VALIDITAS
( KEABSAHAN )
PERKAWINAN
Syarat-syarat sah dan tidaknya perkawinan Katolik
SAKRAMEN PERKAWINAN
Pemahaman
bebas dua pribadi.
• Kebersamaan (persekutuan) seluruh hidup Tak terceraikan.
Seumur hidup dan hidup seutuhnya.
• Demi KEJAHTERAAN seluruh hidup SUAMI-ISTERI ,
dasar keterbukaan terhadap kelahiran dan Pendidikan Anak
• Sakramen
Hukum Sipil: 19 th & 16 th . Dan memerlukan ijin orang tua jikalau sebelum genap 21 tahun
IMPOTENSIA
• Kapasitas melakukan relasi seksual khas suami-istri sangat penting untuk
“mengkonsumasi perkawinan”, untuk mewujudkan tujuan khas perkawinan:
kesejahteraan suami-istri dan kelahiran anak.
• Hubungan seksual khas suami-istri ialah persetubuhan secara manusiawi yang dari
sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk mana perkawinan itu dari kodratnya
terarahkan, dan dengan mana suami-istri menjadi “satu daging” (kan. 1061, §1).
• Syarat-syarat halangan impotensi:
• Harus ada sebelum atau mendahului perkawinan.
• Bersifat tetap.
• Mutlak atau relatif.
• Harus pasti.
ADA IKATAN NIKAH SEBELUMNYA
• Seorang yang masih terikat oleh perkawinan sah sebelumnya terhalang untuk
menikah lagi dengan sah.
Halangan ini sesuai dengan konsep perkawinan yang monogam dan tak-terputuskan.
Hukum kanonik menyebut “ikatan perkawinan sebelumnya”, bukan “ikatan
perkawinan kristiani atau katolik”. Perkawinan non-katolik atau non-baptis juga
bersifat monogam, tak-terputuskan, res sacra.
• Seseorang dikatakan “bebas” dari
• ikatan nikah (status liber), jika:
• belum pernah menikah sama sekali,
• pasangan sebelumnya meninggal dunia
• pernikahan sebelumnya sudah dianulasi oleh Gereja,
• pernikahan sebelumnya sudah diputus oleh Gereja,
• mendapat “dekret Uskup mengenai pengandaian kematian pasangan”.
BEDA AGAMA & GEREJA
• Halangan beda-agama (disparitas cultus) terjadi dalam
perkawinan antara orang katolik dan seorang non-baptis.
• Beda gereja (mixta religio) perkawinana antara orang baptis
Katolik dengan baptis gereja lain.
• Sebagai pribadi seseorang berhak menikah dengan
siapapun,termasuk yang beda-Agama.
• Kesatuan iman sangat penting dan menentukan untuk
kesejahteraan pasangan dan pendidikan anak: kesatuan cara
hidup, tatanan nilai moral spiritual religius, kedekatan cara
pandang dan cara menilai.
• Tetapi, sebagai orang beriman ia memiliki kewajiban moral
untuk melindungi diri terhadap segala sesuatu yang dapat
membahayakan imannya.
IZIN DAN DISPENSASI
• Perkawinan beda-Agama
sehingga membutuhkan dispensasi.
(disparitas cultus) adalah halangan
nikah,
PEMBERIAN DISPENSASI/ IJIN
Untuk mendapatkan dispensasi, harus ada alasan wajar; dan pihak katolik
harus:
a. Menyatakan kesediaan menjauhkan bahaya meninggalkan iman. Berjanji
secara jujur akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar
semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik.
b. Pihak non-katolik diberitahu mengenai janji-janji pihak katolik, sehingga
tahu dan sadar akan janji dan kewajiban pasangannya yang katolik.
c. Pihak katolik dan non-katolik hendaknya diajar mengenai tujuan dan ciri-
ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh mereka kecualikan.
PROSES DISPENSASI
Pastor paroki
membuat surat
halangan vikep
permohonan
dispensasi
Pastor
Forma canonika menuliskan
pada lembar
kanonik
HALANGAN KAUL /
TAHBISAN
• Tahbisan suci mengandung pengudusan dan
penugasan: selaku pribadi Kristus Sang Kepala (in
persona Christi Capitis) menggembalakan umat Allah
dengan mengajar, menguduskan, dan memimpin (kan.
1008).
• Kaul/ Tahbisan terkaitan dengan ikatan janji/ sumpah/
kaul : Kemiskinan, ketaatan dan kemurnian (selibat)
• Penahbisan men”suspensi” pelaksanaan efektif hak
untuk menikah.
Inkompatibilitas berlaku efektif selama status klerikal
masih ada dan berfungsi.
• Agar seorang klerikus dapat menikah dengan sah, ia
harus dibebaskan lebih dulu dari ikatan selibat seumur
hidup yang lahir melalui tahbisan suci (laisasi dari
Paus)
HALANGAN PENCULIKAN
• Penculikan atau penahanan dengan motif atau tujuan menikahi korban
merupakan tindak pidana melawan kebebasan manusia, dan menciptakan
halangan nikah antara penculik dan korban.
• Halangan ini ditetapkan untuk melindungi martabat perempuan dan martabat
perkawinan.
• Yang diculik atau ditahan ialah perempuan, bukan laki-laki.
• Paksaan ditujukan secara langsung terhadap perempuan yang akan dinikahi.
• Penculikan terjadi melawan kehendak perempuan.
• Penculikan atau penahanan terjadi dengan maksud untuk menikahi perempuan yang
diculik.
• Penculikan bisa dilakukan sendiri atau lewat orang lain yang diberinya perintah.
• Pihak perempuan harus memilih perkawinan itu secara bebas : dipisahkan atau
dilepaskan dari penculiknya, baik secara fisik maupun secara psikologis
HALANGAN KRIMINAL
• Halangan kriminal tercipta ketika seseorang membunuh pasangannya sendiri
untuk menikah dengan WIL/PIL, atau membunuh pasangan orang lain, untuk
menikahi.
• Perkawinan yang dilangsungkan setelah salah satu pihak membunuh
pasangannya sendiri atau pasangan orang lain, sungguh-sungguh melanggar
hukum moral secara berat.
• Pembunuh melakukan kejahatan dan ketidakadilan berat terhadap korban,
dan kejahatan melawan ikatan perkawinan orang lain.
• Tidak memiliki kemampuan rasio atau akal-budi yang memadai (kan. 1095, n. 1).
Biasanya hal ini tampak pada orang yang mengalami gangguan atau cacat mental.
• Tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menilai hak dan kewajiban
pokok perkawinan (kan. 1095, n. 2). Hal ini pada umumnya tampak dalam
ketidakmatangan atau ketidakdewasaan pribadi.
• Karena alasan psikhis tak mampu memenuhi kewajiban pokok perkawinan (kan.
1095, n. 3). Alasan psikhis di sini biasanya berupa kelainan atau penyimpangan
kejiwaan.
III. DIRAYAKAN DALAM “FORMA
KANONIKA”
Dirayakan dalam tata-laksana peneguhan
yang dituntut untuk peneguhan
perkawinan.
Tata peneguhan perkawinan dibedakan:
• forma canonica (iuridica): tata-
laksana peneguhan perkawinan
yang dituntut hukum untuk sahnya
perkawinan.
• forma liturgica: tata-laksana
upacara ibadat dalam perkawinan.
PRINSIP UMUM (kan. 1108)
Prinsip itu adalah: untuk sahnya perkawinan
dituntut bahwa perkawinan
itu harus dilangsungkan di hadapan:
1. Ordinaris, atau pastor paroki, atau
imam/diakon yang diberi delegasi/kuasa
oleh salah satu dari mereka, dan
2. Dua orang saksi
Mereka ini harus bertindak menurut
ketentuan hukum, khususnya
menanyakan dan menerima pernyataan
kesepakatan kedua mempelai.
ada dua macam saksi:
• saksi resmi (testis qualificatus) dan
• saksi umum (testis communis).