Nama : Rahel Natalia T. Kelas : XII IPS 2 1. Latar Belakang Keluarga secara universal dianggap sebagai sel utama dan sangat vital bagi masyarakat. Salah satu alasannya adalah karena keluarga menjadi tempat paling awal bagi seseorang (anak) untuk mengembangkan jati diri, mempelajari pola-pola berhubungan secara intim dengan orang lain serta mempelajari tentang nilai-nilai, ide dan perilaku. Menurut Murdock dan Haviland yang dikutip oleh Eko A. Meinarno, keluarga memiliki fungsi dasar, yaitu pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak dalam konteks sederhana hanya berkisar pada pemeliharaan fisik, seperti memberi makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik. Namun tidak hanya itu, keluarga juga berfungsi untuk membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat. Dengan demikian, proses pemeliharaan anak mengandung sosialisasi dan enkulturasi. Fungsi ini didukung dalam pernyataan Maurice Eminyan bahwa keluarga mempunyai pengaruh paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (contoh) yang paling baik bagi anak. Pentingnya peran keluarga sebagai pusat pembentukan juga ditemukan dalam pemahaman iman Kristen. Kehidupan keluarga Kristen baik ataupun buruk merupakan tempat pembentukan spiritual, fisik dan emosi para anggota keluarganya. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai keluarga bahagia dalam konteks Kekristenan 2. Pernikahan dalam Kristen Sebelum menjadi sebuah keluarga, calon pasangan suami isteri harus mengalami proses pernikahan Kristen. Pernikahan adalah anugerah yang unik dari Allah bagi umat manusia. Ikatan ini bukan hanya sekedar peraturan sipil, ekonomi dan sosial atau sebuah kontrak hukum yang bisa dibatalkan setiap saat ketika ada masalah. Pernikahan adalah sebuah persatuan sukarela di mana kedua pria dan wanita telah mematuhi perintah dari Tuhan untuk meninggalkan ibu dan ayah masing-masing dan menjadi satu (Markus 10: 6-9). Pernikahan Kristen dipandang sebagai peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan, bersifat monogami dan diyakini sebagai persekutuan seumur hidup. Pernikahan juga tidak semata- mata merupakan anugerah dari Allah, namun ia merupakan metafora dari hubungan Allah dengan manusia. Mengutip buku Firman Hidup 60 yang ditulis oleh Richard M. Daulay, ada beberapa prinsip dasar pernikahan Kristen, antara lain: 1. Pernikahan Berasal dari Allah Pada awal mula, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Ini artinya, prakarsa pernikahan pertama-tama datang dari inisiatif Allah. Sebagaimana dikatakan dalam Kejadian 2: 18 yang berbunyi: “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak Baik, Kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’” 2. Perkawinan Merupakan Ikatan Baru Seseorang yang menikah meninggalkan ayah dan ibunya, kemudian bersatu dengan istri atau suaminya. Artinya, seseorang yang sudah menjalin pernikahan berarti sudah lepas dari ikatan lama, yaitu orangtua dan masuk ikatan baru, yakni suami dan istri. 3. Dua Orang Menjadi Satu Dua orang yang menikah bersatu menjadi satu daging. Ini mengandung makna bahwa tidak ada lagi pemisah di antara suami dan istri. Mereka sudah satu hati, satu pikiran, satu roh, satu tujuan, satu penderitaan, satu suka, dan satu dalam segalanya. Seperti yang tercatat dalam Alkitab, tepatnya Kejadian 1 ayat 24: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Hal ini juga disebutkan dalam Matius 19:4-6 yang berbunyi: “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’” Maka dapat disimpulkan bahwa Pernikahan Kristen sebagaimana ia berasal dari pernikahan yang kudus memiliki dimensi spritual yang tinggi sehingga perlu dihayati sebagaimana manusia berhubungan dengan Allah. Ia dibangun atas dasar cinta kasih, berakar dan bertumbuh dalam Kristus. 3. Pandangan Alkitab tentang Perceraian Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri, perceraian juga merupakan putusnya hubungan yang sudah disatukan dengan Iman dan pemberkatan sehingga satu sama lain tidak dapat bersatu lagi dan memutuskan untuk mencari kehidupannya masing-masing. Perceraian sama sekali tidak dilegalkan dalam pernikahan kristen. Tuhan Yesus sangat jelas sekali menekankan bahwa apa yang sudah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia (Markus 10:9, dan Matius 19;6). Perceraian tidak pernah menjadi keinginan Allah, dan selalu merupakan hasil dari dosa. Manusia tidak mempunyai wewenang atau hak untuk dapat menggagalkan perjanjian pernikahan antara Tuhan dan pasangan. Oleh karena itu, pemahaman awal mengenai pernikahan yang sesuai dengan kehendak Allah perlu dipahami secara mendalam oleh masing-masing pasangan. Sebagai umat kristiani, sudah seharusnya kita mematuhi perintah Allah bahwa perceraian itu bukanlah maksud Allah yang sesungguhnya dari pernikahan kristen. 4. Pergeseran Konsep Pernikahan Keluarga tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman namun sebaliknya berkembang menjadi penjara yang kasat mata bagi manusia di dalamnya. Metafora keluarga sebagai penjara menjelaskan pergeseran makna keluarga yang penuh kasih dan membebaskan berubah menjadi sebuah lingkungan yang membelenggu, menindas dan tragis. Di mana-mana media informasi merekam dan memberitakan berbagai kasus kekerasan baik fisik maupun verbal antara suami dan istri, laporan mengenai perselingkuhan, perceraian serta pengabaian tanggung jawab memelihara dan mendidik anak oleh orang tua. Pada akhirnya masalah- masalah tersebut menimbulkan kerusakan karakter di kalangan pemuda akibat disfungsional keluarga. Fenomena kemerosotan nilai keluarga yang terjadi dipengaruhi oleh tiga aspek yang berkembang dalam kehidupan pernikahan calon dan pasangan suami isteri. Faktor-faktor tersebut antara lain: “Pertama, masih kurangnya pemahaman tentang esensi pernikahan yang harus dimiliki oleh pasangan suami isteri. Kedua, kurangnya kemampuan memahami diri sendiri pada pasangan suami isteri. Ketiga, kurangnya kemampuan pasangan suami isteri dalam membangun relasi interpersonal baik secara kuantitas maupun kualitas. Maka dari itu, disimpulkan bahwa pendidikan pranikah yang diselenggarakan oleh gereja penting untuk diperhatikan karena ia merupakan titik awal yang membentuk fondasi sebuah pernikahan. 5. Kesimpulan Dengan demikian menegaskan bahwa baik dalam pemahaman umum maupun perspektif kristiani, keluarga memainkan peranan sentral untuk membentuk karakter dan juga memiliki pengaruh bagi masa depan sebuah masyarakat bahkan negara. Keluarga Bahagia berasal dari pernikahan kudus yang berasal dari Allah, maka dari itu, apa yang sudah disatukan oleh Allah tidak dapat di pisssahkan oleh manusia. Pengertian yang mendalam mengenai pernikahan dan keluarga perlu diperhatikan oleh umat Kristiani sebelum membentuk keluarga itu sendiri.