Anda di halaman 1dari 32

Perkawinan Dalam

Adat.
Pengertian Perkawinan dalam Adat
Halangan Perkawinan dalam Adat
Jenis-Jenis Perkawinan
PERKAWINAN
• Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan
devinisi perkawinan sebagai berikut:
• “Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria
dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ .
• Apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkawinan adat.
Ini adalah suatu bentuk hidup bersama yang lenggeng lestari
antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan
adat dan yang diarahkan pada pembantu dan keluarga.
Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini,
maka menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia
perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata
tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi
terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata
membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan,
seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama
kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan
kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan
larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
Tuhannya (Ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia
(Mu’Amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan
selamat di Akhirat.
• Oleh karenanya, Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat
mengatakan:
• Menurut Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan
kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan
urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat” (Imam
Sudiyati : 1991:17).
• Demikian pula diketengahkan oleh Teer Haar menyatakan
bahwa :
• Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi”. (Hilman
Hadikusuma : 2003 : 8).
• Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana
dikemukakan oleh Van Vollenhoven bahwa :
• Dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan
kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan
dunia diluar dan diatas kemampuan manusia” (Hilman
hadikusuma, 2003: 9 ).
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” ialah perkawinan yang
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah
ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan
adanya hubungan pelamaran yang merupakan “Rasa Senak”
(hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “Rasa Tuha” (hubungan
orang tua keluarga dari pada calon suami istri). Setelah
terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan
kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga , kerabat
menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan
upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
memelihara kerukunan, keutuhan dan kelenggengan dari
kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.
• Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum
“Perikatan Adat”. Seperti tentang kedudukan suami atau
kedudukan istri, begitu pula tentang kedudukan anak dan
pengangkatan anak, kedudukan anak tertua anak anak
penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain ; dan
harta perkawinan tergantung pada bentuk dan sistim
perkawinan adat setempat.

Dari berbagai penjelasan diatas telah ditarik suatu kesimpulan
bahwa, bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh
mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk
dan sistim yang berlaku dalam masyarakat, Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tidak mengaturnya, hal mana berarti
terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat
yang bersangkutan, asal saja segala sesuatunya tidak
berkepentingan dengan kepentingan umum, Pancasila dan
Undang-Undang Dasar tahun 1945. dengan demikian
perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” walaupun
dilangsungkan antara adat yang berbeda, tidak akan seberat
penyelesaiannya dari pada berlangsungnya perkawinan yang
bersifat antar agama, oleh karena perbedaan adat yang hanya
menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan.
Sistem Perkawinan Adat.
• Sistem Perkawinan Adat
• Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :
• Sistim Endogami
• Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan
seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri.
• Sistim Eksogami
• Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang
melakukan perkawinan dengan seorang dari luar suku
keluarganya.
• Sistim Eleutherpgami
• Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau
keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun
exogami.
• Laragan yang terdapat dalam sistim ini adalah larangan
yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu
larangan karena :
• Nasab ( =turunan dekat ), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak
kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga
dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
• Musyaharah (=per iparan) seperti kawin dengan ibu tiri,
menantu, mertua anak tiri.
Asas-Asas Perkawinan Adat
• Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut :
• perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan
kekal.
• Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat
pengakuan dari para anggota kerabat.
• Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota
keluarga dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat
menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
masyarakat adat.
Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan
beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing
ditentukan menurut hukum adat setempat.
Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum
cukup umur atau masih anak anak. Begitu pula walaupun sudah
cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/
keluarga dan kerabat.
Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh.
Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya
kekerabatan antara kedua belah pihak. Keseimbangan
kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum
adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu
rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
• Asas- asas perkawinan menurut UU No. 1 th 1974
• Asas- asas yang terkandung dalam UU perkawinan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UU ini harus
dapat mewujudkan prinsip- prinsip yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945, dan harus dapat menampung segala
yang hidup dalam masyarakat. Asas- asas ini tercantum dalam
pada penjelasan umum UU perkawinan.
• Asas- asas yang tercantum adalah :
• Bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi, keduanya dapat mengembangkan
kepribadian untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat
material dan spiritual.
• Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya, dan di samping itu tiap-
tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan yang
berlaku.
• Perkawinan harus memenuhi administrasi dengan jalan
mencatatkan diri pada kantor pencatatan yang telah
ditentukan oleh perundang- undangan.
• Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat
mutlak karena masih ada kemungkinan untuk beristri lebih
dari seorang, bila dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan dan ajaran agamanya mengijinkan untuk itu
ketentuan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam undang- undang.
• Perkawinan dilakukan oleh pihak yang telah matang jiwa
raganya atau telah dewasa, kematangan ini sesuai dengan
tuntutan jaman di mana baru dilancarkan keluarga berencana
dalam rangka pembangunan nasional.
• Memperkecil dan mempersulit perceraian.
• Kedudukan suami istri dalam kehidupan perkawinan adalah
seimbang baik kehidupan rumah tangga maupun dalam
kehidupan masyarakat.
Bentuk-Bentuk Perkawinan
Adat.
• Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk-
bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu
• Perkawinan Pinang
• Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan
perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau
melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada
wanita untuk menjalin perkawinan.
• Perkawinan Lari Bersama
• Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan
atas persetujuan kedua belah pihak untuk menghindarkan diri
berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua
lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
• Kawin Bawa Lari
• Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan
seorang wanita secara paksa.
• Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan
menjadi 3 bentuk, yaitu:
• Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
• Perkawinan Jujur
• Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur.
Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang
diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat,
dan persekutuannya.
• Perkawinan Mengabdi
• Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat
memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita, Maksud perkawinan
dilaksanakan dengan pembayaran perkawinan dihutang atau
ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria tidak usah
melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai
utangnya lunas.
• Perkawinan Mengganti/ Levirat
• Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-
laki almarhum suaminya, Bentuk perkawinan ini adalah
sebagai akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah
dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur.
Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di
Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di
Jawa dikenal dengan “medun ranjang”.
• Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
• Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara
perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa
pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap
meneruskan fungsi dari istri pertama.
• Tujuan perkawinan ini :
• Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar
kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu
tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga
kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan
perkawinan “Ngarang wulu”
Perkawinan Pertalian Anak
• Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang dilakukan
“tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
• Perkawinan Ambil Anak
• Yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur, yaitu
dengan menganggkat si suami sebagai anak laki-laki mereka,
sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami telah
menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang
lahir kelak akan menarik garis keturunan ayahnya.
• Alasan dilakukannya perkawinan Ambil Anak karena dalam
masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga
hubungan patrilinealnya akan punah.
• Maka menantu laki-laki diangkat sebagai anak, sebagai cucu-
cucunya dapat meneruskan garis kekeluargaannya yang dapat
patrilineal.
• Perkawinan ambil anak dapat berbentuk :
• Perkawinan ambil anak :
• Yaitu perkawinan antara seorang pemuda dari luar
persekutuan , dengan anak gadis seorang pejabat si pemuda
diadopsi menjadi anak angkat, agar menantu laki-laki yang
telah diadopsi dapat meneruskan kebesaran dan menerima
warisan
• Contoh :
• Perkawinan Semedo Tambil Anak ( di daerah Lampung ).
• Dimana seorang pejabat kebesaran adat hanya mempunyai
anak perempuan dari bini baru (istri tuanya) , maka untuk
mempertahankan kebesarannya dalam kerabatnya yang
patrilineal, dilakukan perkawinan ambil anak.

• Perkawinan Tegak-Tegik
• Yaitu perkawinan antara anak perempuan dari clan yang
bersistem patrilineal dengan kemenakan laki-laki yang dijadikan
anak angkat, agar menantu laki-laki yang dijadikan anak angkat
laki-laki itu, dapat menerima warisan yang kelak diteruskan
kepada cucunya.

• Perkawinan Jeng Mirul
• Yaitu perkawinan yang menyebabkan suami beralih menjadi
anggota kerabat istri karena suami dijadikan anak angkat.
Sehingga suami menjadi wakil mutlak bagi anak-anak nya untuk
mengawasi harta peninggalan.

• Perkawinan meminjam Jago
• Yaitu perkawinan dimana suami tidak beralih kedalam
clan si istri. Suami hanya ditoleransikan sebagai
penyambung keturunan. Suami berkedudukan sebagai
orang menumpang, Anak anaknya masuk clan ibu nya
• Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal (Semenda)
• Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tata tertib
garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri
tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
• Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap
tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan
kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar.
• Anak-anak yang akan dilahirkan termasuk dalam clan ibunya
yang matrilineal.
• Bentuk perkawinan pada masyarakat Parental
• Yaitu bentuk perkawinan yang mengakibatkan bahwa pihak
suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi anggota
kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya
yang lahir kelak dan seterusnya.
• Perkawinan anak- anak
• Yaitu perkawinan antara seorang pemuda dengan seorang
gadis di mana usianya masih di bawah umur (belum dewasa).
Maka setelah perkawinan dilangsungkan, hidup bersama
antara kedua mempelai sebagai suami istri ditaguhkan sampai
mereka sudah dewasa.
• Perkawinan anak ini sudah banyak yang menetang dari
berbagai pihak karena juga tidak sesuai dengan moril undang-
undang dasar 1945, begitu juga bertentangan dengan UU
perkawinan, karena seorang anak telah direbut kebebasannya
dalam segala hal.
Larangan Perkawinan Dalam
Hukum Adat.
• Beberapa larangan dalam hukum perkawinan adat, sebagai
berikut :

• 1. Karena hubungan kekerabatan, larangan perkawinan karena
ikatan hubungan kekerabatan dapat terlihat dalam hukum
adat Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang
terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan
yang satu marga. Jika di Timor disebutkan bahwa dilarang
terjadi perkawinan terhadap anak yang bersaudara dengan
ibu. Pada masyarakat adat Minangkabau disebut bahwa laki-
laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku.

• 2. Karena perbedaan kedudukan, Dilarangnya perkawinan
karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat
yang masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki
dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari
golongan rendah atau sebaliknya. Pada zaman sekarang, sudah
banyak terjadi perkawinan antara orang dari golongan
bermartabat rendah dengan mereka yang bermartabat tinggi,
atau sebaliknya. Masalah perkawinan yang timbul dari
perbedaan kedudukan ini sering mengakibatkan adanya
ketegangan dalam kekerabatan. Namun jika dititik hukum adat
bersifat luwes, maka tidak tertutup kemungkinan berikutnya
bagi penyelesaian masalah perkawinan tersebut secara adat
pula. Dalam hal ini yang sulit adalah penyelesaian masalah
perkawinan yang menyangkut keagamaan atau kepercayaan,
seperti aturan dalam agama Hindu.
• 3. Karena perbedaan agama, perbedaan agama ini dapat terjadi menjadi
penghalang terjadinya suatu perkawinan antara laki-laki dengan
perempuan.

• Hukum islam menentukan juga tentang larangan melakukan perkawinan


dalam masa “iddah“, yaitu masa tunggu bagi seorang perempuan yang
cerai dari suaminya untuk dapat melakukan perkawinan lagi, hal agar
dapat diketahui apakah perempuan ini mengandung atau tdak. Jika
perempuan itu mengandung, maka ia diperbolehkan kawin lagi setelah
anaknya lahir; apabila ia tidak mengandung, maka ia harus menunggu
selama 4 bulan 10 hari jika bercerai karena suami meninggal dunia atau
selama 3 (tiga) kali suci dari haid jika dikarenakan cerai hidup.

Anda mungkin juga menyukai