Anda di halaman 1dari 39

Sakramen Perkawinan 2

VALIDITAS
( KEABSAHAN )

PERKAWINAN
Syarat-syarat sah dan tidaknya perkawinan Katolik
SAKRAMEN PERKAWINAN

Pertemuan 1 Paham Dasar Perkawinan Katolik

Pertemuan 2 Keabsahan (validitas) Perkawinan Katolik

Pertemuan 3 Perkawinan Campur dan Beda Gereja

Pertemuan 4 Tribunal Perkawinan


• Perkawinan sebagai sebuah perjanjian → didasari kehendak

Pemahaman
bebas dua pribadi.
• Kebersamaan (persekutuan) seluruh hidup Tak terceraikan.
Seumur hidup dan hidup seutuhnya.
• Demi KEJAHTERAAN seluruh hidup SUAMI-ISTERI ,
dasar keterbukaan terhadap kelahiran dan Pendidikan Anak
• Sakramen

menuntut : kematangan biologis-seksual dan psikologis untuk mengemban hak dan


kewajiban perkawinan,

Sah / 1. Bebas dari Halangan Kanonik


2. Ada kesepakatan Nikah yang benar

Tidak sah 3. Dirayakan dalam Forma Kanonika


BEBAS DARI HALANGAN
a. Halangan USIA
b. Halangan biologis : Impotensia / Tidak mendapatkan
HALANGAN krn Hukum Ilahi
kelainan dispensasi
c. adanya ikatan perkw seblmnya
a. Beda Agama
b. Beda Gereja
Halangan bersifat religius Dapat di dispensasi
c. Ikatan kaul religious
d. Ikatan tahbisan
Halangan kehendak / Penculikan, pembunuhan, paksaan/
kejahatan ancaman
a. Hubungan darah
Halangan karena hubungan b. Hubungan semenda

Karena kebaikan publik

Pertalian Hukum Ada hubungan adopsi


USIA
• Pernikahan menuntut kematangan biologis-seksual dan psikologis untuk
mengemban hak dan kewajiban perkawinan.
• Angka usia menjadi salah satu unsur pengukur kematangan itu (meski bukan harga
mati).
• Kematangan psikologis jauh lebih penting dan menentukan daripada kematangan
biologis.
• Laki-laki genap 16 tahun, perempuan genap 14 tahun. Konferensi para Uskup bisa
menentukan angka yang lebih tinggi, namun demi halalnya perkawinan.

Hukum Sipil: 19 th & 16 th . Dan memerlukan ijin orang tua jikalau sebelum genap 21 tahun
IMPOTENSIA
• Kapasitas melakukan relasi seksual khas suami-istri sangat penting untuk
“mengkonsumasi perkawinan”, untuk mewujudkan tujuan khas perkawinan:
kesejahteraan suami-istri dan kelahiran anak.
• Hubungan seksual khas suami-istri ialah persetubuhan secara manusiawi yang dari
sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk mana perkawinan itu dari kodratnya
terarahkan, dan dengan mana suami-istri menjadi “satu daging” (kan. 1061, §1).
• Syarat-syarat halangan impotensi:
• Harus ada sebelum atau mendahului perkawinan.
• Bersifat tetap.
• Mutlak atau relatif.
• Harus pasti.
ADA IKATAN NIKAH SEBELUMNYA
• Seorang yang masih terikat oleh perkawinan sah sebelumnya terhalang untuk
menikah lagi dengan sah.
Halangan ini sesuai dengan konsep perkawinan yang monogam dan tak-terputuskan.
Hukum kanonik menyebut “ikatan perkawinan sebelumnya”, bukan “ikatan
perkawinan kristiani atau katolik”. Perkawinan non-katolik atau non-baptis juga
bersifat monogam, tak-terputuskan, res sacra.
• Seseorang dikatakan “bebas” dari
• ikatan nikah (status liber), jika:
• belum pernah menikah sama sekali,
• pasangan sebelumnya meninggal dunia
• pernikahan sebelumnya sudah dianulasi oleh Gereja,
• pernikahan sebelumnya sudah diputus oleh Gereja,
• mendapat “dekret Uskup mengenai pengandaian kematian pasangan”.
BEDA AGAMA & GEREJA
• Halangan beda-agama (disparitas cultus) terjadi dalam
perkawinan antara orang katolik dan seorang non-baptis.
• Beda gereja (mixta religio) perkawinana antara orang baptis
Katolik dengan baptis gereja lain.
• Sebagai pribadi seseorang berhak menikah dengan
siapapun,termasuk yang beda-Agama.
• Kesatuan iman sangat penting dan menentukan untuk
kesejahteraan pasangan dan pendidikan anak: kesatuan cara
hidup, tatanan nilai moral spiritual religius, kedekatan cara
pandang dan cara menilai.
• Tetapi, sebagai orang beriman ia memiliki kewajiban moral
untuk melindungi diri terhadap segala sesuatu yang dapat
membahayakan imannya.
IZIN DAN DISPENSASI

• Perkawinan campur, beda-Gereja


(mixta religio) adalah larangan
sehingga membutuhkan izin.

• Perkawinan beda-Agama
sehingga membutuhkan dispensasi.
(disparitas cultus) adalah halangan
nikah,
PEMBERIAN DISPENSASI/ IJIN

Untuk mendapatkan dispensasi, harus ada alasan wajar; dan pihak katolik
harus:
a. Menyatakan kesediaan menjauhkan bahaya meninggalkan iman. Berjanji
secara jujur akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar
semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik.
b. Pihak non-katolik diberitahu mengenai janji-janji pihak katolik, sehingga
tahu dan sadar akan janji dan kewajiban pasangannya yang katolik.
c. Pihak katolik dan non-katolik hendaknya diajar mengenai tujuan dan ciri-
ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh mereka kecualikan.
PROSES DISPENSASI

Pastor paroki
membuat surat
halangan vikep
permohonan
dispensasi

Pastor
Forma canonika menuliskan
pada lembar
kanonik
HALANGAN KAUL /
TAHBISAN
• Tahbisan suci mengandung pengudusan dan
penugasan: selaku pribadi Kristus Sang Kepala (in
persona Christi Capitis) menggembalakan umat Allah
dengan mengajar, menguduskan, dan memimpin (kan.
1008).
• Kaul/ Tahbisan terkaitan dengan ikatan janji/ sumpah/
kaul : Kemiskinan, ketaatan dan kemurnian (selibat)
• Penahbisan men”suspensi” pelaksanaan efektif hak
untuk menikah.
Inkompatibilitas berlaku efektif selama status klerikal
masih ada dan berfungsi.
• Agar seorang klerikus dapat menikah dengan sah, ia
harus dibebaskan lebih dulu dari ikatan selibat seumur
hidup yang lahir melalui tahbisan suci (laisasi dari
Paus)
HALANGAN PENCULIKAN
• Penculikan atau penahanan dengan motif atau tujuan menikahi korban
merupakan tindak pidana melawan kebebasan manusia, dan menciptakan
halangan nikah antara penculik dan korban.
• Halangan ini ditetapkan untuk melindungi martabat perempuan dan martabat
perkawinan.
• Yang diculik atau ditahan ialah perempuan, bukan laki-laki.
• Paksaan ditujukan secara langsung terhadap perempuan yang akan dinikahi.
• Penculikan terjadi melawan kehendak perempuan.
• Penculikan atau penahanan terjadi dengan maksud untuk menikahi perempuan yang
diculik.
• Penculikan bisa dilakukan sendiri atau lewat orang lain yang diberinya perintah.
• Pihak perempuan harus memilih perkawinan itu secara bebas : dipisahkan atau
dilepaskan dari penculiknya, baik secara fisik maupun secara psikologis
HALANGAN KRIMINAL
• Halangan kriminal tercipta ketika seseorang membunuh pasangannya sendiri
untuk menikah dengan WIL/PIL, atau membunuh pasangan orang lain, untuk
menikahi.
• Perkawinan yang dilangsungkan setelah salah satu pihak membunuh
pasangannya sendiri atau pasangan orang lain, sungguh-sungguh melanggar
hukum moral secara berat.
• Pembunuh melakukan kejahatan dan ketidakadilan berat terhadap korban,
dan kejahatan melawan ikatan perkawinan orang lain.

• menjaga kehormatan dan kesucian perkawinan,


• melindungi hak dan keadilan bagi orang-orang yang
sudah terikat perkawinan,
• mencegah dan menghukum perzinahan.
HALANGAN HUBUNGAN DARAH

• Dua atau lebih orang dikatakan


memiliki hubungan darah, bila
ada ikatan darah di antara
mereka yang timbul melalui
proses generatif
(kelahiran/keturunan), baik di
dalam maupun di luar
perkawinan yang sah.
HUBUNGAN SEMENDA
• Hubungan semenda tercipta ketika 2 (dua) keluarga saling
mendekatkan batas-batas kekeluargaan lewat perkawinan
anak-anak mereka.
• Hubungan semenda muncul sebagai akibat dari faktor ekstern
(ikatan perkawinan), bukan faktor intern (ikatan darah).
• Halangan “hubungan semenda” dimaksudkan untuk membela
dan menghormati iklim kekeluargaan. Jangan sampai
kedekatan yang khusus disalahgunakan untuk membangun
perkawinan baru dengan anggota keluarga yang lain dari
pasangan.
Kan. 1091, §1 menetapkan: “Tidak sahlah
perkawinan antara mereka semua yang
mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas”.
Kan. 1091, §2 : Dalam garis keturunan
menyamping, perkawinan tidak sah
sampai dengan tingkat keempat”
Halangan “hubungan darah” ditetapkan
untuk: menegakkan keutamaan pietas,
menghindarkan perkawinan incest,
membuka dan membentuk ikatan
keluarga yang lebih besar demi
perkembangan masyarakat yang sehat.
• Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam
garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat
mana pun”.
• Terhalang untuk menikah:
• Antara menantu dan mertua (garis lurus ke atas tingkat 1)
• Antara ibu dan anak tiri laki-laki (anak yang dibawa oleh
suami dari perkawinan sebelumnya), atau antara bapak
dan anak tiri perempuan.
HALANGAN KELAYAKAN PUBLIK
• Kelayakan publik adalah
hubungan terhadap saudara atau • Yang menjadi halangan adalah perkawinan
yang dicoba dilangsungkan dengan
jodoh yang tidak sah atau saudara-saudara dalam garis lurus tingkat
konkubinat. pertama.
• Garis menyamping tidak menjadi halangan.
• Mis: A dan B hidup bersama
sebagai suami istri yang tidak
sah. Maka, antara A dengan
semua saudara B tercipta suatu
relasi yang muncul dari ikatan
perkawinan tidak sah, baik dalam
garis lurus maupun menyamping.
ADOPSI

Yang menjadi halangan:


• Garis lurus, misalnya antara bapak dengan anak angkatnya
sendiri
• Garis menyamping tingkat dua, yaitu antara kakak dan adik
angkat
KEABSAHAN 2

1. Bebas dari Halangan Kanonik


2. Ada kesepakatan Nikah yang benar
3. Dirayakan dalam Forma Kanonika
2. kesepakatan Nikah yang benar

• Kesepakatan merupakan unsur pokok dari


perkawinan, bahkan kesepakatan itulah yang
‘membuat’ terjadinya perkawinan (unica causa
efficiens matrimonii).
• Kesepakatan nikah adalah suatu “perbuatan
kemauan, dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima, untuk
membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tak dapat ditarik kembali.”
• Perbuatan kemauan itu harus dilakukan oleh manusia secara
bebas dan sadar. Namun dapat juga terjadi adanya cacat
dalam bidang pengetahuan yang menghalangi kesadaran
atau kebebasan itu.
• Prinsip: kesepakatan atau konsensus hanya akan
membentuk perkawinan kalau:
• a). Sungguh-sungguh (consensus verus),
• b). Penuh (consensus plenus),
• c). Bebas (consensus liber).
Cacat kesepakatan atau konsensus mencakup:
1) kurangnya pengetahuan tentang perkawinan:
• tidak tahu (tak memiliki pengetahuan) bahwa perkawinan adalah
kesatuan tetap antara seorang pria dan seorang wanita yang terarah
kepada kelahiran anak melalui hubungan seksual yang normal (kan.
1096). Orang demikian disebut ignorans.
• orang memiliki pengertian yang salah atau keliru atas orang atau
kualitas orang yang sungguh-sunguh dan secara langsung diharapkan
(kan. 1097). Orang yang demikian biasa dikatakan mengalami error.
• karena tipu muslihat, orang melakukan kesepakatan atau konsensus
dan hal itu pada dasarnya sangat berat serta sangat mengganggu hidup
perkawinan (kan. 1098). Orang yang demikian adalah kurban dari dolus
provocatus.
2) kurangnya kemauan atau kehendak bebas untuk menikah, dan
3) kurangnya kemampuan karena gangguan emosional atau mental.
KURANGNYA KEMAUAN ATAU KEHENDAK
BEBAS APABILA:
• Kesepakatan atau konsensus yang diberikan bersyarat dengan menunjuk sesuatu
yang belum ada atau belum terjadi (kan. 1102).
• Menyatakan kesepakatan atau konsensus tetapi dalam hatinya menghendaki secara
positif hal yang berbeda atau sebaliknya (kan. 1101). Orang yang demikian
biasanya di dalam hatinya menghendaki untuk: tidak setia, tidak memiliki keturunan,
atau tidak menganggap kesatuan perkawinan itu seumur hidup. Hal ini biasa disebut
simulatio atau exclusio.
• Menyatakan kesepakatan atau konsensus karena paksaan dan ketakutan berat (kan.
1103). Hal ini biasanya disebut vis et metus gravis.
KURANGNYA KEMAMPUAN APABILA:

• Tidak memiliki kemampuan rasio atau akal-budi yang memadai (kan. 1095, n. 1).
Biasanya hal ini tampak pada orang yang mengalami gangguan atau cacat mental.
• Tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menilai hak dan kewajiban
pokok perkawinan (kan. 1095, n. 2). Hal ini pada umumnya tampak dalam
ketidakmatangan atau ketidakdewasaan pribadi.
• Karena alasan psikhis tak mampu memenuhi kewajiban pokok perkawinan (kan.
1095, n. 3). Alasan psikhis di sini biasanya berupa kelainan atau penyimpangan
kejiwaan.
III. DIRAYAKAN DALAM “FORMA
KANONIKA”
Dirayakan dalam tata-laksana peneguhan
yang dituntut untuk peneguhan
perkawinan.
Tata peneguhan perkawinan dibedakan:
• forma canonica (iuridica): tata-
laksana peneguhan perkawinan
yang dituntut hukum untuk sahnya
perkawinan.
• forma liturgica: tata-laksana
upacara ibadat dalam perkawinan.
PRINSIP UMUM (kan. 1108)
Prinsip itu adalah: untuk sahnya perkawinan
dituntut bahwa perkawinan
itu harus dilangsungkan di hadapan:
1. Ordinaris, atau pastor paroki, atau
imam/diakon yang diberi delegasi/kuasa
oleh salah satu dari mereka, dan
2. Dua orang saksi
Mereka ini harus bertindak menurut
ketentuan hukum, khususnya
menanyakan dan menerima pernyataan
kesepakatan kedua mempelai.
ada dua macam saksi:
• saksi resmi (testis qualificatus) dan
• saksi umum (testis communis).

SAKSI RESMI adalah: Ordinaris wilayah, pastor


paroki, pastor pembantu, imam/diakon-tahbisan yang diberi
kuasa.
• Kuasa untuk meneguhkan perkawinan itu, oleh pastor
yang mendapat delegasi dapat diwakilkan (disubdelegasikan)
kepada pastor siapa pun
• pastor yang diberi subdelegasi tidak
dapat mensubdelegasikan lagi (lih. Kan. 1111).
PENTINGNYA TATA PENEGUHAN (FORMA KANONIKA)

a. Menjadikan perkawinan sebuah peristiwa publik di


tengah-tengah komunitas gerejawi.
b. Klarifikasi dan kepastian adanya kesepakatan nikah,
yang saling diberikan dan diterima.
c. Melindungi hakikat dan isi perkawinan kanonik yang
khas.
PENEGUHAN BIASA:
a. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di
hadapan:
➢ Ordiinaris wilayah: Pastor-paroki, atau yang sama
dengan Pastor-paroki
➢ Imam atau diakon yang mendapat delegasi dari
Ordinaris wilayah atau Pastor-paroki di atas.
b. Dan dilakukan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
PENEGUHAN LUAR BIASA:

a) Perkawinan dilangsungkan secara sah dan licit di hadapan


saksi-saksi saja, dengan syarat:
✓ Peneguh yang berwenang menurut hukum tidak dapat
ada atau tidak dapat dikunjungi, tanpa kesulitan besar,
✓ Salah satu atau kedua mempelai dalam bahaya maut,
✓ Di luar bahaya maut, asalkan diperkirakan dengan arif
bahwa keadaan itu akan terhambat berlangsung selama 1
(satu) bulan.
b) Jika ada imam atau diakon lain yang dapat hadir,
haruslah ia dipanggil dan bersama para saksi
menghadiri perayaan perkawinan, tanpa mengurangi
sahnya perkawinan di hadapan dua orang saksi saja.
Delegasi menyusul.
PENEGUHAN NIKAH ORANG-ORANG YANG DIBAPTIS NON KATOLIK:

a. Gereja katolik mengakui setiap forma perayaan perkawinan


yang diperintahkan atau diterima di dalam gereja atau
komunitas gerejawi non-katolik di mana pihak-pihak yang
menikah menjadi anggotanya pada waktu pernikahan
diteguhkan, asalkan, bila sekurang-kurangnya salah satu dari
mereka adalah anggota Gereja Timur non-katolik,
perkawinan diteguhkan dengan ritus suci (Dignitas Connubii,
art. 4)
b. Ini berarti: hakim gerejawi bisa memeriksa sah-tidaknya
perkawinan orang-orang kristen non-katolik dari sudut tata-
peneguhan di gereja kristen tersebut.
RITUS:
(a) Antara 2 orang katolik: normalnya dalam perayaan Ekaristi.
(b) Antara seorang katolik dan seorang yang dibaptis non-katolik:
❖ Dengan non-katolik dari ritus Timur: boleh dalam Misa, dan
pihak non-katolik bisa menerima komuni.
❖ Dengan kristen non-katolik: ibadat Sabda, tanpa Misa. Dalam
kasus tertentu Ordinaris wilayah dapat mengizinkannya,
dengan menaati kan. 844 (communicatio in sacris).
c) Antara seorang katolik dan non-baptis: tanpa
perayaan Ekaristi.
d) Dengan seorang katekumen atau antara 2 orang
katekumen: ritus khusus atau ibadat Sabda tanpa
Misa.
e) Tidak ada upacara liturgis apapun untuk
perkawinan kedua secara sipil saja, yang belum bisa
disahkan secara kanonik (bdk. FC, 84).
RUMUS UPACARA:

a) Di luar keadaan mendesak, dalam merayakan


perkawinan hendaknya ditepati ritus yang ditentukan
dalam buku-buku liturgi, yang disetujui oleh Gereja atau
diterima oleh kebiasaan yang legitim (kan. 1119).
b) Peneguh perkawinan adalah orang yang hadir
menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta
menerimanya atas nama Gereja (kan. 1108, §2).
c) Hukum kanonik menuntut kehadiran dan partisipasi
aktif dari peneguh nikah. Karena itu, untuk
pernyataan kesepakatan nikah hendaknya digunakan
format tanya-jawab menurut buku liturgi.
Sedangkan bagian-bagian lain bisa divariasi atau
dikreasi oleh kedua mempelai. Peneguh nikah
hendaknya memeriksa teks upacara perkawinan
yang akan digunakan.

Anda mungkin juga menyukai