Disusun Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
i
Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan ......................................................................................................................1
BAB 2. PEMBASAHAN ..................................................................................................2
2.1 Korupsi ....................................................................................................................2
2.1.1 Pengertian Korupsi ...........................................................................................2
2.1.2 Ragam Korupsi .................................................................................................3
2.1.3 Hukum Korupsi dalam Islam............................................................................4
2.2 Motif Korupsi ..........................................................................................................5
2.3 Upaya Pencegahan Korupsi .....................................................................................7
2.4 Ancaman Perilaku Korupsi dalam Ajaran Islam .....................................................9
2.4.1 Jarimah atau Tindak Pidana..............................................................................9
2.4.2 Klasifikasi Hukum Pidana Islam ......................................................................9
2.4.3 Hukuman Bagi Tindak Pidana Korupsi ..........................................................10
BAB 3. PENUTUP ..........................................................................................................14
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................15
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Memahami pengertian korupsi, apa saja ragam-ragam korupsi dan
bagaimana hukumnya dalam Islam.
2. Mengetahui apa saja motif-motif dari korupsi.
3. Mengetahui bagaimana upaya pencegahan korupsi.
4. Mengetahui ancaman perilaku korupsi dalam ajaran Islam.
1
BAB 2. PEMBASAHAN
2.1 Korupsi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari korup yang
berarti buruk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral, bejat, tidak jujur. Korup juga bisa
diartikan dapat disogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau
negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi,
penggelapan uang negara atau perusahaan untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Dalam Bahasa arab, korupsi sama dengan kata risywah yang berarti
penyuapan. Risywah juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai sebuah
tindakan merusak dan berkhianat juga disebut (fasad, fad, dan ghulul (berkhianat)).
Ketiga istilah tersebut memiliki rujukan dalam hadis maupun Al-Quran.
Ada tiga unsur pokok tindakan kejahatan maaliyah yang bisa dikategorikan ke
dalam makna korupsi, yaitu:
Terdapat istilah kejahatan maaliyah yang memiliki makna yang sama dengan
korupsi yaitu
2
2.1.2 Ragam Korupsi
2. Suap menyuap
Memberi hadiah atau janji kepada seseorang dengan melihat kekuasaan dan
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya yang dilakukan
untuk mengubah sikap penerima suap atas suatu kepentingan. Contohnya
menyuap pegawai negeri yang karena jabatannya bisa menguntungkan
orang yang memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat.
4. Pemerasan
3
5. Perbuatan curang
Perbuatan curang yang dimaksud dalam jenis korupsi ini biasanya dilakukan
oleh pemborong, pengawas proyek, rekanan TNI/Polri, pengawas rekanan
TNI/Polri, yang melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian
barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap
keuangan negara atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada
saat menyelenggarakan pemerintahan. Contoh lainnya yang termasuk dalam
perbuatan curang adalah pegawai negeri yang menyerobot tanah negara
yang mendatangkan kerugian bagi orang lain.
7. Gratifikasi
Korupsi jenis ini adalah merupakan pemberian hadiah yang diterima oleh
pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan jabatannya .
Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket
pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya
4
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 29:
Artinya:
Beberapa ulama fiqih pun juga sepakat, jika menggunakan atau meraih harta
dari hasil tindak pidana korupsi, itu sama saja dengan memakan hasil rampasan,
judi, dan curian. Di mana, itu hukumnya haram. Allah SWT telah berfirman dalam
surat Al-Baqarah ayat 188:
َواَلََتْأُكُلَ ْٰٓواَاَمْواَّلُكْمََبْيُنُكْمََباَّلَباِطِلَوَتْدَّلْواََبَهآَٰاَّلىَاَّلُحَُكاِمََّلتْأُكُلْواََفريقاََمَنَاَمْواِلَاَّلُناِسََبااَلْثْمَوانَتْمََتعُلمْوْن.
Artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil,
dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan
maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu mengetahui.”
5
Motif yang melandasi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi tidak
semata hanya untuk memperoleh keuntungan dalam hal ini yaitu materi. Tetapi,
juga dinilai bisa untuk meningkatkan hubungan pertemanan, status, citra, dan masih
banyak lagi. Modus dari operasi yang dijalankan juga bisa dalam berbagai macam
hal. Mulai dari menaik turunkan pengeluaran dan penerimaan; menghilangkan,
memanipulasi, bahkan memalsukan dokumen tertentu; membuat peraturan yang
hanya menguntungkan satu pihak. Berdasarkan suatu teori atau motif korupsi yang
dikemukakan McClelland (2011) dalam penelitian oleh Sulis Winurini disebutkan
bahwa motif afiliasi dan kekuasaan memiliki hubungan langsung dengan perilaku
korupsi. Hubungan antara motif kekuasaan dan perilaku kekuasaan dapat terjadi
karena adanya peluang serta potensi. Maksudnya yaitu, korupsi bisa terjadi ketika
terdapat suatu titik lemah dari instansi serta potensi yang telah dipertimbangkan
oleh pelaku.
Setelah diurutkan, urutan dari motif para pelaku korupsi yang menjadi
partisipannya secara berturut-turut adalah motif kekuasaan, motif afiliasi, dan motif
berprestasi. Dalam hal ini motif kekuasaan paling tinggi dibandingkan dengan motif
lainnya tergambar sebagai bentuk dari jabatan mereka yang relatif tinggi di
pemerintahan maupun di dunia bisnis. Individu yang memiliki motif kekuasaan
tinggi memiliki kebutuhan akan status, pengakuan, dan penghargaan dari orang
lain. Namun, motif kekuasaan yang ditunjukkan adalah motif yang sifatnya
personal yang artinya motif berkuasa didasarkan pada kebutuhan pribadi dan rasa
egoistis. Motif inilah yang kemudian menekan individu mencari jalan pintas untuk
berkuasa sehingga menilai jalan salah satunya melalui korupsi. Tingginya skor
motif afiliasi menjelaskan penyebab korupsi besar (grand corruption) bisa terjadi
secara kolektif. Skor motif afiliasi yang tinggi ditemukan sejalan dengan tingginya
skor pada dimensi kompromi. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kebutuhan para
partisipan untuk menjalin relasi dengan orang lain cukup tinggi karena korupsi
besar memerlukan kemampuan berafiliasi yang tinggi dengan orang lain, membuka
jaringan dengan orang lain dari beragam profesi. Kemampuan untuk berafiliasi
dengan orang lain sedikit banyak dipengaruhi oleh kemampuannya untuk
melakukan kompromi dengan tuntutan atau kepentingan orang lain.
6
2.3 Upaya Pencegahan Korupsi
a) Jalur Budaya
b) Jalur Pendidikan
1) Jalur Formal
7
2) Jalur Non Formal
3) Jalur Agama
4) Jalur Hukum
5) Jalur Pemimpin
8
2.4 Ancaman Perilaku Korupsi dalam Ajaran Islam
Dalam Al-Qur’an maupun hadis, hukuman tindak korupsi memang tidak
diatur secara harfiah. Namun, secara umum hukuman bagi tindak pidana korupsi
adalah ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang dianggap setimpal dan membuat jera
menurut ijtihad hakim, dari yang terberat yaitu hukuman mati sampai yang teringan
yaitu penjara sesuai dengan tindakan dan dampak korupsi yang diperbuat.
Hukuman bagi pelaku yang ringan yaitu dengan teguran atau celaan,
dimasukkan ke dalam daftar tercela, dinasehati dan dicabut jabatannya. Hukuman
cukup berat yaitu dera atau cambuk (minimal 39 kali cambukan dan maksimal 100
kali) sesuai dengan jumlah harta yang dikorupsi, akibat tindakan korupsinya dan
kondisi koruptor, dan pengasingan satu tahun. Hukuman berat yaitu hukuman mati
misalnya disalib.
Umar bin Khattab pernah menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak 100 kali dan
penjara satu tahun kepada Mu’iz bin Abdullah akibat tindakan pemalsuan stempel
kas negara (Bayt al-Mal) dan mengambil harta kas negara tersebut.
Secara bahasa jarimah artinya dosa, durhaka. Dalam bahasa Indonesia, kata
jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana. Jarimah ini biasanya juga
disebut jinayah. Namun, dikalangan fukaha (ahli fikh) istilah jarimah pada
umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada
umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai
jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.
Jarimah atau tindak pidana hudud merupakan tindak pidana yang paling serius
dan berat dalam hukum pidana Islam. Tindak pidana ini pada dasarnya merupakan
tindak pidana yang menyerang kepentingan publik, namun bukan berarti tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi manusia sama sekali. Jarimah hudud memiliki
beberapa aspek yaitu aspek pengampunan, aspek kekuasaan hakim, keadaan yang
meringankan, dan aspek alat-alat pembuktian. Pada aspek pengampunan tidak
mengenal pengampunan sama sekali, baik dari korban atau dari penguasa. Pada
aspek kekuasaan hakim jika dapat dibuktikan maka hakim dapat melaksanakan
9
hukuman tanpa dikurangi atau dilebihkan. Pada aspek keadaan yang meringankan,
bagaimanapun keadaan si terdakwa, hukuman jarimah hudud harus tetap
dilaksanakan tanpa dikurangi atau dilebihkan. Pada aspek alat-alat pembuktian,
dibutuhkan jumlah saksi yang lebih banyak dari qishas dan ta’zir. Misalnya zina
membutuhkan 4 orang saksi.
Tindak pidana qishas atau diyat merupakan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman qishas atau diyat yang mana ketentuan mengenai hal ini sudah
ditentukan oleh syara‟. Qishas ataupun diyat merupakan hak manusia (hak
individu) yang hukumannya bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau
keluarganya. Aspek pengampunan pada jarimah ini dapat diberikan oleh korban
maupun ahli warisnya. Kemudian kekuasaan hakim terbatas kepada penjatuhan
hukuman yang telah ditetapkan. Hukuman jarimah qishas diyat harus tetap
dilaksanakan tanpa dikurangi atau dilebihkan. Sedangkan jumlah saksi yang
dibutuhkan lebih sedikit daripada jarimah hudud. Misalnya zina membutuhkan
2 orang saksi dalah jarimah ini.
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang dincam dengan hukuman
ta’zir. hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaanya.
Dalam penentuan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuma nnya
secara global saja. Artinya, pembuat Undang- Undang tidak menetapkan hukuman
untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sejumlah
hukuman, dari yang seringan-ringannya hingga yang seberat-beratnya. Dalam
jarimah ta’zir pengampunan diberikan oleh penguasa. Hakim mempunyai kekuatan
yang luas, mulai dari memilih hukuman yang sesuai hingga kepada yang
memberatkan atau meringankan. Pada aspek keadaan yang meringankan, keadaan
si korban bisa mempengaruhi berat ringannya hukuman. Jumlah saksi yang
dibutuhkan lebih sedikit dari jarimah qishas. Misalnya zina membutuhkan 1 orang
saksi.
10
Menurut hukum fiqih klasik, jika hukuman tindak pidana korupsi
disamakan dengan pencurian, maka hal itu tergantung pada jumlah yang diambil
dan dampaknya pada rakyat secara umum. Jika jumlahnya dibawah 93,6 gram
emas, maka hukumannya adalah takzir. Jika lebih dari itu, maka hukuma nnya
adalah potong tangan. Seperti yang disebutkan dalam Q.S Al-Maidah [5]: 38
Artinya:
Jika korupsi dinilai sebagai pencurian besar (as-sariq al-kubra), maka tindak pidana
korupsi sama dengan hirabah (perampokan). Bentuk hukumannya adalah minimal
potong tangan kanan dan kaki kiri, dan maksimal dihukum mati dan disalib
(dijemur). Seperti yang disebutkan dalam Q.S Al-Maidah [5]: 33
Artinya:
11
Yusuf, Imam Malik, dan Imam Ahmad), selain dijatuhi hukuman yang telah
disebutkan diatas, pelaku juga dikenakan ganti rugi, yaitu mengembalikan hasil
korupsi kepada negara.
Pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV pada 29 Juni-2 Juli
2012 di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat, MUI mengeluarkan
fatwa terkait perampasan asset koruptor dalam upaya membuat jera para koruptor .
Asrorun Niam Shaleh selaku Sekretaris Komisi B, membahas rancangan fatwa
perampasan asset milik pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang. Beliau menjelaskan bahwa perlakuan terhadap aset pelaku tindak pidana
korupsi dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari tindak pidana
korupsi bukan milik pelaku. Sehingga asset tersebut harus dirampas dan diambil
oleh negara dan pelakunya dihukum.
2) Aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti bukan berasal dari tindak
pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh dirampas oleh
negara.
3) Aset pelaku tindak pidana korupsi yang tidak terbukti berasal dari tindak
pidana korupsi tetapi jug atidak bisa dibuktikan bahwa asset tersebut milik
pelaku, harus diambil oleh negara.
Ø Memberikan sanksi hukum baik secara fisik maupun non fisik. Sanksi
fisik mulai dari potong tangan samoai pada hukum bunuh dengan
cara disalib. Sanksi non fisik bisa diawali dengan pemeacatan
jabatan sampai penyitaan harta benda yang dimiliki.
12
Ø Memberikan sanksi moral, seperti jenazahnya tidak dishalati dan
memasukkan Namanya dalam daftar orang tercela (misalnya
mempublikasikan nama-nama koruptor di media cetak maupun
elektronik).
13
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi memiliki arti kata yang banyak menurut banyak Bahasa. Namun
pada intinya korupsi berarti tindakan menyogok atau uang suap seperti
menyelewengkan uang/barang yang bukan miliknya. Korupsi ini memiliki banyak
ragamnya, antara lain kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan
dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepetingan dalam
pengadaan, dan gratifikasi. Adapun hukum korupsi dalam Islam tidak dibenarkan.
Terdapat tiga poin istilah korupsi dalam agama Islam, yaitu suap, pencurian, dan
penipuan yang mana ketiga perbuatan tersebut akan mendapatkan dosa besar
(haram).
Seseorang melakukan tindakan korupsi yang disebabkan oleh beberapa
faktor atau motif. Beberapa motif tersebut antara lain seperti motif ekonomi,
rendahnya moral, penegakan hukum yang lemah, bahkan juga bisa terjadi karena
adanya monopoli kekuasaan, dan lain sebagainya. Motif tindakan korupsi ini bukan
hanya mencari keuntungan materi, melainkan juga dinilai dapat meningka tkan
pertemanan, status, citra, dan lainnya.
Upaya pencegahan tindak korupsi ini terdiri dari berbagai aspek yakni jalur
budaya, jalur pendidikan terdiri jalur formal; jalur non formal; jalur agama; jalur
hukum; dan jalur pemimpin.
Secara umum hukuman bagi tindak pidana korupsi yaitu hukuman yang
dianggap setimpal dan membuat jera menurut ijtihad hakim. Dalam Islam terdapat
beberapa klasifikasi jarimah (tindak pidana) yakni tindak pidana Hudud, tindak
pidana Qishas, dan tindak pidana Ta’zir. Menurut fiqih klasik hukuman tindak
pidana korupsi disamakan dengan pencurian yangmana tergantung dari dampak
tindakannya. Dalam musyawarah nasional Nadhlatul Ulama (NU)
memperbolehkan jenazah koruptor tidak dishalatkan. Bila budaya korupsi di
Indonesia masih merajalela maka metode penerapan prinsip-prinsip hukum Islam
harus dimunculkan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Luth, T., Chanifah, N., Rahman, K,. Rozikin Rohma, M., Rohmah, S., Fathoni, K.,
Halim, A,. Wafi, I., & Budiharjo, A. (2020). Buku Ajar Pendidikan Agama
Islam (Edisi Revisi). Malang: CV. Oase Publishing
Salama, N., 2014. Motif dan Proses Psikologis Korupsi. JURNAL PSIKOLOGI,
XLI(2), pp. 149-155.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
15