Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PBAK

PENGERTIAN, CIRI, JENIS, DAN KORUPSI DALAM


BERBAGAI PERSPEKTIF

KELOMPOK 6 :

1. REGINA KARIMA PUTRI F. (P07134222002)


2. PRASASTI RAHMA SUMUNAR (P07134222015)
3. DIKA NARARYA NABILA Z. (P07134222037)
4. NEYZHA RAMADHANIA (P07134222050)
5. RIFKY PASHA W. (P07134222052)
6. VIKA OKTA NURFAIDA (P07134222066)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
2022
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayahnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Pengertian, Ciri, Jenis, dan Korupsi Dalam
Berbagai Perspektif” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tak lupa kami
curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW.

Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah PBAK Ibu
Ullya Rahmawati karena atas bimbingannya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik yang
bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami
khususnya dan bisa meneruskan manfaat berupa tambahan pengetahuan bagi
pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 19 Agustus 2022


ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i


DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………………. 2
1.4 Manfaat …………………………………………………………….. 2
BAB 2 KAJIAN TEORI ……………......……………………………………. 3
2.1 Pengertian Korupsi …………………………………………………. 3
2.2 Ciri Ciri Korupsi ……………………………………………………. 3
2.3 Jenis Korupsi ……………………………………………………….. 4
2.4 Korupsi Dalam Berbagai Prespektif ………………………………… 5
BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………. 16
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………. 16
3.2 Saran ………………………………………………………………... 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 18
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Korupsi adalah semua
tindakan tidak jujur dan penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara dan
dengan memanfaatkan jabatan atau kuasa untuk mendapatkan keuntungan bagi
pribadi atau orang lain. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya
sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap
kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya.
Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal
batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik
maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.
Korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa
dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan
kroninya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa
(extraordinary crime).
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lamban. Dalam hal ini, penyelenggaraan negara
yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-
praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh
keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan
berada dalam posisi yang sangat dirugikan.
2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari korupsi ?


2. Apa saja yang termasuk ciri ciri korupsi ?
3. Apa saja jenis tidak pidana korupsi ?
4. Bagaimana penjelasan korupsi dalam berbagai prespektif ?

1.3 Tujuan

1. Dapat memahami pengertian dari korupsi


2. Dapat mengetahui apa saja yang termasuk ciri ciri korupsi
3. Dapat memahami apa saja jenis tidak pidana korupsi
4. Dapat mengetahui bagaimana korupsi dalam berbagai prespektif

1.4 Manfaat

1. Meningkatkan pengetahuan mengenai apa itu korupsi


2. Menambah wawasan mengenai ciri, jenis, dan korupsi dalam berbagai
prespektif
3. Menambah pemahaman bahwa korupsi merupakan tindakan yang harus
diberantas karena merugikan negara
BAB 2
KAJIAN TEORI

2.1 PENGERTIAN

Korupsi dari bahasa latin corruptio atau corroptus yaitu berasal dari kata
corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. Adapun
pengertian korupsi dari beberapa ahli yaitu :

1. Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah suatu perbuatan


yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan
yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.
2. The Australian Legal Dictionary, korupsi adalah setiap perbuatan
seseorang yang bertentangan dengan tanggung jawab untuk
mendapatkan imbalan
3. Terminologi hukum Inggris-Indonesia, korupsi adalah
menyalahgunakan wewenangnya, untuk menguntungkan dirinya
sendiri.

Jadi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan yang hanya untuk


kepentingan sendiri.

2.2 CIRI

Ciri-ciri korupsi secara garis besar dapat diidentifisikan sebagai berikut:

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.


2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara kerasahasiaan.
3. Yang melakukan cara-cara korupsi berusaha menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung dibalik hukum.
4. Melibatkan elemen kewajiban.
5. Yang terlibat korupsi adalah menginginkan keputusan dengan
tegas dan mampu mengaruhi keputusan.

3
4

2.3 JENIS

Ada beberapa jenis dari korupsi yaitu:

1. Kerugian keuangan negara

Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang memiliki


tujuan menguntungkan diri sendiri serta menyalahgunakan
kewenangan dan kesempatan.

2. Suap menyuap

Adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Aparatur Sipil


Negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu di jabatannya.

3. Penggelapan dalam jabatan

Tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga,


atau melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus dalam administrasi.

4. Pemerasan

Pejabat yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara


melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri.

5. Perbuatan curang

Dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat


membahayakan orang lain.
5

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung ataupun


tidak dengan sengaja turut serta dalam pengadaan padahal mereka
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasi.

7. Gratifikasi

Pemberian barang atau suap menyuap kepada pegawai negeri,


sehingga mereka dengan jabatannya berlawanan dengan kewajiban
tugasnya.

2.4 KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Korupsi dalam perspektif agama

1. Larangan korupsi dalam islam.

Banyak dalil yang menunjukkan larangan korupsi dalam islam.


Salah satunya adalah hadits Nabi dalam riwayat Abu Dawud no. 2934.
Dijelaskan bahwa Nabi Muhammad melarang umatnya untuk berbuat
ghuhlul (korupsi), yaitu mengambil hak di luar yang telah ditetapkan,
tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya.

Hukum Syariat islam juga jelas melarang perbuatan korupsi baik


itu dalam Kitabullah (AL-Qur’an) maupun hadits Nabi. Dalam Al-
Quran dijelaskan dalam QS al-imran ayat 161. Selain itu, perbuatan
korupsi juga termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan
cara yang bathil yang diharamkan oleh Allah SWT. Jelas sekali bahwa
korupsi hukumnya haram dalam islam.

2. Larangan korupsi dalam agama Kristen

Di dalam agama Kristen, baik katolik maupun protestan korupsi


sangat dilarang karena :
6

a. Korupsi identik dengan mencuri


Dalam 10 perintah tuhan, larangan kedelapan adalah
larangan untuk mencuri. 10 perintah tuhan adalah salah satu
norma yang dituangkan di Alkitab perjanjian lama dan
merupakan inti dari etika Alkitab perjanjian lama.
b. Korupsi adalah perbuatan melanggar hokum
Firman Allah yang tertulis lengkap dalam Alkitab juga
menyebutkan bahwa orang Kristen pun selain wajib taat
perintah-Nya juga berlaku sama terhadap hukum yang berlaku.
Ini jelas tertulis dalam Roma 13:3.
c. Korupsi adalah pengingkaran kepada Tuhan yang maha
memelihara umat-Nya
Dari sisi iman Kristen, Allah telah tegas menyebutkan
bahwa burung di udara saja dipelihara, apalagi manusia.
Demikian umat tak perlu ragu akan usaha yang dijalankannya
selama berada di jalan Tuhan. Karena itu, korupsi jelas
merupakan pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan dan
jaminanNya.
d. Korupsi adalah tanda ketamakan manusia.
Tuhan sangat mengutuk manusia yang tamak. Dalam cerita-
cerita alkitab, orang-orang tamak akan diberikan hukuman
karena ketamakannya itu. Seperti pada cerita Gehazi, pelayan
Nabi Elisa yang mengambil pemberian Panglima Kerajaan
Aram, yakni Naaman, atas kesembuhannya dari penyakit kusta.
Alih-alih ingin mendapat hadiah yang ditolak Nabi Elisa,
Gehazi malah mendapat tulah berupa kusta yang sebelumnya
diderita Naaman.
7

3. Larangan korupsi dalam agama hindu

Dalam agama hindu, penyebab noktah hitam moral itu dalam hindu
dikenal dengan Panca Ma, Panca Ma terdiri dari :

a. Madat (Narkoba)
b. Mamunyah (Mabuk-mabukan)
c. Madon (berzina)
d. Mamotoh (berjud)
e. Mamaling (mencuri atau korupsi)

Kelimanya harus dihindari. Mamaling sebagai corupptela pada


dasarnya berarti mencuri adalah dosa yang harus dihindari. Sejarah
korupsi menunjukkan bahwa sanksi keras bagi koruptor sudah
diberlakukan sejak Ratu Shima, yang mendidik rakyatnya agar selalu
jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Hukuman potong
tangan bagi siapapun yang mencuri.

Di Bali, budaya anti korupsi dibangun sejak dulu, seperti di Batur


ada upacara Matiti, suara yang merefleksikan prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan kontrol terhadap aturan main pelaksanaan sistem
upacara. Istilah maling patimpuh (pencuri duduk santai bersimpuh)
adalah sebutan bagi mereka yang mencuri uang Negara dengan sangat
mudah. Dengan demikian, kearifan budaya Bali telah mengidentifikasi
betapa mudahnya aparat Negara melakukan tindakan korupsi.

4. Larangan korupsi agama budha

Dalam agama buddha korupsi didasari oleh keserakahan dan


berakar pada kebodohan batin. Jika seseorang memiliki pandangan
benar tidak mungkin ia bertindak bodoh. Korupsi juga dianggap
melanggar pancasila Buddhis sila ke-2 yaitu mengambil barang yang
tidak diberikan yang dapat dicontohkan mencuri, merampok, juga
8

korupsi. Dan juga akan melanggar sila ke-4 yakni menahan diri dari
ucapan yang tidak benar atau berbohong dikarenakan ia telah mencuri
dan akan mengkondisikan untuk berbohong untuk menyembunyikan
perbuatannya.

Jika ditinjau dari aspek buddhisme, semua perbuatan pasti akan


menerima akibatnya. Si pelaku korupsi akan menerima akibat karma
sesuai perbuatannya. Dan sesuai hukum paticcasamuppada, bahwa
segala sesuatu itu saling bergantungan, akan membuat akibat-akibat
yang buruk bagi keluarga si pelaku maupun bagi masyarakat luas dan
Negara.

B. Korupsi dalam perspektif sosiologi

Korupsi sudah menjadi masalah sosial yang dihadapi oleh sebagian


besar Negara di dunia, khususnya Indonesia. Indonesia memiliki segudang
kasus korupsi sehingga berimbas pada kemiskinan dimana-mana. Dan
sebagian besar objeknya selalu tertuju pada kaum kelas bawah.

Korupsi menjadi faktor penghambat roda organisasi maupun


institusi dalam pencapaian tujuan organisasi maupun lembaga atau
institusi dalam masyarakat. Korupsi di Indonesia seakan telah menjadi
budaya yang memasuki berbagai bidang kehidupan terutama dalam sektor
birokrasi. Hal ini diperkuat oleh data survei lembaga internasional yang
menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam jajaran sepuluh besar
Negara terkorup. Hal ini memperhatikan dan harus segera mendapat
perhatian dari seluruh elemen lembaga masyarakat.

Perilaku korupsi sudah menjadi fenomena sosial di tengah


masyarakat. Perilaku ini telah memasuki semua sendi kehidupan mulai
dari yang terkecil seperti lingkup sekolah hingga lingkup terbesar dalam
pengelolaan pengelolaan keuangan Negara.
9

Sosiologi memiliki peran penting dalam menghubungkan antara


pembangunan dan korupsi. Kontribusi ini terutama terletak pada studi
tentang penegakan korupsi dan pengertian korupsi yang berbeda. Sosiologi
melihat bahwa korupsi sebagai sebuah masalah yang tersistem dengan
budaya, sosial, dan akar structural. Studi mengenai sosiologi korupsi
menyangkut tentang system yang bermasalah, kondisi kemiskinan,
penyakit dan eksploitasi yang karakteristiknya lebih banyak ada pada
Negara yang sedang berkembang.

Korupsi adalah ekspresi dari hubungan kekuasaan yang tidak setara


dalam masyarakat, namun juga saling ketergantungan seperti yang terlihat
antara Negara barat dan Negara selatan. Kelanjutan analisis sosiologis dari
dinamika dan pelaksanaanya mengalir dalam bentuk kebijakan sosial bisa
berkontribusi terhadap kekuatan Negara berkembang.

Teori fungsionalisme struktural mempunyai pandangan bahwa


kehidupan sosial berlangsung dalam keteraturan, keseimbangan, dan
keharmonisan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing anggotanya
mematuhi norma-norma sosial yang disepakati. Meskipun demikian, ada
anggota masyarakat yang tidak mematuhi karena adanya perbedaan tujuan
yang dipunyainya dengan tujuan yang ditetapkan kelompok dengan cara
dan sarana untuk mencapainya. Fenomena korupsi dari sudut pandang
fungsionalisme struktural dapat dijelaskan dari adanya ketidakpatuhan
pemegang kekuasaan terhadap norma-norma yang mengatur pengguna
kekuasaan. Mereka berpandangan bahwa tujuan penggunaan kekuasaan
tersebut tidak sepenuhnya dapat mewujudkan kepentingan atau tujuan
pribadinya.

Kondisi Indonesia masuk dalam kategori penyakit kronis dengan


tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi. Kalau menurut ilmuwan,
sosiologi korupsi itu disamakan dengan patologi sosial yang sangat sulit
disembuhkan, apabila tidak mulai dari sikap dan karakter. Penyakit ini dari
10

dari waktu ke waktu selalu menghiasi wajah pertelevisian nasional, bahkan


bisa mengalahkan isu-isu kemiskinan di berbagai daerah lainnya. Menurut
survei Transparency International tahun 2011 objektivitas pemberantasan
pelaku korupsi masih sangat minus. Konon Indonesia berada pada posisi
terbawah dari 183 negara yang menduduki ranking 100 dengan skor 3 dan
baru diikuti oleh negara lain seperti Argentina, Benin, Burkina Faso dan
Madagaskar maupun seterusnya. Dari Indeks Prestasi Korupsi negara ini
seharusnya memiliki komitmen untuk mengurangi tingkat korupsi,

Peranan sosiologi dalam memberantas atau mencegah korupsi,


Sosiologi dalam masyarakat adalah untuk menelin berbagai macam
masalah dalam masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang
paling efektif khususnya dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu
Perencanaan Pelaksanaan, dan Penilaian. Dalam kasus korupsi hal ini
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Pada tahap
perencanaan, disini perencanaan dalam anggaran harus dibuat serinci
mungkin dan sesuai dengan kebutuhan serta terkendali. Tahap pelaksanaan
yang harus dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai
dengan apa yang terjadi serta terus melaporkan proses perubahan yang
terjadi secara terbuka, dan selalu terawasi/terpantau. Sedangkan pada
tahap penilaian, dalam hal ini yang harus dilakukan adalah analisis
terhadap masalah/dampak sosial yang akan terjadi dalam suatu
pembangunan/tindakan. Selanjutnya yaitu penelitian, dengan penelitian
dan penyidikan sosiologi akan diperoleh suatu perencanaan/pemecahan
masalah yang baik. Dalam kasus korupsi hal ini diperlukan untuk
mencegah terjadinya korupsi dan cara untuk mengatasinya.

Berdasarkan tinjauan Sosiologi Hukum terhadap undang-undang


pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ternyata masih belum
maksimal bahkan belum mencapai titik keberhasilan dari sinilah perlu
kerja keras pejabat pemberantasan serta diiringi dengan peran penting
sosiologi dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut.
11

C. Korupsi dalam perspektif hukum

Korupsi menjadi istilah hukum (legal term) untuk pertama kalinya


sejak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/ PM/06/1957
tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam peraturan ini, korupsi diartikan
bahwa suatu perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara. Dalam faktanya. peraturan tersebut masih dirasakan
kurang sempurna, sehingga Penguasa Militer mengeluarkan Peraturan
Nomor Prt/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda.

Peraturan ini memberi wewenang kepada Penguasa Militer untuk


mengadakan penilikan terhadap harta benda seseorang atau suatu badan
yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan. mencurigakan. Guna
melengkapi kedua peraturan tersebut, Penguasa Militer membuat suatu
peraturan sebagai dasar hukum) kepada Penguasa Militer untuk menyita
dan merampas barang barang dari seseorang yang diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan tersebut, yaitu Peraturan Penguasa Militer
Nomor Prt/PM/011/1957.

Pada saat Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 tahun 1957


berlaku sebagai pengganti Regeling op den Staat van Oorlog en van Beleg
maka berbagai peraturan tersebut ikut pula diganti. Peraturan pengganti
tersebut berasal dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor PRT/PEPERPU/013/1958
tentang "pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi
pidana dan pemilikan harta benda".

Dalam peraturan tersebut, korupsi dibedakan menjadi 2 yaitu:


Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan Korupsi lainnya. Ukuran untuk
menentukan Perbuatan korupsi pidana adalah "dengan atau karena
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran sedangkan perbuatan korupsi
lainnya ditentukan dengan atau karena perbuatan melawan hukum".
12

Sanksi untuk perbuatan korupsi lainnya adalah tidak berupa pidana


tetapi perampasan harta benda hasil korupsi itu. Di sini muncul
kewenangan Pengadilan Tinggi, dalam memeriksa perkara harta benda
berpedoman kepada "hukum acara perdata" yang berlaku bagi Pengadilan
Negeri. yang mengadilinya atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta
Benda, dapat merampas harta benda hasil korupsi tersebut.

Dua tahun setelah berlakunya Peraturan Penguasa Militer tersebut,


Pemerintah, pada tanggal 9 Juni 1960 mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 24 tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Satu tahun
kemudian, PERPU Nomor 24 tahun 1960 tersebut ditingkatkan menjadi
Undang-Undang yaitu Undang Undang Nomor 1 tahun 1961. Walaupun
PERPU nomor 24 Tahun 1960 telah menjadi Undang-Undang Nomor 1
tahun 1961, namun dalam penyebutannya menjadi Undang-Undang
Nomor 24/Prp/1960.

Dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 ini, tidak dijumpai


lagi istilah perbuatan korupsi bukan pidana. Undang-undang ini (UU No.
24/Prp/1960), fokus mengatur mengenal tindak pidana. korupsi.
Sedangkan ukuran tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud di dalam
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 ini masih tetap mengacu terhadap
Peraturan Penguasa Militer, yaitu "dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran". Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap
orang yang diajukan ke persidangan karena melakukan tindak pidana
korupsi harus dibuktikan pula kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan,
mengingat "dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran"
tercantum dalam rumusan delik, maka harus dibuktikan.

Nampaknya pada waktu itu korupsi sudah tidak dapat ditekan dan
terus berkembang yang sulit dideteksi karena hambatan-hambatan
organisasi dan administrasi serta kurangnya pengawasan. Pada
13

perkembangan berikutnya Presiden mengeluarkan Keputusan No. 228


Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang tugasnya membantu Pemerintah dalam memberantas korupsi
secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya. Presiden juga menetapkan
Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970 tentang Pembentukan Komisi -4
dan Keputusan No. 13 Tahun 1970. Tentang Pengangkatan Dr.
Mohammad Hatta sebagai Penasehat Presiden yang mempunyai tugas
untuk memberikan pertimbangan dalam soal-soal yang berhubungan
dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi.

Beratnya sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor


24/Prp/1960 tentang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi dipandang hanya sekedar pelengkap dan "macan
kertas yang tidak dapat berdaya apa-apa. Para pelaku tindak pidana
korupsi kian waktu makin tambah banyak dan melibatkan "aktor-aktor"
bangsa Indonesia yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Modus
operandi tindak pidana korupsi saat itu dilakukan dalam suatu kemasan
yang cukup rapi dan sangat tersembunyi yang dampaknya seluruh
masyarakat ikut merasakan akibatnya. Sehingga pada periode tahun 60
sampai dengan tahun 70-an ini masyarakat bangsa Indonesia senantiasa
menyaksikan reality show para koruptor yang tidak dapat dijerat oleh
ancaman Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960.

Secercah harapan dan sedikit keinginan kiranya muncul tatkala


Orde Baru lahir dengan menempatkan tindak pidana korupsi sebagai
prioritas utama yang harus diberantas. Gaung pemberantasan tindak
pidana korupsi ini kian hari makin nyaring, baik itu melalui forum
seminar, diskusi maupun statement para politisi yang ingin numpang
populer dengan memanfaatkan isu pemberantasan tindak pidana korupsi.

Selama lebih kurun waktu 28 tahun berlakunya Undang-Undang


Nomor 3 tahun 1971, nampaknya usaha pemberantasan tindak pidana
14

korupsi melalui instrumen hukum (UU No. 3 tahun 1971) tidak


memperoleh hasil yang signifikan, dan bahkan tidak dapat memuaskan
banyak pihak sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi ini menemui hambatan. Kesulitan
tersebut terletak dalam masalah pembuktian, karena ada yang beranggapan
bahwa apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan uang
hasil korupsinya, maka perbuatannya sudah dianggap tidak melawan
hukum lagi. Di sini nampak kesulitan dalam membuktikan adanya
perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara meskipun sebenarnya Mahkamah Agung Indonesia
tidak berpendirian demikian seperti tercantum dalam Putusan MARI No.
1401 K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994.

Adanya kesulitan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 3


tahun 1971 ini, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya
diri sendiri, penyalahgunaan wewenang kekuasaan, memberi dan
menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang
melakukan penggelapan, dan menerima hadiah) terkait tanggung jawab
yang dijalani. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini yang pertama menggunakan
"korporasi" untuk mengganti kata "badan atau badan hukum". Yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Dalam UU ini juga dirumuskan secara tegas bahwa tindak pidana
korupsi sebagai tindak pidana formil, sehingga pembuktianya yaitu apabila
sudah terpenuhi unsur-unsur perbuatan dalam rumusan pasal ini sudah
cukup dan tidak perlu dibuktikan lagi akibat dari perbuatannya.
15

Ditinjau dari segi hukum, korupsi adalah sebuah kejahatan. Di


Indonesia, Singapura dan Malaysia, korupsi adalah kejahatan yang serius
dan pelakunya mendapat sanksi hukum yang maksimal.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang


dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan bangsa dan bernegara, serta
mengganggu stabilitas perekonomian negara. Oleh karena itu, pemerintah
selaku penyelenggara kehidupan bernegara memberikan perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda
dalam program pembangunan nasional. Kenyataan bahwa sekarang Tindak
Pidana Korupsi (TPK) tidak saja telah menjadi tujuan utama bagi bangsa
Indonesia, bahkan telah dianggap musuh bersama oleh masyarakat dan
lembaga atau organisasi internasional

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan
kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes),
karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar
hak-hak ekonomi masyarakat. Untuk memerlukan cara cara
pemberantasan korupsi yang luar biasa. Dalam kacamata global, selain
menghambat investasi, korupsi itu sendiri adalah hambatan pendapatan,
terbesar untuk kesejahteraan, merealisasikan keseimbangan akses
pendidikan bahkan pemberantasan kemiskinan. Salah satu faktor
terpenting adalah saat arus uang dan pola-pola korupsi ternyata telah
menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Hal ini menjadi masalah krusial
jika di masing-masing negara terdapat standar hukum yang berbeda,
bahkan seringkali bertolak belakang dalam hal perlawanan terhadap
korupsi. Bukan tidak mungkin sebuah perbuatan yang di satu negara
diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, ternyata dinilai sebaliknya
di negara lain.
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Korupsi dari bahasa latin corruptio atau corroptus yaitu berasal dari
kata corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan yang hanya untuk kepentingan sendiri.
Jenis-jenis korupsi antara lain Kerugian keuangan Negara, Suap menyuap,
Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan curang, Benturan
kepentingan dalam pengadaan, Gratifikasi.

Ciri-ciri korupsi secara garis besar dapat diidentifisikan sebagai


berikut:

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.


2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara kerasahasiaan.
3. Yang melakukan cara-cara korupsi berusaha menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung dibalik hukum.
4. Melibatkan elemen kewajiban.
5. Yang terlibat korupsi adalah menginginkan keputusan dengan
tegas dan mampu mengaruhi keputusan.

Korupsi dapat ditinjau melalui berbagai perspektif. Korupsi dalam


perspektif agama jelas dilarang. Dalam perspektif sosiologi, terlihat bahwa
korupsi sebagai sebuah masalah yang tersistem dengan budaya, sosial, dan
akar struktural. Sedangkan dalam perspektif hukum, berdasarkan UU No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri,
penyalahgunaan wewenang kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu
kepada pejabat atau hakim, berbuat curang melakukan penggelapan, dan
menerima hadiah) terkait tanggung jawab yang dijalani.

16
17

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan
kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes),
karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar
hak-hak ekonomi masyarakat.

3.2 SARAN

Setelah mengetahui pengertian, jenis, ciri, dan perspektif korupsi,


diharapkan para generasi muda dapat menghindari perilaku korupsi.
Dengan tidak melakukan hal yang serupa dengan ciri-ciri korupsi. Sebagai
generasi muda Indonesia, diharapkan dapat memutus rantai korupsi di
Indonesia karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan banyak
memberikan dampak buruk bagi perkembangan Indonesia.
18

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. Bandung: Mandar Maju.

Husein Alatas, Syed. 1983. Sosiologi Korupsi. Jakarta : LP

Soerjowinoto, Petrus. Studi Terhadap Peran Aktor Intelektual Pada Tindak Pidana
Korupsi. Semarang: UNIKA.

Sjafrien Jahja, Juni. 2012. Say No to Korupsi. Jakarta: Visimedia.

Pusat Edukasi Antikorupsi. 2022. Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini.
Jakarta : ACLC KPK

Sugiarto, R. Toto. 2021. Anti korupsi dan ciri-ciri korupsi : Seri Ensiklopedi
Pendidikan Anti Korupsi.Hikam Pustaka.

Yudhapratama, Linggar. 2015. Korupsi dalam Perspektif Sosiologi. Yogyakarta :


Relasi Inti Media.

Eko H, Ardhian. 2017. Kompilasi Hukum Korupsi. Yogyakarta : Relasi Inti


Media.

Anda mungkin juga menyukai