Anda di halaman 1dari 4

MATERI PEMBELAJARAN

Tahun pelajaran 2020-2021

Satuan Pendidikan : SMP SANTO MARKUS JAKARTA


Mata Pelajaran : PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI
Kelas/semester : IX (Sembilan) / GENAP
Materi Pokok : SAKRAMEN PERKAWINAN
Alokasi Waktu : ( 3 X 40 menit)
Minggu ke : II/ Januari 2021

A. Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pelajaran peserta didik dapat memahami pandangan masyarakat tentang
perkawinan, dan panggilan hidup Kristiani melalui Sakramen Perkawinan serta mampu
menuliskan refleksi yang berkaitan dengan Sakramen Perkawinan yang telah diterima orang tua
sehingga mampu bersikap dan bertindak dengan tepat untuk membantu menciptakan suasana
keluarga yang rukun dan harmonis.

Lampiran 1: Kisah
Sebuah Kesetiaan
Sebut saja namaku: Kristiana!
“Usia perkawinan kami memang sudah 33 tahun. Kami mempunyai tiga orang anak, satu
laki-laki dan dua perempuan. Anak kami yang paling kecil sekarang sudah bekerja, meski
pekerjaannya tidak seperti yang aku harapkan. Anak yang cantik, dia menjadi pengojek. Sementara
yang paling tua lulusan S2 sudah menikah dan punya anak.
Seharusnya di usia yang setua itu, perkawinan kami semakin matang dan hidup dalam
suasana rumah tangga yang harmonis karena satu sama lain sudah saling mengenal secara
mendalam. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kami menikah secara Katolik, yang membawa
konsekuensi tidak terceraikan dan monogam, tetapi suami saya tidak bisa menepati janji perkawinan
yang sudah diucapkan di depan altar. Jangankan setia sampai mati, atau untuk setia dalam untung
dan malang saja dia tidak mampu. Kalau sehari saja pukulan atau tamparan tangannya tidak
mendarat di tubuh kami, itu sudah suatu anugrah, sudah merupakan sebuah keuntungan besar
bagiku.
Tahun 2007, suami yang aku cintai menikah lagi secara muslim dan aku, istrinya harus
menjadi saksi dalam pernikahan tersebut. Aku setujui dengan syarat: anak-anak tidak boleh tahu
bahwa papanya menikah lagi, apalagi dengan pindah agama. Selain itu tidak boleh lagi ada kata-kata
kotor atau caci maki yang ditujukan kepada kami dan yang pasti harus tetap membiayai kehidupan
kami. Syarat-syarat itu disetujui oleh suamiku.
Tetapi ternyata lidah memang tidak bertulang, semenjak suamiku menikah lagi, justru
semuanya dibuka di depan anak-anakku. Bahkan, kini aku diperlakukan sebagai pembantu. Di depan
calon besan, suamiku bahkan benar benar menyebutku sebagai pembantu. Aku memang sudah
tidak sakit hati mendengar sebutan itu untukku, tetapi saya tahu bahwa anakku malu, mungkin juga
takut ditinggalkan oleh calon suaminya karena mengetahui sifat dan tingkah laku papanya.
Pernah suatu kali anakku mengusulkan agar kami cerai saja, dan usulan itu memang pernah menjadi
pertimbanganku tetapi segera aku buang jauh-jauh. Dulu aku sudah memutuskan untuk menikah
secara Katolik, berarti apapun resikonya aku harus terima dengan lapang dada. Aku tidak boleh
cerai! Aku tetap mencoba setia meskipun aku tidak pernah tahu, apakah masih ada artinya sebuah
kesetiaan bagi keluarga kami.
Lampiran 2: Bacaan Kitab Suci: Markus 10 : 1 – 9

Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan
dan di situpun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa, Ia mengajar
mereka pula. Maka datanglah orang-orng Farisi untuk mencobai Yesus, mereka
bertanya kepadaNya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?”
tetapi jawabNya kepada mereka: :apa perintah Musa kepada kamu?”. Jawab mereka:
Musa memberi ijin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai”. Lalu kata
Yesus kepada mereka: :justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan
perintah itu untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki
dan perempuan, sebab itu laki-laki harus meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah
mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang sudah dipersatukan oleh
Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.

Lampiran 4: Penjelasan
Ada banyak pandangan tentang perkawinan. Ada yang memandang perkawinan sebagai
status dalam masyarakat, sebagai kontrak atau perjanjian, atau keinginan untuk mendapatkan
keturunan, bahkan tidak jarang yang berpandangan bahwa perkawinan merupakan syarat untuk bisa
mendapatkan suatu keuntungan materiil bagi dirinya sendiri. Namun banyak pula yang memandang
bahwa perkawinan merupakan suatu yang kudus karena didasarkan pada suatu ikatan cinta kasih
dan penyerahan diri total satu sama lain yang layak dipertahankan keutuhannya seumur hidup
Bagi sebagian orang yang memandang perkawinan sebagai sebuah status maka ia akan
berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai cara agar bisa melaksanakan hidup perkawinan.
Mereka tidak peduli apakah mereka memiliki rasa cinta kasih kepada pasangannya atau tidak yang
penting bahwa dirinya bisa menikah. Maka tidak jarang bahwa perkawinan yang seperti ini sering
diawali dengan sebuah keterpaksaan. Hal ini disebabkan mereka merasa malu apabila terlambat
menikah. Bagi kelompok ini menikah adalah gengsi dan akan menjadi lebih terpandang di tengah
masyarakat. Biasanya orang yang berpandangan seperti ini akan kejar “target”, jika merasa sudah
waktunya untuk menikah, maka ia akan segera menikah, apapun yang terjadi.
Hal ini tidak beda dengan masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan adalah suatu
kontrak, bahkan ini bisa lebih berbahaya dari pandangan yang pertama karena jika kontrak sudah
habis seperti yang tertuang dalam perjanjian maka masing-masing pihak bisa mengakhiri kehidupan
perkawinan mereka.
Jelas bahwa berbagai pandangan tersebut di atas bukan pandangan yang tepat untuk
sebuah kehidupan perkawinan karena masing-masing mempunyai masa berakhir.selain itu,
pandangan pandangan tentang perkawinan tersebut tidak melibatkan “hati dan perasaan” dari
kedua belah pihak. Hati dan perasaan adalah bagian dari diri manusia yang tidak pernah bisa
dipisahkan. Kedua hal tersebut juga sebagai ciri khas bahwa manusia mempunyai derajat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan makluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Selain itu, berakhirnya kehidupan
perkawinan di pertengahan jalan akan merugikan banyak pihak. Orang yang sudah memutuskan
untuk menikah, maka hubungan pernikahan tersebut bukan hanya berefek untuk dirinya sendiri,
tetapi juga berefek sosial. Dalam hal ini, orang yang paling dirugikan adalah justru orang yang paling
dekat, yaitu anak-anak yang telah mereka lahirkan. Anak-anak sangat membutuhkan perhatian dan
kasih saying dari orang yang telah membuat mereka ada di dunia ini. Dan apabla mereka tidak
mendapatkan hal tersebut akan membuat kualitas mental spiritual mereka juga rendah. Dan ini akan
mempengaruhi kualitas lingkungan sekitarnya.
Menyadari betapa besar efek kehidupan perkawinan dalam hidup bersama, pandangan bahwa
perkawinan merupakan ikatan cinta kasih yang tulus dan total antara seorang pria dan seorang
wanita tanpa adanya unsur paksaan dalam jalinan hubungan mereka dan bersifat kekal masih layak
kita pertahankan dalam kehidupan dewasa ini.
Dari bacaan kitab suci di atas kita bisa menemukan perbedaan sangat jelas berkaitan dengan
pandangan mengenai lembaga perkawinan. Perbedaan tersebut adalah diperbolehkan cerai di satu
pihak dan dilarang cerai dipihak lain. Mengapa Musa mengijinkan anggota masyarakat untuk
menceraikan istrinya? Karena “ketegaran” hati masyarakat pada waktu itu. Ketegaran seperti yang
dimaksud Yesus di atas diawali dengan keserakahan manusia untuk memuaskan nafsunya secara
berlebihan, egois, dan juga kurangnya penerapan sikap “saling” dalam berumah tangga. Hal ini
berakibat masing-masing pihak merasa benar dan harus menang. Sementara dalam Kitab perjanjian
baru, Yesus meluruskan pandangan tentang perkawinan yang tidak mengenal kata “Cerai”. Yesus
dalam hal ini memberi penekanan bahwa kehidupan perkawinan atau bersatunya seorang laki-laki
dan seorang perempuan dalam sebuah lembaga perkawinan adalah sesuatu yang suci. Allah turut
campur tangan dalam mempersatukan dua pribadi tersebut dan bukan semata-mata kehendak
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Persatuan dua pribadi adalah buah karya Allah sendiri
sebagai bentuk upaya penyelamatan manusia. Allah tidak menginginkan manusia jatuh ke dalam
dosa untuk yang kesekian kalinya sehingga hubungan antara manusia dengan sesamanya dan
manusia dengan Allah sendiri semakin jauh. Untuk itu “Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah,
janganlah diceraikan oleh manusia”.
Gereja memandang bawah institusi perkawinan adalah sesuatu yang suci. Perkawinan
merupakan “persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra yang diadakan oleh Sang
pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau
persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali” (GS 48). Dari pernyataan ini jelas
mengisyaratkan bahwa perkawinan kristiani merupakan karya keselamatan Allah untuk menusia.
Dengan kata “tidak dapat ditarik kembali” semakin meneguhkan manusia bahwa perkawinan yang
sudah dipersatukan oleh Allah yang ditandai dengan pengesahan oleh para pejabat gereja yang
berwenang, tidak pernah bisa diceraikan (Bdk Mrk 10:9).
Namun, disadari bahwa mempertahankan kehidupan perkawinan yang bersifat Monogam
bukan sesuatu yang mudah karena tidak jarang kehidupan perkawinan dicemari oleh cara pandang,
atau sikap sikap yang tidak mendukung kehidupan perkawinan yang berawal dari cinta diri, gila
kenikmatan, maupun desakan kebutuhan ekonomi sehingga memunculkan berbagai bentuk
penyimpangan perkawinan seperti Poligami, perceraian, cinta bebas dan berbagai bentuk
penyelewengan perkawinan lainnya. (GS 47).
Perlu semakin disadari bahwa pernikahan Kristiani merupakan gambaran dan partisipasi
perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja. Lembaga perkawinan merupakan tanda
kehadiran Allah yang menyelamatkan. Ini merupakan penegasan gereja bahwa perkawinan
Kristiani bersifat Sakramental. Maka untuk mempertahankan keutuhan dalam kehidupan
perkawinan dibutuhkan keteladanan, kerja sama, dan doa keluarga dengan begitu akan lebih mudah
menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan kesucian diri. (GS 48, al. 3,4). Perkawinan yang
dikukuhkan dalam sakramen mendorong pasangan suami istri untuk semakin mampu menjaga
kesetiaan kehidupan perkawinan dalam suka maupun duka, dengan jiwa maupun raga, tetap setia
tak terpisahkan oleh karena tu terhindar dari setiap perbuatan perzinahan dan perceraian (GS 49).
Perkawinan Kristiani bertujuan kepada kesejahteraan hidup suami istri, adanya keturunan
serta pendidikan Anak-anak merupakan karunia perkawinan yang paling luhur Hal ini membuktikan
bahwa dari sejak awal manusia dilibatkan dan turut dalam karya penyelamatan Allah sendiri. (GS 50;
Bdk Kej 1 : 28). Lembaga perkawinan harus disadari, merupakan suatu pendidikan untuk
memperkaya manusia, mencapai kepenuhan hidup dan misinya maka dalam keluarga diperlukan
komunikasi, kerja sama dan kesepakatan suami-istri yang dengan tekun mendidik anak-anak.
Dengan begitu keluarga akan mampu mengambil peran dalam memajukan kehidupan masyarakat
yang baik.
Begitu pentingnya tugas dan tanggung jawab lembaga perkawinan dalam mewujudkan kehidupan
yang lebih baik, maka semua pihak, para tokoh semua bidang ilmu, tidak terkecuali para imam
diharapkan terlibat dalam menjaga keutuhan perkawinan dan mendukung panggilan suani istri
dengan berbagai bantuan sesuai dengan bidang yang menjadi panggilannya (GS 52).

Lampiran 5: Tuntunan Refleksi


Masuklah dalam keheningan........
Bacalah dan hayatilah kalimat-kalimat di bawah ini!
 Bagaimanakah suasana kehidupan dalam keluargaku selama ini? Sudahkah masing-masing
anggota keluargaku mampu menciptakan kedamaian, rasa saling satu hati dan menguatkan satu
dengan yang lain?
 Apakah aku sudah terlibat dengan sungguh-sungguh dalam upaya membantu keutuhan
kehidupan keluargaku? Memberikan dukungan kepada kedua orang tuaku untuk senantiasa
menjaga keutuhan kehidupan perkawinan mereka? Atau justru selama ini aku larut dalam
berbagai masalah yang membuat kedua orang tuaku kurang mesra antara satu dengan yang
lain?
 Pernahkan selama ini aku secara khusus berdoa untuk keutuhan kehidupan perkawinan
kedua orang tuaku? Maukah aku untuk mulai menyebut nama mereka dalam setiap doaku,
memohon kekuatan agar mereka mampu setia satu sama lain dalam setiap situasi?

Anda mungkin juga menyukai