Anda di halaman 1dari 8

1

KPP Paroki Lekebai


Sabtu, 15 Juli 2023

Saudari-saudara yang terkasih. Selamat pagi…


Apa kabarnya?

Pagi hari ini, saya dipercayakan oleh Pastor Paroki, Romo Okto, untuk membawakan tema,
“Moral Perkawinan.” Semoga syering iman kita mampu memperkuat ikatan keluarga di waktu-
waktu ke depan.

“Jangan berjanji, jika ada niat untuk mengingkari”

Pengantar
Ada bermacam-macam bentuk hubungan persatuan yang saling mengikatkan diri dengan
dasar ikatan yang berbeda-beda. Setiap orang mempunyai kehendak (tujuan, cita-cita, harapan
dan kepentingan) dan rasa ketergantungan seturut tingkat kepentingan. Hal-hal ini sangat
menentukan kelangsungan dan kesatuan hidup persatuan hidup tersebut. Perkawinan merupakan
salah satu bentuk persatuan hidup.
Sebagai salah satu bentuk persekutuan hidup Lembaga Perkawinan juga merupakan
bagian dari Gereja yang merupakan sebuah persekutuan hidup bagi orang-orang Kristen yang
didasarkan atas iman kepada Yesus Kristus. Dalam Gereja perkawinan sebagai salah satu bentuk
persatuan hidup alamiah menjadi sebuah persekutan hidup sakramental yang merupakan juga
perwakilan dari persekutuan hidup Gereja itu sendiri.
Perkawinan dan keluarga lebih luas cakupannya dari pembicaraan tentang seksualitas.
Perkawinan Kristen tidak identik dengan seksualitas. Masalah perkawinan Kristen bukanlah
semata persoalan kehidupan seksualitas. Ia meliputi banyak aspek kehidupan manusia, seperti
kerja sama dalam mencapai kesejahteraaan dan keselamatan secara jasmani maupun rohani.
Tidaklah cukup bila orang hanya saling mencintai secara spiritual tanpa didukung oleh
kehidupan ekonomis yang cukup (soal pekerjaan, penghasilan, kebutuhan jasmaniah: makan,
minum, pakayan, perumahan, dll.)
Perkawinan dan keluarga adalah persatuan hidup yang fundamental dan pokok. Ia punya
pengaruh yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan para anggotanya sebagai pribadi
manusia yang merupakan awal dan tujuan akhir setiap lembaga sosial. Perkembangan dan
2

pertumbuhan anggota keluarga ini pada gilirannya akan mempengaruhi dan menentukan
kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa (Bdk GS 52).
Konsep perkawinan dan keluarga sangat bergantung pada konsep tentang manusia itu
sendiri. Hal ini akan menentukan sikap terhadap perkawinan dan keluarga. Ada berbagai sikap
yang berbeda seturut pandangan budaya setempat. Misalnya, pandangan yang melihat
perkawinan dan hidup keluarga sebagai persatuan hidup yang merangkul seluruh aspek hidup
manusia sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan; pandangan yang melihat aspek tubuh dan
penghayatan seksualitas biologis sebagai sesuatu yang rendah, pandangan yang mengingkari
karakter religius dari perkawinan; pandangan yang menekankan dan mengutamakan secara
sepihak peranan pribadi (keinginan) pasangan suami isteri dalam tercipta dan berlangsungnya
kehidupan perkawinan tanpa campur tangan pihak manapun (keluarga, masyarakat, negara).
Lebih dari itu dosa sebagai sebuah kenyataan yang terpantul dari berbagai paham yang
berkembang juga turut merusakan kehidupan perkawinan dan keluarga. Hal ini merupakan
sejumlah kenyataan yang menjadi tantangan bagi konsep, sikap dan penghayatan hidup
perkawinan dan keluarga Kristen dewasa ini. Karena itu perlu keterbukaan terhadap kebenaran
Wahyu Ilahi dalam menghayati hidup perkawinan dan keluarga kristiani. Berjanji itu mudah,
tetapi berpegang teguh pada janji itu berat. Karenanya, ketika sudah sampai pada tahap ini piker
baik-baik: “jangan berani berjanji untuk setia dengan pasangan jika ada niat untuk mengingkari.”

Kita lihat sedikit Perkawinan Pada Umumnya: Perkawinan sebagai Realitas Majemuk
Perkawinan membutuhkan sebuah pengakuan umum (masyarakat). Perkawinan harus
dibedakan dengan Kumpul Kebo (“konkubinat”). Kendatipun ditolerir, bentuk hidup ini tidak
diterima dan tidak memberikan status dan peranan baru bagi pria dan wanita. Bentuk Kumpul
Kebo lebih didasarkan pada faktor sosio-ekonomis. Kumpul kebo juga berbeda dengan
poligami. Dalam poligami ada isteri yang sah di samping isteri cadangan, dan ada suami yang
sah di samping suami cadangan dengan hak dan kedudukan yang berbeda.
Perkawinan dalam pengertian umum mengandaikan sebuah relasi interpersonal antara
pria dan wanita yang akrab dan mantap. Seksualitas merupakan bagian penting dari hidup
perkawinan. Pemenuhan kebutuhan seksual dalam hidup perkawinan merupakan hak yang
dasariah. Seksualitas dalam hidup perkawinan dapat menjadi unsur yang membangun
(konstruktip): mengembangkan dan memantapkan hubungan paling intim antara suami isteri,
3

sekaligus bisa bersifat destruktip: (penyalahgunaan dan pelecehan seksual dalam berbagai
bentuk) yang merusakan hubungan perkawinan suami-isteri. Karena itu perlulah membangun
sikap yang tepat untuk dapat menghayati seksualitas secara manusiawi dalam hidup perkawinan
(penghargaan, respek, dll).
Perkawinan sebagai realitas majemuk juga menampak dalam kenyataan akan adanya
berbagai bentuk lembaga perkawinan dengan alasan dan tuntutan yang berbeda-beda (ada yang
bersifat ketat: tuntutan aspek prokreatip, sejumlah aturan yang ditetapkan masyarakat, ada yang
bersifat longgar yakni menjunjung tinggi kebebasan pribadi). Hal ini dapat menciptakan berbagai
krisis.
Di zaman dulu di Indonesia perkawinan pada umumnya bersifat sosial, bukan urusan
pribadi pasangan nikah. Motif perkawinan bersifat sosio-ekonomis. Cinta dan kebebasan dalam
menentukan pilihan hidup kurang mendapat tempat. Solidaritas antar kelompok terasa begitu
kuat sehingga menomorduakan keputusan individu. Kewajiban dan peranan sosial dari masing-
masing partner dan kewajiban mereka sebagai pasangan terhadap lingkungan harus lebih
mendapat perhatian. Masalahnya: Dalam situasi di tengah kota, komunikasi antar suami isteri
lebih dibutuhkan, padahal banyak orang dibesarkan dalam lingkungan yang belum terbiasa
dengan suasana komunikasi tersebut. Perlu bantuan dan bimbingan para pendamping pastoral.

Bagaimana dengan Perkawinan dalam Gereja Katolik?


Makna Perkawinan Kristiani
Perkawinan kristiani yang menekankan perkawinan sebagai persatuan hidup antara pria
dan wanita yang dikehendaki secara bebas. Persahabatan suami isteri itu timbul secara kodrati.
Secara kodrati, manusia terarah untuk berpasangan. Perkawinan artinya “Persatuan yang saling
membutuhkan antara seorang pria dan wanita yang bebas dari halangan-halangan yang mengikat
mereka untuk suatu kehidupan bersama”. Ada dua unsur yang perlu diperhatikan: Pertama,
persatuan ini mengandaikan dua orang yang sudah dibaptis. Karena itu bersifat sakramental.
Kedua, Persatuan dapat dimengerti secara aktip dan Pasif. Secara aktip: perwujudan suatu
tindakan bathin dan persetujuan lahiriah melaluinya pria dan wanita yang saling menjanjikan
kesetiaan perkawinan. Sementara, secara Pasip: Perkawinan adalah akibat yang dihasilkan,
keadaan hidup sebagai konsekuensi yang timbul dari persetujuan yang berhubungan dengan
status perkawinan dan merupakan ikatan aktual perkawinan.
4

Menurut KHK no. 1055: Perkawinan adalah persatuan antara seorang pria dan wanita yang
dibabtis untuk membentuk kebersamaan hidup yang pada hakekatnya terarah kepada
kesejahteraan suami isteri, kelahiran dan pendidikan anak, yang oleh Kristus telah diangkat
menjadi sakramen.

Adapun Sifat-Sifat Perkawinan Gereja katolik: Monogam dan Tak Terceraikan. Kedua sifat
ini memperoleh kekuatan dalam sakramentalitas perkawinan. Perkawinan sebagai sakramen
menuntut penyerahan diri total. Sifat monogam perkawinan mengandaikan bahwa seorang suami
memiliki hanya seorang isteri dan sebaliknya. Perkawinan terjadi hanya antara seorang pria dan
seorang wanita.

Perkawinan monogam dihayati dengan setia. Kesetiaan di sini tidak hanya berarti tidak
melakukan penyelewengan. Kesetiaan di sini juga berarti dapat dipercaya, dapat diandalkan,
berpegang teguh pada janji. Memiliki keteguhan hati, ketaatan dan kepatuhan. Kesetiaan pada
pasangan berarti saling menaruh kepercayaan yang teguh, saling dan saling mengandalkan.
Kesetiaan itu hanya ditujukan pada suami atau isteri saja dan tidak ada pihak ketiga (Pria Idaman
Lain PIL atau Wanita Idaman Lain).
Kesetiaan itu secara jelas dinyatakan dalam janji. Janji itu mempunyai kekuatan
moral yang mengikat ke dalam (antara pasangan itu) maupun secara ke luar dengan pihak lain.
Kesetiaan itu mengandaikan kebersamaan dalam hidup dan nasib. Kesetiaan juga berarti setia
pada diri sendiri pada apa yang telah dinyatakan di hadapan Tuhan dan sesama (Janji Kesetiaan
Perkawinan). Dasar kesetiaan sumai isteri terutama terletak pada ikatan persatuan bathiniah
seperti: penghargaan kepada partner, sikap percaya, saling memperhatikan kepentingan bersama,
kesediaan hati untuk bersama-samamengahadapi dan mengatasi persoalan-persoalan hidup, dll.
(BACAKAN CERITA – BUKU HLM. 57).
Dasar ajaran Perjanjian Baru bagi sifat monogam perkawinan adalah aspek
keselamatan universal. Kesetiaan Tuhan tidak hanya terbatas pada bangsa Israel tetapi terhadap
seluruh umat manusia yang menerima Sabda Allah. Kesetiaan Tuhan pada umat manusia secara
sempurna terpenuhi dalam pribadi Yesus Kristus.
Kedatangan Yesus Kristus memberikan aspek baru bagi hidup perkawinan dan
keluarga. Ia memberikan penghargaan terhadap kaum wanita. Ia menekankan kesamaan hak dan
5

kewajiban dalam perbedaan fungsional (peran yang diemban sebagai pria dan wanita). Kaum
wanita diundang serta dalam karya penyelamatan. Wanita dilihat sebagai partner pria. Ia
bukan sebagai barang atau pemuas kebutuhan pria.
Mateus Bab 19 menekankan sifat monogam sebagai sifat ideal perkawinan yang
dikehendaki Allah sendiri (Voluntas Dei). Ajaran Yesus tentang perkawinan tidak dapat
dipahami di luar konteks sifat monogam. Dengan demikian Kristus mengembalikan
perkawinan kepada arti dan sifat yang sebenarnya. Ia memandang sebagai zinah setiap orang
yang membangun hidup perkawinan baru setelah menceraikan isteri yang sah.

Dua Dimensi Dasar Perkawinan


Setiap perkawinan konkrit mengandung dua dimensi: Sosial dan Dimensi Personal:
Dimensi sosial menekankan segi sosial perkawinan dan seksualitas. Perkawinan merupakan
persoalan/urusan keluarga, masyarakat, suku,dll). Bisa terjadi secara sadar atau tidak aspek
personal dikorbankan. Dimensi Personal menekankan peranan pasangan nikah. Lembaga
perkawinan harus mengabdi pada kebutuhan (kepentingan) suami isteri, tanpa mengabaikan
kepentingan masyarakat. Cinta dalam segala levelnya memainkan peranan yang besar. Pada
masa lampau perkawinan lebih dilihat dalam dimensi sosialnya: sebagai urusan keluarga, suku:
perkawinan suami isteri = perkawinan antarsuku dengan aturan dan kontrol sosial yang ketat).
Dewasa ini perkawinan lebih dilihat dalam dimensi personal: yakni sebagai urusan pribadi,
khususnya memilih dan menentukan pasangan. Perkawinan yang ideal harus menjaga
keseimbangan antara kedua aspek ini. Sebab penekanan yang tidak proporsional terhadap kedua
aspek ini akan melahirkan aneka persoalan dalam kehidupan perkawinan.

Saudari-saudara terkasih…
Kita semua tahu, dalam Gereja Katolik, perkawinan mesti mengandaikan cinta. Ada
beberapa alasan Perkawinan disebut sebagai persekutuan Cinta: Hidup perkawinan dialami
dan dikembangkan atas dasar cinta. Seluruh hidup diresapi oleh cinta. Cinta menjiwai setiap
hak dan kewajiban. Karena besarnya peranan cinta maka hidup perkawinan tidak
dipandang lagi hanya sebagai sebuah “perjanjian”, tetapi sebagai sebuah persekutuan cinta
yang mengambil bagian dari cinta ilahi (Bdk. Kej. 1, 27-28; Ef. 5, 22-23 dan Mt. 19, 6).
Pertanyaannya adalah Mengapa perkawinan disebut sebagai persekutuan cinta? Ada beberapa hal
6

yang patut mendapat pertimbangan: Pertama, pengalaman hidup manusia. Hidup sebagai
suami isteri adalah kenyataan alamiah yang ditemukan dalam setiap bangsa dan pada segala
zaman. Pada dasarnya setiap manusia baru dapat merealisasikan dirinya secara baik dalam
pertemuan dan persatuan dengan pribadi lain. Manusia membutuhkan seorang partner untuk
mengarahkan cintanya. Kedua, alasan biblis-alkitabiah. Cinta adalah dasar kehidupan.
Perkawinan adalah sesuatu yang sudah ditanamkan Allah dalam kodrat manusia (Bdk. Kej.
1,22-28; kej. 2,18). Cinta manusia itu hendaknya diarahkan dan dikembangkan menuju cinta
sejati yakni persatuan dengan Allah. Suami isteri mempunyai peranan untuk menterjemahkan
cinta Allah dalam kehidupan keluarga. Ketiga, bahasa/ungkapan cinta. Cinta manusia perlu
diungkapkan dalam berbagai cara seperti lewat kata, perbuatan dan pernyataan simbolis.
Pernyataan simbolis badan manusia adalah bahasa cinta yang berfungsi untuk menterjemahkan
dan menyalurkan cinta. Dalam pengertian ini setiap tindakan seksual baik dalam arti luas
maupun arti sempit tidak boleh merupakan luapan hawa napsu belaka tetapi sebagai ungkapan
cinta/bahasa cinta. Dalam hal ini penghargaan terhadap tubuh manusia sangat ditekankan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa perkawinan sebagai
persekutuan cinta mengandaikan beberapa hal antara lain: cinta suami isteri yang merupakan
pengalaman, dasar dan jaminan kelangsungan adalah hasil usaha bersama yang
merupakan terjemahan cinta Allah dan mengarah kepada persatuan dengan Allah.
Sampai titik ini, Pemberian diri sebagai Perwujudan Persekutuan Cinta menjadi
penting. Tujuan paling dasariah dari perkawinan dapat dilihat terutama dalam pemenuhan
dan penerusan nilai cinta yang mengangkat dan mempersatukan suami isteri dengan
Tuhan sebagai sumber cinta. Hal ini penting, sebab perkawinan adalah sakramern, yang bukan
saja berlangsung pada saat pemberkatan tetapi berlangsung sepanjang hidup.

Apa artinya perkawinan sebagai sakramen? Sakramen dalam kehidupan kristiani dilihat
sebagai suatu pertemuan antara Allah dengan manusia melalui tanda-tanda insani. Sejak saat
penciptaan pertemuan antara manusia dengan Allah diteguhkan lewat tanda-tanda insani, dalam
bentuk cinta. Kenyataan ilahi tidak dapat dipahami tanpa berpijak pada kenyataan manusiawi.
Misalnya Ekaristi tidak dapat dipahami tanpa suatu perjamuan.
Dalam konteks ini pengertian ilahi mengandung pengertian manusiawi. Manusia dapat
bertemu dengan Allah lewat tanda-tanda lahiriah, upacara ritual simbolis, doa, tobat. Dari
7

pihakNya Allah menyampaikan dirinya lewat berbagai tanda, antara lain: Dalam Perjanjian
Lama Allah menyatakan dirinya dalam bentuk perjanjian yang diadakannya dengan bangsa
Israel sebagai umat pilihannya. Pemilihan dan penetapan Israel sebagai bangsa terpilih
merupakan tanda cinta Allah kepada manusia. Pemilihan ini menjadi juga tanda bagi bangsa-
bangsa lain.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus merupakan tanda cinta Allah yang terbesar, tanda
yang mempertemukan Allah dengan manusia. Melalui Yesus Allah menyelamatkan manusia.
Pertemuan Allah dengan manusia berlanjut dalam kehidupan Gereja melalui sakramen-
sakramen. Segala bangsa dipanggil Allah untuk menerima dan menjawabi undangan
keselamatannya.
Perkawinan adalah sebuah tanda yang kelihatan. Sakramen itu didirikan Kristus untuk
menyalurkan rahmat sakramental. Hal ini dilakukan dengan menjadikan perjanjian sebagai
sebagai sarana melaluinya rahmat sakramental disalurkan. Bagi sebuah perjanjian yang sah,
persetujuan haruslah dinyatakan baik secara lahiriah maupun secara bathiniah.
Oleh karena itu, sakramen perkawinan mempunyai makna yang mendalam baik sebagai
anugerah ilahi maupun sebagai tugas, baik sebagai ungkapan maupun sarana cinta dan rahmat.
Hal ini terlihat dalam tanda kasih Allah yang dihidupi oleh suami-isteri; Suami isteri dalam
nuansa kasih mampu menyatukan menunjukkan rahmat/kasih ilahi sendiri yang menyelamatkan,
menebus, menyatukan manusia dengan Allah. Dengan kata lain suami isteri diberi anugerah dan
tugas untuk memperjelas dalam dirinya sendiri kasih Tuhan kepada dunia
Selain itu, sakramen perkawinan juga memberikan bantuan rahmat agar suami isteri dapat
melaksanakan tugas-tugas berat yang khas bagi status mereka sebagai suami isteri dan orang tua,
terutama dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup perkawinan dan keluarga
mereka. Perkawinan adalah sakramen karena ia adalah tanda yang menyelamatkan, bukan
sakratmaut (tanda yang menggelisahkan). Kadang, ada keluarga yang manis di awal, ke
depannya pahit. Sayang di awal, sesudah itu berkelahi terus-menerus.

Saudara-saudari terkasih…
Kesetiaan Tuhan dalam diri Kristus yang setia mencintai GerejaNya itu menjadi
inspirasi, motivasi dan kekuatan bagi manusia, khususnya suami isteri untuk menghayati
kesetiaan mereka satu sama lain dalam hidup perkawinan. Menjaga moral perkawinan berarti
8

menjadikan hidup perkawinan sebagai sakramen (tanda yang menyelamatkan), bukan sakratmaut
(tanda yang menggelisahkan). Jika tidak bisa, “Jangan berjanji, jika ada niat untuk
mengingkari.”***

Anda mungkin juga menyukai