Anda di halaman 1dari 28

FILSAFAT ILMU EKONOMI ADALAH BAGIAN INTEGRAL DARI FILSAFAT ILMU

PENGETAHUAN (PHILOSOPHY OF SCIENCE)

Pendahuluan

Refleksi filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan perjalanan sejarah hidup
manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia
adalah hubungan produksi1. Akan tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru
mengemuka sejak aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18, misalnya dalam
karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume (1752), dan paling berpengaruh adalah
karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Pada masa-
masa awal, ilmu ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga
pembahasan filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral2. Dalam konteks perkembangan
ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu ekonomi semakin kompleks dengan
berkembangnya beragam aliran pemikiran ekonomi3. Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, orthodox dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian
yang cukup banyak4. Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para ekonom
maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu ekonomi.

Filsafat ilmu ekonomi meliputi pembahasan tentang aspek konseptual, metodologi, dan etika yang
berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi (Hausman, 2008; Caldwell, 1993). Fokus utamanya adalah
aspek metodologi dan epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang dibangun oleh para
ekonom untuk sampai pada yang disebut “science” tentang proses ekonomi. Filsafat ekonomi juga
berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika menjadi bagian argumentasi dalam ilmu ekonomi seperti
kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Pertanyaan yang
selanjutnya mengemuka adalah apakah dimensi filsafat ilmu ekonomi tersebut menghasilkan
pengetahuan empiris yang menjadi dasar teoritis ilmu ekonomi sehingga dapat diklaim bahwa filsafat
ekonomi adalah bagian integral dari filsafat ilmu pengetahuan. Pembahasan tentang pertanyaan ini
telah berlangsung lama dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ekonom dan filosof hingga
saat ini.

Perdebatan tentang apakah filsafat ekonomi mengikuti pola metodologis dan epistemologis seperti
halnya dalam filsafat ilmu atau memiliki pola tertentu yang terpisah sudah terjadi sejak abad ke 18,
dan menjadi lebih intensif di tahun 1970-an terutama ketika ideologi Kuhnsian, Popperian, dan
Lakatonian masuk dalam pembahasan tentang ekonomi (Blaugh, 1992). Banyak yang mencoba
menjelaskan perdebatan tersebut dan hasilnya lebih condong kepada pandangan bahwa filsafat
ekonomi memiliki klaim yang kuat sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan5. Sekalipun
demikian, terdapat beberapa pandangan minor yang tetap ‘menyangsikan” kesimpulan tersebut, dan
memandang bahwa pembahasan tentang filsafat ekonomi harus dilakukan secara terpisah dari filsafat
ilmu pengetahuan, misalnya Hutchison (2000). Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan
perdebatan tersebut dan menguraikan tantangan yang dihadapi filsafat ilmu ekonomi dalam
mengokohkan klaim ‘scientific’ ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan. Bagian
pertama akan menjelaskan tentang permasalahan metodologis dan epistemologis yang dihadapi ilmu
ekonomi dalam perspektif ilmu pengetahuan sebagai dasar pembahasan. Bagian kedua adalah tinjauan
literatur tentang filsafat ekonomi dan sejumlah perdebatan yang terjadi di kalangan ekonom dan
filosof terkait hubungan antara filsafat ekonomi dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagian ketiga adalah
kesimpulan yang sekaligus juga menyajikan pandangan pribadi penulis tentang keterkaitan filsafat
ekonomi dan filsafat ilmu pengetahuan.

Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Ilmu Ekonomi

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis.
Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan pembahasan bagaimana
disiplin ilmu tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta
pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu6. Dengan kata lain, filsafat ilmu pengetahuan
merupakan telaah secara filsafati yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat sains
empirikal, seperti (1) Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Pertanyaan – pertanyaan ini disebut
landasan ontologis, (2) Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Cara/ teknik/sarana apa
yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini
disebut landasan epistemologis, (3) Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
pertanyaan-pertanyaan ini adalah landasan aksiologis. Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan,
pengetahuan, metode-metode ilmiah, serta sikap etis yang harus dikembangkan oleh para ilmuwan,
yang berfungsi sebagai sarana pengujian penalaran sains; merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode keilmuan; serta memberikan landasan logis terhadap metode keilmuan (Judistira, 2006;
Salmon et. al., 1992; dan www.wikipedia.org).

Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan apakah
ilmu ekonomi memiliki klaim kuat sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek
metodologis dan epistemologis yang menghasilkan pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi
perdebatan tentang hal tersebut adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu
ekonomi. Secara umum, terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait dengan aspek
metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):

Pertama, positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan normatif dalam ekonomi
menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu pengetahuan yang bersifat positivisme.
Sebagian besar ekonom mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu
ekonomi dalam bentuk positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak
kalangan menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan cenderung lemah
karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti
mengandung aspek normatif (Mongin, 2006; Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969;
Marwel and Ames, 1981; Frank et al, 1993; Marx, 1867).

Kedua, reasons versus causes. Teori ekonomi mengasumsikan bahwa individu bertindak rasional dan
melakukan pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan ini menjadi justifikasi
mengapa seseorang melakukan pilihan tertentu, dan alasan tersebut harus dimengerti oleh individu
yang bersangkutan. Asumsi ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya kemungkinan bahwa
individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang disebabkan oleh kondisi tertentu sehingga
tidak bertindak berdasarkan alasan rasional. Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi
bahwa mereka memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan dengan
pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kondisi ini tidak pernah terjadi, dan
hal tersebut menjelaskan mengapa ilmu ekonomi tidak parallel atau berbeda dengan ilmu alam
(Buchanan and Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).

Ketiga, Social Scientific Naturalism. Dari semua ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah yang paling mirip
dengan ilmu alam. Pandangan untuk membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam umumnya terkait
dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah ada perbedaan fundamental antara struktur dan konsep
dalam hal teori dan penjelasan pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait dengan
reasons versus causes seperti telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada perbedaan fundamental
dalam tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam? Sejumlah kalangan menyatakan bahwa ilmu
ekonomi memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi sehingga
menciptakan adanya pengertian dan respon terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini mengakibatkan
adanya unsur subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam, (3) Pentingnya pilihan manusia (atau
mungkin free will), menimbulkan pertanyaan apakah fenomena sosial terlalu tidak teratur sehingga
sulit digambarkan dalam suatu kerangka hukum dan teori? Dengan karakter manusia yang bersifat
free will, mungkin perilaku manusia sulit diprediksi. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak
perilaku manusia yang menunjukkan keteraturan, disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga
terjadi pada ilmu alam yang memiliki banyak ketidakteraturan dalam hubungan kausal.

Keempat, Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics. Dalam perspektif ilmu
pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya abstraksi,
idealiasasi, dan klaim kebenaran teori yang ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan mengemuka, tentang
seberapa banyak simplikasi, idealisasi, dan abtraksi dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi asumsi
ceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut telah menjadi perdebatan
metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari ilmu ekonomi.

Kelima, Causation in economics and econometrics. Generalisasi dalam ilmu ekonomi didasarkan pada
hubungan kausal, misalkan tentang hukum permintaan. Hubungan kausal ini juga dapat diidentifikasi
dengan ekonometrika. Akan tetapi, terdapat kemungkinan adanya pertentangan analisis hubungan
kausal antara yang dihasilkan oleh perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan
keseimbangan ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang hubungan kausal
mana yang akan dipilih.

Keenam, Structure and strategy of economics. Perdebatan aspek metodologis terkait dengan aspek ini
adalah masuknya filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan Lakatonian (Lakatos, 1970) dalam pembahasan
tentang ekonomi.

Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut telah menimbulkan banyak
perdebatan tentang klaim “scientific” ilmu ekonomi dalam hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu
pengetahuan menghasilkan generalisasi yang salah? Jika klaim tersebut tidak dapat digeneralisasi
secara universal, apa dasar logis yang mendasarinya? Bagaimana mengetahui klaim yang dihasilkan
dari proses tersebut salah atau bagaimana pengujian yang harus dilakukan sehingga klaim tersebut
dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi topik intensif yang terus
mengemuka hingga saat ini.

Filsafat Ilmu Ekonomi: Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan Epistemologis serta
Membuktikan Klaim “Scientific” Ilmu Ekonomi

Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan, sejumlah ekonom telah berupaya mengatasi
permasalahan metodologis tersebut untuk menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era Nassau
Senior dan John Stuart Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel Robbins di tahun 1930-an, terdapat
konsepsi dominan di kalangan para ekonom bahwa premis atau postulat yang di kemudian hari lebih
populer disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang sebagai sesuatu kebenaran yang mampu
menggambarkan hubungan kausal dalam aktivitas ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan
metode a priori. Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak kelemahan
terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak selalu didukung oleh bukti empiris karena
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mill bahwa secara abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar
jika faktor pengganggu lainnya diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor penganggu tersebut selalu ada
dan memberikan pengaruh terhadap hubungan kausal yang terjadi. Akibatnya, konfirmasi terhadap
teori ekonomi condong pada bahwa premis tersebut benar dibandingkan dengan memeriksa implikasi
prediksi teori tersebut terhadap bukti empiris. Selanjutnya berkembang pendekatan lain, misalnya
yang dilakukan ilmuwan Jerman dan Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad ke-
20), yang berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak selalu mencerminkan
realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan generalisasi hanya dapat dilakukan secara
bertahap berdasarkan temuan yang diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan
tidak menemukan titik temu (Hausman, 2008).

Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung implikasi prediksi lebih
mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau kutub yang mengusung tradisi Millian. Perkembangan
baru ini dipelopori oleh Machlup (1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa asumsi-
asumsi yang mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang terpenting adalah kemampuan dari
implikasi model tersebut dalam memprediksi kenyataan. Selama lebih dari dua dekade, pandangan
Friedman banyak mendominasi tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi.
Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun 1970-an, ketika filosofi Popperian,
Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam pembahasan tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian
menolak metode induksi dan memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian
tersebut memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau bagaimana teori ekonomi dapat
menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang mensyaratkan bahwa formulasi
teori harus logically falsifiable dan testable, menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap
sebagian besar bahkan seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan asumsi-asumsi yang
sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi (Marchi, 1988; Caldwell, 1991; Boland, 1992).
Kelemahan ini selanjutnya diatasi oleh Imre Lakatos (1970) yang kemudian dikenal dengan
Lakatonian, yang memperkenalkan konsep theoretically progressive. Lakatos menekankan pada
appraising historical series of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising
theories. Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan aspek metodologis
dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian. Sekalipun demikian, pandangan Lakatos ini
belum dapat menyajikan penjelasan yang memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk
menyatakan klaim tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.

Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi memunculkan sejumlah pandangan radikal
diantaranya adalah bahwa ilmu ekonomi memang tidak dapat melewati persoalan metodologis
tersebut. Pelopor pandangan ini adalah Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan bahwa ilmu
ekonomi hanya dapat menghasilkan prediksi umum yang tidak tepat, dan tidak dapat menghasilkan
perubahan. Lebih lanjut, menurut Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai matematika terapan
bukan sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki dasar argumentatif mengingat ilmu
ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi,
banyak kalangan menilai bahwa klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi
kuantitatif cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan para ekonom
kontemporer yang dapat memprediksi harga saham lebih baik dibandingkan dengan para ekonom di
masa lalu. Pandangan radikal lainnya yang berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre
McCloskey’s (1994) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar
metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang relevan untuk menilai praktik
dan produk yang dihasilkan oleh ilmu ekonomi adalah apa yang diterima oleh praktisi. Dengan kata
lain, ilmu ekonomi dapat mengabaikan standar metodologis yang dikemukakan oleh para filosof.
Pandangan ini dikenal dengan istilah ekonomi retoris. Banyak karya berharga dan berpengaruh yang
dihasilkan oleh McCloskey’s dengan pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi masalah yang
dihadapi adalah kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-argumentasi dalam studi tersebut
karena tidak memiliki standar epistemologis.
Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah realisme. Terdapat
dua bentuk pandangan realisme yang berkembang yaitu (1) Pandangan realism yang dikemukakan
oleh Uskali Maki (2007), yang mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan
metodologis dan bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2) Pandangan realisme
yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy Bhaskar (1978) yang menyatakan bahwa
seseorang yang menelusuri kekurangan yang terdapat dalam ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan
ontologi. Menurut Lawson, fenomena ekonomi yang sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor yang
berbeda, dan seseorang dapat mencapai pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan
kecenderungan yang berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.

Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek kritik dari aspek sosiologis dan
metodologis. Kritik sosiologis misalnya dikemukakan oleh Karl Marx yang mengkritik ekonomi
klasik. Menurut Marx, ekonomi klasik memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan kebijakan
ekonomi-nya sehingga akan selalu memunculkan kritik yang takkan pernah berakhir. Pengaruh ilmu
sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang dihadapkan pada kesulitan metodologis dalam ilmu ekonomi
telah memunculkan pandangan untuk merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan refleksi
metodologis dari perpektif sosiologis. Pelopor pandangan ini antara lain D. Wade Hands (2001),
Hands and Mirowski (1998), Philip Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991). Sekalipun
demikian, seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan perdebatan.

Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah penerapan pendekatan
strukturalis teori ilmiah dalam ilmu ekonomi, yang antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971),
Stegmüller et al (1981), dan Balzer and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah
pandangan terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menilai teori
ekonomi. Selama tidak ada konsensus terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, maka ketika
praktisi ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah mereka yang memiliki memahami filosofi
tetapi kurang memiliki pengetahuan ekonomi dapat menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya,
menurut pandangan ini mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih banyak
memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.

Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah penggunaan pendekatan eksperimental dan
non-eksperimental. Kombinasi pendekatan tersebut dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori
ekonomi dan bukti empiris. Akan tetapi, sejumlah kalangan masih menyangsikan apakah pendekatan
eksperimental dapat digeneralisasi dalam konteks non-eksperimental, termasuk kemungkinan apakah
pendekatan eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005; Kagel and Roth, 2008).
Normative Economics

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat bahwa sulit memisahkan
pembahasan ilmu ekonomi dengan membedakan aspek positivisme dan aspek normatif karena selama
teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung
aspek normatif. Kondisi ini membawa konsekuensi pada perlunya pemahaman tentang pembahasan
ekonomi normatif yang berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika dan moral menjadi bagian
argumentasi dalam membangun ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off
diantara pilihan-pilihan yang tersedia.

Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan secara intrinsik hal-hal apa yang baik bagi
manusia. Pembahasan topik ini mendapatkan tempat yang utama mengingat pandangan moral
menempatkan kesejahteraan manusia sebagai sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga berlaku pada
pandangan utilitarian maupun non utilitarian yang memiliki tujuan memaksimumkan kepuasan
individu. Dalam konteks ini, ekonomi positif dapat dipertemukan dengan ekonomi normatif dengan
menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi normatif dengan kepuasan preferensi dalam ekonomi
positif. Akan tetapi, terdapat sejumlah kalangan yang keberatan tentang kesamaan kesejahteraan
dengan kepuasan preferensi. Menurut pandangan ini, kepuasan preferensi dapat didasari oleh suatu
keyakinan yang keliru dari pengalaman masa lalu atau distorsi psikologis sehingga sulit melakukan
perbandingan kesejahteraan antar individu. Selain itu, menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan
preferensi berarti menempatkan kesejahteraan individu tertentu berdasarkan preferensi individu lain,
sementara kesejahteraan cenderung pada suatu konsensus kolektif tertentu yang disepakati. Diantara
ekonom yang mendukung kesamaan antara kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya
Sen (1992). Sekalipun demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan preferensi
bukan proksi empiris yang baik untuk menggambarkan kesejahteraan, walaupun mereka beranggapan
bahwa kesejahteraan dapat mencerminkan kepuasan preferensi.

Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi. Konsepsi ini memiliki pembahasan yang
cukup luas dalam ekonomi dalam hubungannya dengan kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi
kesejahteraan, yaitu first fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium
yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum (alokasi sumber daya yang efisien) dalam pasar yang
sempurna. Teorema ini merepresentasikan konsepsi Adam Smith tentang invisible hand. Dalam
kenyataannya, pasar yang sempurna tidak pernah terjadi atau terjadi kegagalan pasar (market failure),
sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam
konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang
optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Eksistensi dua teorema telah menjadi bahan
perdebatan dalam menentukan apakah akan menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-faire)
atau kalaupun adan intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi tersebut. Pembahasan lainnya
terkait dengan efisiensi adalah analisis biaya dan manfaat yang sering digunakan sebagai instrument
praktis dalam analisis kebijakan (Adler and Posner, 2006).

Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi ekonomi normatif, para ekonom tidak
hanya memfokukan pada pembahasan tersebut. Melalui kolaborasi dengan para filosof, ekonom
normatif telah menghasilkan sejumlah kontribusi penting dalam karya kontemporer di bidang etika
dan filsafat normatif dalam ilmu sosial dan politik. Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan teori
permainan. Selain itu, ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan karakteristik formal tentang
kebebasan yang menunjang analisis ekonomi. Sebagian lainnya juga berhasil mengembangkan
karakterisasi formal tentang kesetaraan sumber daya, kesempatan, dan outcome serta telah
menganalisis kondisi yang memungkinkan memisahkan tanggung jawab individu dan sosial terhadap
kesenjangan. Beberapa ekonom lainnya yang juga banyak memberikan kontribusi penting adalah
Roemer, Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman, 2008). Singkatnya, ada interaksi yang intensif
antara ekonomi normatif dan filsafat moral.

Kesimpulan

Filsafat ilmu ekonomi berkaitan dengan pembahasan yang menjelaskan landasan yang mendasari
konsepsi, metodologi, serta etika dalam disiplin ilmu ekonomi. Oleh karenanya, filsafat ekonomi
merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat ilmu pengetahuan yang membahas bagaimana disiplin
ilmu tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta pemahaman
yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Sekalipun demikian, terdapat beragam perdebatan yang
sangat intensif dan terus berkembang dalam upaya mengokohkan filsafat ilmu ekonomi dari
perspektif filsafat ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan aspek metodologis, rasionalitas, etika
dan aspek normatif yang terdapat dalam ilmu ekonomi. Telaah yang lebih mendalam dalam aspek-
aspek ini sangat diperlukan dalam mengokohkan klaim “scientific” ilmu ekonomi di masa
mendatang.

Notes:
1 Menurut Marx, sistem masyarakat yang ada pada masa kapan pun sebenarnya merupakan akibat
dari kondisi ekonomi (hubungan produksi). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat dikembalikan
pada satu sebab, yaitu perjuangan kelas (class struggle) dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi
tersebut. Aristoteles juga telah membahas sejumlah masalah yang terkait ekonomi, tetapi dalam ruang
lingkup kecil yang lebih kecil yaitu rumah tangga sehingga pada zaman itu ekonomi dimaknai sebagai
persoalan mengelola rumah tangga.

2 Alvey (1999), menunjukkan bahwa hingga permulaan abad ke-20 ilmu ekonomi masih dipandang
dalam perspektif moral science, dan menyatakan bahwa perkembangan ilmu ekonomi kontemporer
yang teralienasi dari aspek moral telah melupakan akar sejarah disiplin ilmu ini.

3.Umumnya, para ekonom mengklasifikasi pemikiran ekonomi dalam tiga kelompok, yaitu neoklasik
ortodoks, institusionalis, dan radikal. Duhs (2006) menyebutkan bahwa pembagian ini misalnya
dilakukan oleh Ward (1979); Cole, Cameron and Edwards (1983).

4 Sejumlah varian mainstream economics misalnya keynesian economics, monetarists, new classical
economics, rational expectations theory, real business cycle, dll. Keragaman mainstream economics
disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap pertumbuhan, moneter, ketenagakerjaan, pertanian,
sumber daya alam, perdagangan internasional, dll. Sedangkan varian orthodox economics misalnya
agency theory, Chicago School, public choice, Austrian Economics,institutionalist economics
Marxian Economics, socio-economists, behavioral economists, post-keynesians, neo-ricardians,
neuroeconomics. Untuk pembahasan detail, lihat Davis, Hands, and Maki (1998).

5Sejumlah ekonom dan filosof yang memiliki kontribusi penting dalam mengkonstruksi filsafat
ekonomi sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan antara lain (Buchanan, 1985), (Hausman,
2008), (Hausman & McPherson, 1996), (Little, 1995), (Sen, 1987), dan (Rosenberg, 1992).

6Terdapat beragama metode untuk memverifikasi validitas reasoning yang mendasari suatu ilmu,
antara lain empirical verification, induction, test of an isolated theory impossible, coherentism,
ockham’s razor, dll.
Filsafat ekonomi

Filsafat Ekonomi adalah interdisiplin ilmu ekonomi yang berkutat pada pengkajian teori ekonomi ;
metodologi ekonomi, berupa penilaian terhadap hasil, institusi, dan proses ekonomi ; serta etika dalam
proses ekonomi.[1][2] Fokus utama pada kajian filsafat ekonomi adalah permasalahan yang berkaitan
dengan metodologi dan epistemologi. Pengkajian atau pembelajaran konseptual terhadap metodologi
dan teori ekonomi akan membawa ahli ekonomi memahami suatu aktivitas atau fenomena ekonomi,
dan kemudian memodelkannya. Selain itu, etika dalam filsafat ekonomi merupakan bahasan yang
tidak kalah penting. Ekonomi merupakan ilmu yang melibatkan aktivitas dan karakter dari manusia.
Bahkan kegiatan ekonomi dapat mengubah tatanan sosial-budaya dari masyarakat, sehingga dalam
penerapannya terdapat nilai-nilai dan etika yang perlu dikaji kembali.[1][3]

Kerangka utama dari pembahasan ekonomi secara teoretis diberikan oleh teori pilihan rasional. Teori
pilihan rasional dalam aplikasinya meliputi bahasan risiko, ketidakpastian, situasi strategis dan
keputusan berkelompok[1][3]. Mengkaji fondasi dasar teori pilihan rasional berarti mengkaji aksioma
dan prinsip-prinsip yang mendasari teori tersebut. Meskipun demikian, tidak semua teori ekonomi
bersifat rasional, seperti teori kuantitas uang dan hukum penawaran dan permintaan .[3]

Ekonomi pada kajiannya secara umum merupakan suatu ilmu yang unik, kajiannya yang melibatkan
banyak permodelan matematis dari suatu fenomena sosial, menunjukan perpaduan aspek epistemologi
dan keilmuan (ontologi) secara langsung didalamnya.[1]

Interpretasi dari teori ekonomi

Ekonomi secara singkat merupakan ilmu yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan produksi,
distribusi, dan konsumsi dari suatu komoditas.[2] Namun dalam perkembangannya muncul berbagai
pandangan lebih lanjut tentang ekonomi. Pandangan klasik atau yang disebut juga ekonomi liberal
memandang bahwa pasar akan bekerja dengan optimum jika campur tangan dari pemerintah
minimum.[4] Sementara pandangan ekonomi neoklasik tidak hanya menginterpretasikan kerja pasar
secara konseptual, melainkan juga melalui pendekatan matematis pada penawaran dan permintaan,
serta pilihan atau preferensi rasional dari suatu pasar.[5] Kemudian terdapat pandangan ekonomi yang
dikemukakan oleh Karl Marx yang berfokus pada teori nilai kerja dan teori nilai lebih yang dalam
pandangannya menjelaskan eksploitasi kelas pekerja atau buruh.[6] Terdapat juga pandangan
Keynesianisme yang menyatakan permintaan keseluruhan tidak hanya dipengaruhi oleh kapasitas
produksi dari suatu aktivitas ekonomi, namun juga dipengaruhi sejumlah faktor yang seringkali tidak
menentu seperti inflasi dan pengangguran.[7]
Ada tiga alasan utama dari kajian filsafat dalam teori ekonomi. Pertama, kajian filsafat memberikan
persepektif moralitas terhadap kesehjateraan, keadilan, dan kebebasan. Kedua, kajian filsafat
memberikan pandangan akan sifat rasional dari suatu pasar atau individu. Ketiga, kajian filsafat
memberikan pandangan yang berkaitan dengan metodologi dan epistemologi dari suatu fenomena
sosial terhadap aktivitas ekonomi.[3]

Rasionalitas

Ilmu ekonomi selalu dikaitkan dengan sifat dan motivasi dari konsumen. Sifat rasional dalam makna
yang luas berarti bijak, konsisten dan terencana. Sifat rasional diyakini mengatur kebanyakan aktivitas
dalam pasar, hal ini diakibatkan terdapat kecenderungan pasar untuk merugikan kalangan yang tidak
bertindak rasional. Rasionalitas merupakan salah satu konsep pokok dalam kajian filsafat, seperti pada
bahasan epistemologi, etika dan filsafat budi.[1][8] Karenanya kajian rasionalitas dalam filsafat dan
ilmu ekonomi seringkali beririsan.

Teori pilihan-rasional

Teori pilihan rasional merupakan idealisasi prinsip ekonomi yang menyatakan bahwa suatu individual
atau kelompok selalu membuat keputusan yang bijak dan logis. Dengan cara ini maka pengambil
keputusan akan memperoleh keuntungan maksimum dari pilihan yang diberikan. Kebanyakan
permodelan dan teori ekonomi berbasis pada teori pilihan rasional.[9] Prinsip dasar teori pilihan
rasional adalah sebagai berikut:[10]

Setiap individu dalam masyarakat adalah individu yang rasional sehingga dapat berpikir dengan logis.

Setiap individu memiliki kepentingan yang dapat berbeda-beda dan kebutuhan mereka bergantung
pada kepentinganya.

Setiap individu mampu membuat pilihan, dan pilihannya mempengaruhi kebutuhannya.

Teori pilihan rasional merupakan jantung dari ekonomi mikro, karena ekonomi mikro berfokus pada
pengkajian sifat dan aktivitas ekonomi dari individu.[11] Teori pilihan rasional merupakan idealisasi
dari perilaku individu, sehingga dalam aplikasinya tentu akan terdapat ketidak cocokan[12], karena
perilaku individu dapat dipengaruhi banyak faktor, seperti nilai sosial dan budaya yang seringkali
tidak dapat dijelaskan secara rasional. Disinilah kajian filsafat dalam aspek rasionalitas diperlukan,
untuk menganalisis penyimpangan perilaku individu yang mungkin saja tidak bisa dijelaskan secara
empiris. Dalam kajian lebih lanjut, teori pilihan rasional tidak hanya mengkaji keputusan individu,
namun dapat juga digunakan untuk menganalisis keputusan kelompok.
Teori Permainan (game theory)

John Nash(2006) dikenal karena kontribusinya terhadap teori permainan.

Teori permainan merupakan alat analisis matematis yang digunakan untuk menguji bagaimana prinsip
rasionalitas bekerja dalam interaksi sosial.[13] Kajian filsafat dan teori permainan berhubungan dalam
banyak hal. Dalam diskusi filsafat, teori permainan digunakan sebagai alat pemecahan suatu masalah
dan bahkan teori permainan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam persepektif filsuf.[14] Selain
itu teori permainan juga menjadi objek kajian filsafat karena teori permainan merupakan alat untuk
mengkaji rasionalitas yang termasuk pokok bahasan filsafat.[14] Dalam ekonomi, teori permainan
digunakan untuk menganalisis dan memprediksi keputusan yang diambil agen-agen dalam aktivitas
ekonomi.

Metodologi

Suatu teori ekonomi dikembangkan untuk memberi penjelasan ilmiah terhadap berbagai fenomena
dalam aktivitas ekonomi. Sama seperti dalam ilmu lainnya, teori ekonomi dikatakan memadai jika
didukung oleh hasil empiris yang diperoleh dari pengamatan dan eksperimen. Metode pengamatan
bertujuan untuk memperoleh hasil dan kesumpulan dari suatu teori ekonomi terhadap aktivitas
ekonomi yang "alamiah". Alamiah disini bermakna bahwa aktivitas ekonomi tersebut tidak mendapat
bias atau pengaruh yang diberikan sebelumya oleh pengamat. Pada penerapannya, metode
pengamatan sangat bergantung pada data statistik maupun ilmu ekonometrika. Sebaliknya, metode
eksperimen adalah pengamatan, pencatatan dan analisis terhadap hasil yang diperoleh dari suatu
intervensi atau pengaruh yang sengaja diberikan dalam aktivitas ekonomi.

Pengukuran

Perbedaan mendasar antara ilmu pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang diperoleh dari kehidupan
sehari-hari (informal) adalah sifat pengetahuan ilmiah yang terukur, formal, sistematis dan konkret.
Sementara pengetahuan informal bersifat tidak sistematis serta melibatkan banyak asumsi dan
pendekatan. Ilmu ekonomi termasuk yang bersifat ilmiah, sehingga setiap hasil pengamatan dan
eksperimen merupakan hasil yang terukur. Pengukuran seringkali mempengaruhi hasil dari
eksperimen atau pengamatan, termasuk dalam bidang ekonomi.[15][16]

Dalam ilmu ekonomi pengukuran adalah proses penilaian numerik terhadap properti fisis atau
variabel abstrak dalam suatu aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang
tepercaya yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi tersebut[16][17]. Metode pengukuran dalam
bidang ekonomi tidak tersusun dalam satu bidang riset, melainkan terpecah-pecah berkaitan dengan
metodologi dan bidang yang diukur, seperti ekonometrika, dan teori indeks.[16] Pengukuran variabel
seperti modal, pengangguran, tingkat konsumsi, dan inflansi, merupakan contoh pengukuran dalam
ilmu ekonomi.[18]

Ekonometrika

Ragnar Frisch mengemukakan ekonometrika merupakan penyatuan kuantifikasi aspek teoretis dan
empiris dari pendekatan terhadap suatu permasalahan ekonomi.[3][19] Kuantifikasi aspek teoretis dan
empiris didalamnya tentu saja melibatkan metode pengukuran, teori ekonomi, matematika, dan
statistika . Dalam ekonometrika tidak terdapat kesepakatan untuk melakukan representasi dan
pengukuran secara formal. Namun dari sudut pandang aktivitas pengukuran, evolusi dari
ekonometrika dapat dikategorikan melalui tiga pendekatan yakni:[3][19]

Pendekatan ortodoks merupakan pendekatan dengan permodelan pengukuran ilmu alam.

Pendekatan reformis adalah pendekatan dimana menempatkan pengukuran dalam sistem ilmu sosial
namun secara metodologi tidak menjauh dari metodologi ilmiah.

Pendekatan heterodoks merupakan pendekatan pengukuran tanpa teori.

Ragnar Frisch dikenal sebagai pencetus ilmu ekonometrika.

Contoh kajian filsafat yang berkaitan ekonometrika adalah debat antara Gustav Schmoller dan Carl
Menger berkatian dengan model induktif dan deduktif dalam pembelajaran ilmu sosial.[3][20][21]

Eksperimen

Secara umum terdapat empat jenis eksperimen dalam ekonomi. Pertama adalah eksperimen pikiran
yang dapat dilakukan dalam pembahasan ekonomi mikro dan ekonomi makro. Eksperimen pikiran
merupakan pengabstrakan fenomena yang terjadi di dunia nyata. Parameter pada eksperimen pikiran
dapat dibuat lebih sederhana maupun kompleks dan kemudian dilakukan kajian terhadap fenomena
tersebut menggunakan teori atau hukum ekonomi yang berlaku.[3]

Kedua adalah eksperimen natural atau alamiah. Pada eksperimen ini tidak ada intervensi tidak
terdapat manipulasi yang dilakukan pengamat terhadap sistem, alih-alih pengamat mencari situasi
alami yang cocok dengan deskripsi eksperimen kemudian menganalisisnya menggunakan metode
statistik. Secara teknis metode ini mirip dengan metode pengamatan.[3]

Jenis ketiga adalah eksperimen lapangan. Pada eksperimen ini subjek eksperimen dibagi kedalam dua
bagian berdasarkan perlakuan yang diberikan, yakni subjek eksperimen (yang diberikan pengaruh)
dan subjek terkontrol (dijaga agar tidak mendapat pengaruh). Kemudian akan dianalisis hasil yang
diperoleh dari kedua kelompok. Perlakuan dikatakan efektif, jika terdapat hasil yang berbeda antar
kedua kelompok.[3]

Kategori terakhir adalah eksperimen laboratorium. Pada eksperimen ini desain eksperimen diatur
dalam suatu lingkungan tiruan, dimana kontrol dan manipulasi diberikan untuk membuktikan
hipotesis dari peneliti.[3]

Etika dalam ekonomi

Dalam ilmu ekonomi terdapat istilah ekonomi normatif dan ekonomi positif. Ekonomi positif
berkaitan dengan kajian fakta-fakta empiris secara ilmiah, sedangkan ekonomi normatif berkaitan
dengan kajian nilai-nilai pada masyarakat.[2][11] Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang erat kaitannya
dengan aktivitas manusia. Aktivitas manusia merupakan suatu entitas yang tidak hanya diatur oleh
hukum alam, melainkan juga nilai-nilai sosial, etika dan budaya berpengaruh besar dalam sikap dan
pengambilan keputusan. Konsep etika dalam ekonomi dibahas dalam ekonomi normatif bersamaan
juga dengan istilah lain seperti, moralitas, keadilan, dan kesejahteraan.

Kesehjateraan dalam ilmu ekonomi

Dalam ilmu ekonomi, kesejahteraan merupakan bahasan dari cabang dari ilmu ekonomi
kesejahteraan. Ekonomi kesejahteraan menggunakan pandangan ekonomi mikro untuk mengkaji
konsep kesejahteraan secara keseluruhan.[3] Selain kajian konseptual, ekonomi kesejahteraan juga
mencoba menentukan suatu kebijakan ekonomi yang berdampak optimal terhadap kesejahteraan
masyarakat.[22][23]
FILSAFAT-Filsafat Ilmu Ekonomi

· Epistemologi ilmu ekonomi :

Epistemologi ilmu ekonomi membahas tentang asal mula atau sumber, struktur, metode dan validitas
ilmu ekonomi. Persoalan yang diangkat dalam epistemologi ilmu ekonomi adalah bagaimana manusia
dapat mengetahui ilmu ekonomi, darimana ilmu ekonomi berasal dan bagaimana mengetahui
kebenaran tentang ilmu ekonomi. Secara epistemologis, ilmu ekonomi dimulai dari pemikiran tentang
persoalan ekonomi. Persoalan ekonomi telah dipikirkan oleh Aristotels pada tahun 300 sebelum
masehi dengan menulis tentang harga, nilai, pasar, keuangan negara, efisiensi tenaga kerja dan
sebagainya. Namun pemikiran yang sistematis mengenai ilmu ekonomi muncul pada abad 18 oleh
Adam Smith dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1776 dengan judul “An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations”. Adam Smith dianggap sebagai Bapak Ilmu Ekonomi
karena telah merumuskan pokok-pokok masalah, pengertian dasar, dan kerangka berfikir yang
selanjutnya menjadi dasar teori ilmu ekonomi modern. Kata “ekonomi” sendiri berasal dari kata
Yunani “oikos” yang berarti keluarga/rumah tangga dan “nomos” yang berarti peraturan. Jadi
ekonomi dapat diartikan sebagai aturan rumah tangga.

· Ontologi ilmu ekonomi :

Ontologi ilmu ekonomi berkaitan dengan objek yang ditelaah atau sasaran ilmu dan bagaimana wujud
sebenarnya dari onjek tersebut. Secara ontologis, sasaran ilmu ekonomi adalah hubungan antar
manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya. Sedangkan pemenuhan kebutuhan spiritual tidak
termasuk dalam lingkup ekonomi. Inti dari ilmu ekonomi adalah upaya manusia untuk memenuhi
kebutuhan yang tidak terbatas ditengah-tengah jumlah sumber daya ekonomi yang ada terbatas
jumlahnya. Ada banyak yang dipelajari dalam ilmu ekonomi, namun dapat digolongkan menjadi dua
golongan besar, yaitu ekonomi mikro dan makro.

· Aksiologi ilmu ekonomi :

Aksiologi ilmu ekonomi berkaitan dengan kegunaan ilmu ekonomi. Disini nilai pengetahuan akan
terlihat bagaimana peranan ilmu ekonomi dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan
aspek aksiologis ilmu ekonomi seperti masalah pengangguran, tanggung jawab sosial perusahaan,
peningkatan mutu dan taraf kehidupan. Dasar aksiologi membimbing dalam membahas tentang
manfaat dari ilmu pengetahuan ekonomi. Dalam hal ini ilmuwan bidang ekonomi harus mampu
menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga ilmuwan harus memiliki moral yang kuat agar
kemajuan ilmu yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Metode-Metode dalam Ilmu Ekonomi

Ilmu ekonomi secara sederhana merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang
bersifat tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan berupa barang ataupun jasa yang bersifat langka
serta memiliki kegunaan alternatif. Maka dari itu, cara pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan
dengan metode-metode dalam ilmu ekonomi.

Dalam ilmu ekonomi ada beberapa macam metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisa
ekonomi, yaitu sebagai berikut :

Metode Induktif

Metode Induktif adalah suatu metode dimana suatu keputusan dilakukan dengan mengumpulkan
semua data informasi yang ada didalam realita kehidupan manusia. Realita tersebut terjadi dalam
setiap unsur kehidupan yang dialami oleh keluarga, individu, masyarakat lokal, dan sebagainya.
Sehingga dilakukanlah suatu metode untuk mencari solusinya sehingga upaya pemenuhan
kebutuhannya tersebut dapat dikaji secermat mungkin.

Contoh metode induktif

Contohnya adalah dalam upaya menghasilkan dan menyalurkan sumber daya ekonomi, upaya tersebut
dilakukan sedemikian rupa sehingga diperolehlah barang dan jasa yang dapat tersedia pada harga,
jumlah, dan waktu yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan perencanaan yang dalam ilmu ekonomi berfungsi
sebagai metode ataupun cara untuk menyusun daftar kebutuhan terhadap sejumlah barang dan jasa
yang diperlukan masyarakat.

Metode Deduktif

Metode Deduktif ialah suatu metode dalam ilmu ekonomi yang bekerja atas dasar ketentuan, hukum
atau prinsip umum yang sudah diuji kebenarannya. Dalam metode ini, ilmu ekonomi mencoba
menetapkan cara pemecahan masalah sesuai dengan dasar, prinsip, hukum dan ketentuan yang ada
dalam ilmu ekonomi.

Contoh metode deduktif


Contohnya adalah dalam ilmu ekonomi terdapat hukum yang mengemukakan bahwa “jika persediaan
barang-barang dan jasa berkurang dalam masyarakat, sementara permintaannya tetap, maka barang
dan jasa tersebut akan naik harganya”.

Bertolak dari hukum ekonomi tersebut, para ahli ekonomi secara deduktif sudah dapat menyimpulkan
bahwa harus adanya motif berjaga-jaga agar persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
tersebut selalu dapat mencukupi dalam kuantitas dan kualitasnya.

Metode Matematika

Metode Matematika adalah suatu metode dalam ilmu ekonomi yang digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah perekonomian dengan cara pemecahan soal-soal secara matematis.

Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa dalam matematika terdapat kebiasaan-kebiasaan yang dimulai
dengan pembahasan dalil-dalil. Melalui pembahasan dalil-dalil tersebut dapat dipastikan bahwa kajian
tersebut dapat diterima secara umum.

Metode Statistika

Metode Statistika ialah suatu metode dalam ilmu ekonomi yang digunakan dalam pemecahan masalah
ekonomi dengan cara pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, penafsiran data, serta
penyajian data dalam bentuk angka-angka secara statistik. Dari angka-angka yang yang disajikan,
kemudian dapat diketahui permasalahan yang sesungguhnya untuk kemudian mencari cara
pemecahannya.

Contoh metode statistika

Contohnya adalah pembahasan mengenai masalah pengangguran. Dalam hal ini bisa terlebih dahulu
diidentifikasi unsur-unsur yang berkaitan dengan pengangguran. Dari data yang tekumpul tersebut,
seorang ahli ekonomi akan dapat menyusun pengolahan/analisis serta penafsiran data secara statistik
yang berhubungan dengan pemecahan masalah pengangguran tersebut misalnya:

1. Data-data perusahaan.
2. Data-data tenaga kerja yang terdidik ataupun kurang terdidik.
3. Jenis dan jumlah lapangan kerja yang tersedia.
4. Jumlah dan tingkat upah yang ditawarkan perusahaan.
5. Tempat perusahaan beroperasi.
6. Rata-rata tempat tinggal para calon pekerja.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penyusunan Metode Ekonomi

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan metode ekonomi adalah sebagai berikut :

Melakukan Tahapan Metode Ilmiah

1. Mengidentifikasi permasalahan dalam bentuk pertanyaan dan menetapkan variabel yang


relevan.
2. Memunculkan asumsi yang mendasari munculnya ilmu ekonomi yang dikenal dengan asumsi
”Ceteris Paribus”.
3. Menentukan hipotesis, yaitu jawaban sementara atas permasalahan (pertanyaan).
4. Melakukan uji hipotesis dengan memfokuskan setiap variabel yang diteliti dan pada saat yang
sama memperhatikan faktor lain yang diasumsikan.

Membentuk Model Ekonomi

Teori ekonomi yang telah tersusun menjadi dasar pembentukan model ekonomi. Model ekonomi itu
dapat berupa diagram maupun matematis.

Contohnya : Diagram Siklus Ekonomi.

Mempertimbangkan Hukum Ekonomi

Hukum Ekonomi adalah hubungan antara peristiwa-peristiwa ekonomi. Hubungan ekonomi tersebut
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

Hubungan sebab akibat merupakan suatu hubungan dimana suatu peristiwa menyebabkan terjadinya
peristiwa lainnya, namun kejadian ini tidak dapat berlaku sebaliknya.

Contohnya : ketika harga BBM naik maka akan menyebabkan harga-harga lainnya pun naik.

Hubungan fungsional merupakan suatu hubungan yang saling berpengaruh.

Contohnya : hukum permintaan dan hukum penawaran.


Analisa Ilmu Ekonomi (Metode Deduktif dan metode Induktif)

Dua metode analisa dalam ilmu ekonomi : metode Deduktif dan metode Induktif.

Metode deduktif: menarik suatu kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang
bersifat khusus. Contoh : Besar kecilnya suatu permintaan tergantung dari besar kecilnya pendapatan,
tingkat harga dan selera.

Metode induktif atau disebut juga metode empiris : menarik suatu kesimpulan dari hal yang bersifat
khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Metode ini didasarkan pada fakta empiris. Contoh :
menarik suatu kesimpulan mengenai seberapa besar pengaruh perubahan permintaan terhadap
perubahan harga, maka diambil data-data periodik. Diperlukan tabel, grafik, ilmu statistik dan
matematik agar lebih mudah mengetahui hasilnya untuk mendapatkan kesimpulan yang relatif valid.

Contoh : D = 5 – 12 P, D = permintaan dan P = harga (Rp). persamaan itu dapat disimpulkan bila
harga naik satu rupiah maka permintaan akan turun senilai 12 rupiah, begitupun sebaliknya. Berkaitan
dengan metode empiris : hubungan antara inflasi dan pengangguran (kurva Phillips) dan hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran (hukum Okun).

Anda mungkin juga menyukai