Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PERKAWINAN DALAM PANDANGAN KATOLIK

1. 1. HAKIKAT PERKAWINAN

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang


wanita, atas dasar ikatan kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya
yang tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan:

• ¬ Kelangsungan bangsa

• ¬ Perkembangan pribadi

• ¬ Kesejahteraan keluarga

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

(Pasal 1 UU Perkawinan)

Perkawinan dapat dipandang dari beberapa sudut pandang, oleh karena itu hakikat
perkawinan dapat kita rumuskan sebagai berikut.

1. 1.1 Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta

a. a. Perkawinan pertama-tama merupakan persekutuan hidup yang menyatukan


seorang pria dengan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencangkup
seluruh hidup. Atas dasar persetujuan bebas, mereka bersekutu membentuk
keluarga: mempunyai rumah bersama, harta dan uang menjadi milik bersama,
mempunyai anak bersama, saling pasrah diri jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang
tulus.

b. b. Persejutuan bebas adalah syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya


perkawinan. Tidak ada cinta yang terpaksa atau dipaksa. Cinta mensyaratkan
kebebasan dan tanggungjawab. Persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan
secara jelas didepan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan
adalah kesetiaan pada pasangannya “dalam untung dan malang” dan
bertanggungjawab dalam segala situasi.

c. c. Persatuan suami-istri itu bersifat dinamis, dalam artian dapat berkembang


mekar, tetapi juga mundur, bahkan hancur. Karena itu, suami dan istri sama-sama
bertugas untuk memupuk kesatuan mereka agar tahan uji.

1. 1.2 Perkawinan merupakan lembaga sosial

a. a. Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang sebagai satu-satunya


lembaga yang menghalalkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan
mendapatkan keturunan. Oleh karena itu, perkawinan dilindungi dan diatur oleh
hukum adat dan hukum negara. Suami-istri dan anak-anak hanya diakui sah
dalam wadah perkawinan yang sah. Maka, perzinahan dikecam dan anak diluar
nikah dianggap haram.

b. b. Perkawinan merupakan kenyataan yang juga melibatkan masyarakat luas, baik


sanak saudara maupun tetangga dan kenalan. Masyarakat ikut campur dalam
urusan perkawinan, karena ikut berkepentingan dalam keutuhan keluarga sebab
keluarga adalah sel masyarakat.

1. 1.3 Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

a. a. Perkawinan merupakan ikatan resmi yang harus disahkan. Perkawinan bukan


ikatan bebas menurut selera sendiri; bukan sekedar soal cinta sama cinta, lantas
indehoy bersama, melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga/family,
dan masa depan bangsa. Oleh karena itu negara ikut campur tangan dalam
perkawinan warganya.

b. b. Kebanyakan negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi,


yang menghalalkan hubungan seks dan mengesahkan keturunan. Penyelewengan/
perzinahan harus dicegah; anak diluar nikah tidak diakui sebagai anak yang sah
menurut hukum.

1. 1.4 Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen


a. a. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis (yang telah bersatu secara pribadi
dengan kristus) merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat
bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka berdua
menjadi lambang, tanda dan perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan
saluran rahmat bagi mereka.

b. b. Rahmat yang mereka terima adalah: rahmat yang menguduskan mereka


berdua; rahmat yang menyempurnakan cinta dan persatuan antara mereka; dan
rahmat yang membantu mereka dalam hidup berkeluarga, hingga semakin dekat
dengan Tuhan. Sakramen perkawinan tidak hanya terjadi pada saat
berlangsungnya upacara di Gereja, tetapi berlangsung selama hidup mereka
berdua. Dengan demikian, Tuhan sendiri berkenan hadir didalam keluarga
mereka.

1. 2. TUJUAN PERKAWINAN

Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Tujuan


yang layak dikejar oleh suami-istri adalah:

1. 2.1 Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

Kasih yang telah bersemi antara pria dan wanita masih harus terus dikembangkan
dan dimurnikan, sehingga sungguh saling membahagiakan. Cinta bukan semata-
mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara, melainkan suatu
keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri untuk kebahagiaan
pasangannya. Suami dan istri bukan sekedar bojo (jenis lain/pasangan) melainkan
jodo dan garwo (sigaraning nyawa/belahan jiwa) serta “teman seperjalanan”.

1. 2.2 Kelahiran dan pendidikan anak

Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan


mempunyai anak. Suami dan istri yang normal mempunyai kerinduan akan
keturunan, maka disebut batih (babaging batih, artinya membentuk sejarah darah,
yaitu membentuk generasi baru dalam keturunan). Namun, perlu diingatkan
bahwa anak itu anugrah Tuhan, yang tidak boleh dimutlakkan. Bila Tuhan tidak
memberi anak, perkawinan tidak kehilangan artinya.
1. 2.3 Pemenuhan kebutuhan seksual

Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual.
Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara suami-istri. Itu berarti
bahwa persetubuhan diadakan bukan sekedar menuruti hawa nafsu, melainkan
dengan kesadaran dan tanggungjawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi
dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup baru
sebagai “hasil perpaduan cinta kasih mereka berdua”.

1. 2.4 Lain-lain

Selain tujuan diatas, perkawinan juga mempunyai maksud/tujuan lain misalnya;


kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan; demi ketenangan,
nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah/ekonomi, sah dan sehatnya
keturunan, dsb. Pertimbangan material hendaknya jangan diutamakan!

1. 3. CIRI-CIRI PERKAWINAN KRISTIANI

Menurut pandangan katolik, perkawinan yang baik harus memiliki dan


memperjuangkan ciri-ciri berikut.

1. 3.1 Monogami

Seorang suami hendaknya memiliki satu istri, demikian pula istri memiliki satu
suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal itu
juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang
sama.

1. 3.2 Tak-terceraikan

Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas,
bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia,
dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri
gagal mengembangkan cinta yang sejati.

1. 3.3 Terbuka bagi keturunan


Suami dan istri diharapkan bersedia mempunyai anak, bila Tuhan
memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direnacanakan
dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas, karena
jelas-jelas sikap yang menolak keturunan yang sudah ada.

1. 3.4 Keluarga kristiani adalah “Gereja mini”

Artinya adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka
dalam keluarga katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang
menghangatkan suasana. Iman disini bukan pertama-tama berarti pengetahuan
agama (meskipun itu juga penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan
agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian,
kerjasama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan
hadir ditengah-tengan keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya.

1. 4. HALANGAN PERKAWINAN

Perkawinan menyangkut kepentingan banyak orang. Karena itu negara maupun


agama menjaga agar hal itu dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena
itu, ditentukan beberapa halangan-halangan perkawinan, untuk mencegah terjadinya
perkawinan yang akan merugikan banyak orang. Halangan-halangan itu adalah.

1. 4.1 Usia muda

Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan wanita 16
tahun. Keduanya perlu izin dari orang tua bila belum berusia 21 tahun.

1. 4.2 Perbedaan agama

Suami dan istri membentuk suatu persekutuan yang mencangkup seluruh hidup.
Perbedaan agama dapat menghambat pembentukan kesatuan dalam perkawinan.
Orang katolik hanya diperbolehkan menikah dengan orang yang berlainan agama
bila telah mendapat dispensasi atau izin dari pimpinan Gereja Katolik yang
berwewenang, dan disertai janji dari pihak yang bukan katolik bahkan tidak akan
menghalang-halangi pelaksanaan kewajiban agama.

1. 4.3 Ikatan perkawinan sebelumnya

Perkawinan berciri monogam dan tak terceraikan. Karena itu, seorang duda-cerai
atau janda-cerai hanya diperbolehkan menikah lagi apabila perkawinan
sebelumnya telah diceraikan, tidak hanya oleh pengadilan negeri tetapi juga oleh
pimpinan Gereja Katolik yang berwewenang (bila hal itu mungkin).

1. 4.4 Hubungan darah

Cinta persaudaraan itu suci, maka selayaknya dipertahankan. Dua orang yang
masih berhubungan darah (tunggal embah) hanya boleh menikah setelah mendapat
izin dari pimpinan Gereja yang berwewenang (juga memerlukan izin dari
negara!).

1. 4.5 Lain-lain

Misalnya kaul kekal, tahbisan suci, dsb.

NB. Segala bentuk paksaan membuat perkawinan batal.

1. 5. TUGAS SUAMI-ISTRI

Perkawinan memberi hak dan kewajiban-kewajiban tertentu kepada suami dan istri.
Suami dan istri diberi tugas suci oleh Gereja (dan negara) sebagai berikut.

1. 5.1 Membangun keluarga penuh cinta kasih

Melalui pernikahan, suami istri membangun suatu persekutuan cinta yang disebut
keluarga kristiani. Cinta itu pertama-tama harus diusahakan antara mereka berdua
sendiri, kemudian kepada anak-anak, juga kepada sanak saudara, tetangga,
lingkungan, dan akhirnya kepada semua orang lain, terutama orang-orang kecil
dan miskin.

1. 5.2 Mendidik generasi muda

Anak-anak membutuhkan bantuan orang dewasa agar dapat berkembang dengan


baik. Suami-istri diharapkan mau dan mampu mendidik generasi muda, terutama
anak-anak mereka sendiri.

1. 5.3 Ikut membangun masyarakat

Masyarakat terbentuk dari keluarga-keluarga; keluarga adalah sel terkecil


masyarakat. Sel-sel itu harus sehat agar seluruh tubuh juga sehat. Karena itu,
keluarga juga terpanggil untuk hidup bermasyarakat dengan sebaik-baiknya dan
ikut membangun masyarakat, dengan membentuk pribadi-pribadi yang baik,
betindak jujur, adil, berke-Tuhanan dan berprikemanusiaaan.

1. 5.4 Ikut membangun Gereja

Suami-istri kristiani juga terpanggil untuk ikut membangun umat (jemaat). Umat
pun terdiri dari keluarga-keluarga. Maka, mereka pertama-tama diharapkan aktif
meneguhkan iman mereka sendiri dengan membina hidup rohani keluarganya
sendiri (berdoa bersama, mengikuti ibadah di Gereja, dsb), serta mendidik anak-
anak mereka dalam sikap dan cara-cara beriman yang benar. Juga menjadi saksi
Kristus, dengan aktif ikut mengambil bagaian dalam kegiatan umat beriman,
khususnya lingkungan dan paroki.

PERTANYAAN UNTUK REFLEKSI DAN DISKUSI

a. 1. Apa perbedaan perkawinan sipil dan perkawinan Gereja? Apa ciri-ciri khas
kekatolikannya?

b. 2. a. Mengapa anda mau menikah? Coba rumuskan alasan-alasan atau motivasi

yang mendorong anda?

a. b. Mengapa anda mau menikah di Gereja?

b. c. Untuk apa anda mau menikah? Coba rumuskan cita-cita, harapan-


harapan, dan tujuan-tujuan yang ingin anda capai?

a. 3. Tuntutan Gereja “satu dengan satu, setia seumur hidup”. Menurut banyak
orang, ini satu tuntutan yang mustahil, tidak realistis. Bagaimana menurut
pendapat anda?
b. 4. Apa dasarnya perkawinan dilarang antara orang yang masih ada hubungan
family?

c. 5. Bagaimana sikap Gereja terhadap perkawinan campur agama?

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN No. 1 Tahun 1974


BAB VI. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI
Pasal 30
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang
menjadi sendi dan dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
a. 1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
b. 2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
c. 3) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga.
Pasal 32
a. 1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b. 2) Rumah tempat kediaman termaksud ditentukan oleh suami-istri
bersama.
Pasal 33
Suami-istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin satu kepada yang lain.
Pasal 34
a. 1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b. 2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
c. 3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai