Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

DALIL DAN HIKMAH PERNIKAHAN


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Moch. Fahmi Firmansyah, MA.

Disusun oleh kelompok 7 (Kelas D) :

1. Muhamad Deni Kuswandi (20S1ES0175)


2. Nur Aisyah (20S1ES0011)
3. Maya Ayu Ningsih (20S1ES0029)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
Jln. Widarasari III Tupare Cirebon, Telepon (0234) 246215
Website : iaibbc.ac.id / Email : staicbbc.cirebon@gmail.com
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertologan –Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis juga sangat mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqih dengan judul “ Dalil
dan Hikmah Pernikahan “.

Tersusunnya makalah ini juga tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara moril maupun materil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak M. Fahmi Firmansyah, MA., dosen mata kuliah Fiqih IAI Bunga Bangsa Cirebon.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
3. Teman-teman yang telah membantu memberikan dorongan dan semangat.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf. Atas segala
perhatiannya kami sampaikan pula terima kasih.

Cirebon , Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
1.3. Tujuan penulisan..............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
2.1. Pengertian Munakahat ( Pernikahan )..............................................................................................2
2.2. Hukum Pernikahan..........................................................................................................................3
2.3. Rukun Nikah...................................................................................................................................4
2.4. Syarat Nikah....................................................................................................................................5
2.5. Macam-macam tingkatan wali dalam Pernikahan :..........................................................................7
2.6. Pengertian Khitbah...........................................................................................................................8
2.7. Hak-Hak Istri Dan Suami................................................................................................................9
2.8. Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi (Muharramat)....................................................................10
2.9. Pernikahan Yang Dilarang Dalam Islam.......................................................................................11
2.10. Hikmah Pernikahan....................................................................................................................16
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................17
3.1. Kesimpulan...............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dengan melihat apa-apa yang telah terjadi didalam kehidupan masyarakat, baik langsung
ataupun tak langsung. Tentunya masih banyak terdapat persoalan-persoalan yang menjadi
pertanyaan didalam kehidupan bermasyarakat. Persoalan itulah yang menjadi inspirasi penulis
untuk membuat sebuah makalah yang berjudul “Dalil dan Hikmah Permnikahan” .

Adapun pernikahan itu sendiri adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan
atau menjadi masyarakat yang sempurna pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang
amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang
sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk satu dengan yang lainnya.

Namun, untuk menuju suatu jenjang pernikahan tentunya memilki banyak kendala atau hal-hal
yang perlu diperhatikan serta harus dilaksanakan seperti memenuhi criteria dalam menuju
sebuah pernikahan. Salah satunya, harus mencapai pertolongan antara melaksanakan rukun dan
syarat pernikahan yang telah ditentukan.

Adapun rukun dan syarat pernikahan itu, nanti akan dibahas oleh penulis dalam bab
pembahasan. Demikianlah alasan penulis untuk mengangkat rukun dan syarat pernikahan
sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu pengertian pernikahan ?
2. Apa saja rukun menikah ?
3. Apa saja syarat menikah ?
4. Apa itu pengertian khitbah ?
5. Apa saja hak suami dan istri ?
6. Siapa saja wanita yang haram untuk dinikahi ?
7. Apa saja penyebab pernikahan itu dilarang ?

1.3. Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan
2. Untuk mengetahui apa saja rukun menikah
3. Untuk mengetahui apa saja syarat menikah
4. Untuk memahami pengertian khitbah
5. Untuk mengetahui hak-hak suami dan istri
6. Untuk mengetahui siapa saja wanita yang haram untuk dinikahi
7. Untuk mengetahui penyebab pernikahan itu dilarang

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Munakahat ( Pernikahan )

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah
nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat
Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk
menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT.1.

Definisi Perkawinan ( az-zawaj ) Menurut bahasa Az-zawaj diartikan pasangan atau jodoh.
Kemudian menjadi popular penggunaan lafal zawaj diartikan laki-laki berpasangan dengan
wanita secara kontinu.

Kata az-zawaaj dari akar kata zawwaja dengan tasydid waw seperti babsallam-salaaman
dan kallama-kalaaman. Kata zawj yang diartikan jodoh atau berpasangan berlaku bagi
laki-laki dan perempuan; zawj perempuan berarti suaminya sedangkan zawj perempuan
berarti istrinya. Allah berfirman dalam al-Quran: “Dan kami berfirman: Hai Adam
diamilah oleh kamu dan istrimu surge ini”. (Qs. Al-Baqarah : 35). Untuk membedakan
antara pasangan wanita dan laki-lkai dan untuk menghilangkan kesamaran para fuqaha’
menggunakan kata zawjah ( ) untuk wanita dan inilah bahasa yang benar.Sebab dalam
membagi harta warisan misalnya, jika menggunakan zawj atau ibn, tentu tidak diketahui
laki-laki atau perempuan.2

1
Menurut U U No : 1 tahun 1974 Pasal 1
2
Lisan Al-‘Arab, juz 3, hlm.1886, Mukhtar ash-Shahah, hlm.278, dan Munjid Ath-Thullab, hlm. 242 .

2
2.2. Hukum Pernikahan

1. Wajib
Nikah wajib adalah pernikahan bagi mereka yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan apabila dia tidak
melkukannya dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina.

2. Sunnah
Nikah sunat menurut pendapat jumhur ulama’.Yaitu pernikahan bagi orang yang
telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk membangun rumah tangga
tetapi jika tidak melaksanakannya juga tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.

3. Mubah
Nikah mubah adalah pernikahan bagi mereka yang punya kemampuan dan
kemauan untuk melakukannya, tetapi jika tidak melakukannya tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri.

4. Makruh
Nikah makruh adalah pernikahan seorang laki – laki yang mempunyai kemauan
untuk melakukanNya juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri dari
perbuatan zina sehingga tidak memungkinkan tergelincir untuk berbuat zina jika
sekiranya tidak nikah. Namun orang ini tidak mempunyai keinginan ntuk dapat
memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik.

5. Haram
Nikah yang haram adalah pernikahan bagi mereka yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk membangun rumah tangga
dan melaksanakan kewajiban-kewajiban selama berumah tangga , sehingga
apabila dia menikah akan menelantarkan istrinya dan istrinya atau bahkan hanya
menyakiti istrinya.

3
2.3. Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:


a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i
untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu
pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram
dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan.
Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya
misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya
seorang muslimah.

b. Adanya Ijab dan Qabul (Sighat) 3


Ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan
engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan Fulanah”).
Qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku
terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz
inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ضى َز ْي ٌد ِم ْنهَا َوطَرًا َز َّوجْ نَا َكهَا‬
َ َ‫“ فَلَ َّما ق‬
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya
(menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang
telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)

c. Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:

‫“ إِالَّ بِ َولِ ٍّي الَ نِ َكا َح‬


“Ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya,
maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ُ‫ي لَه‬ ُ َ‫“ فَالس ُّْلط‬
َّ ِ‫ان َولِ ُّي َم ْن الَ َول‬
“Sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud)
Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa
syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) 4 dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak
3
Kitab Fathul Mu’in hal: 99
4
Pasal 20 ayat 1 di dalam Kompilasi Hukum Islam

4
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni
muslim, aqil dan baligh”.

d. Saksi, saksi mempunyai peranan yang sangat penting, baik dalam ranah pernikahan
maupun jual beli, dikarenakan saksi dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang akan
memberikan keterangan mengenai kejadian yang dilihatnya apabila alat bukti yang
lain dirasa kurang. Berikut ini dalil yang menerangkan bahwa didalam pernikahan
diharuskan memiliki dua orang saksi atau lebih.
‫ال نكاح إال بولي وشاهدي عدل‬

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam
kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang
saksi kecuali dalam hadits ini)5.

2.4. Syarat Nikah

A. Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :


1. Beragama Islam
2. Identitas laki laki jelas dan benar
3. Dengan rela hati tanpa paksaan
4. Tidak memiliki empat orang istri sah dalam satu masa
5. Bukan merupakan mahrom dari calon istri
6. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ُ ‫ وال َي ْخ‬، ْ‫ وال يُنكِح‬،‫ال َينكِح المُحْ ر ُم‬
ْ‫طب‬ ِ ِ
“Yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh
mengkhitbah.” (HR. Muslim)6

B. Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut :


1. Beragama Islam
2. Identitas wanita jelas dan benar
3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
َ‫الَ تُ ْن َك ُح ْاألَيِّ ُم َحتَّى تُ ْستَأْ َم َر َوالَ تُ ْن َك ُح ْالبِ ْك ُر َحتَّى تُ ْستَأْ َذن‬
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai
pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-
Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum
baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Nabi Muhamad SAW juga bersabda:
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya
batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena
5
Kitab Tuhfatul Labiib, 2: 747
6
HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi

5
lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka,
maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu
Daud no. 1783, Tirmdizi no. 1021 dan Ibnu Majah no. 1869 Maktabah Syamilah)

4. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah


5. Bukan merupakan mahrom dari calon suami
6. Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh calon suami
7. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

C. Syarat wali sebagai berikut :


1. Islam, tidak sah kafir jadi walinya perempuan7
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal shat
5. Tidak terpaksa
6. Adil (bukan fasiq)
7. Tidak sedang ihram

D. Syarat Saksi.
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal
5. Adil
6. Mendengar (tidak tuli)
7. Melihat (tidak buta)
8. Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
9. Tidak pelupa ( mughhaffal)
10. Menjaga harga diri ( menjaga muru'ah)
11. Mengerti maksud ijab dan qobul
12. Tidak merangkap menjadi wali

7
Fathul Qaribil Mujib, hal 11

6
2.5. Macam-macam tingkatan wali dalam Pernikahan :
1) Wali Nasab
Yaitu wali yang ada hubungan darah dengan wanita yang akan dinikahkan.
a. Bapak kandung (wali aqrob)
b. Kakek dari pihak bapak (wali ab’ad)
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki sebapak
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan)
f. Anak laki-laki dari saudar alaki-laki sebapak (keponakan)
g. Paman dari pihak bapak sekandung
h. Paman dari pihak bapak sebapak
i. Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan bapak (sepupu)
j. Anak laki-laki dari paman yang sebapak dengan bapak (sepupu)

2) Wali Hakim
yaitu wali nikah dari hakim, dalam hal ini kekuasaanya di Indonesia ditugaskan kepada
Pengadilan agama.

3) Wali Mujbir
Yaitu wali yang berhak menikahkan perempuan dibawah perwaliannya yang masih gadis
tanpa menanyakan pendapat mereka atau tidak meminta izin terlebih dahulu kepada gadis
tersebut.Yang berhak menjadi wali mujbir adalah bapak kandung dan kakek dari pihak
bapak.

7
2.6. Pengertian Khitbah

Khitbah yaitu seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya
dengan cara yang umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Perempuan yang boleh dipinang/dikhitbah yaitu :

 Tidak berada dalam pinangan orang lain


 Tidak ada halangan syar'i yang melarang dilangsungkannya pernikahan (muhrim
muabbad/muhrim muwakkot)
 Tidak dalam masa 'iddah karena thalak raj'i (thalak yang boleh di ruju')

 Melihat pinangan
Dalam islam melihat pinangan diperbolehkan dalam batad-batas tertentu.
Tempat-tempat yang boleh dilihat :
 Menurut jumhur 'ulama : muka dan telapak tangan. Sesuai dengan QS. An-Nuur:318
 Menurut Imam Daud Adhdhohiri : seluruh badan kecuali kemaluan.

8
Prof. Dr. abdul Aziz Muhammad Azzam. Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
(Jakarta:Amzah), 2009. Cet.I. hlm. 11

8
2.7. Hak-Hak Istri Dan Suami
1. Hak Istri
Hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah sebagai berikut :9
1. Mahar
2. Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut'ah)
3. Nafkah, tempat tinggal, dan pakaian.
4. Adil dalam pergaulan

2. Hak Suami
1. Mematuhi suami
 Taat kepada suami
 Tidak durhaka kepada suami
2. Memelihara Kehormatan dan Harta Suami
3. Berhias untuk Suami
4. Menjadi Partner Suami

9
Prof. Dr. abdul Aziz Muhammad Azzam. Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
(Jakarta:Amzah), 2009. Cet.I. hlm. 174

9
2.8. Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi (Muharramat)

a. Muhrim nasab ( sedarah atau seketurunan)


 Ibu kandung dan seterusnya ke atas

 Anak perempuan dan seterusnya ke bawah

 Saudara perempuan sekandung (seayah atau seibu)

 Bibi yaitu saudara perempuan bapak yang sekandung, sebapak atau se ibu dengan
bapak

 Bibi yaitu saudara perempuan ibu yang sekandung, sebapak, atau seibu dengan ibu.

 Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)

 Anak perempuan dari saudara perempuan ( keponakan

b. Muhrim Radha, yaitu perempuan yang haram dinikahi sesusu

 Ibu yang menyusui mu

 Saudara-saurada perempuan yang sesusu

c. Muhrim Musahara, yaitu perempuan yang haram dinikahi dengan sebab pernikahan.

 Ibu mertua

 Menantu perempuan

 Anak tiri jika sudah nikah dan duhul dengan ibunya

 Wanita-wanita yang sudah dinikahi oleh ayahmu (Qs. An-nisa : 22)

 Saudara-saudara perempuan yang dimadu/dihimpun

10
2.9. Pernikahan Yang Dilarang Dalam Islam

1. Nikah Syighor
Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, atau saudara atau yang berada di
bawah perwaliannya si B, namun dengan syarat si B harus menikahi pula anak, saudara
atau yang di bawah perwaliannya si A. Bentuk dan sifat “nikah syighor” ini adalah
relatif, mau ada mahar ataukah tidak [tidak ada masalah]. Keharaman bentuk nikah
seperti ini telah disepakati oleh para ulama ( ijma’ Ulama), namun mereka berselisih
apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah
seperti ini tidaklah sah.Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sungguh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan
anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan
anaknya untuknya dan di antara keduanyatidak ada mahar.” (HR.Bukhari no. 5112 dan
Muslim no. 1415)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang bentuk


nikah syighor.” Ibnu Numair menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang
mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah putrimu padaku dan aku akan menikahkan
putriku padamu, atau nikahkanlah saudara perempuanmu padaku dan aku akan
menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no. 1416)

Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata,“Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al
‘Abbas menikahkan puterinya dengan ‘Abdurrahman bin Al Hakam, lalu ‘Abdurrahman
menikahkan puterinya dengan Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas
Mu’awiyah menulis surat dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan
Marwan untuk memisahkan antara dua pasangan tadi.Mu’awiyah berkata dalam suratnya,
“Ini termasuk bentuk nikah syighor yang telah dilarangoleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.” (HR. Abu Daud no. 2075 dan Ahmad4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan) .

Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar
ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenapa orang-
orang memberi persyaratan- persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah?
Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah merupakan
persyaratan yang batil, meskipun seratus persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak
untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no.
2155 dan Muslim no. 1504) .

11
2. Nikah Muhallil

Kita telah mengetahui bahwa maksimal talak adalah tiga.Dua talak sebelumnya, masih
bisa melakukan rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa
rujuk kembali sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak
diakal-akali [tidak direkayasa]. Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang
menikahi wanita yang telahditalak tiga, kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya
wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama. Nikah semacam ini terlarang, bahkan
termasuk al kabair (dosa besar).Pria kedua yang melakukan nikah muhallil terkena laknat
sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, iaberkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan
agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan
al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar
isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).”(HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu
Majah no. 1934.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar
(domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai
Rasulullah.”Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil.Allah akan melaknat
muhallil dan muhallal lahu.”(HR. Ibnu Majah no. 1936.Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan).10

Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, “Telah datang seorang lelaki
kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah
menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita
tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal
kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh
suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa
suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 2: 217. Hakim
berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Adz Dzahabi pun
menyatakan demikian)

Nikah muhallil dinilai terlarang dan nikahnya tidak sah, terserah apakah dipersyaratkan
di awal bahwa si wanita akan dicerai supaya halal bagi suami pertama ataukah tidak
disyaratkan tetapi hanya diniatkan.

10
Sayyid Sabiq, FIQIH SUNNAH 2, terj,(Bandung : Al-Ma’arif), hlm.58

12
3. Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah
munqothi’).Bentuk nikah ini adalah seseorang menikahi wanita pada waktu tertentu
selama 10 hari, sebulan atau lebih dengan memberi biaya atau imbalan tertentu.Nikah
mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus).Nikah ini menjadi
haram hingga hari kiamat.Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas)
sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99).

Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul
Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkanMakkah,
beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata, “Kami
menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan
wanita. … Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis).Sampai aku
keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” (HR. Muslim no.1406) Dalam lafazh lain disebutkan, [terjemah] :“Wanita-
wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka.” (HR. Muslim no. 1406)

Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh AlJuhaniy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Wahai sekalian manusia.Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan
nikah mut’ah dengan para wanita.Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk
melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1406).

Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah nikah yang
fasid, tidak sah.Sehingga dari sini pasangan yang menikah dengan bentuk nikah semacam
ini wajib dipisah.Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
dipisah dalam hadits Sabroh di atas.

Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu jika si pria
kembali ke negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda dengan nikah mut’ah di
awal. Yang kedua adalah nikah dengan niatan cerai, si istri awalnya tidak tahu dengan
niatan ini.Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat,
namun dalam hati sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya tetap
sah.Alasannya, karena niatan seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja tidak.Namun ulama
lainnya menganggap nikah bentuk kedua ini masih termasuk nikah mut’ah seperti
pendapat Al Auza’i dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin (Shahih Fiqh
Sunnah, 2: 101).

13
Ibnu Taimiyah menjelaskan,ِ “Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu
tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya
oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai
waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai,
pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama.Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam
Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)- nya.” (Majmu’ Al Fatawa,
32: 107-108) Dinukil dari Imam Nawawi, bahwa : Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama
sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita
selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan
halal. Nikah semacam initidak termasuk nikah mut’ah.Disebut nikah mut’ah jika ada
persyaratan di awal.Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan
cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.”Al Auza’i sedikit berbeda
dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak
ada kebaikan sama sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182)

4. Nikah dalam Masa ‘Iddah

Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk
mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka
berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa
‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi
wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa
‘iddah adalah untuk menjaga nasab.Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut,
tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya
nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)

5. Pernikahan Yang Dilakukan Setelah Wanita Itu Hamil


1. Menurut Imam Hanaf
Wanita hamil karena zina sah dinikahkan dengan laki-laki manapun tetapi ia tidak
boleh bercampur dengan laki-laki yang mengawininya itu kecuali laki-laki itu yang
menghamilinya.

2. Menurut Imam malik dan Syafi’i


Wanita hamil karena zina sah dinikahkan denngan laki-laki manapun dan sah
bercampur dengan laki-laki tersebut.Alasannya, karena wanita itu tidak termasuk
perempuan yang haram dinikahi seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa : 23.

3. Menurut Imam Hanbali

14
Wanita hamil karena zina sama dengan pezina maka ia tidak boleh dinikahkan pada
setiap laki-laki manapun kecuali harus ada 2 syarat :
 Habis masa ‘iddah, artinya telah melahirkan dan suci dari nifas
 Harus bertaubat terlebih dahulu.

4. Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Bab VII Pasal 53 ayat 1,2,dan 3

 Ayat I : seorang wanita hamil diluar nikah dapat di nikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
 Ayat 2 : perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunngu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
 Ayat 3 : dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang, setelah anak yang dikandung lahir.

15
2.10. Hikmah Pernikahan
Tujuan pernikahan dalam islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis
atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaiatan
dengan social, psikologi, dan agama. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut.11

a. Memelihara gen manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara


keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa.
Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan
melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah SWT. Nabi SAW menganjurkan
nikah bagi orang yang mengharapkan keturunan, sebagaimana sabda Rasul :

“Kawinilah wanita yang penuh kasih sayang dan banyak anak.Sesungguhnya aku
bangga memiliki banyak ummat”. (HR.Bukhari)

b. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh, karena didalamnya terdapat
hak-hak dan kewajiban yang sakral dan religius. Al-Ghazali menjelaskan beberapa
faedah nikah, di antaranya nikah dapat menyegarkan jiwa, hati menjadi tenang, dan
memperkuat ibadah. Sebagaimana Firman Allah SWT : “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Ruum(30): 21) .

c. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri dan menjauhkan dari
pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama.Al-Qur’an telah
memberikan isyarat sebagai berikut :

“dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika


kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina”. (QS, An-
Nisa (4): 4).

Demikianjuga hadits Nabi riwayat Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda :

“sesungguhnya nikah itu dapat memejamkan mata dan memelihara faraj”.12

d. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara,


melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak serta
mendidik mereka13

11
Prof. Dr. abdul Aziz Muhammad Azzam. Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
(Jakarta:Amzah), 2009. Cet.I. hlm.39
12
M. Muhyi Ad-Din Abd Al-hamid, Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, hlm. 8-9
13
Prof. Dr. abdul Aziz Muhammad Azzam. Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat,
(Jakarta:Amzah), 2009. Cet.I. hlm. 41

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Nikah

a. Definisi :nikah adalah suatu akad antara laki-laki dengan wali seorang
perempuan sehingga menjadikan sahnya hubungan kelamin dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan oleh syara’.

b. Rukun Nikah :Mempelai pria; Mempelai wanita; Wali; 2 orang saksi laki-laki;
dan Ijab Qabul. Wali ada 3 tingkatan : wali nasab; wali hakim; dan wali mujbir.

2. Khitbah
Khitbah yaitu seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya dengan cara yang umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

3. Muharramat yang hakiki ada 3 : Muhrim Nasab, Muhrim Radha, dan Muhrim
Musahara.

4. Hak-Hak Istri yaitu Mahar; Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut'ah);
Nafkah, tempat tinggal, dan pakaian; dan Adil dalam pergaulan

5. Hak-Hak Suami diantaranya : Mematuhi suami (Taat kepada suami dan Tidak durhaka
kepada suami); Memelihara Kehormatan dan Harta Suami; Berhias untuk Suami; dan
Menjadi Partner Suami

6. Hak-Hak Berserikat Suami Istri diantaranya :Kehalalan Bersenang-senang


(bersetubuh); Saling Mewarisi; dan Mu'asyarah dengan baik

7. Pernikahan yang dilarang dalam islam diantaranya Nikah syighar, Nikah Mut’ah,
Nikah Muhallil, dan menikahi wanita dalam masa ‘iddah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muhadzdzab li Asy-Syayrazi, juz 2


Nail Al-Authar, juz 6
Prof. Dr. abdul Aziz Muhammad Azzam. Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat, (Jakarta:Amzah), 2009
Rawdhah Ath-Thalibin, juz 7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, terj,(Bandung : Al-Ma’arif), hlm.58

www.google.com

18

Anda mungkin juga menyukai