Anda di halaman 1dari 13

PEMBERANTASAN KORUPSI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pancasila dan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:
Drs. Abdul Saman Nasution, MH

Disusun Oleh :

1. Nur Hidayah (22080008)


2. Aida Rahmi (22080011)
3. Masitoh (22080010)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang
“Pemberantasan Korupsi” . Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya
kelak di yaumil qiyamat.
Dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih baik
berupa tenaga atau pun pikiran sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Kami menyadari bahwasannya makalah ini masih sangat jauh
dari sebuah kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak sangatlah kami harapkan demi kesempurrnaan
makalah ini.

Panyabungan, 10 November 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi .............................................................................. 2


B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi ...................................... 3
C. Upaya Pemberantasan Korupsi ........................................................... 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 9
B. Saran .................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia sudah menjadi permasalahan mendasar bahkan telah
mengakar sedemikian dalam sehingga sulit untuk diberantas. Hal ini terlihat
semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas. Maraknya
korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan.
Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan
hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke
tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Korupsi tidak saja terjadi pada
lingkungan pemerintahan dan pengusaha bahkan telah merambah sampai lembaga
perwakilan rakyat dan lembaga peradilan.
Menjamurnya tindak pidana korupsi tentu membuat segenap bangsa
Indonesia gundah gulana. Oleh karena itu pemberantasan korupsi merupakan
salah satu fokus utama Pemerintah dan Bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian korupsi?
2. Apa faktor penyebab terjadinya korupsi?
3. Bagaimana upaya pemberantasan korupsi?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa
Inggris adalah corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption
dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda
itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.1 Korup berarti busuk, buruk;
suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri
dan sebagainya).2 Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia korupsi dapat diartikan sebagai: “busuk;


palsu; suap; penyuapan pemalsuan”. Sedangkan dalam Kamus Hukum makna
korupsi adalah: “buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan
uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan
jabatannya untuk kepentingan pribadi atau penyelewengan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan
pribadi atau orang lain”.

1. Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli


a. Menurut Kartono

Korupsi adalah Tingkah laku individu yang menggunakan


wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau
merugikan kepentingan umum dan negara”. Jadi korupsi merupakan gejala
salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah
urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum

1
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991), Hlm. 7.
2
WJSB Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1982), Hlm. 524.

2
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Dengan pernyataan
lain korupsi adalah adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara, dan teman.

b. Menurut Suwartojo

Korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang
melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau
menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan,
penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya
yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau
kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan dengan tujuan keuntungan
pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung
merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi

1. Perilaku Individu

Jika dilihat dari sudut pandang pelaku korupsi, karena koruptor


melakukan tindakan korupsi dapat berupa dorongan internal dalam bentuk
keinginan atau niat dan melakukannya dengan kesadaran penuh.
Seseorang termotivasi untuk melakukan korupsi, antara lain karena sifat
rakus manusia, gaya hidup konsumtif, kurangnya agama, lemahnya
moralitas dalam menghadapi godaan korupsi, dan kurangnya etika sebagai
pejabat.3 Menurut UndangUndang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 korupsi dilakukan karena dipaksakan karena tidak
memiliki uang untuk memenuhi kehidupan sehingga korupsi menjadi

3
Moh Yamin, Pendidikan Anti Korupsi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,
2016), hlm. 46.

3
alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.4 Tetapi, sangat irasional
jika pejabat negara tidak memiliki uang karena pada kenyataannya pejabat
pemerintah dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi sekitar
puluhan juta rupiah dan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan. Penyebab
sebenarnya adalah kepuasan dengan gaji, kepuasan gaji didasarkan pada
gagasan bahwa seseorang akan puas dengan gajinya ketika persepsi gaji
dan apa yang mereka anggap tepat.

2. Faktor Keluarga

Biasanya itu terjadi karena tuntutan isteri atau memang keinginan


pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan posisi dia duduk sebagai
ladang untuk memuaskan kepentingan pribadi keluarganya. Keluarga
harus menjadi benteng tindakan korupsi, tetapi kadang-kadang penyebab
korupsi sebenarnya berasal dari keluarga. Jadi, keluarga sebenarnya
bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh suami atau
kepala rumah tangga. Karena itu, keluarga sebenarnya ada di dua sisi,
yaitu sisi negatif dan sisi positif. Jika keluarga adalah pendorong korupsi,
keluarga berada di sisi negatif, sedangkan jika keluarga menjadi benteng
tindakan korupsi, keluarga berada di sisi positif dan ini merupakan faktor
yang sangat penting dalam mencegah korupsi.

3. Pendidikan

Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual.


Pejabat rata-rata yang terjebak dalam kasus korupsi adalah mereka yang
berpendidikan tinggi. Memang pada kenyataannya para pelaku tindak
pidana korupsi adalah para intelektual yang sebelum melakukan
tindakannya telah melakukan persiapan dan perhitungan yang cermat
sehingga mereka dapat memanipulasi hukum sehingga kejahatan tersebut
tidak terdeteksi. Meskipun dalam konteks universal, pendidikan bertujuan

4
Firma Sulistiyowati, Pengaruh Kepuasan Gaji dan Kultur Organisasi Terhadap Persepsi
Aparatur Pemerintahan Daerah Tentang Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Akuntansi dan Auditing
Indonesia, Volume 11, Number 1, June 2007.

4
untuk meningkatkan martabat manusia. Oleh karena itu, rendahnya tingkat
pemahaman tentang pendidikan sebagai langkah untuk memanusiakan
manusia, pada kenyataannya lebih jauh melahirkan para kerdil yang
berpikiran kecil dan mereka sibuk mencari keuntungan sendiri dan
mengabaikan kepentingan bangsa. Karena alasan ini, pendidikan moral
sangat dibutuhkan sejak dini untuk meningkatkan moral generasi bangsa
ini.

4. Sikap kerja

Tindakan korupsi juga bisa datang dari sikap bekerja dengan


pandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dapat melahirkan
uang. Biasanya yang ada dalam pikiran mereka sebelum melakukan
pekerjaan adalah apakah mereka akan mendapat untung atau tidak, untung
atau rugi dan sebagainya. Dalam konteks birokrasi, pejabat yang
menggunakan perhitungan ekonomi semacam itu pasti tidak akan
menyatukan manfaat. Sebenarnya yang terjadi adalah bagaimana masing-
masing pekerjaan bertujuan menghasilkan keuntungan sendiri.

5. Hukum dan peraturan

Tindakan korupsi akan dengan mudah muncul karena undang-


undang dan peraturan memiliki kelemahan, yang meliputi sanksi yang
terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan sembarangan,
lemahnya bidang revisi dan evaluasi legislasi. Salah satu faktor lemah dari
sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Salah satu kelemahan mendasar
adalah perumusan sanksi pidana yang minimal tidak khusus. sebanding
dengan sanksi pidana maksimal. Sangat tidak logis dan tidak sesuai
dengan rasa keadilan jika bentuk pidana maksimal penjara seumur hidup
dan hukuman minimum adalah penjara 1 tahun sebagaimana diatur dalam

5
Undang-Undang Korupsi.5 Salah satu penyebab kegagalan peradilan
pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah cara hukum
yang legalistik-positivistik.6

C. Upaya Pemberantasan Korupsi

Ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi meningkat pula.


Sebaliknya ketika korupsi berhasil dikurangi, kepercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum bertambah. Kepercayaan yang membaik dan dukungan
masyarakat membuat penegakan hukum menjadi efektif. Penegakan hukum yang
efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi. Jadi kita bisa katakan
bahwa dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi
kejahatan yang lain. Beberapa strategi pemberantasan korupsi akan diuraikan
secara singkat berikut ini.

1. Mengenal Lebih Dekat Korupsi

Kita (rakyat) perlu belajar mengenali korupsi. Salah satu sebab


mengapa korupsi sukar diberantas karena baik pemerintah maupun
anggota masyarakat kurang memahami dan mengenali secara baik, jenis-
jenis korupsi yang sering terjadi dalam masyarakat dan pemerintahan.
Jangan sampai kita berteriak „berantas korupsi‟ tapi tidak sadar bahwa kita
sendiri sebetulnya sering melakukan korupsi, ibarat maling teriak maling.

2. Mengetahui Hak dan Kewajiban yang Berkaitan dengan Pemberantasan


Korupsi

Kita perlu mengetahui dan memahami hak dan kewajiban kita,


terutama yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Kalau kita
tahu aturan mainnya (proses hukum), kita tidak mudah dibohongi oleh
oknum-oknum yang terlibat korupsi, sebaliknya kita bisa melakukan

5
Benny K. Harman, Langkah-Langkah Strategis Memberantas Korupsi di Indonesia,
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Volume, 40, Number 4, October 2011, hlm. 434.
6
Habib Sulton Asnawi, Membongkar Paradigma…Op.Cit., hlm. 350.

6
pengawasan (kontrol sosial) dan berperan serta secara aktif
menanggulangi maupun mencegah korupsi.

3. Sikap Anti Korupsi

Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan


menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Pencegahan yang
dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak
melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara.
Adapun perbaikan manusia dilakukan melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Mengoptimalkan


peran agama dalam memberantas korupsi. Artinya pemuka agama
berusaha mempererat ikatan emosional antara agama dengan umatnya
dan menyatakan dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela,
mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk
korupsi, mendewasakan iman dan menumbuhkan keberanian
masyarakat untuk melawan korupsi.
b. Memperbaiki moral sebagai suatu bangsa. Pengalihan loyalitas
(kesetiaan) dari keluarga/suku kepada bangsa. Menolak korupsi
karena secara moral salah.
c. Meningkatkan kesadaran hukum, dengan sosialisasi dan pendidikan
anti korupsi.
d. Memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin
yang memiliki kepedulian dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa
menjadi teladan.

4. Kontra Korupsi (Penindakan, Represif)

Kontra korupsi adalah kebijakan dan upaya-upaya yang


menitikberatkan aspek penindakan. Proses penindakan yang dilakukan
sifatnya bisa dipaksakan. Akan tetapi supaya tidak terjadi penyalahgunaan
kewenangan yang membahayakan hak-hak dan kebebasan masyarakat,

7
maka dalam pelaksanaannya, kontra korupsi bersifat sementara dan
terbatas.

5. Peran Serta Masyarakat Memberantas Korupsi

Korupsi sungguh menyebabkan krisis kepercayaan. Korupsi di


berbagai bidang pemerintahan menyebabkan kepercayaan rakyat dan
dukungan terhadap pemerintahan menjadi minim. Padahal tanpa dukungan
rakyat program perbaikan dalam bentuk apapun tak akan pernah berhasil.
Sebaliknya jika rakyat memiliki kepercayaan dan mendukung pemerintah
serta berperan serta dalam pemberantasan korupsi maka, korupsi pun bisa
diakhiri. Setiap orang berhak mencari, memperoleh dan memberikan
informasi tentang dugaan korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat
maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat)
atau kepada KPK.

6. Penghargaan Bagi Pelapor

Kepada setiap orang, ormas yang telah membantu upaya


pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat diberikan
penghargaan berupa piagam/premi, setelah keputusan pengadilan yang
mempidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Korupsi adalah perbuatan yang buruk. Korupsi tidak berbeda jauh dengan
pencurian dan penggelapan, hanya saja unsur-unsur pembentukannya lebih
lengkap. Korupsi bisa kita pahami juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan
kerugian negara. Kita sebagai masyarakat Indonesia secara umum dan sebagai
penyelenggara negara/pegawai negeri pada khususnya pada khususnya, perlu
memahami masalah korupsi, serta mengenali lebih detail berbagai kebijakan dan
peraturan, dan mengikuti berbagai perkara dan jenis-jenis korupsi yang sering
terjadi dalam masyarakat dan pemerintahan. Turut aktif berperan serta dalam
pemberantasan korupsi, dan menjadi contoh dalam penggalakan anti korupsi
untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik dan bersih. Dengan digalakkannya
program pemberantasan dan tindak pidana korupsi oleh pemerintah diharapkan
dapat mempercepat terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, pemakalah berharap agar kita semua lebih


mengerti dan paham mengenai pembahasan yang dibahas dalam makalah ini.
Mengenai makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terdapat kekurangan-
kekuarangan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini dapat disempurnakan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Moh Yamin, 2016, Pendidikan Anti Korupsi, Bandung: PT Remaja Rosdakary


Offset

Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya, Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama

Firma Sulistiyowati, 2007, “Pengaruh Kepuasan Gaji dan Kultur Organisasi


Terhadap Persepsi Aparatur Pemerintahan Daerah Tentang Tindak Pidana
Korupsi”, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 11, No. 1.

Benny, 2011, “Langkah-Langkah Strategis Memberantas Korupsi di Indonesia”,


Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 40, No. 4.

Anda mungkin juga menyukai