BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
UNIVRSITAS DARMA AGUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam kehidupan individual. Kekeluargaan maupun kehidupan
bangsa
sebagaimana
yang
dicontohkan
oleh
Rasulullah
dalam
kehidupannya.
Perkawinan adalah sunnatullah yang berlaku umum pada semua
makhluk, baik manusia hewan maupun tumbuhan. Perkawinan manusia
merupakan asal muasal suatu keluarga yang akan melahirkan keturunan
yang selalu berkembang. Berkembang dari beberapa keluarga, dan rumah
tangga berdirilah masyarakat yang lebih luas dan akhirnya lahirlah
sebuah bangsa atau negara.
Ikatan perkawinan dalam islam adalah suatu ikatan yang sangat kuat
yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam wadah keluarga yang
penuh ketentraman, rasa kasih dan sayang.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Hukum Adat dan Adat Istiadat
Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, bahwa adat adalah tingkah
laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada
yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah
laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan
aturan hukum1[1].
Adat istiadat
adalah
masyarakat
di
yang
sebuah
dalamnya
aturan
terdapat
yang
ada
dalam
aturan-aturan
suatu
kehidupan
C. Hikmah Perkawinan
1.
2.
3.
4.
mencukupi keluarga.
5. Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.
D. Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan perkawinan yaitu :
a. Untuk Membentengi diri dari perbuatan zina
Agar tidak terjadi perzinaan bagi pasangan yang belum bersami istri, untuk menghindari
perbuatan dosa yang dilarang oleh Agama Islam.
b. Untuk mengikuti Sunnah Rosulullh SAW.
c. Untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan hidup
d. Adanya kesamaan agama antara calon suami istri untk mewujudkan kehormatan dalam
lingkungan keluarga
e. adanya keseimbangan /keserasian antra calon suami istri
f. Untuk memperoleh keturunan yang sah
g. Agar tidak terjadi kehamilan diluar nikah. Oleh karena itu dengan perkawinan kita akan
memperoleh keturunan yang sah.
h. Berhubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang tentram (sakinah) cinta kasih (mawadah) dengan penuh rahmat agar dapa
melahirkan keturunan yang sholeh dan berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga
bahagia.
i. Untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. (Pasal 2
KHI).5[5]
j. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa. (Pasal 1 UU Perkawinan No.7 Tahun 1974)
E. Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
3[3] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Press, 1995),
hlm. 144
4[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 2, hlm. 452
5[5] Kompilasi Hukum Islam, Gramedia Press, 2014, hlm. 335
Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya beberapa sistem perkawinan yaitu6[6] :
a. Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan
ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.
b. Perkawinan Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih
dari satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih
dari satu pria. Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga
perkawinan poliandri yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan
lebih dari satu pria.
c. Perkawinan Eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang
berlainan suku dan ras.
d. Perkawinan Endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang
berasal dari suku dan ras yang sama.
e. Perkawinan Homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari
lapisan sosial yang sama.
f. Perkawinan Heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari
lapisan sosial yang berlainan.
g. Perkawinan Cross Cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu,
yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara
perempuan ayah.
h. Perkawinan Parallel Cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari
i.
para tetangga atau masyarakat dusun tempat berlangsungnya acara pernikahan. Acara mantau
makan ini akan berlangsung lama apabila yang mengundang banyak jumlahnya. Apabila
acara Mantau Makan telah selesai, maka akan dilanjutkan dengan upacara Madu Kulo atau
memadu janji untuk menentukan status kedua suami isteri setelah upacara perkawinan.
Apabila upacara Madu Kulo telah selesai maka akan dilanjutkan dengan upacara Akad Nikah.
Setelah seluruh upacara perkawinan selesai dilaksanakan maka dilakukan pula beberapa
acara adat lagi. Acara-acara adat tersebut adalah :
a. Mendoa minta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mohon ampun kepada arwah
nenek moyang atas segala kesalahan yang diperbuat selama upacara perkawinan.
b. Ngulang Runut, yaitu acara yang dilakukan setelah beberapa minggu perkawinan selesai.
Kedua suami isteri berkunjung ke rumah orang tua isteri dengan membawa wajik sebagai
oleh-oleh. Tujuan Ngulang Runut ini adalah untuk lebih mengakrabkan hubungan antara
suami dengan kerabat pihak isteri.
Sama halnya dengan adat suku Rejang, untuk menentukan tempat menetap kedua
mempelai setelah perkawinan dilakukan acara memadu janji antara kedua belah pihak
keluarga. Upacara memadu janji yang disebut Madu Kulo ini dilaksanakan sebelum upacara
pernikahan. Hasil perjanjian tersebut dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni :
a. Kulo Reto atau Tambik Anak :
Dengan hasil perjanjian Kulo Reto, mempelai perempuan seolah-olah sudah dibeli oleh
mempelai laki-laki. Oleh sebab itu, sang isteri tidak berhak menentukan tempat tinggal
mereka setelah menikah, kalau sang suami belum memiliki tempat tinggal sendiri maka
mereka akan menetap sementara di rumah orang tua suami. Biasanya apabila terjadi
perjanjian Kulo Reto, orang tua suami sudah menyediakan rumah dan sebidang sawah untuk
tempat tinggal dan modal kehidupan bagi keluarga baru tersebut.
b. Kulo Semendo Masuak Kampung :
Perjanjian seperti ini merupakan kebalikan dari perjanjian Kulo Reto, di mana pengantin lakilaki seolah-olah dibeli oleh pihak perempuan. Dalam hal ini pihak keluarga perempuan yang
akan menyediakan rumah dan sawah untuk pasangan keluarga baru ini.
c. Kulo Semendo Merdiko atau Semendo Rajo-Rajo :
Perjanjian seperti ini menentukan bahwa kedua mempelai bebas menetapkan di mana mereka
hendak menetap. Andaikata mereka belum memiliki tempat tinggal sendiri maka mereka
bebas memilih tempat menumpang sementara.
G. Sistem Perkawinan Adat Suku Lembak
Upacara Sebelum Perkawinan
Pemilihan jodoh pada adat suku bangsa Lembak masa kira-kira sebelum tahun 1950-an
masih didominasi oleh keinginan orang tua (bapak, ibu atau ahli laki-laki atau perempuan),
dikenal dengan istilah rasan tue. Kemudian ada juga pemilihan jodoh tersebut diungkapkan
oleh si anak karena tertarik kepada seseorang yang disampaikan kepada orang tuanya, bila
orang tua berkenan maka keinginan akan dilanjutkan, bila orang tua tidak berkenan maka
orang tua tidak akan melanjutkan.
1. Menindai
Menindai adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki dalam
mengamati dan mengevaluasi bagaimana kecocokan bila anak laki-lakinya nanti menikah
dengan keluarga (anak wanita) yang ditindai. Proses penindaian ini biasanya dilakukan oleh
orang tua laki-laki atau ahli laki-laki (seperti paman, datuk, bibi atau nenek). Dalam
melakukan penindaian aspek yang dilihat tersebut antara lain:
Kondisi keluarga perempuan dalam pengertian integritas keluarga dan kepribadian
(Aspek Keturunan). Kelakuan, ketaatan terhadap agama, dan termasuk rupawannya gadis
yang ditindai, Kerajinan dan kemampuan si perempuan dalam memasak dan sebagainya.
Kesimpulan dari penilaian tersebut dikenal dengan istilah Semengga (memenuhi semua
kriteria yang yang dilakukan penilaian tadi).
2. Betanye (Bertanya)
Betanye artinya merupakan langkah awal bagi pihak laki-laki untuk menyampaikan
hasratnya dan bertanya apakah pihak perempuan (gadis) belum ditandai atau berjanji atau
bertunangan dengan pria lain. Bila seandainya belum maka disampaikanlah maksud/hajad,
untuk mengikat pertunangan dengan anak gadis keluarga yang di-tanye (ditanya). Untuk itu
pihak laki-laki biasanya meninta waktu kapan kami bisa datang (maksud kedatangan tersebut
adalah untuk meletakkan tanda/ciri (Ngatat Tande). Pada saat itu maka biasanya kita akan
menerima jawaban kalau bisa kita diminta datang pada hari yang ditentukannya karena mau
bersepakat terlebih dahulu, untuk itu maka harus menunggu dan datang pada hari yang
ditentukan tersebut.
3. Pertunangan
Seperti penjelasan di atas, bahwa dalam masyarakat Lembak jaman dulu dalam
memilih pasangan hanya melalui kesepakatan orang tua atau yang dikenal dengan istilah
rasan tue, dimana setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak maka keduanya diikat
dalam tali pertunangan yang ditandai dengan adanya pemberian (tande) dari pihak laki-laki.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman dan banyaknya media pergaulan antara
bujang gadis maka pilihan ini tidak lagi tergantung kepada orang tua, di mana bila keduanya
sudah merasa ada kecocokan untuk melangkah ke jenjang perkawinan lalu orang tua si
bujang segera melamar kepada orang tua sang gadis. Dalam acara lamaran ini biasanya
(semining) disebut
menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah
menikah.
b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari :
Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua
macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak adalah
upacara akad nikah dan upacara Uleak adalah pesta keramaian perkawinan. Pelaksanaan
Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang mengadakan Uleak, namun demikian
berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan di rumah mempelai pria dan
Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam permufakatan adat hal seperti ini
disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah kami merayakannya kamu.
c. Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari :
Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu
diperhatikan lagi. Pada zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula berbagai
upacara yaitu :
Doa selamat.
ANALISA
Menurut saya sistem perkawinan adat ada sedikit perbedaan dengan peraturan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974. Mulai dari pasal pertama UndangUndnag No 1 Tahun 1974 kita akan mengetahui arti dari perkawinan ,yaitu ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pengertian tersebut sudah sedikit berlainan dalam tujuan perkawinan,di dalam hukum
adat sendiri tujuan perkawinan lebih condong kepada penggabungan dua keluarga menjadi
satu kerabat baru yang lebih besar.
Adapun dapat kita ketahui hubungan antara hukum perkawinan adat dan UndangUndang Perkawinan yakni :
1. Ketentuan dalam hukum adat yang sesuai, dimasukkan dalam Undang-Undang Perkawinan
a. Larangan perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (Pasal 8)
Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang
laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami yaitu larangan menikah apabila kedua
calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan periparan yang di
jelaskan gamblang dalam pasal 8.
b. Ketantuan seorang wanita yang putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11)
c. Hak dan kewajiban suami isteri pasal 31 dan 32
Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga
ataupun dalm keluarga adalah sama,dan setelah menikah harus memiliki tempoat tinggal
yang tetap dan terpisah dari orang tua.
d. Kedudukan harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 ,36 dan 37)
Dalam undang undang perkawinan pasal 35 dan 36 menyebutkan harta yang ada dalm
perkawinan adalah harta bersama dan harta bawaan beserta hak2 masing masing dalam kedua
harta tersebut . Itu sama dengan harta yang diatur dalam hukum adat yaitu harta bawaan dan
harta bersama.
Dan dalam pasal 37 dinyatakan apabila putusnya perkawinan akibat perceraiaan pembagian
menurut hukum masing-masing berarti dalam perkawinan-perkawinan sebelum adanya
Undang-Undang ini diakui pembagian harta menurut hukum adat masing-masing bahkan
untuk pernikahan pada saat inipun kebanyakan pembagian masih menggunakan hukum adat
hingga salah satu pihak mempersalahkannya baru menggunakan putusan pengadilan.
e. Ketentuan hak dan kewajiban org tua dan anak (Pasal 45 dan pasal 46 )
Pasal 45 menyatakan bahwa orang tua wajib memelidara dan mendidik anak sedangkan pasal
46 mengatakan bahwa anak harus menghormati dan mentaati yang dikehendaki oleh orang
tua., jelas terlihat dari kedua hal ini merupakan serapan dari kebiasaan yang ada masyarakat
hukum adat.
f. Ketentuan memelihara dan mendidik anak akibat putusnya perkawinan ( pasal 41) . Pasal ini
menyebutkan bahwa :
1. Baik suami atau istri wajib memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri
2. Suami bertanggung jawab atas pemenihan biaya hidup dan pendidikan anak.
Isi pasal tersebut sesuai dengan hukum adat masyarakat parental tetapi tidak sesuai dengan
masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menyatakan :
Patrilineal : setelah perceraian kehidupan anak sepenuhnya di tangan ayah dan kerabat.
Matrilineal : kehidupan anak ( dipelihara dan dididik ) oleh ibu dan anggota kerabatnya.
g. Pasal 57 mengenai Perkawinan campuran
Dalam pasal ini yang dimaksudkan adalah perkawinan beda perkewarganegaraan tetapi
sebenarnya adalah implementasi dari perkawina campuran antara dua kelompok masyarakat
hukum adat.
Perbedaan :
a. Dalam hukum adat adalah perbedaan adat dari kedua calon mempelai
b. Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah perbedaaan status kewarganegaraan.
Persamaan :
a. Salah satu calon mempelai harus masuk dalam kelompok masyarakat adat ( hukum adat )
atau dalam satu status kewarganegaraan (Undang-Undang Perkawinan )
b. Hukum yang digunakan adalah hukum adat perkawinan kelompok masyarakat adat yang
sudah menjadi status adatnya ( hukum adat ) sedangkan Undang-Undang Perkawinan adalah
dengan hukum Indonesia bila di Indonesia.
2. Ketentuan dalam hukum adat yg tidak diatur tetapi tidak bertentangan dan masih berlaku.
Dalam hal pertunangan, pemberian hadiah perkawinan, bentuk-bentuk dan upacara
perkawinan. Merujuk pada pasal 66.
3. Asas-asas dan/atau ketentuan-ketentuan dalam hukum adat yang tidak sesuai dan tidak
berlaku.
a. Pasal 7 ayat (1) yg menentukan usia kawin sehinggga otomatis melarang perkawinan anakanak (perkwinan gadis muda belia). Tetapi perkawinan anak anak dibolehkan oleh hukum
adat karena keluarga kedua belah pihak ingin adanya penyatuan keluarga sehingga
menikahkan anak-anaknya walaupun masih berusia belia.
b. Pasal 19 PP No.9/1975 yg menyebutkan alasan-alasan cerai yg secara otomatis melarang
perceraian diluar alasan tersebut, misalnya karena faktor magis (hukum perkawinan adat)
c. Dalam hukum adat Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat
tidak sesuai dengan pasal 3 ,4 5 dan 9. Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan
hanya memperbolehkan seorang suami beristri satu ataupun boleh beristri lebih dari satu
( dalam pasal 3 Undang-Undang Perkawinan ), dengan syarat syarat pada pasal 4 dan pasal 5
Undang-Undang Perkawinan.
Sedangkan dalam pasal 9 dikatakan seorang dalam tali perkawinan tidak dapat kawin lagi
jelas bertolak belakang dengan hukum adat yang memperbolehkan seorang suami menikah
lebih dari satu istri.
d. Kemudian untuk syarat syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan jelas terlihat
tidak mengambil asas dari hukum adat. Seperti dalam :
Pasal 6 yang menyebutkan pernikahan berdasakan persetujuan kedua belah calon mempelai,
tidak seperti dalam hukum yang mengatakan Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak
diakui masyarakat
Dan pasal 7 yang mengatakan pernikahan diijinkan apabila calon mempelai pria berumur 19
tahun dan wanita 16 tahun, bertolak belakang dengan hukum adat yang tidak
mempermasalahkan pernikahan belia atau perkawinan anak-anak. Karena pada dasarnya
perkawinan dalam hukum adat adalah sarana untuk menyatukan dan mempererat kekerabatan
dua keluarga.
Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja pertunangan yang dapat berlaku
sejak masa bayi, tetapi dapat juga perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum
dewasa, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak, atau
sebaliknya.
Dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang
terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon
mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab
qabul. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan di
sini, adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut.
Menurut hukum adat, pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat
diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
dinikahi,
maka
baginya
diharuskan
mengusahakan
seorang
perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar
bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bengkulu memiliki beragam adat perkawinan, ada perkawinan adat
Lembak, Serawai, Rejang dan suku-suku lainnya. Perkawinan adalah
peristiwa
hukum
yang
sakral
dimana,
peristiwa
ini
tidak
boleh
DAFTAR PUSTAKA