1. 1. HAKIKAT PERKAWINAN
• ¬ Kelangsungan bangsa
• ¬ Perkembangan pribadi
• ¬ Kesejahteraan keluarga
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(Pasal 1 UU Perkawinan)
Perkawinan dapat dipandang dari beberapa sudut pandang, oleh karena itu hakikat
perkawinan dapat kita rumuskan sebagai berikut.
1. 2. TUJUAN PERKAWINAN
Kasih yang telah bersemi antara pria dan wanita masih harus terus dikembangkan
dan dimurnikan, sehingga sungguh saling membahagiakan. Cinta bukan semata-
mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara, melainkan suatu
keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri untuk kebahagiaan
pasangannya. Suami dan istri bukan sekedar bojo (jenis lain/pasangan) melainkan
jodo dan garwo (sigaraning nyawa/belahan jiwa) serta “teman seperjalanan”.
Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual.
Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara suami-istri. Itu berarti
bahwa persetubuhan diadakan bukan sekedar menuruti hawa nafsu, melainkan
dengan kesadaran dan tanggungjawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi
dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup baru
sebagai “hasil perpaduan cinta kasih mereka berdua”.
1. 2.4 Lain-lain
1. 3.1 Monogami
Seorang suami hendaknya memiliki satu istri, demikian pula istri memiliki satu
suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal itu
juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang
sama.
1. 3.2 Tak-terceraikan
Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas,
bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia,
dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri
gagal mengembangkan cinta yang sejati.
Artinya adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka
dalam keluarga katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang
menghangatkan suasana. Iman disini bukan pertama-tama berarti pengetahuan
agama (meskipun itu juga penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan
agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian,
kerjasama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan
hadir ditengah-tengan keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya.
1. 4. HALANGAN PERKAWINAN
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan wanita 16
tahun. Keduanya perlu izin dari orang tua bila belum berusia 21 tahun.
Suami dan istri membentuk suatu persekutuan yang mencangkup seluruh hidup.
Perbedaan agama dapat menghambat pembentukan kesatuan dalam perkawinan.
Orang katolik hanya diperbolehkan menikah dengan orang yang berlainan agama
bila telah mendapat dispensasi atau izin dari pimpinan Gereja Katolik yang
berwewenang, dan disertai janji dari pihak yang bukan katolik bahkan tidak akan
menghalang-halangi pelaksanaan kewajiban agama.
Perkawinan berciri monogam dan tak terceraikan. Karena itu, seorang duda-cerai
atau janda-cerai hanya diperbolehkan menikah lagi apabila perkawinan
sebelumnya telah diceraikan, tidak hanya oleh pengadilan negeri tetapi juga oleh
pimpinan Gereja Katolik yang berwewenang (bila hal itu mungkin).
Cinta persaudaraan itu suci, maka selayaknya dipertahankan. Dua orang yang
masih berhubungan darah (tunggal embah) hanya boleh menikah setelah mendapat
izin dari pimpinan Gereja yang berwewenang (juga memerlukan izin dari
negara!).
1. 4.5 Lain-lain
1. 5. TUGAS SUAMI-ISTRI
Perkawinan memberi hak dan kewajiban-kewajiban tertentu kepada suami dan istri.
Suami dan istri diberi tugas suci oleh Gereja (dan negara) sebagai berikut.
Melalui pernikahan, suami istri membangun suatu persekutuan cinta yang disebut
keluarga kristiani. Cinta itu pertama-tama harus diusahakan antara mereka berdua
sendiri, kemudian kepada anak-anak, juga kepada sanak saudara, tetangga,
lingkungan, dan akhirnya kepada semua orang lain, terutama orang-orang kecil
dan miskin.
Suami-istri kristiani juga terpanggil untuk ikut membangun umat (jemaat). Umat
pun terdiri dari keluarga-keluarga. Maka, mereka pertama-tama diharapkan aktif
meneguhkan iman mereka sendiri dengan membina hidup rohani keluarganya
sendiri (berdoa bersama, mengikuti ibadah di Gereja, dsb), serta mendidik anak-
anak mereka dalam sikap dan cara-cara beriman yang benar. Juga menjadi saksi
Kristus, dengan aktif ikut mengambil bagaian dalam kegiatan umat beriman,
khususnya lingkungan dan paroki.
a. 1. Apa perbedaan perkawinan sipil dan perkawinan Gereja? Apa ciri-ciri khas
kekatolikannya?
a. 3. Tuntutan Gereja “satu dengan satu, setia seumur hidup”. Menurut banyak
orang, ini satu tuntutan yang mustahil, tidak realistis. Bagaimana menurut
pendapat anda?
b. 4. Apa dasarnya perkawinan dilarang antara orang yang masih ada hubungan
family?