Anda di halaman 1dari 7

PENGHAYATAN MAKNA DAN TATA GERAK LITURGI : SEBUAH 

PENGANTAR
November 30, 2013 · oleh  Cornelius · in Liturgi · 5 Komentar 

I. Arti Liturgi
Liturgi merupakan tindakan penyembahan atau ibadah publik Gereja yang sah dan resmi. Kata
“Liturgi” berarti “karya/pekerjaan”, namun ia bukan pekerjaan yang dilakukan atau diciptakan
manusia, melainkan karya Allah. Manusia hanya mengambil bagian atau berpartisipasi dalam
liturgi, tetapi liturgi sendiri adalah anugerah Allah yang diberikan kepada Gereja. (Uskup Agung
Vincent Nichols).
Liturgi juga memiliki makna yang lain, seperti yang diungkapkan Paus Benediktus XVI :
Apa itu liturgi? Jika kita membuka  Katekismus Gereja Katolik – yang bagi saya  katakan
sangat diperlukan  dan merupakan bantuan yang tak ternilai bagi umat – kita dapat membaca
bahwa  kata “liturgi” pada mulanya berasal dari kata: “Pelayanan atas nama / bagi
masyarakat[Umat]” (n  1069). Teologi Kristen memanfaatkan kata ini dari kata Yunani, itu
jelas ditujukan kepada Masyarakat [Umat] Allah yang baru lahir dari Kristus yang
membuka tangan-Nya  di kayu Salib untuk menyatukan manusia dalam perdamaian dengan
Allah yang Esa.  Sebuah  “jasa atas nama rakyat”, masyarakat [Umat] yang bukan terbentuk
atas usaha mereka sendiri, tetapi terbentuk melalui Misteri Paskah Yesus Kristus. Dan
terutama, Umat Allah ini tidak terbentuk karena melalui hubungan kekerabatan,
kulit, tempat atau negara. Melainkan terbentuk dari perbuatan Anak Allah dan
dari  persekutuan dengan Bapa sehingga Dia memperoleh kita.
Apa maksudnya liturgi adalah pekerjaan Allah?
Namun, kita mungkin bertanya kepada diri sendiri: apa itu pekerjaan Allah dan di mana kita
dipanggil untuk berpartisipasi didalamnya? Jawabannya terdapat pada Konstitusi Dewan
tentang Liturgi Kudus (Sacrosanctum Concilium) dimana memberi kita rupanya dua kali lipat
penegasan dalam jawaban dari pertanyaan ini. Dalam pasal 5 dokumen tersebut menunjukkan,
pada kenyataannya, bahwa pekerjaan-pekerjaan Allah adalah tindakan-Nya sendiri dalam
sejarah kemanusiaan yang membawa kita kepada keselamatan dan puncaknya pada kematian
dan kebangkitan Yesus Kristus, tetapi dalam pasal 7, Konstitusi yang sama mendefinisikan
perayaan liturgi sebagai “tindakan Kristus”. Bahkan dua makna ini tak dapat dipisahkan. Jika
kita bertanya pada diri kita sendiri siapa yang menyelamatkan dunia dan manusia, satu-satunya
jawaban adalah: Yesus dari Nazareth, Tuhan dan Kristus, Yang Tersalib dan Yang Telah
Bangkit. Dan dari mana Misteri kematian dan kebangkitan Kristus yang membawa
keselamatan menjadi nyata bagi kita, bagi saya, pada hari ini? Jawabannya adalah: dalam
tindakan Kristus melalui Gereja, dalam liturgi, dan, terutama, dalam sakramen Ekaristi, yang
menghadirkan persembahan kurban Anak Allah yang telah menebus kita, dalam sakramen
Rekonsiliasi, di mana  seseorang bergerak dari kematian dosa menuju hidup yang baru baru,
dan dalam tindakan sakramental lain yang menguduskan kita (cf. Presbyterorum Ordinis, n
5.).Jadi Misteri Paskah kematian dan kebangkitan Kristus adalah pusat dari teologi liturgi yang
dijelaskan dalam dokumen Konsili ini.
II.Tujuan dan Hakekat Liturgi
Pusat dari liturgi adalah Allah, bukan manusia. Oleh karena itu, dalam liturgi Allah dihormati
dan disembah oleh seluruh Gereja, seluruh umat beriman, dan melalui penghormatan dan
penyembahan itu, umat beriman memperoleh pengudusan. Liturgi tidak pernah bertujuan untuk
menampilkan ungkapan rasa hormat yang sifatnya individual atau pun kolektif (terbatas pada
kelompok tertentu).
The primary and exclusive aim of the liturgy is not the expression of the individual’s
reverence and worship for God. It is not even concerned with the awakening, formation, and
sanctification of the individual soul as such. Nor does theonus of liturgical action and prayer
rest with the individual. It does not evenrest with the collective groups, composed of numerous
individuals, who periodically achieve a limited and intermittent unity in their capacity as the
congregation of a church. The liturgical entity consists rather of the unitedbody of the faithful as
such–the Church–a body which infinitely outnumbersthe mere congregation. The liturgy is the
Church’s public and lawful act of worship, and it is performed andconducted by the officials
whom the Church herself has designated for thepost–her priests. In the liturgy God is to be
honored by the body of thefaithful, and the latter is in its turn to derive sanctification from
this actof worship.  It is important that this objective nature of the liturgy should be fully
understood. Here the Catholic conception of worship in common sharply differs from the
Protestant, which is predominatingly individualistic.The fact that the individual Catholic, by his
absorption into the higher unity,finds liberty and discipline, originates in the twofold nature of
man, who is both social and solitary. – Romano Guardini, The Spirit of Liturgy
III.Partisipasi Aktif
Dalam liturgi dikenal istilah partisipasi aktif. Makna dari partisipasi aktif adalah sebagai berikut :
 Partisipasi aktif berarti partisipasi interior (batiniah) dari semua daya jiwa dalam misteri
kasih pengorbanan Kristus. Partisipasi pada tempat pertama merupakan hal yang bersifat
batiniah, yang berarti ia melibatkan pikiran dan hati manusia yangsadar dan terlibat.
 Partisipasi aktif juga memiliki sisi eksterior (lahiriah) : yaitu mengucapkan kata-kata dan
melakukan tindakan. Aspek batiniah dan lahiriah merupakan satu kesatuan, karena dalam
liturgi bukan jiwa saja atau batin manusia saja yang berdoa, melainkan manusia yang
utuh.
IV.Kesatuan antara Tubuh dan Jiwa, Aspek Batiniah dan Tindakan Lahiriah
Ada beberapa contoh yang menunjukkan kesatuan dari aspek interior dan eksterior. Saya
mengambil contoh dari injil Yohanes, yang mengisahkan Yesus yang menyembuhkan orang
buta. Pada bagian itu, terdapat dialog berikut :
Yesus : “Percayakah Engkau akan Putra Manusia?”
Orang buta : Siapakah Dia, supaya aku dapat percaya kepada-Nya?”
Yesus : “Engkau telah melihat Dia”
Orang buta : “Tuhan,  aku percaya” (lalu ia bersujud)
Disini kita melihat seorang buta yang kemudian dapat melihat setelah disembuhkan Yesus. Ia
ingin memiliki kepercayaan, memiliki iman kepada Sang Putra Manusia. Lalu saat Yesus berkata
bahwa dia telah melihat Putra Manusia itu, dia mengucapkan kata-kata “aku percaya” . Perkataan
ini merupakan pengakuan imannya, yang merupakan sesuatu yang sifatnya batiniah, yang
kemudian diucapkan dalam kata-kata dan diungkapkan dengan sikap tubuh yang menunjukkan
penghormatan, yaitu berlutut/bersujud. Oleh karena itu, disini terlihat erat kesatuan antara sikap
tubuh dan makna rohani yang dilakukan oleh manusia, seperti yang dikatakan oleh Joseph
Ratzinger (Paus Benediktus XVI)
“Gestur jasmani sendiri adalah pembawa makna rohani, yang merupakan sebuah
penyembahan[worship]. Tanpa penyembahan, gestur jasmani menjadi tak berarti,sementara
tindakan rohani – dari hakekatnya, karena kesatuan psikosomatis manusia –  harus terungkap
dalam gestur jasmani”
Oleh karena itu, penting sekali untuk mengungkapkan sisi batiniah kita melalui kata-kata dan
perbuatan selama perayaan Ekaristi.
V.Pentingnya Aturan dalam Liturgi
Untuk merayakan liturgi, ada pedoman dan aturan yang harus ditaati. Mengapa ada begitu
banyak aturan? Apa pentingnya aturan itu? Berikut ini adalah tanggapan dari rekan
kami, blogger Indonesian Papist :
Tetapi, bukankah merayakan Liturgi dengan kepatuhan pada pedoman-pedoman Liturgi adalah
rubrikalisme? Rubrikalisme itu tidak selamanya buruk. KardinalRaymond L. Burke menyatakan
bahwa hukum-hukum Liturgi mendisiplinkan kita sehingga kita memiliki kebebasan untuk
menyembah Allah. Sebaliknya, kita bisa terperangkap atau menjadi korban dari gagasan-
gagasan individual kita, ide-ide relatif berdasarkan kehendak individu atau kelompok umat,
dalam hal ini orang muda Katolik. Hukum-hukum Liturgi melindungi tujuan dari Liturgi dan
menghormati Hak-hak Allah untuk disembah sesuai apa yang Ia kehendaki sehingga kita bisa
yakin bahwa kita tidak sedang menyembah diri kita sendiri atau,seperti yang St. Thomas
Aquinas katakan, menjadi semacam pemalsuan ibadah ilahi.
Saya sendiri pernah menulis artikel yang berjudul “Pentingnya Aturan dalam Liturgi” (silakan
klik untuk melihat uraian yang lebih lengkap). Saya kutipkan sebagian saja:
Aturan-aturan liturgi yang kaku itu menyadarkan kita bahwa liturgi itu bukanlah produk buatan
manusia, melainkan liturgi itu berasal dari Allah, diteruskan dan dilestarikan oleh Gereja, dan
hanya Gereja dengan otoritas yang berasal dari Allah yang mengetahui dengan pasti
bagaimana cara menyembah dan memuliakan Allah secara benar. Disini liturgi memiliki sifat
keterberian yang berasal dari Allah, karena pada dasarnya manusia tidak tahu dengan apa
mereka harus beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, Allah menyatakan, memberikan cara-
cara yang Ia kehendaki kepada manusia sebagai cara yang paling tepat untuk beribadah
kepada-Nya. Mungkin nanti saya akan menjelaskan panjang lebar tentang bagian ini secara
terpisah.
Aturan dalam liturgi, mengajarkan kita untuk menjadi rendah hati : mengakui bahwa kita tidak
tahu dengan cara seperti apa kita harus beribadah dan menyembah Allah. Oleh karena itu, kita
harus percaya bahwa Gereja lah yang lebih mengetahui cara menyembah Allah yang tepat.
Aturan dalam liturgi, mencegah liturgi menjadi sesuatu yang egoistis : berpusat pada manusia
dan bukan berpusat pada Allah. Aturan liturgi mencegah manusia untuk menyembah allah yang
palsu, allah ciptaan manusia yang dibuat untuk memuaskan perasaan-perasaan manusia.
Aturan dalam liturgi, mendorong kita untuk taat dan setia terhadap apa yang telah ditetapkan
oleh Gereja. Setia kepada Gereja, berarti juga setiap kepada Yesus, karena Yesus dan Gereja
adalah satu dan tak terpisahkan.
Aturan dalam liturgi menjamin adanya kebebasan, kebebasan yang tunduk kepada kebenaran.
“Ketika setiap manusia hidup tanpa hukum, manusia hidup tanpa kebebasan”. Ini pernyataan
Paus Benediktus XVI yang saya kutip di bagian paling atas artikel ini. Hukum dan aturan,
khususnya dalam liturgi, memberi tahu kita tentang kebenaran dalam tata cara menyembah
Allah. Tanpa adanya hukum dan aturan, bukan kebebasan yang terjadi, melainkan kekacauan,
karena setiap orang akan bisa memaksakan apa yang ia inginkan sesuka hatinya.
VI.Tata Gerak Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Tanda Salib
Tanda salib memiliki tiga makna, yaitu :
 pertobatan atas dosa-dosa manusia
 perlindungan dari Yang Jahat
 mengingatkan kita akan janji baptis kita: menolak setan, mengakui iman dalam Kristus,
dan kita dibaptis dalam misterTritunggal Kudus
Dalam membuat tanda salib, kita mengucapkan “Dalam nama Bapa (jari menyentuh dahi), dan
Putra (jarimenyentuh perut), dan Roh Kudus (jari menyentuh bahu ). Amin”
Terdapat dua cara dalam membuat tanda salib.
Pertama, dari atas kebawah, lalu dari kanan ke kiri. Dari atas ke bawah memiliki makna Kristus
turun dari surga ke bumi, dan dari orang Yahudi (kanan) ia menyampaikannya ke orang-orang
non Yahudi (kiri).
Kedua, dari atas ke bawah, lalu dari kiri ke kanan.Dari kiri ke kanan berarti dari penderitaan kita
menyeberang menuju kemuliaan, seperti Kristus yang menyeberang dari kematian menuju
kehidupan, dan darineraka ke surga. Cara membuat tanda salib inilah yang digunakan umat
katolik ritus latin.
Kapan tanda salib dilakukan?
 Saat kita memasuki Gereja dan mencelupkan jari ke dalam air suci, kita membuat tanda
salib
 Saat mengawali dan menutup Perayaan Ekaristi.
 Saat menerima percikan air suci,pengganti Penyataan Tobat.
 Saat memulai bacaan injil, setelah imamberkata “Inilah Injil Yesus Kristus menurut…”
umat membuat tiga tanda salib kecil di dahi, bibir dan dada. Gestur ini memiliki arti
“semoga Tuhan memurnikan pemahaman, kata-kata dan hati saya, sehingga saya dapat
menerima perkataan Injil”
Genufleksi
Genufleksi berarti berlutut dengan sebelah kaki, biasanya lutut kaki kanan disentuhkan ke tanah
(sentuhkan ke tanah bila lutut anda tidak bermasalah, jangan setengah-setengah atau ragu untuk
melakukannya).Genufleksi dilakukan setelah membuat tanda salib, ketika umat hendak duduk
dibangku gereja dan lampu di Tabernakel menyala, menandakan bahwa Tubuh Kristus bertahta
di sana. Sebelum duduk dan saat umat hendak meninggalkan gereja karena misa telah selesai,
maka umat melakukan genufleksi. Genufleksi merupakan sikap yang kita lakukan untuk
menyembah Kristus yang hadir dan bertahta di tabernakel. Oleh karena itu, genufleksi haruslah
dilakukan dengan seksama dan penuh rasa hormat, dan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa.
Menundukkan Kepala dan Membungkukkan Badan
PUMR 275 : Menundukkan kepala dan membungkuk merupakan tanda penghormatan kepada
orang atau barang yang merupakan representasi pribadi tertentu.
a. Menundukkan kepala dilakukan waktu mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama
Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama santo / santa yang diperingati dalam Misa yang
bersangkutan.
b. Membungkukkan badan atau membungkuk khidmat dilakukan waktu
(1) menghormati altar;
(2) sebelum memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa sucikanlah hati dan budiku, ya Allah
yang mahakuasa
(3) dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata Ia dikandung dari Roh Kudus dan Ia menjadi
manusia;
(4) dalam persiapan persembahan, waktu mengucapkan doa Dengan rendah hati dan tulus;
(5) dalam Kanon Romawi pada kata-kata Allah yang mahakuasa, utuslah malaikat-Mu
Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta berkat kepada imam sebelum
mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit waktu mengucapkan kata-kata
Tuhan pada saat konsekrasi: Terimalah …
Berdiri
Posisi berdiri menunjukkan rasa hormat yang kita berikan di hadapan Allah. Ini berarti kita siap
untuk menanggapi Dia.
Menurut Pedoman Umum Missale Romawi (no. 43), umat hendaknya berdiri :
 dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan
doa pembuka selesai;
 pada waktu melagukan bait pengantar Injil ( dengan atau tanpa alleluya);
 pada waktu Injil dimaklumkan;
 selama syahadat;
 selama doa umat;
 dari ajakan Berdoalah, Saudara sebelum doa persiapan persembahan sampai akhir
perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat yang disebut di bawah ini.
Memukul Dada
Merupakan tanda pertobatan dan kerendahan hati, seperti yang ditunjukkan oleh pemungut cukai
dalam Injil Lukas 18 : 13
“Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh,bahkan ia tidak berani menengadah ke langit,
melainkan ia memukul diri (dalam bahasa Inggris :  beat his breast) dan berkata: Ya Allah,
kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Gerakan ini dilakukan pada bagian “saya berdosa (memukul dada), saya berdosa (memukul
dada), saya sungguh berdosa (memukul dada)” pada ritus pertobatan
Duduk
Duduk menandakan bahwa umat siap untuk mendengarkan dengan seksama dan penuh
perhatian, serta menunjukkan kesiapan untuk diajar. Ingatlah bahwa ketika kita duduk selama
Misa, kita tidak duduk di ruang tamu, di lobi, atau di ruangan lainnya. Kita duduk di hadapan
Allah, oleh karena itu duduklah dengan posisi tubuh tegap,tenang, dan menunjukkan rasa
hormat. Jangan melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu. Dengarkanlah dengan seksama
bacaan Kitab Suci dan Homili yang diberikan Imam. Sikap tubuh kita harus mencerminkan sikap
batin yang menunjukkan kesiapan : mendengar dengan telinga hati (St. Bernard)
Kita duduk selama persiapan persembahan dan saat hening. Hendaknya kita tidak lupa bahwa
misa adalah rangkaian doa yang panjang, jadi saat duduk dalam suasana hening, hendaknya
pikiran dan perbuatan kita menunjukkan sikap doa, dan bukannya mengobrol, minum,
membuka handphone, dst.
Menurut Pedoman Umum Missale Romawi (no. 43),Umat hendaknya duduk:
 selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama mazmurtanggapan;
 selama homili;
 selama persiapan persembahan;
 selama saat hening sesudah komuni.
Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat
tidak mengijinkan, entah karena banyaknyaumat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain.
Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat
imam berlutut sesudah konsekrasi.
Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh menyerasikan tata gerak
dan sikap tubuh dalam tata Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi sehat bangsa
setempat.[*] Namun,hendaknya Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras
dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang bersangkutan. Kalau umat sudah
terbiasa berlutut sejak sesudah Kudus sampai dengan akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini
seyogyanya dipertahankan.
Demi keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti
petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan
petunjuk buku-buku liturgis.
Mengatupkan Tangan
Saat berdoa, posisi tangan juga memiliki makna dan penting untuk diperhatikan.
Terdapat dua cara untukmengatupkan tangan : pertama, dengan jari-jari saling menggenggam,
atau dengan kedua telapak tangan terbuka saling bersentuhan dengan jari-jari dalam posisi lurus,
dimana jempol kanan berada diatas jempol kiri, membentuk salib. Kedua posisi tangan kita
berada di depan dada, bukan di bawah perut.
Posisi tangan menggenggam atau kedua telapak tangan terbuka yang saling bersentuhan
menunjukan kekurangan kita, yaitu kesalahan kita, dorongan-dorongan kita yang tidak teratur.
Oleh karena itu kita menggenggam atau mengatupkan tangan sebagai upaya untuk
mengendalikan hal tersebut, dan hanya mengarahkan atensi serta perhatian kepada Allah.
Berlutut
“Janganlah biarkan lutut yang kita tekuk menjadi gestur yang tergesa-gesa, sebuah bentuk yang
kosong. Berikan makna padanya; berlutut, dalam intensi jiwa, sama dengan membungkuk
dihadapan Allah dengan penghormatan yang paling mendalam” – Romano Guardini
Berlutut menandakan sikap hormat dan menyembah kepada Tuhan Yesus yang hadir. Dengan
berlutut, kita belajar untuk rendah hati, menunjukkan kekecilan kita di hadapan Ia yang
mahabesar. Berlutut juga memiliki makna pertobatan
Kapan kita berlutut?
 Saat umat memasuki gereja dan berdoa secara pribadi
 Saat Doa Syukur Agung
 Saat Anak Domba Allah
 Setelah Menerima Komuni
Berjalan
“Berjalan. Berapa banyak orang tahu cara berjalan? Berjalan tidak berarti terburu-buru seperti
sedang berlari, atau menyeret kaki seperti langkah seekor siput, tetapi berjalan merupakan
pergerakan maju yang kokoh dan tenang. Ada kelenturan dalam langkah seorang pejalan yang
baik. Ia mengangkat dan tidak menyeret kakinya. Ia berjalan tegap, tidak membungkuk, dan
langkahnya pasti dan tenang” – Romano Guardini
Kita berjalan saat hendak menyambut Komuni Suci.Sudah layak dan sepantasnya bahwa selama
berjalan, kita memiliki kesadaran bahwa kita semakin dekat kepada kehadiran Allah yang nyata,
tubuh dan darah,jiwa dan keilahian Kristus dalam Komuni Suci. Oleh karena itu, kita perlu
berjalan dengan tegap, tenang, perlahan tapi pasti, sambil tetap menunjukkan rasa hormat
terhadap Ia yang akan kita sambut.
Referensi
Pedoman Umum Missale Romawi
Sacred Signs by Romano Guardini
The Spirit of Liturgy by Romano Guardini
The Spirit of Liturgy by Joseph Ratzinger
Katekese tentang Liturgi oleh Paus Benediktus XVI
Sacred Signs and Active Participation at Mass : What Do These Actions Mean, and Why Are
They So Important?  By Rev. Cassian Folsom, OSB 
Beri peringkat:
 
 
 
 

Anda mungkin juga menyukai