan, karena mereka yang dipanggil
dan dilatih untuk menjadi komunikator Berita Gembira Kristus seringkali menjadi terlalu sibuk dengan
diri sendiri: gambarannya, namanya dan popularitasnya. Banyak rencana dan kegiatan komunikasi sosial
pada akhirnya membumi pada kesombongan diri, sambil membangun ruang sendiri dengan memperalat
Kristus dan pesan-Nya. Sejatinya, kita menjadi komunikator pesan Kristus, jika kita telah memurnikan
diri kita melalui pengorbanan dan pengosongan diri, yang pada dasarnya menjadi sumber inspirasi untuk
mengadakan komunikasi( cfr. 1Yoh 1:3).

Keduabelas, komunikasi merangkul seluruh realitas dan olehnya semua yang kita lakukan mempunyai
dimensi komunikatif. Komunikasi yang terkotak-kotak dan terasing adalah suatu “penyesatan”.
Kegagalan untuk menempatkan komunikasi sebagai pusat rencana dan tindakan pastoral menghantar
kepada kegagalan perutusan yang dipercayakan kepada kita. Cfr. Aetatis Novae n. 17.

Sumber : http://www.mirifica.net/2013/02/15/media-sosial-ruang-baru-bagi-evangelisasi/

Anda mungkin juga menyukai