Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkawinan dalam Gereja Katolik merupakan sakramen. Sakramen
menegaskan bahwa perkawinan bukan terutama atas prakarsa manusia, tetapi Allah
sendiri yang berkarya dan menyatukan. Mereka yang telah dipersatukan oleh Allah
tidak boleh diceraikan oleh manusia. Dalam perjalanan, kehidupan perkawinan
mengalami banyak dinamika dan tantangan yang menuntut kesetiaan.

Perkawinan merupakan suatu perjalanan dan penghayatan bersama oleh dua


insan (pria dan wanita) yang saling mencintai, memilih dan mengikat diri sebagai
teman menjalani hidup dengan harapan kebahagiaan dan saling melengkapi.
Perkawinan bisa juga dikatakan sebagai kesatuan atau hubungan pria dan wanita yang
saling mencintai dan merupakan yang paling membahagiakan, sekaligus paling sulit
yang pernah dikenal manusia karena menayangkut dua pihak yang berbeda dan sama-
sama unik.

Pada zaman kita sekarang ini persoalan cerai kawin merupakan sudah hal yang
biasa kita lihat dan dengar serta dipertontonkan di berbagai media sosial, baik surat
kabar maupun elektronik. Hal ini terjadi lumrah terjadi di kalangan artis, publik figur,
bahkan keluarga-keluarga yang ‘megaku’ beriman katolik. Bahkan lebih jauh lagi,
persoalan perceraian sudah “merasuki” masyarakat kita sampai ke pelosok-pelosok
desa yang nilai budaya dan adat-istiadatnya masih kental.

Nilai kesakralan perkawinan sebagaimana dipahami sejak dahulu drastis menurun


dan luntur. Perkawinan dipandang sebatas suka atau tidak suka, cocok atau tidak
cocok, untung atau tidak menguntungkan. Jika tidak suka, tidak cocok dan tidak
menguntungkan lagi, perkawinan sering berujung pada perceraian.

Melihat banyaknya persoalan perceraian perkawinan yang terjadi belakangan ini,


maka permasalahan ini (cerai dan kawin lagi) patut mendapat perhatian kita. Oleh
karena itu, dalam tugas besar agama kali ini, kami mengambil tema tentang persoalan
perceraian dalam perkawinan.
BAB II

DASAR TEORI

1.      Berbagai Pandangan tentang Perceraian

1.1          Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan penyebab putusnya perkawinan antara pasangan suami


isteri, disamping kematian atau atas keputusan pengadilan. Perceraian umumnya
terjadi karena adanya pihak yang mengajukan (menggugat) baik dilakukan oleh pihak
pria (suami) disebut dengan Talak dan pihak wanita (isteri) yang lazim disebut dengan
gugat cerai yang disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan.

1.2          Pemahaman Perceraian dalam Agama-agama non-Kristen

Dalam agama Islam, perceraian diperbolehkan untuk dilakukan namun tetap


dibenci oleh Allah SWT. Artinya, pada dasarnya ajaran Islam tidak menghendaki
terjadinya per- ceraian antara suami-istri tetapi apabila ini merupakan jalan terbaik
bagi kedua pihak. Hal ini dilakukan agar tidak saling menyakiti dan menimbulkan
mudarat terus menerus sehingga Islam membuka peluang untuk berpisah melalui
proses perceraian.

Seperti dalam agama Islam, agama Hindu juga memperbolehkan umatnya


yang ingin bercerai. Adapun syarat-syarat perceraian ialah salah satu pihak suami atau
istri atau kedua-duanya selingkuh, atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai
suami atau istri. Masalah pengaturan perceraian ini tercantum dalam Kitab Suci Weda
(Parasaran Dharma Sastra) Bab IV ayat 13 sampai dengan ayat 17.

Dalam agama Budha, perceraian dalam perkawinan juga sangat


dimungkinkan.Alasan perceraian juga mirip dengan agama Hindu, seperti terjadi
perselingkuhan antara pasangan suami-istri, atau dengan alasan lain yaitu salah satu
antara suami atau istri atau kedua-duanya tidak dapat menjalankan kewajibannnya
sebagai mana mestinya,misalnya mengalami cacat badan atau sakit yang
berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan, atau tidak mampu melahirkan seorang
keturunan.
1.3         “Perceraian” dalam Gereja Katolik

Dalam Gereja Katolik, ada dua sifat utama dalam perkawinan, yakni
monogami/satu (unity) dan tak terceraikan (indissolubility). Sifat monogami menuntut
suami-istri untuk setia pada satu pasangan yang menjadi pilihan hidupnya. Dengan
kata lain, Gereja Katolik tidak mengakui perkawinan yang bersifat poligami atau
poliandri. Sementara sifat tak terceraikan menuntut suami-istri untuk setia terhadap
janji perkawinannya dalam keadaan apapun hingga ajal memisahkan (bdk. Kan.
1056).

Gereja Katolik tidak mengenal putusnya perkawinan atau perceraian. Dalam


Gereja Katolik hanya mengenal perpisahan dan pembatalan perkawinan. Perpisahan
dalam Gereja Katolik dibagi atas dua macam, yaitu:

a.       Perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan.

Suami-isteri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup


bersama perkawinan, kecuali jika ada alasan sah yang memuaskan mereka.
Sangat dianjurkan agar suami-isteri, demi cinta kasih Kristiani serta
keprihatinan atas kesejahteraan keluarga, tidak menolak pengampunan bagi
pihak yang berzinah, dan tidak memutuskan kehidupan perkawinan.
Kendati pun demikian jika ia belum mengampuni kesalahannya secara
tegas atau diam-diam, maka ia berhak untuk memutuskan hidup bersama
perkawinan, kecuali kalau ia menyetujui perzinahan itu, atau ia sendiri juga
berzinah.

b.     Perpisahan dengan diputuskan ikatan perkawinannya (bukan sakramen).

Perkawinan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orang-


orang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak
dibaptis, dapat diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas
permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun
pihak yang lain tidak menyetujuinya

Dari uraian tentang perpisahan di atas dapat disimpulkan bahwa perpisahan


(pemutusan ikatan nikah) ditentukan jenis perkawinan kedua pihak yang menikah.
Jika pernikahan itu dilakukan oleh dua orang yang dibaptis, maka pernikahan itu
adalah sakramen. Jika sakramen itu itu telah disempurnakan dengan persetubuhan,
maka tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apa pun,
selain kematian.

Paus Yohanes Paulus II dalam Seruan Apostolik Familiaris


Consortiomenyatakan bahwa “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan
simbol nyata dariPerjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan
sakramen, peristiwakeselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan tak
terceraikan, setia,terbuka bagi keturunannya”. Para suami dan istri Kristiani dengan
perkawinan Katolik menandakan misteri dan cinta kasih yang subur antara Kristus
dan Gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu atas kekuatan dari Tuhan, mereka itu
dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima dan mendidik anak, saling
membantu dan menjadi suci. Dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya
mereka mempunya kurnia yang khas di tengah umat Allah.
BAB III

METODOLOGI

Metodologi yang kelompok kami lakukan adalah dengan cara penelitian


kuantitatif, dan teknik pengambilan datanya berupa survey melalui media google
form. Nantinya dalam form ini, akan kami cantumkan kolom untuk mengisi data
personal narasumber, yaitu umur, pekerjaan, dan pandangan (pendapat) mereka
tentang perceraian menurut agama Katolik (nantinya akan dibuat pernyataan yang
berkaitan dengan kehidupan perkawinan,perceraian,dan perkawinan ulang dengan
respon : sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, dan sangat setuju). Form ini
akan ditujukan kepada orang-orang yang sudah menikah (secara katolik) dan kepada
para remaja (15-23 tahun)

Anda mungkin juga menyukai