Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KELUARGA DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT

OLEH:
Redni Putri Meldianto 2220812001

Dosen Pengampu:
Dr. Maihasni, S.Sos, M.Si

MAGISTER SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan dan rahmatNya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beriringan salam penulis do‟akan kepada
Allah SWT agar senantiasa tercurahkan buat tambatan hati pautan cinta kasih
yakninya Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini secara umumnya dan kepada Dosen Keluarga
dan perkembangan masyarakat
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan karena
penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, penulis tetap berharap agar
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan
dan penyempurnaan pada makalah penulis berikutnya. Untuk itu penulis ucapkan
terima kasih.

Padang, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................ 3
BAB II .......................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4
A. Perkawinan pada Masyarakat Modern dan Post Modern ................................... 4
B. Percerain pada Masyarakat Modern dan Post Modern ...................................... 6
BAB III ....................................................................................................................... 10
PENUTUP .................................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan pasti
mendambakan agar keluarga yang dibinanya dapat berjalan secara harmonis dan
selalu diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal senada sebagaimana ditegaskan
Sulistyo (1998:13), dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan
lahir dan bathin antara suami istri, yang dilakukan secara sah, untuk membentuk
sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaan masing-masing. Karena perkawinan mempunyai maksud
agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal bahagia, sesuai pula
dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah
pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada unsur paksaan dari
pihak manapun.
Dalam mencapai keluarga yang bahagia ditempuh upaya menurut kemampuan
masing-masing keluarga. Namun demikian, banyak juga keluarga yang gagal
dalam mengupayakan keharmonisannya, impian buruk akan terjadi yaitu
timbulnya suatu benturan “perceraian” yang tidak pernah mereka harapkan.
Dampak perceraian mengakibatkan timbul berbagai masalah antara lain
pecahnya keluarga tersebut dari ikatan tali perkawinan, hubungan kekeluargaan
menjadi renggang dan dampak yang paling berat yang nyata akan dialami oleh
anak yang merupakan buah hati dari perkawinan itu sendiri.

1
Hal senada sebagaimana dikemukakan Rukmana (1992:23) : Oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga
yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-
masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun istri benarbenar menghargai satu sama lain. Berdasarkan
observasi sementara di lokasi penelitian, penulis melihat bahwa angka perceraian
dikalangan masyarakat sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya wanita memiliki status janda, maupun pria yang memiliki status duda,
dan umumnya mereka yang memiliki status tersebut, bukan bercerai karena
ditinggal mati oleh salah satu diantara keduanya, namun mereka bercerai hidup
dalam arti kata keduanya masih hidup lalu memutuskan untuk mengakhiri ikatan
perkawinan. Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang
terus menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran
menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan.
Pertengkaran yang meluap-luap menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus
memicu perceraian. Penyebab perceraian juga dipicu maraknya pernikahan di
bawah umur. Pernikahan di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi
pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu, sebagai berikut:
1. Bagaimana pernikahan pada masyarakat modern dan post modern?
2. Bagaiman perceraian pada masyarakat modern dan post modern?

2
C. Tujuan
Untuk mengetahauai pernikahan pada masyarakat modern dan post modern dan
perceraian pada masyarakat modern dan post modern

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkawinan pada Masyarakat Modern dan Post Modern


Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dan membentuk sebuah keluarga. Menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" (Sumber: Wantjik, 1976).
Pernikahan adalah salah satu momen penting dalam hidup manusia. Manusia
mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup individual selama hidupnya yang
disebut daur hidup, yaitu masa anak-anak, remaja, nikah, masa tua, dan mati
(Koentjaraningrat, 1977 : 89).
Ikatan pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sakral atau suci sehingga
terkadang pernikahan diartikan juga sebuah perayaaan cinta di mana dalam
peristiwa tersebut terjadi pengukuhan hubungan antara dua insan baik secara
agama maupun hukum. Menikah juga bukan hanya menyatukan dua pribadi saja,
tetapi juga dua keluarga, sehingga dengan mengadakan pesta pernikahan
dianggap sebagai ungkapan rasa syukur, kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri.
Pada masa kini telah terjadi penurunan nilai-nilai pernikahan. Terbukti di
beberapa negara seperti Belanda, ada hukum yang melegalkan pernikahan
sejenis. Tidak hanya itu, tinggal bersama atau living together tengah menjadi
trend di masyarakat luar sana. Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “kumpul
kebo”. Fenomena masyarakat seperti ini yang dapat mempengaruhi nilai-nilai
sakral dari pernikahan. Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang

4
harus dijaga dan dipertahankan, hanya sekedar pengesahan terhadap hukum
bukan secara norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Menurut Finkel, gaya hidup dan budaya modern turut memengaruhi bagaimana
seseorang melihat pernikahan dalam 100 tahun terakhir. Ada harapan yang tinggi
dalam masyarakat zaman sekarang bahwa pasangan mereka akan mengizinkan
mereka untuk „tumbuh‟, seperti mengejar karier, walau sudah menikah,
melanjutkan sekolah, meski menjadi ibu rumah tangga, atau tetap bekerja, meski
sudah memiliki anak, dan lain sebagainya.
Harapan ini membuat banyak orang memercayakan pasangannya untuk dapat
mengejar kepuasan diri dan ambisi. Sayangnya, ini justru memberikan tekanan
pada pernikahan.
Harapan terhadap pernikahan kini, menurut konselor pernikahan, Adriana S.
Ginanjar, memang sudah berbeda. Pada dasarnya, suami lebih ingin berperan
sebagai imam/pemimpin. Sementara istri modern sekarang ini justru
menginginkan sebuah relasi suami istri yang egaliter (sederajat), tuturnya. Misal,
jika suami dan istri sama-sama bekerja, tentunya istri menginginkan peran
mengasuh anak juga dibagi sama adil. Jika istri ikut membantu kondisi finansial
rumah tangga dengan bekerja, mereka juga ingin lebih memiliki peran dalam
mengambil keputusan di kehidupan pernikahan mereka. “Ini menjadi sulit dalam
pernikahan yang masih didominasi budaya patriarkat, yang mana suami masih
mengambil peran sebagai pembuat keputusan. Kalau dulu kan istri nurut saja apa
kata suami. Wanita modern zaman sekarang tidak lagi ingin seperti itu,” jelasnya
lagi.
Menurut Adriana, saat ini sebagian masyarakat melihat pernikahan dalam
perspektif yang berbeda. Jika generasi sebelumnya nilai-nilai pernikahan
dijunjung tinggi dan perceraian dianggap tabu – terlebih dengan status janda
yang selalu dikonotasikan negatif–maka sekarang kondisinya berbeda.

5
Modern ini, nilai pernikahan bukan lagi dilihat pada kesakralannya, tapi sejauh
mana pernikahan tersebut dapat memenuhi ekspektasi kebutuhan atau
kebahagiaan mereka.
Artinya, jika pernikahan tersebut dinilainya tidak memuaskan dan banyak
masalah, maka mereka akan berpikir untuk keluar saja dari pernikahan tersebut.
Mereka akan berpikir, buat apa menghabiskan waktu dalam pernikahan yang
tidak menyenangkan, bahwa masyarakat modern memiliki ekspektasi yang tinggi
pada pernikahan.

B. Percerain pada Masyarakat Modern dan Post Modern


Menurut Kamus Sosiologi, perceraian adalah pembubaran secara hukum sebuah
pernikahan yang sah sementara kedua pasangan masih hidup sehingga mereka
bebas untuk menikah lagi.
Secara umum, masyarakat masih memandang negatif terhadap pasangan yang
memutuskan bercerai. Bagi masyarakat, perceraian itu buruk, jahat, melukai
perasaan salah satu pasangan dan berdampak tidak baik bagi anak dan keluarga
kedua belah pihak. Perceraian yang diinginkan istri atau gugat cerai terhadap
suami bahkan dipandang lebih buruk lagi dibanding talak yang dijatuhkan suami
terhadap istri. Hal ini terjadi karena tradisi dan keyakinan masyarakat, posisi
suami lebih tinggi derajatnya secara agama dan kultural dibandingkan istri.
Sebelumnya barangkali juga jarang ada kasus dimana istri menggugat cerai
suaminya seperti yang marak terjadi belakangan ini.
Paradigma negatif terhadap perceraian juga tidak terlepas dari pemahaman umum
masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan sebagai sebuah peristiwa
sakral yang dilakukan di bawah otoritas agama dan pemerintah. Perkawinan tidak
hanya melibatkan calon suami dan istri, tetapi juga melibatkan kerabat dekat,
keluarga besar, masyarakat, pemangku adat dan agama. Karena itu, perkawinan

6
yang berakhir dengan perceraian dinilai tidak hanya melecehkan keluarga, tapi
juga melecehkan masyarakat, adat dan agama.
Pada posisi ini, kecaman terhadap pasangan yang bercerai bisa dipahami karena
perkawinan masuk dalam wilayah sakral serta melibatkan semua pihak. Proses
dan tradisi perkawinan juga terbilang ketat di Indonesia, menghabiskan banyak
energi dan biaya yang tidak sedikit. Dari segi dampak, perceraian juga
berdampak luas. Selain berdampak psikis terhadap anak dan keluarga, perceraian
juga berdampak terhadap rusaknya tatanan sosial, memberi contoh tidak baik
bagi pasangan lain, seakan-akan perceraian satu-satunya jalan ketika keluarga
dihadapkan pada masalah dalam rumah tangga.
Apalagi bagi masyarakat tradisional dimana pembagian peran dalam rumah
tangga belum berimbang, suami dinobatkan sebagai kepala rumah tangga atau
pencari nafkah (aktif), sementara istri sebagai ibu rumah tangga (pasif), jika
terjadi perceraian, mata rantai ekonomi keluarga akan terputus. Atas dasar itu
dapat dikatakan bahwa paradigma masyarakat terhadap perceraian cenderung di
bangun atas dasar keyakinan, pengalaman dan realitas yang mereka lihat. Bagi
masyarakat, peristiwa pernikahan adalah peristiwa skaral baik dalam bingkai
agama maupun adat. Sementara itu, berdasarkan pengalaman dan realitas yang
mereka lihat, perceraian lebih banyak menimbulkan dampak negatif (mudharat)
dibandin positif. Berbeda dengan paradigm masyarakat secara umum,
Goode berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan
suatu kegagalan adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada
cinta yang romantis. Padahal menurut Goode semua sistem perkawinan paling
sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-
maisng memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial
yang bisa saja berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini bisa memunculkan
keteganganketegangan dan ketidakbahagian yang dirasakan oleh semua anggota
keluarga. Karenanya, apabila terjadi perceraian, maka itu sesuatu yang lumrah.

7
Pandangan Goode kurang lebih sama dengan teori konflik yang dikembangkan
selama ini, dimana konflik berpotensi muncul ketika dua hal yang berbeda
disatukan. Hal ini dapat dilihat misalnya dari definisi yang dikembangkan oleh
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin bahwa konflik berarti persepsi mengenai
perbedaan kepentingan, atau kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.
Definisi lain menyebutkan, konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki
sasaransasaran yang tidak sejalan. Jika merujuk pada dua definisi di atas, maka
ada dua hal yang patut digaris bawahi di sini. Pertama, konflik dipandang sebagai
suatu kenyataan hidup, alamiah, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.
Kedua, konflik terjadi ketika dua pihak atau lebih memiliki tujuan atau
kepentingan berbeda dan tidak bisa di capai secara bersamaan. Dalam konteks
ini, konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian tidak bisa dilihat
sebagai sebuah kegagalan dalam berumah tangga bilamana perceraian itu sendiri
merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak (suami istri).
Persoalannya, sulit dan jarang terjadi kesepakan antara suami istri ketika
dihadapkan pada penyelesaian konflik dalam rumah tangga karena posisi istri
cenderung di pihak yang lemah (posisi asimetris). Posisi simetris (berimbang)
adalah salah satu syarat mutlak dalam melakukan negosiasi penyelesian masalah.
Karena itu pada satu sisi paradigma Goode yang menganggap perceraian bukan
bentuk kegagalan berumah tangga bisa dipahami. Namun pada sisi lain, kita juga
harus melihat bagaimana proses perceraian itu terjadi, apakah parapihak telah
memiliki posisi simetris ketika mereka bersepakat untuk bercerai.
Paradigm keliru terhadap perceraian juga terjadi di kalangan hakim yang
bertindak sebagai mediator kasus-kasus konflik dalam rumah tangga. Hakim juga
cenderung menilai perceraian sebagai bentuk kegagalan hakim dalam memediasi
kasus. Karenanya, dalam menangani kasus-kasus konflik rumah tangga, hakim
cenderung berusaha semaksimal mungkin supaya pasangan suami istri untuk

8
berdamai atau mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bagi hakim, proses mediasi
dianggap berhasil jika para pihak yang berkonflik tidak jadi bercerai atau tetap
melanjutkan hidup bersama. Paradigm ini tentu saja tidak lepas dari Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dijaga dan
dipertahankan, hanya sekedar pengesahan terhadap hukum bukan secara norma
dan etika yang berlaku di masyarakat.
Menurut Finkel, gaya hidup dan budaya modern turut memengaruhi bagaimana
seseorang melihat pernikahan dalam 100 tahun terakhir. Ada harapan yang tinggi
dalam masyarakat zaman sekarang bahwa pasangan mereka akan mengizinkan
mereka untuk „tumbuh‟, seperti mengejar karier, walau sudah menikah,
melanjutkan sekolah, meski menjadi ibu rumah tangga, atau tetap bekerja, meski
sudah memiliki anak, dan lain sebagainya.
Harapan ini membuat banyak orang memercayakan pasangannya untuk dapat
mengejar kepuasan diri dan ambisi. Sayangnya, ini justru memberikan tekanan
pada pernikahan.
Masyarakat masih memandang negatif terhadap pasangan yang memutuskan
bercerai. Bagi masyarakat, perceraian itu buruk, jahat, melukai perasaan salah
satu pasangan dan berdampak tidak baik bagi anak dan keluarga kedua belah
pihak. Perceraian yang diinginkan istri atau gugat cerai terhadap suami bahkan
dipandang lebih buruk lagi dibanding talak yang dijatuhkan suami terhadap istri.
Hal ini terjadi karena tradisi dan keyakinan masyarakat, posisi suami lebih tinggi
derajatnya secara agama dan kultural dibandingkan istri. Sebelumnya barangkali
juga jarang ada kasus dimana istri menggugat cerai suaminya seperti yang marak
terjadi belakangan ini.

10
11
DAFTAR PUSTAKA

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.

Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

S. R. Parker Dkk, Sosiologi Industri, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990.

Simon Fisher Dkk, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak,
Jakarta: The British Council, 2001.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1982.

T. O. Ihromi, Sosiologi Keluarga Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 1999.

William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bina Aksara, 2003

12

Anda mungkin juga menyukai