Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dan layak dilakukan oleh setiap
manusia yang siap secara lahir dan batun, serta memiliki rasa tanggungjawab dalam membangun
suatu rumah tangga.
Menikah adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban
serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya
bukan muhrim. Setelah diadakan pernikahan maka menjadi halal antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim.Menikah bukan suatu penghalang dalam kehidupan manusia,
tapi justru berfungsi membangun kehormatan pergaulan dalam rumah tangga yang dibina oleh
suami dan istri.
Banyak corak dan cara pernikahan yang terjadi di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari
masyarakat adat yang ada di Indonesia yang jumlahnya tidak hanya 1,2 dan 3, tapi banyak adat
dalam melakukan pernikahan di Indonesia.Meskipun zaman sudah serba modern tapi cara
perkawinan dan corak perkawinan adat tidak dilupakan begitu saja. Hal ini dikarenakan sudah
terjadi secara turun-temurun dari nenek moyang sampai sekarang ini. Maka dari itu penulis
mengambil judul Perkawinan Adat di Indonesia
B. Rumusan Masalah
Adapun rumuasan maslah berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian perkawinan menurut hukum adat?
b. Bagaimana sistem perkawinan adat yang ada di Indonesia?
c. Apa saja asas-asas perkawinan dalam masyarakat adat Indonesia?
d. Bagaimana hukumnya perkawinan anak-anak di Indonesia?
e. Apa yang menyebabkan terjadinya suatu perceraian dan bagaimana tata perceraian masyarakat
di Indonesia jika di komparasikan dengan hukum perdata Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan secara tarif adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim.1
Perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkankebahagiaan hidup
keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.2
Menurut Undang-undang perkawinan (undang-undang no. 1 tahun 1974) pengertian perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Arti Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut hubungan antara
kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak mempelai
seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai.
Menurut M.M. Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan
suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan
suatu paguyuban.3
Hukum Adat Perkawinan
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bentuk-bentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.4
Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang
berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu juga
sudah mengalami pergeser dan jyga telah terjadi perkawinan campuran antar suku, adat istiadat.
Misalnya perkawinan antara Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Aliya yang merupakan
perkawinan campuran antara adat Palembang dengan adat Jawa.Walaupun sudah berlaku

undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku di seluruh Indonesia, namun di
berbagai daerah dan berbagai golongan masih berlaku hukum perkawinan adat. Undang-undang
No. 1 tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal mengatur tentang dasar-dasar
perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian
perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya
perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di dalam undangundang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan, upacara-upacara
perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak
terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap
dan boleh diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.
B. Bentuk-bentuk Perkawinan
Dalam hal ini susunan masyarakat di Indonesia terdapat banyak perbedaan, ada yang bersifat
patrilinial, matrilinial, parental dan campuran. Dari sini juga terdapat bentuk-bentuk perkawinan
yang berbeda pula. Adapun bentuk-bentuk perkawinan yang ada dalam masyarakat adat di
Indonesia ini antara lain:5
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang). Pada
umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan keturunan garis
bapak. Yakni perkawinan yang terdapat dalam masyarakat adat Gayo (unjuk), Batak(boli, tuhor,
parunjuk, pangoli), Nias(beuli niha), Lampung(segreh,seroh,daw adat), Bali, Timor(belis,welie),
Maluku(beli,wilin). Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh pihak kerabat (marga,suku) calon
suami kepada pihak kerabat calon istri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita
keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam
persekutuan hukum suaminya. Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan
kerabat suami, hidup matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan
menetap diam di pihak kerabat suaminya.begitu pula anak-anaknya dan keturunannya
melanjutkan keturunan suami dan harta kekayaan yang di bawa si istri semuanya dikuasai oleh
suami, kecuali ditentukan oleh pihak istri.
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat pantang cerai. Jadi senang atau
susah selama hidupnya istri di bawah kekuasaan kerabat suami. Jika suami wafat maka istri

harus melakukan perkawinan dengan saudara suami. Jika istri wafat maka suami harus kawin
lagi dengan saudara istri. Jika perkawinan antara suami dengan saudara istri dan istri dengan
saudara suami tidak disetujui, maka perkawinan dapat dilakukan dengan orang lain di luar
kerabat, namun orang yang di luar kerabat itu harus tetap menggantikan suami atau istri yang
wafat itu dalam kedudukan hukum adatnya.
Menurut hukum Islam pembayaran jujur tidak sama dengan mas kawin. Uang jujur adalah
kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat
wanita untuk dibagikan pada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak wanita, sedangkan mas kawin
adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria
untuk mempelai wanita yang sifatnya pribadi. Uang jujur tidak boleh dihutangkan sedangkan
mas kawin boleh dihutangkan.
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada hukumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam
rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari
perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku di
minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.
Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan
hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku. Adapun bentuk
perkawinan semenda yakni:6
a) Semanda raja-raja
Suami dan istri berkedudukan sama
b) Semanda lepas
Suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal)
c) Semanda bebas
Suami tetap pada kerabat orang tuanya
d) Semanda nunggu
Suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai
dapat mandiri
e) Semanda ngangkit
Suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak

mempunyai keturunan anak wanita


f) Semanda anak daging
Suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi
seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda burung.
Di daerah Bengkulu, perkawinan semanda dibedakan semanda beradat dan semanda tidak
beradat. Semanda beradat ialah bentuk perkawinan semanda di mana pihak pria membayar uang
adat kepada kerabat wanita. Sedangkan semanda tidak beradat ialah pihak pria tidak membayar
uang adat, karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita. Di daerah Lampung beradat
pesisir terdapat istilah semanda mati tunggu mati manuk, di mana suami mengabdi di tempat
istri.
Bentuk perkawinan semanda ini tidak berlaku lagi di Indonesia sejak berlakunya UU No. 1 tahun
1974. Yang masih berlaku adalah bentuk perkawinan semanda raja-raja, semanda nunggu,
semanda bebas, semanda ngangkit karena tidak ada penerus keturunan wanita atau dalam
masyarakat patrilinial semanda ngiken untuk meneruskan keturunan laki-laki bagi keluarga yang
tidak mempunyai anak lelaki sebagai penerus keturunan. Pada umumnya dalam bentuk
perkawinan semanda kekuasaan pihak istri yang lebih berperanan, sedangkan suami tidak
ubahnya sebagai istilah nginjam jago (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan
kurang tanggung jawab dalam keluarga.
c. Perkawinan Bebas (mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan) seperti berlaku di kalangan masyarakat
Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, Sulawesi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan UU
No. 1 tahun 1974, di mana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang
tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (sangu) bagi
kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga
harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat,
petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga
anaknya yang sudah menikah. Di dalam masyarkat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti
suami apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi
perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal

ini bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun
masyarakat matrilinial.
d. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan
istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang perkawinan nasional tidak mengatur hal
demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU No. 1 tahun 1974. Terjadinya perkawinan
menimbulkan maslah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan
apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau
hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam
perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya,
sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.
Menurut hukum adat Batak apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antar suku, adat
dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan marsileban, yaitu pria atau wanita yang
bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat batak
dalam ruang lingkup dalihan na tolu. Jika calon suami orang luar adata Batak maka masuk ke
dalam warga adat hula-hula, dan apabila calon istri yang dari luar adat Batak, maka harus
diangkat ke dalam warga adat namboru. Sehingga perkawinan adat tetap di dalam jalur
assymmetrisch connubium
Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar perkawinannya itu sh maka salah
satu dari keduanya harus mengalah salah satu yakni dengan cara masuk kedalam salah satu
agama si calon suami atau si calon istri. Menurut agama Islam perkawinan campuran antar
agama di mana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan agama yang dianutnya, maka
Islam hanya membolehkan pria Islam kawin dengan wanita beragama lain. Di dalam agama
Kristen Katolik boleh terjadi perkawinan di mana suami dan istri tetap mempertahankan agama
yang dianutnya, hanya saja dengan perjanjian suami atau istri yang beragama Katolik harus
berjanji akan mendidik anak-anaknya ke dalam Katolik.7
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat
Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod,
merangkat), Bugis (silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan

melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara
perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan
berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian
tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah ditentukan
melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat
kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya
berjalan menurut tata tertib adat berlarian.
Perkawinan lari paksaan (Belanda: schaak-huwelijk, lampung:dibembangkan, ditekep,
ditenggang, Bali:melegandong) adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan
paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat
berlarian.
Perkawinan lari bersama biasanya dilakukan dengan mengikuti tata tertib adat berlarian
setempat. Di kalangan masyarakat Lampungberadat pepadun setidaknya-tidaknya gadis yang
pergi berlarian harus meninggalkan tanda kepergiannya berupa surat atau sejumlah uang, pergi
menuju ke tempat kediaman kepala adat bujang, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan
kerabat dan mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan maaf dan memohon penyelesaian
yang baik dari pihak kerabat wanita, lalu diadakan perundingan kedua pihak.
Di lingkungan Dayak Ngaju Kalimantan berlaku adat si gadis mendatangi rumah bujang untuk
memaksakan perkawinan atau sebaliknya si bujang mendatangi rumah gadis dengan membawa
barang-barang pemberian meminta diakwinkan, jika pihak gadis menolak atau pihak gadis harus
mengganti senilai barang pemberiannya dan dapat pula terjadi si bujang ketika berada di rumah
gadis dikurung sampai pagi lalu gadis memaksa untuk dikawinkan dengan pemuda itu.
C. Asas-asas Perkawinan
Asas- asas yang terkandung dalam UU perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD
1945, maka UU ini harus dapat mewujudkan prinsip- prinsip yang terkandung dalam
Pancasiladan UUD 1945, dan harus dapat menampung segala yang hidup dalam masyarakat.
Asas- asas ini tercantum dalam pada penjelasan umum tiga UU perkawinan.
Asas- asas yang tercantum adalah :
1. Bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi, keduanya dapat mengembangkan kepribadian untuk

mencapai kesejahteraan yang bersifat material dan spiritual.


2. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan
kepercayaannya, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan
yang berlaku.
3. Perkawinan harus memenuhi administrasi dengan jalan mencatatkan diri pada kantor
pencatatan yang telah ditentukan oleh perundang- undangan.
4. Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat mutlak karena masih ada
kemungkinan untuk beristri lebih dari seorang, bila dikehendaki olehpihak- pihak yang
bersangkutan dan ajaran agamanya mengijinkan untuk itu ketentuan harus memenuhi ketentuanketentuan yang diatur dalam undang- undang.
5. Perkawinan dilakukan oleh pihak yang telah matang jiwa raganya atau telah dewasa,
kematangan ini sesuai dengan tuntutan jaman di manabaru dilancarkan keluarga berencana dalam
rangka pembangunan nasional.
6. Memperkecil dan mempersulit perceraian.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan perkawinan adalah seimbang baik kehidupan rumah
tangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

D. Sistem Perkawinan Adat


Dalam suatu masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan, di mana masing-masing sistem
mempunyai pengaruh tersendiri terhadap status anak, waris, kedudukan anak di dalam suatu
masyarakat adat, adapun sistem perkawinan tersebut adalah:
Sistem perkawinan adat antara lain sebagai berikut:8
a. Sistem Endogami
Sistem endogami adalah suatu perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang menikah,
harus berasal dari keluarganya sendiri atau marganya sendiri.
b. Sistem Exogami
Sistem exogami adalah suatu sistem perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang
menikah dengan orang lain yang berasal dari suku atau marga lain.
c. Sistem Eleuxthrogami
Sistem eleuxthrogami adalah suatu sistem perkawinan yang menganut sistem endogami dan
exogami. sistem ini tidak mengenal larangan-larangan maupun keharusan-keharusan. Adapun

larangan-larang dalam sistem ini adalah larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan.
Larangan-larangan tersebut adalah yang berkaitan dengan nasab di mana dilarang menikah
dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Di samping
larangan nasab ada juga larangan musyarahah (periparan) yakni dilarang menikahi ibu tiri,
menantu, mertua dan anak tiri.
Sistem Perkawinan Adat di Lampung.
Menurut ketentuan-ketentuan adat system perkawian masyarakat Lampung Saibatin yang
menganut garis keturunan Bapak (Patrachaat) menganut 2 sistem pokok yaitu :
1. Sistem Perkawian Nyakak Atau Matudau
Sistem ini disebut juga sistem perkawina Jujur karena lelaki mengeluarkan uang untuk
membayar jujur/Jojokh (Bandi Lunik) kepada pihak keluarga gadis (calon istri).
Sistem nyakak atau mantudau dapat dialksanakan dua cara:
Cara Sabambangan
Cara ini si gadis dilarikan oleh bujang dari rumahnya dibawa rumah adat atau rumah si bujang.
Biasanya pertama kali sampai si gadis ditempat si bujang dinaikan kerumah kepala adat atau
jukhagan baru di bawa pulang kerumahnya oleh keluarga si bujang. Ciri bahwa si gadis
nyakak/mentudau si gadis meletakkan surat yang isinya memberitahu orang tuanya kepergiannya
Nyakak atau mentudau dengan seorang bujang (dituliskan Namanya), keluarganya,
kepenyimbangannya serta untuk menjadi istri keberapa, selain itu meninggalakan uang pengepik
atau pengluah yang tidak ditentukan besarnya, hanya kadang-kadang besarnya uang pengepik
dijadikan ukuran untuk menentukan ukuran uang jujur (bandi lunik). Surat dan uang diletakkan
ditempat tersembunyi oleh si gadis. Setelah gadis sampai di tempat keluarga si bujang, kepala
adat pihak si bujang memerintahkan orang-orang adat yang sudah menjadi tugasnya untuk
memberi kabar secara resmi kepada pihak keluarga si gadis bahwa anak gadisnya yang hilang
telah berada di kelaurga mereka dengan tujuan untuk dipersunting oleh salah satu bujang anggota
mereka. Mereka yang memberitahu ini membawa tanda-tanda mengaku salah bersalah ada yang
menyerahkan Kris, Badik dan ada juga dengan tanda Mengajak pesahabatan (Ngangasan, Rokok,
Gula, Kelapa,dsb) acara ini disebut Ngebeni Pandai atau Ngebekhi tahu. Sesudah itu berarti
terbuka luang untuk mengadakan perundingan secara adat guna menyelesaikan kedua pasangan
itu.Segala ketentuan adat dilaksankan sampai ditemukan titik kemufakatan, kewajiban, pihak

bujang pula membayar uang penggalang sila ke pihak adat si gadis.


Cara Tekahang (Sakicik Betik)
Cara ini dilakukan terang-terangan. Keluarga bujang melamar langsung si gadis setelah
mendapat laporan dari pihak bujang bahwa dia dan si gadis saling setuju untuk mendirikan
rumah tangga pertemuan lamaran antara pihak bujang dan si gadis apabila telah mendapat
kecocokan menentukan tanggal pernikahan tempat pernikahan uang jujur, uang pengeni jama
hulun tuha bandi balak (Mas Kawin), bagaimana caranya penjemputan, kapan di jemput dan
lain-lain. Yang berhungan dengan kelancaran upacara pernikahan.Biasanya saat menjemput
pihak keluarga lelaki menjemput dan si gadis mengantar.Setelah samapi ditempat sibujang,
pengantin putri dinaikan kerumah kepala adat/ jukhagan, baru di bawa pulang ketempat si
bujang.Sesudah itu dilangsungkan acara keramaian yang sudah dirancanakan. Dalam sistem
kawin tekhang ini uang pengepik, surat pemberian dan ngebekhitahu tidak ada, yang penting
diingat dalam sistem dalam nyakak atau mentudau kewajiban pihak pengantin pria adalah :
a. Mengeluarkan uang jujur (bandi Lunik) yang diberitahukan kepada pihak pengantin wanita.
b. Pengantin membayar kontan mas kawin mahar (Bandi Balak). Kepada si gadis yang sesuai
dengan kemufakatan si gadis dengan sibujang.keluarga pihak pria membayar uang penggalang
silaKepada kelompok adat si gadis
c. Mengeluarkan Jajulang / Katil yang berisi kue-kue (24 macam kue adat) kepada keluarga si
gadis jajulang/katil ini duhulu ada 3 buah yaitu : Katil penetuh Bukha Katil Gukhu Ngaji Katil
Kuakha Sekarang keadaan ekonomi yang susah katil cukup satu.
d. Ajang yaitu nasi dangan lauk pauknya sebagai kawan katil.
Memberi gelar / Adok kepada kedua pengantin sesuai dengan strata pengantin pria, sedangkan
dari pihak gadis memberi barang berupa pakaian, alat tidur, alat dapur, alat kosmetik, dan lain
sebagainya. Barang ini disebut sesan atau benatok, Benatok ini dapat diserahkan pada saat
manjau pedom sedangkan pada sistem sebambangan dibawa pada saat menjemput, pada sistem
tekhang kadang-kadang dibawa belakangan.

2. Sistem Perkawinan Cambokh Sumbay.


Sistem perkawinan Cambokh Sumbay disebut juga Perkawianan semanda, yang sebenarnya
adalah bentuk perkawinan yang calon suami tidak mengeluarkan jujur (Bandi lunik) kepada
pihak isteri, sang pria setelah melaksanakan akad nikah melepaskan hak dan tanggung jawabnya

terhadap keluarganya sendiri dia bertanggung jawab dan berkewajiban mengurus dan
melaksankan tugas-tugas di pihak isteri. Hal ini sesuai dengan apa yang di kemukakan Prof. Hi.
Hilman Hadi kusuma, :Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa membayar jujur
dari pihak pria kepad pihak wanita, setelah perkawinan harus menetap dipihak kerabat istri atau
bertanggung jawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri
Di masyarakat Lampung saibatin kawin semanda (Cambokh Sumbay) ini ada beberapa macam
sesuai dengan perjanjian sewaktu akad nikah antara calon suami dan calon isteri atau pihak
keluarga pengantin wanita.
Dalam perkawinan semanda/ Cambokh sumbay yang perlu diingat adalah pihak isteri harus
mengeluarkan pemberian kepada pihak keluarga pria berupa :
a. Memberikan Katil atau Jajulang kepada pihak pengantin pria
b. Ajang dengan lauk-pauknya sebagai kawan katil.
c. Memberikan seperangkat pakaian untuk pengantin pria.
d. Memberi gelar/adok sesuai dengan strata pengantin wanita.
Sedangkan Bandi lunik atau jujur tidak ada sedangkan Bandi Balak atau maskawin dapat tidak
kontan (Hutang). Pelunasannya etelah sang suami mampu membayarnya. Termasuk uang
penggalang Silapun tidak ada,Selain dari kedua sistem perkawinan diatas ada satu sistem
perkawinan yang banyak dilakukan oleh banyak orang pada era sekarang. Akan tetapi bukan
yang diakui oleh adat justru menentang atau berlawanan dengan adat system ini adalah Sistem
Kawin Lari atau kawin Mid Naib Sistem perkawinan ini maksudnya adalah lari menghindari
adat, Lari dimaksud disini tidak sama denga Sebambangan, Karena sebambangan lari di bawa ke
badan hukum adat atau penyimbang, sedangkan kawin lari ini adalah si gadis melarikan bujang
ke badan huku agama islam yaitu Naib (KUA) untuk meminta di nikahkan, masalh adat tidak
disinggung-singgung, penyelesaian kawin seperti ini tidak ada yang bertanggung jawab secara
adat, sebab kadang-kadang keluarga tidak mengetahui hal ini, penyelesaian secara adat biasanya
setelah akad nikah berlangsung apabila kedua belah pihak ada kecocokan masalah adatnya,
antara siapa yang berhak anatara keduanya perempuan Nyakak/mentudau atau sang pria
Cambokh Sumbay /Semanda.Kawin lari seperti ini sering dilakukan karena antara kedua belah
pihak tidak ada kecocokan dikarnakan beberapa hal diantaranya :
a. Sang Bujang belum mampu untuk berkeluarga sedangkan si Gadis mendesak harus di
nikahkan secepatnya karena ada hal yang memberatkan Si gadis.

b. Kawin lari semacam ini dilakukan karena keterbatasan Biaya, apabila perkawinan ini
dilakukan secara adat atau dapat pula di simpulkan untuk menghemat biaya.
Macam-macam sistem perkawinan Cambokh Sumbay/Semanda :
a. Cambokh Sumabay Mati manuk Mati Tungu, Lepas Tegi Lepas Asakh. Cambokh Sumbay
seperti ini merupaka cambokh sumbay yang murni karene Sang Pria datang hanya membawa
pakaian saja, segala biaya pernikahan titanggung oleh si Gadis, anak keturunan dan harta
perolehan bersama milik isteri sang pria hanya membantu saja, apabila terjadi perceraian maka
semua anak, harta perolehan bersama milik sang isteri, suami tidak dapat apa.
b. Cambokh Sumbay Ikhing Beli, cara semacam ini dilakukan karena Sang Bujang tidak mampu
membayar jujur (Bandi Lunik) yang diminta sang Gadis, pada hal Sang Bujang telah Melarika
Sang Gadis secara nyakak mentudau, selam Sang Bujang belum mampu membayar jujur (Bandi
Lunik) dinyatakan belum bebas dari Cambokh Sumabay yang dilakukannya. Apabila Sang
Bujang sudah membayar Jujur (Bandi Lunik) barulah dilakukan acara adat dipihak Sang Bujang
c. Cambokh Sumbay Ngebabang, Bentuk ini dikakukan karena sebenarnya keluarga sigadis tidak
akan mengambil bujang. Atau tidak akan memasukkan orang lain kedalam keluarga adat mereka,
akan tetapi karena terpaksa sementara masih ada keberatan kebneratan untuk melepas Si Gadis
Nyakak atau mentudau ketempat orang lain, maka di adakan perundingan cambokh sumbay
Ngebabang, cambokh Sumaby ini bersyarat, umpanya batas waktu cambokh sumbay berakhir
setelah yang menjadi keberatan pihak si gadis berakhir, Contoh : Seorang Gadis Anak tertua,
ibunya sudah tiada bapaknya kawin lagi, sedangkan adik laki yang akan mewarisi tahta masih
kecil, maka gadis tersebut mengambil bujang dengan cara Cambokh Sumabay Ngebabang,
berakhirnya masa cambokh sumbay ini setelah adaik laki-laki tadi berkeluarga.
d. Cambokh Sumbay Tunggang Putawok atau Sai Iwa khua Penyesuk, Cara semacam ini
dikarenakan antara pihak keluarga Sang Bujang dan Sang Wanita merasa keberatan untuk
melepaskan anak mereka masing-masing. Sedangkan perkawinan ini tidak dapat di hindarkan,
maka dilakukan permusyawaratan denga system Cambokh sumbay Say Iwa khua penyesuk
cambokh sumabi ini berarti Sang pria bertanggung jawab pada keluarga isteri dengan tidak
melepaskan tanggung jawab pada keluarganya sendiri, demikian pula halnya dengan Sang Gadis,
Kadang kala sang wanita menetap di tempat sang suami
e. Cambokh Sumbay Khaja-Kaja, ini merupakan bentuk yang paling unik diantara cambokh
sumabay lainnya karena menurut adat Lampung Saibatin, Raja tidak boleh Cambokh Sumbay, ini

terjadi Cambokh Sumbay karena Seorang anak Tua yang harus mewarisi tahta keluarganya
Cambokh Sumbay kepada Seorang Gadis yang juga kuat kedudukan dalam adatnya, dan Sang
Gadis tidak akan di izinkan untuk pergi ketempat orang lain.

E. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat


Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam hukum adat adalah segala sesuatu yang dapat
menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan
sebagaiman dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi
ketentuan hukum adat. Adapun larangan tersebut adalah sebagai berikut:10
a. Hubungan kekerabatan
Larangan perkawinan karena ikatan hubungan kekerabatan dapat terlihat dalam hukum adat
Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang terjadinya perkawinan antara laki-laki
dengan perempuan yang satu marga. Pada masyarakat Minangkabau disebutkan bahwa laki-laki
dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku. Pelanggaran terhadap larangan ini akan
dijatuhkan hukuman denda adat yang harus dibayarkan kepada para prowatin adat dan harus
menyembelih ternak agar terhindar dari kutukan arwah-arwah ghaib.
b. Perbedaan Kedudukan
Dilarangnya perkawinan karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang
masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan
perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di Minangkabau seorang perempuan dari
golongan penghulu dilarang kawin dengan laki-laki yang tergolong kemanakan di bawah lutut.
Di Bali, karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan triwana atau
triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Weisha) dilarang menikah dengan seorang perempuan dari
golongan sudra ( orang-orang biasa).
c. Perbedaan Agama
Perbedaan agama dapat menjadi penghalang terjadinya perkawinan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan, seperti di daerah Lampung yang setiap warga adat harus menganut agama
Islam, bagi yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat. Oleh
karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak melangsungkan pernikahan
salah satu dari keduanya harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.
F. Akibat Putusnya Perkawinan

Menurut UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas putusan pengadilan (pasal 38). Akibat putus perkawinan karena perceraian,
baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing
(pasal 37). Hukumnya masing-masing yang dimaksud adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya (penjelasan pasal 37).
Pada masyarakat yang bersifat patrilinial, yang mengharamkan terjadinya perceraian, maka
putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah pertanggunganjawab
kerabat pihak suami terhadap anak dan istri dari anggota keluarga/rumah tangga seketurunan
ayah, kakek dan seterusnya ke atas.
Pada masyarakat yang bersifat matrilinial, demikian pula sebaliknya, putusnya perkawinan
karena kematian atau perceraian tidak mengubah tanggungjawab mamak terhadap kemenakan
(di Minangkabau) atau Payung Jurai terhadap kemenakannya (di Semendo) atau para Kelama (di
Lampung pesisir).
Pada masyarakat yang bersifat parental, begitu pula kerabat patrilinial atau matrilinial yang telah
jauh merantau dari kampung halamnnya, pertanggungjawaban pengurusan dan pemeliharaan
anak kemenakan, janda, yang dalam kekurangan hidupnya adalah pihak suami atau pihak istri,
tergantung pada keadaan dan kemampuan serta kesediaan dari kerabat yang bersangkutan.
Perceraian dapat terjadi karena:
a. Istri berzina
b. Istri mandul
c. Suami impoten
d. Suami meninggalkan istri dalam waktu yang lama
e. Istri berkelakuan tidak sopan
f. Istri dan suami tidak menghormati adat-istiadat
Tata Cara Perceraian Adat
Perceraian dapat timbul karena ada hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian antara
suami dan istri .Setiap perselisihan suami istri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat
agar mereka dapat hidup rukun dan damai.. Menurut hukum adat kampung dukuh, kalau ada
sepasang suami-isteri yang akan bercemai karena tidak sejalan dan tidak menjadikan rumah
tangga harmonis maka cara penyelesaiannya dilakukan di depan kepala adat, sehingga perceraian

yang terjadi berjalan dengan sesuai adat dikampung tersebut. Kecuali apabila kerabat sudah tidak
dapat lagi menyelesaikan perselisihan secara damai, barulah diteruskan ke pengadilan resmi.
Tata Cara Perceraian Menurut Hukum Perdata
Menurut Pasal 14 UU Perkawinanseorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan
perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19 disebutkan dibawah) dan Pengadilan
berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk
hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan
perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Disamping itu pasal 19menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasanalasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak
jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat.Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan
tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 20 (1), (2), (3)
UU Perkawinan).
Jika gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar
kemampuannya maka diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan
tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan
rumah.Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau
lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21).
Dalam hal gugatan karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu (Pasal 22).
Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami
isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan
putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan
suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian,
atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi

hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak isteri.
Mengenai gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan
Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.Gugatan diajukan dengan alasan yang sama maka
tidak akan diterima oleh Pengadilan.Jika gugatan akan diajukan kembali maka harus dengan
alasan-alasan yang berbeda dengan alasan yang sebelumnya.
G. Perkawinan Anak-anak
Perkawinan anak-anak atau perkawinan di bawah umur masih menjadi perdebatan terutama
berkaitan dengan batasan usia minimal bagi seorang anak untuk menikah. Dalam hal ini penulis
mengambil contoh perkawinan anak-anak yang terjadi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat.
Pada masyarakat Indramayu masih terjadi perkawinan di bawah umur hal ini disebabkan dengan
alasan faktor adat atau kebiasaan yang turun temurun dilakukan masyarakat setempat. Di
samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman yang kurang terhadap resiko pernikahan di
bawah umur. Faktor ekonomi juga menjadi alasan bagi orang tua yang menyebabkan anakanaknya menikah di bawah umur. Hal ini berbeda dengan masyarakat bugis yang hidup di Jambi,
masyarakat adat bugis melakukan perjodohan antara keluarga si A dengan keluarga si B, tapi
kebanyakan masyrakat Bugis di Jambi perjodohannya dilakukan pada saat putra-putri mereka
menginjak sekolah SMA. Pernikahan di bawah umur atau anak-anak juga dapat menimbulkan
permasalahan-permasalahan, baik permasalahan sosial dan juga hukum. Padahal di Indonesia ini
juga sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai usia pernikahan di Indonesia yang
tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 1 yang
berbunyi:perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak
wanita berusia 16 tahun. Pemberlakuan undang-undang ini diberlakukan atas dasar
perlindungan atas hak anak, kesehatan yang berkaitan dengan organ reproduksi dan psikologis
anak dalam hal kedewasaan anak untuk menentukan pilihan yang tepat dan untuk menanggung
resiko banyaknya kerugian atau kewenang-wenangan yang akan dialami oleh si istri.
Memang perkawinan anak-anak pada zaman dahulu di Jawa pun banyak terjadi sehingga orangorang jaman dahulu memiliki banyak anak, ada yang memiliki anak 7 ada yang 10 bahkan ada
yang di atas 10 anak. Akan tetapi pada masa sekarang ini sudah jarang terjadinya perkawinan
anak-anak di bawah umur mengingat jumlah populasi penduduk yang terus meninngkat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik sesuai dengan pembahasan di atas adalah bahwasannya di
Indonesia ini banyak corak-corak hukum adat yang mewarnai cara perkawinan menurut hukum
adat sendiri. Hukum adat merupakan bagian dari Indonesia, jadi semua tingkah laku, perbuatan,
cara upacara, perkawinan pun juga banyak mewarnai masyarakat Indonesia.
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi umat manusia. Dengan adanya perkawinan, maka
menjadi halal lah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu
kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika
menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya
keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu
sendiri.
Akan tetapi dalam hubungan perkawinan tidak selalu berjalan mulus dan pastinya terdapat juga
masalah-masalah dalam kehidupan berumah tangga. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya suatu perceraian yang merupakan hal yang dilaknat oleh Allah
meskipun Allah membolehkan terjadinya suatu perceraian.
Perkawinan anak-anak juga mewarnai masyarakat adat di Indonesia.hal ini bertentangan dengan
UU No. 1 tahun 1974 yang menjelaskan mengenai batasan umur seorang laki-laki dan wanita
yang hendak melakukan pernikahan. Hal ini bertujuan agar keluarga yang dibina bisa Sakinah,
Mawaddah, Wa rrahmah.

B. Kritik dan Saran


Dalam penyusunannya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
selalu mengharapkan kritik dan saran yang besifat membangun dari pembaca umumnya, dan
mahasiswa yang mengampu mata kuliah ini pada khusunya. supaya kelak dapat lebih baik dalam
penyusunannya.

Anda mungkin juga menyukai