Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM ADAT SISTEM PERKAWINAN ADAT

BENGKULU

MAKALAH HUKUM ADAT


SISTEM PERKAWINAN ADAT BENGKULU
Disusun Oleh :
ELIZABETH SRI HERMINA NADEAK
Dosen Pembimbing : Ibu. ELFRIDA ,S.H, M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVRSITAS DARMA AGUNG

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam kehidupan individual. Kekeluargaan maupun kehidupan
bangsa

sebagaimana

yang

dicontohkan

oleh

Rasulullah

dalam

kehidupannya.
Perkawinan adalah sunnatullah yang berlaku umum pada semua
makhluk, baik manusia hewan maupun tumbuhan. Perkawinan manusia
merupakan asal muasal suatu keluarga yang akan melahirkan keturunan
yang selalu berkembang. Berkembang dari beberapa keluarga, dan rumah
tangga berdirilah masyarakat yang lebih luas dan akhirnya lahirlah
sebuah bangsa atau negara.
Ikatan perkawinan dalam islam adalah suatu ikatan yang sangat kuat
yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam wadah keluarga yang
penuh ketentraman, rasa kasih dan sayang.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.

Apa yang dimaksud hukum adat dan adat istiadat ?


Apa yang dimaksud dengan perkawinan?
Apa hikamah dan tujuan perkawinan ?
Bagaimana sistem perkawinan menurut adat?
Bagaimana sistem perkawinan adat suku serawai, Lembak dan Rejang ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Hukum Adat dan Adat Istiadat
Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, bahwa adat adalah tingkah
laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada
yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah
laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan
aturan hukum1[1].
Adat istiadat

adalah

masyarakat

di

yang

sebuah

dalamnya

aturan
terdapat

yang

ada

dalam

aturan-aturan

suatu

kehidupan

manusia serta tingkah laku manusia didalam masyarakat tersebut,


tetapi bukan merupakan aturan hukum.
B.Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj.
Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa2[2].
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang
merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah
merupakan ibadah.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing
agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundangundangan yang berlaku3[3].

1[1] Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita,


1976), hlm. 22
2[2] Wasman, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Teras, 2011),
hlm. 31

C. Hikmah Perkawinan

1.
2.
3.
4.

Adapun hikmah dari perkawinan adalah sebagai berikut4[4] :


Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak anak.
Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh sungguh dalam

mencukupi keluarga.
5. Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.
D. Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan perkawinan yaitu :
a. Untuk Membentengi diri dari perbuatan zina
Agar tidak terjadi perzinaan bagi pasangan yang belum bersami istri, untuk menghindari
perbuatan dosa yang dilarang oleh Agama Islam.
b. Untuk mengikuti Sunnah Rosulullh SAW.
c. Untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan hidup
d. Adanya kesamaan agama antara calon suami istri untk mewujudkan kehormatan dalam
lingkungan keluarga
e. adanya keseimbangan /keserasian antra calon suami istri
f. Untuk memperoleh keturunan yang sah
g. Agar tidak terjadi kehamilan diluar nikah. Oleh karena itu dengan perkawinan kita akan
memperoleh keturunan yang sah.
h. Berhubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang tentram (sakinah) cinta kasih (mawadah) dengan penuh rahmat agar dapa
melahirkan keturunan yang sholeh dan berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga
bahagia.
i. Untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. (Pasal 2
KHI).5[5]
j. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa. (Pasal 1 UU Perkawinan No.7 Tahun 1974)
E. Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
3[3] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Press, 1995),
hlm. 144
4[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 2, hlm. 452
5[5] Kompilasi Hukum Islam, Gramedia Press, 2014, hlm. 335

Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya beberapa sistem perkawinan yaitu6[6] :
a. Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan
ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.
b. Perkawinan Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih
dari satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih
dari satu pria. Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga
perkawinan poliandri yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan
lebih dari satu pria.
c. Perkawinan Eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang
berlainan suku dan ras.
d. Perkawinan Endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang
berasal dari suku dan ras yang sama.
e. Perkawinan Homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari
lapisan sosial yang sama.
f. Perkawinan Heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari
lapisan sosial yang berlainan.
g. Perkawinan Cross Cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu,
yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara
perempuan ayah.
h. Perkawinan Parallel Cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari
i.

ayah mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.


Perkawinan Eleutherogami adalah seseorang bebas untuk memilih
jodohnya dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen
lainnya.

F. Sistem Perkawinan Adat Suku Serawai


Dalam adat suku Serawai juga terdapat pembatasan atau larangan
perkawinan. Seseorang dilarang untuk kawin dengan saudara dekat dan
6[6] Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung : Sitra Aditya Bakti, 1992,
hlm. 38-39

sangat dianjurkan untuk menikah dengan dengan seseorang yang tidak


mempunyai hubungan darah. Apabila perkawinan dengan saudara dekat
tidak dapat dihindarkan maka kedua mempelai harus membayar denda
adat pada upcara perkawinan mereka, yaitu mengorbankan seekor
kambing.
Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Serawai terdiri dari :
1. Kawin Biasa yaitu perkawinan yang dilakukan melalui proses secara adat
dan sebelumnya kedua mempelai sudah saling mencintai serta direstui
oleh kedua orang tua;
2. Kawin Lari atau Selarian yaitu perkawinan yang dianggap melanggar adat
dan harus menerima sanksi serta denda secara adat. Selarian dapat
dibedakan dalam tiga kategori yaitu :
a. Lari Maling Diri, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya dengan
didampingi oleh seorang teman dari si laki-laki dan seorang teman gadis
dari si perempuan. Sebelum lari kedua calon mempelai meninggalkan
sepucuk surat untuk orang tua si perempuan yang menyatakan bahwa
mereka telah kawin lari dengan di dampingi dua orang temannya.
b. Lari Sebambangan, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya
dengan dua orang teman mereka tanpa meninggalkan sepucuk surat
untuk orang tua si gadis.
c. Lari Nido Betanggo, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya tanpa
di dampingi oleh seorang teman-pun dan juga tidak meninggalkan
sepucuk surat untuk orang tua si gadis.
Secara adat, dalam Selarian si pemuda akan melarikan isterinya ke
tempat tinggal keluarga. Di rumah keluarga laki-laki telah menunggu
segenap keluarganya dan unsur pemerintah setempat untuk menunggu
kedatangan pihak keluarga perempuan yang menyusul (orang yang
beturut). Setelah orang beturut datang maka dilakukan pembicaraan
antara kedua belah pihak dengan mediator dari unsur pemerintah
setempat.
d. Kawin Ganggang yaitu perkawinan yang dilakukan apabila kedua
mempelai tidak dapat segera berkumpul setelah upacara perkawinan. Hal
ini sering terjadi apabila salah satu atau kedua calon pengantin masih
menuntut ilmu di tempat yang saling berjauhan. Peresmian atau pesta

keramaian perkawinan dilakukan paling lama setahun setelah upacara


pernikahan.
e. Kawin Genti Tikar yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria
dengan saudara isterinya, apabila isterinya tersebut telah meninggal
dunia.
f. Kawin Surung Kulo yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang
wanita dengan saudara suaminya, apabila suaminya itu telah meninggal
dunia.
Sebelum melakukan upacara perkawinan secara adat yang disebut dengan istilah
Bimbang Adat, keluarga belah pihak calon pengantin terlebih dahulu melaksanakan
serangkaian upacara sebelum perkawinan. Upacara-upacara adat tersebut adalah :
1. Nyiluri Ciri atau Nerangka Uang :
Dalam upacara ini pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga wanita untuk
membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan rencana perkawinan kedua calon mempelai.
Dalam upacara ini kedua calon mempelai saling memberikan tanda cinta berupa barang. Pada
waktu ini pergaulan kedua calon mempelai mencapai suatu tahap yang disebut Tepiak Uang
Keleman atau menaruh uang dalam gelap yang bermakna bahwa janji atara kedua mereka
masih dirahasiakan dan belum diumumkan kepada orang banyak.
2. Ngulang Lautan :
Tiga malam setelah upacara Nyiluri Ciri, calon suami mengantar sirih dan pinang ke rumah
calon mertuanya. Dalam kunjungan ini calon mempelai laki-laki ditemani oleh seorang
kawan dan menginap di rumah calon mertuanya selama satu malam. Dengan upacara ini
calon pengantin laki-laki memberikan penghormatan kepada keluarga calon mempelai
perempuan dan memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dengan kerabat calon
mempelelai perempuan.
Dalam adat suku Serawai peresmian perkawinan dilakukan di rumah keluarga
perempuan terlebih dahulu, karena di rumah calon mempelai perempuan biasanya upacara
akad nikah dilangsungkan. Rangkaian upacara pelaksanaan perkawinan dalam adat suku
Serawai, yang disebut Bimbang Adat, terdiri dari berbagai upacara, yaitu :
1. Negak Pengujung, yakni bergotong-royong mendirikan tarub atau tenda untuk tempat
dilangsungkannya seluruh upacara perkawinan.
2. Tunggu Tunang, yakni upacara sebelum melakukan upacara akad nikah. Pada upacara ini
mempelai laki-laki diiringi oleh dua orang inang pengantin dan seorang tua, yang disebut Tuo
Menda pergi ke rumah calon mempelai perempuan yang sudah siap menerima pengantin
menikah. Setelah mempelai laki dan rombongannya disambut oleh keluarga mempelai
perempuan, mereka kemudian dijamu makan di dalam Pengujung (tenda/tarub). Setelah itu
dilanjutkan dengan acara Mantau Makan, di sini kedua calon mempelai diundang makan oleh

para tetangga atau masyarakat dusun tempat berlangsungnya acara pernikahan. Acara mantau
makan ini akan berlangsung lama apabila yang mengundang banyak jumlahnya. Apabila
acara Mantau Makan telah selesai, maka akan dilanjutkan dengan upacara Madu Kulo atau
memadu janji untuk menentukan status kedua suami isteri setelah upacara perkawinan.
Apabila upacara Madu Kulo telah selesai maka akan dilanjutkan dengan upacara Akad Nikah.
Setelah seluruh upacara perkawinan selesai dilaksanakan maka dilakukan pula beberapa
acara adat lagi. Acara-acara adat tersebut adalah :
a. Mendoa minta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mohon ampun kepada arwah
nenek moyang atas segala kesalahan yang diperbuat selama upacara perkawinan.
b. Ngulang Runut, yaitu acara yang dilakukan setelah beberapa minggu perkawinan selesai.
Kedua suami isteri berkunjung ke rumah orang tua isteri dengan membawa wajik sebagai
oleh-oleh. Tujuan Ngulang Runut ini adalah untuk lebih mengakrabkan hubungan antara
suami dengan kerabat pihak isteri.
Sama halnya dengan adat suku Rejang, untuk menentukan tempat menetap kedua
mempelai setelah perkawinan dilakukan acara memadu janji antara kedua belah pihak
keluarga. Upacara memadu janji yang disebut Madu Kulo ini dilaksanakan sebelum upacara
pernikahan. Hasil perjanjian tersebut dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni :
a. Kulo Reto atau Tambik Anak :
Dengan hasil perjanjian Kulo Reto, mempelai perempuan seolah-olah sudah dibeli oleh
mempelai laki-laki. Oleh sebab itu, sang isteri tidak berhak menentukan tempat tinggal
mereka setelah menikah, kalau sang suami belum memiliki tempat tinggal sendiri maka
mereka akan menetap sementara di rumah orang tua suami. Biasanya apabila terjadi
perjanjian Kulo Reto, orang tua suami sudah menyediakan rumah dan sebidang sawah untuk
tempat tinggal dan modal kehidupan bagi keluarga baru tersebut.
b. Kulo Semendo Masuak Kampung :
Perjanjian seperti ini merupakan kebalikan dari perjanjian Kulo Reto, di mana pengantin lakilaki seolah-olah dibeli oleh pihak perempuan. Dalam hal ini pihak keluarga perempuan yang
akan menyediakan rumah dan sawah untuk pasangan keluarga baru ini.
c. Kulo Semendo Merdiko atau Semendo Rajo-Rajo :
Perjanjian seperti ini menentukan bahwa kedua mempelai bebas menetapkan di mana mereka
hendak menetap. Andaikata mereka belum memiliki tempat tinggal sendiri maka mereka
bebas memilih tempat menumpang sementara.
G. Sistem Perkawinan Adat Suku Lembak
Upacara Sebelum Perkawinan

Pemilihan jodoh pada adat suku bangsa Lembak masa kira-kira sebelum tahun 1950-an
masih didominasi oleh keinginan orang tua (bapak, ibu atau ahli laki-laki atau perempuan),
dikenal dengan istilah rasan tue. Kemudian ada juga pemilihan jodoh tersebut diungkapkan
oleh si anak karena tertarik kepada seseorang yang disampaikan kepada orang tuanya, bila
orang tua berkenan maka keinginan akan dilanjutkan, bila orang tua tidak berkenan maka
orang tua tidak akan melanjutkan.
1. Menindai
Menindai adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki dalam
mengamati dan mengevaluasi bagaimana kecocokan bila anak laki-lakinya nanti menikah
dengan keluarga (anak wanita) yang ditindai. Proses penindaian ini biasanya dilakukan oleh
orang tua laki-laki atau ahli laki-laki (seperti paman, datuk, bibi atau nenek). Dalam
melakukan penindaian aspek yang dilihat tersebut antara lain:
Kondisi keluarga perempuan dalam pengertian integritas keluarga dan kepribadian
(Aspek Keturunan). Kelakuan, ketaatan terhadap agama, dan termasuk rupawannya gadis
yang ditindai, Kerajinan dan kemampuan si perempuan dalam memasak dan sebagainya.
Kesimpulan dari penilaian tersebut dikenal dengan istilah Semengga (memenuhi semua
kriteria yang yang dilakukan penilaian tadi).
2. Betanye (Bertanya)
Betanye artinya merupakan langkah awal bagi pihak laki-laki untuk menyampaikan
hasratnya dan bertanya apakah pihak perempuan (gadis) belum ditandai atau berjanji atau
bertunangan dengan pria lain. Bila seandainya belum maka disampaikanlah maksud/hajad,
untuk mengikat pertunangan dengan anak gadis keluarga yang di-tanye (ditanya). Untuk itu
pihak laki-laki biasanya meninta waktu kapan kami bisa datang (maksud kedatangan tersebut
adalah untuk meletakkan tanda/ciri (Ngatat Tande). Pada saat itu maka biasanya kita akan
menerima jawaban kalau bisa kita diminta datang pada hari yang ditentukannya karena mau
bersepakat terlebih dahulu, untuk itu maka harus menunggu dan datang pada hari yang
ditentukan tersebut.
3. Pertunangan
Seperti penjelasan di atas, bahwa dalam masyarakat Lembak jaman dulu dalam
memilih pasangan hanya melalui kesepakatan orang tua atau yang dikenal dengan istilah
rasan tue, dimana setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak maka keduanya diikat
dalam tali pertunangan yang ditandai dengan adanya pemberian (tande) dari pihak laki-laki.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman dan banyaknya media pergaulan antara
bujang gadis maka pilihan ini tidak lagi tergantung kepada orang tua, di mana bila keduanya
sudah merasa ada kecocokan untuk melangkah ke jenjang perkawinan lalu orang tua si
bujang segera melamar kepada orang tua sang gadis. Dalam acara lamaran ini biasanya

langsung membicarakan mengenai rencana pelaksanaan perkawinan dan tidak memakan


waktu yang terlalu lama, disamping itu juga menentukan berapa besarnya uang hantaran yang
diminta oleh pihak keluarga perempuan tersebut.
4. Pesta Pernikahan
Pelaksanaan perkawinan dalam Bahasa Lembak sering disebur Kerje atau Bepelan
yang merupakan inti atau puncak dalam upacara perkawinan. Kegiatan itu merupakan
rangkaian dari suatu perayaan sebagai pernyataan suka dan rasa syukur segenap keluarga baik
dalam hubungan keluarga dekat mapun keluarga jauh.
Pesta Pernikahan dilaksanakan kedua belah pihak dan berlangaung selama 2 hari 2
malam untuk satu pihak, hari pertama disebut dengan Hari Mufakat (Arai pekat) sedangkan
harl kedua disebut Hari Bercerita (Andun). Pelaksanaan akad nikah biasanya dilangsungkan
pada hari mufakat (Arai pekat), dahulu dilaksanakan pada hari kedua.

H. Sistem Perkawinan Adat Suku Rejang


Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan
(ideal). Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki
maupun perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi
berbagai persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan perilaku yang baik dan pandai
mengatur rumah tangga. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah : baik tutur
katanya; pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai
menyusun/mengatur kayu api (semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa)
dan mempunyai sifat pembersih.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi
menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan
berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah :
banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan menebang
kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja.
Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin
bagi anggota suku tersebut. Secara adat, orang Rejang dilarang kawin
dengan saudara dekat, sebaiknya perkawinan itu dilakukan dengan orang
lain (mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara dekat dianggap
merupakan suatu perkawinan sumbang, yang mereka sebut Kimok
(memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut

kawin Sepasuak dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari


moyang bersaudara

(semining) disebut

Mecuak Kulak. Perkawinan

Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan perkawinan yang dilarang,


namun demikian apabila tidak dapat dihindarkan maka mereka yang
kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang, denda
seperti ini disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang
secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan
bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya
tersebut masih hidup.
Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan
erat dengan peristiwa atau kejadian sebelum perkawinan tersebut
dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :

Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang

didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.


Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan.
Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan
(komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan

yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.


Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan
saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari
lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.
Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu
upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah
perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan dalam suku Rejang terdiri dari :

a. Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari :


1. Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan oleh kedua
calon mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak.
Maksud upacara ini adalah memberi tanda ikatan bahwa bujang dan gadis tersebut sudah
sepakat untuk menikah.
2. Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.
3. Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan
pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk :
meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah
bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan

menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah
menikah.
b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari :
Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua
macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak adalah
upacara akad nikah dan upacara Uleak adalah pesta keramaian perkawinan. Pelaksanaan
Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang mengadakan Uleak, namun demikian
berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan di rumah mempelai pria dan
Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam permufakatan adat hal seperti ini
disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah kami merayakannya kamu.
c. Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari :
Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu
diperhatikan lagi. Pada zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula berbagai
upacara yaitu :

Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.


Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai dalam
statusnya sebagai bujang (jejaka) dan gadis.

Doa selamat.

Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.

Adat Menetap Sesudah Perkawinan

ANALISA
Menurut saya sistem perkawinan adat ada sedikit perbedaan dengan peraturan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974. Mulai dari pasal pertama UndangUndnag No 1 Tahun 1974 kita akan mengetahui arti dari perkawinan ,yaitu ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pengertian tersebut sudah sedikit berlainan dalam tujuan perkawinan,di dalam hukum
adat sendiri tujuan perkawinan lebih condong kepada penggabungan dua keluarga menjadi
satu kerabat baru yang lebih besar.
Adapun dapat kita ketahui hubungan antara hukum perkawinan adat dan UndangUndang Perkawinan yakni :
1. Ketentuan dalam hukum adat yang sesuai, dimasukkan dalam Undang-Undang Perkawinan
a. Larangan perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (Pasal 8)
Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang
laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami yaitu larangan menikah apabila kedua
calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan periparan yang di
jelaskan gamblang dalam pasal 8.
b. Ketantuan seorang wanita yang putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11)
c. Hak dan kewajiban suami isteri pasal 31 dan 32
Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga
ataupun dalm keluarga adalah sama,dan setelah menikah harus memiliki tempoat tinggal
yang tetap dan terpisah dari orang tua.
d. Kedudukan harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 ,36 dan 37)
Dalam undang undang perkawinan pasal 35 dan 36 menyebutkan harta yang ada dalm
perkawinan adalah harta bersama dan harta bawaan beserta hak2 masing masing dalam kedua
harta tersebut . Itu sama dengan harta yang diatur dalam hukum adat yaitu harta bawaan dan
harta bersama.
Dan dalam pasal 37 dinyatakan apabila putusnya perkawinan akibat perceraiaan pembagian
menurut hukum masing-masing berarti dalam perkawinan-perkawinan sebelum adanya
Undang-Undang ini diakui pembagian harta menurut hukum adat masing-masing bahkan
untuk pernikahan pada saat inipun kebanyakan pembagian masih menggunakan hukum adat
hingga salah satu pihak mempersalahkannya baru menggunakan putusan pengadilan.

e. Ketentuan hak dan kewajiban org tua dan anak (Pasal 45 dan pasal 46 )
Pasal 45 menyatakan bahwa orang tua wajib memelidara dan mendidik anak sedangkan pasal
46 mengatakan bahwa anak harus menghormati dan mentaati yang dikehendaki oleh orang
tua., jelas terlihat dari kedua hal ini merupakan serapan dari kebiasaan yang ada masyarakat
hukum adat.
f. Ketentuan memelihara dan mendidik anak akibat putusnya perkawinan ( pasal 41) . Pasal ini
menyebutkan bahwa :
1. Baik suami atau istri wajib memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri
2. Suami bertanggung jawab atas pemenihan biaya hidup dan pendidikan anak.
Isi pasal tersebut sesuai dengan hukum adat masyarakat parental tetapi tidak sesuai dengan
masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menyatakan :
Patrilineal : setelah perceraian kehidupan anak sepenuhnya di tangan ayah dan kerabat.
Matrilineal : kehidupan anak ( dipelihara dan dididik ) oleh ibu dan anggota kerabatnya.
g. Pasal 57 mengenai Perkawinan campuran
Dalam pasal ini yang dimaksudkan adalah perkawinan beda perkewarganegaraan tetapi
sebenarnya adalah implementasi dari perkawina campuran antara dua kelompok masyarakat
hukum adat.
Perbedaan :
a. Dalam hukum adat adalah perbedaan adat dari kedua calon mempelai
b. Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah perbedaaan status kewarganegaraan.
Persamaan :
a. Salah satu calon mempelai harus masuk dalam kelompok masyarakat adat ( hukum adat )
atau dalam satu status kewarganegaraan (Undang-Undang Perkawinan )
b. Hukum yang digunakan adalah hukum adat perkawinan kelompok masyarakat adat yang
sudah menjadi status adatnya ( hukum adat ) sedangkan Undang-Undang Perkawinan adalah
dengan hukum Indonesia bila di Indonesia.
2. Ketentuan dalam hukum adat yg tidak diatur tetapi tidak bertentangan dan masih berlaku.
Dalam hal pertunangan, pemberian hadiah perkawinan, bentuk-bentuk dan upacara
perkawinan. Merujuk pada pasal 66.
3. Asas-asas dan/atau ketentuan-ketentuan dalam hukum adat yang tidak sesuai dan tidak
berlaku.
a. Pasal 7 ayat (1) yg menentukan usia kawin sehinggga otomatis melarang perkawinan anakanak (perkwinan gadis muda belia). Tetapi perkawinan anak anak dibolehkan oleh hukum

adat karena keluarga kedua belah pihak ingin adanya penyatuan keluarga sehingga
menikahkan anak-anaknya walaupun masih berusia belia.
b. Pasal 19 PP No.9/1975 yg menyebutkan alasan-alasan cerai yg secara otomatis melarang
perceraian diluar alasan tersebut, misalnya karena faktor magis (hukum perkawinan adat)
c. Dalam hukum adat Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat
tidak sesuai dengan pasal 3 ,4 5 dan 9. Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan
hanya memperbolehkan seorang suami beristri satu ataupun boleh beristri lebih dari satu
( dalam pasal 3 Undang-Undang Perkawinan ), dengan syarat syarat pada pasal 4 dan pasal 5
Undang-Undang Perkawinan.
Sedangkan dalam pasal 9 dikatakan seorang dalam tali perkawinan tidak dapat kawin lagi
jelas bertolak belakang dengan hukum adat yang memperbolehkan seorang suami menikah
lebih dari satu istri.
d. Kemudian untuk syarat syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan jelas terlihat
tidak mengambil asas dari hukum adat. Seperti dalam :
Pasal 6 yang menyebutkan pernikahan berdasakan persetujuan kedua belah calon mempelai,
tidak seperti dalam hukum yang mengatakan Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak
diakui masyarakat
Dan pasal 7 yang mengatakan pernikahan diijinkan apabila calon mempelai pria berumur 19
tahun dan wanita 16 tahun, bertolak belakang dengan hukum adat yang tidak
mempermasalahkan pernikahan belia atau perkawinan anak-anak. Karena pada dasarnya
perkawinan dalam hukum adat adalah sarana untuk menyatukan dan mempererat kekerabatan
dua keluarga.
Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja pertunangan yang dapat berlaku
sejak masa bayi, tetapi dapat juga perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum
dewasa, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak, atau
sebaliknya.
Dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang
terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon
mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab
qabul. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan di
sini, adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut.
Menurut hukum adat, pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat
diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Mas kawin (bride-price)


Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:
1.

Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan

selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.


2. Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang bersangkutan.
3. Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagia
b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)
Bride-servicebiasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat,
misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip patrilineal
tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak perempuan
saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan diambil seorang
menantu yang kurang mampu untuk memenuhi persyaratan mas kawin,
dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus bekerja pada orang tua
istrinya (mertua).
c. Pertukaran gadis (bride-exchange)
Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis
untuk

dinikahi,

maka

baginya

diharuskan

mengusahakan

seorang

perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar
bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Bengkulu memiliki beragam adat perkawinan, ada perkawinan adat
Lembak, Serawai, Rejang dan suku-suku lainnya. Perkawinan adalah
peristiwa

hukum

yang

sakral

dimana,

peristiwa

ini

tidak

boleh

dipermainkan. Dalam Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada


umumnya terdiri dari dua macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan
Uleak.
Sedangkan pada suku Lembak disebut Kerje atau Bepelan yang merupakan inti atau
puncak dalam upacara perkawinan. Kegiatan itu merupakan rangkaian dari suatu perayaan
sebagai pernyataan suka dan rasa syukur segenap keluarga baik dalam hubungan keluarga
dekat mapun keluarga jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akademika Press.


Bushar Muhammad. 1976. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Hilman Hadikusuma. 1990.

Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut

Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.


Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid. Jakarta : Pustaka Amani.
Sayyid Sabiq. 2009. Fiqh Sunnah 2. Jakarta : Pena
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta
Soerojo Wignjodipoero. 1984. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat.
Jakarta : Gunung Agung.
Wasman. 2011 . Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Yogyakarta :
Teras.

Anda mungkin juga menyukai