Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BIOPRODUK

PEMANFAATAN BIODIVERSITAS DARAT SEBAGAI BAHAN BAKU


PEMBUATAN BIOPRODUK

Dosen Pengampu : Dr. Widya Mudyantini, S.Si., M.Si.

Disusun Oleh :

Tamarina Qatrunnada Winarto (M0419080)

Tasya Meidiva (M0419081)

Tsamara Fadya Nadhifa (M0419083)

Willis Safitri (M0419084)

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Biodiversity atau Biological Diversity merupakan istilah lain untuk keanekaragaman
hayati yang pertama kali digunakan oleh Lovejoy pada tahun 1980. Pada awalnya, istilah ini
digunakan untuk menyatakan jumlah atau kekayaan spesies makhluk hidup, tetapi sebagian
besar peneliti menyatakan bahwa keanekaragaman hayati tidak sama dengan jumlah spesies
karena istilah biological diversity lebih bersifat umum atau tidak terbatas hanya pada jumlah
spesies. Istilah yang lebih cocok untuk menggambarkan jumlah spesies dalam suatu wilayah
adalah kekayaan spesies atau species richness. Keanekaragaman hayati menurut DeLong
(1996) merupakan suatu karakter atau ciri dari suatu wilayah yang menggambarkan keragaman
di dalam dan di antara organisme hidup dalam suatu kumpulan organisme serta komunitas
biotik dan proses biotik yang masih bersifat alami ataupun telah diubah oleh manusia.
Keanekaragaman hayati yang ada di bumi ini pada dasarnya tidak terdistribusi dengan merata,
dimana daerah tropis umumnya memiliki keanekaragaman yang lebih banyak dan akan
semakin berkurang jumlahnya di daerah yang jauh dari garis ekuator. Keanekaragaman hayati
di suatu daerah juga sangat bervariasi yang ditentukan oleh tingkat ketinggian (altitude), tipe
musimnya serta hasil evolusi selama miliaran tahun (Leksono, 2011).
Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkenal akan keanekaragaman hayatinya
yang melimpah, sehingga mendapat julukan Negara Mega Biodiversity. Kepulauan yang
dimiliki Indonesia memiliki cakupan yang sangat luas dan bervariasi, dari yang sempit hingga
yang luas, dari yang datar hingga yang berbukit dan bergunung tinggi, yang di dalamnya
terdapat beraneka ragam flora, fauna hingga mikroba. Selain itu, Negara Indonesia juga terletak
di wilayah yang strategis dari sisi kekayaan dan keanekaragaman spesies dan ekosistemnya.
Berdasarkan data IBSAP pada tahun 2003, terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan (55%
endemik) di Indonesia, kemudian keanekaragaman hewan bertulang belakang terdapat sekitar
515 jenis hewan menyusui (39% endemik), 511 jenis reptilian (30% endemik), 1531 jenis
burung (20% endemik) serta 270 jenis amfibi (40% endemik). Keanekaragaman hayati yang
tinggi tersebut merupakan suatu kekayaan alam yang dapat memberikan berbagai manfaat
dalam kehidupan manusia dan sebagai modal dasar pembangunan nasional yang akan
dibutuhkan baik pada masa kini maupun masa yang akan datang (Triyono, 2013).
Bioproduk adalah material yang bersumber pada bio-based material (sumber daya
hayati) yang memiliki nilai dalam segi ekonomi. Salah satu hal yang memicu penggunaan
bioproduk adalah menguntungkan dan menjaga lingkungan, seperti mereduksi emisi
karbondioksida, mudah dirombak dan produk kimia yang dihasilkan dapat berkelanjutan dan
menguntungkan lingkungan dibandingkan produk yang dihasilkan oleh petrokimia.
Biodiversitas darat di Indonesia cukup beragam sehingga dapat dimanfaatkan menjadi
bioproduk. Perwitasari dkk (2020) menyatakan bahwa kulit singkong dapat digunakan sebagai
konsentrasi untuk produksi enzim glukoamilase. Selain itu, kulit singkong dapat dijadikan
medium alternatif untuk pertumbuhan mikroorganisme untuk menggantikan media yang mahal,
kemudian dapat digunakan untuk produksi asam sitrat, bioetanol, gula untuk fermentasi dan
amilase. Kelapa sawit di Indonesia cukup melimpah sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi yang dapat didaur ulang.
Ketergantungan dengan energi yang tidak dapat diperbaharui cukup berbahaya sehingga
diupayakan memaksimalkan sumber energi alternatif yang menggantikan energi fosil.
Biomassa kelapa sawit dapat diubah menjadi bio-pellet atau bio-batubara sebagai pengganti
batubara konvensional. Kemudian hidrolisis pati atau biomassa berpati menggunakan
pemanasan gelombang mikro dan karbon aktif yang memiliki potensi sebagai alternatif metode
enzimatis yang keduanya sama-sama ramah lingkungan namun lebih efisien dalam kecepatan
waktu (Hermiati, 2019). Kacang polong dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan
pakan ternak, namun tanaman kacang polong juga dapat dimanfaatkan menjadi berbagai
macam, yaitu seperti memanfaatkan kulit polong sebagai bahan bakar pada beberapa usaha
pembuatan batu bata atau di tingkat rumah tangga, kemudian batang dan kulit ari bijinya
mengandung bahan kimia Resveratrol yang berfungsi sebagai antioksidan. Kemudian terdapat
fungi yang dapat dimanfaatkan menjadi bioproduk yakni White-Rot Fungi atau yang dikenal
sebagai fungi pelapuk yang dapat bioremediasi untuk mengurangi senyawa herbisida dengan
cara memelihara isolat fungi kemudian menghasilkan enzim oksidase yang dapat digunakan
untuk mengurangi senyawa herbisida (Santi dkk, 2007). White-Rot fungi juga dapat
dimanfaatkan sebagai biodegradasi limbah pabrik tekstil.
Jenis tanaman herbal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman meniran
(Phyllanthus niruri). Tanaman ini mengandung senyawa flavonoid, lignan, tanin, alkaloid serta
saponin. Kandungan tersebut memiliki efek antioksidan dan anti hepatotoksik terhadap CCl₄
dan galaktosanin. Air rebusan tanaman meniran dapat dijadikan obat untuk menurunkan kadar
gula darah. Pada dasarnya, air rebusan tanaman meniran memiliki rasa yang agak pahit dan
aroma yang kurang enak, sehingga dapat dilakukan inovasi berupa minuman serbuk dengan
menambahkan pemanis dan pemberi aroma (Permata dan Sayuti, 2016). Di samping tanaman
herbal, bahan pangan seperti kedelai juga dapat digunakan dalam pembuatan bioproduk.
Contohnya adalah pemanfaatan ampas tahu sebagai bahan baku pembuatan biogas. Bioproduk
ini mirip dengan pembuatan bioetanol, yaitu menggunakan bahan organik berupa limbah untuk
melestarikan lingkungan. Biogas merupakan bahan bakar yang dapat diperoleh melalui proses
pembakaran dan fermentasi (Coniwanti dkk, 2009). Selain ampas tahu limbah jerami padi juga
dapat dijadikan salah satu dari beberapa bahan baku pembuatan biogas. Biogas dapat dihasilkan
dari fermentasi bahan-bahan organik maupun berasal dari segala jenis kotoran binatang,
termasuk manusia. Sampah organik juga dapat digunakan sebagai bahan pokok pembuatan
biogas oleh bakteri anaerobik. Pemanfaatan jerami untuk produksi biogas juga dapat
meningkatkan nilai tambah jerami dan sumber energi terbarukan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja bioproduk yang dapat dihasilkan dari biodiversitas darat?
2. Bagaimana bioproses dan biosistem dalam pembuatan bioproduk dari hulu hingga hilir?
3. Bagaimana kesenjangan antara Indonesia dan negara lain serta tantangan dalam
pemanfaatan bioproduk?
4. Apa solusi dan ide yang tepat untuk menyelesaikan kesenjangan tersebut?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-mcam bioproduk yang dapat dihasilkan dari biodiversitas darat.
2. Untuk mengetahui bioproses dan biosistem dalam pembuatan bioproduk dari hulu hingga
hilir.
3. Untuk mengetahui kesenjangan antara Indonesia dengan negara lain serta tantangan dalam
pemanfaatan bioproduk.
4. Untuk mengetahui solusi dan ide untuk menyelesaikan kesenjangan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bioproduk Biodiversitas Darat


Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity kedua terbesar di dunia. Hal ini
menjadi alasan utama mengapa biodiversitas atau keanekaragaman hayati Indonesia adalah aset
jangka panjang yang perlu terus dipelajari, dikaji, dan diteliti dalam menjawab isu global
pemanfaatan keanekaragaman hayati dari hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme menjadi
bioproduk untuk kesejahteraan manusia khususnya biodiversitas darat. Keanekaragaman hayati
tersebut akan memunculkan jasa ekosistem baik dalam bentuk barang atau produk maupun
bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh manusia. Dalam hal ini kita jangan hanya
memanfaatkan dan menghabiskan saja namun kita juga perlu melakukan perlindungan,
pelestarian, serta pemanfaatan keanekaragaman hayati secara optimal agar kita dapat merasakan
manfaat jelasnya. Pemanfaatan keanekaragaman hayati ini dapat dilakukan dengan proses
pendauran ulang limbah organik menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih, misalnya dalam
pembuatan white-rot fungi sebagai biodegradasi, pembuatan bioetanol dari limbah kulit
singkong, pemanfaatan jerami dalam pembuatan produk biogas, dan pemanfaatan ekstrak
tanaman sebagai pestisida alami (Biopestisida) dalam pengendalian hama serangga. Dengan
adanya inovasi pembuatan bioproduk dari limbah tersebut dapat membantu dalam mengatasi
permasalahan global yang terjadi saat ini.

B. Bioproses dan Biosistem dari Hulu hingga Hilir


1. White-Rot Fungi sebagai Biodegradasi
Penelitian menyatakan bahwa White-Rot fungi dapat mendegradasi komponen lignin
dengan menggunakan ligninolytic enzyme yaitu mangan peroksidase, lignin peroksidase
dan lakase. Tahapan yang dilakukan adalah sampling White-Rot fungi kemudian mengukur
kadar lakase di laboratorium. Fungi terlebih dahulu ditumbuhkan pada media dalam cawan
petri. Pada umur -7 hari biakan akan digunakan. Produksi enzim dilakukan pada jamur
yang memiliki kadar lakase tinggi, dalam waktu 30 hari dapatkan enzim powder yang
diaplikasikan secara langsung pada limbah tekstil. Uji biodegradasi dilakukan pada kadar
limbah optimum ditentukan dengan mengukur pertumbuhan radial koloni pada media
untuk pertumbuhan di cawan petri. Pada kadar limbah yang semakin tinggi, pertumbuhan
radial akan semakin lambat (Trihadiningrum, 2004).
2. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong
Kulit singkong umumnya tersedia dalam jumlah yang sangat banyak dan belum
dimanfaatkan secara maksimal. Persentase jumlah limbah kulit bagian luar sebesar 0,5 –
2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit bagian dalam sebesar 8 – 15%. Kulit
singkong mengandung karbohidrat cukup tinggi dan berdasarkan hasil analisa awal, kulit
singkong mengandung 36,5% pati atau amilum. Kandungan pati pada kulit singkong yang
cukup tinggi memungkinkan limbah ini digunakan sebagai sumber energi bagi
mikroorganisme (Sriyana dan Nasita, 2019). Dalam beberapa penelitian yang telah
dilakukan terhadap aspek bahan baku, teknologi, lingkungan serta aspek komersial, kulit
singkong lebih unggul dalam menghasilkan bioetanol dengan kualitas tinggi dibandingkan
dengan tebu, sehingga kulit singkong dipilih sebagai bahan baku biodiversitas yang
digunakan untuk membuat bioetanol.
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bioetanol antara lain, kulit singkong
kondisi segar, aquades, larutan NaOH, H2SO4, larutan KH2PO4, larutan (NH4)2SO4,
reagen Khamir Saccharomyces cerevisiae dan Trichoderma viride, sedangkan alat yang
dibutuhkan dalam pembuatan bioetanol adalah erlenmeyer, gelas beaker, neraca analitik,
labu ukur, gelas ukur, pipet tetes, corong, hot plate, pH meter, batang pengaduk, aluminium
foil, kertas saring, mortar dan pestle, saringan No.120 mesh, magnetic stirrer, oven, pompa
vakum, blender, perangkat evaporator, alkohol meter dan spektrofotometer UV-vis.
Prosedur kerja dalam pembuatan bioetanol menggunakan limbah kulit singkong terdiri dari
beberapa tahapan meliputi tahap pendahuluan, tahap pretreatment (Delignifikasi), tahap
hidrolisis, tahap fermentasi serta tahap pemisahan (Widyastuti, 2019).
a) Tahap Pendahuluan
Kulit singkong segar dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan air
untuk menghilangkan kotoran tanah, kemudian dikeringkan selama 24 jam di ruangan
terbuka dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven pada suhu ± 105ºC
selama 16 jam. Kulit singkong yang telah kering dan mengeras dihaluskan
menggunakan blender hingga berbentuk serbuk halus yang kemudian disaring dengan
menggunakan saringan No. 120 mesh.
b) Tahap Pretreatment (Delignifikasi)
Senyawa pati atau polisakarida yang terkandung dalam kulit singkong pada
dasarnya bercampur dengan senyawa lignin di dalamnya, sehingga diperlukan proses
delignifikasi untuk menguraikan senyawa lignin. Proses ini cukup penting dalam
pengubahan biomassa yang mengandung selulosa menjadi bioetanol, karena
delignifikasi akan meningkatkan aksesibilitas enzim selulase dan hemiselulosa dalam
proses hidrolisis komponen selulosa dan hemiselulosa (Agustini dan Efiyanti, 2015).
Pretreatment dilakukan dengan cara merendam serbuk kulit singkong dalam larutan
NaOH selama 24 jam, lalu diaduk dan dipanaskan pada suhu 160⁰C selama 30 menit
menggunakan hot plate dan magnetic stirrer. Campuran tersebut disaring
menggunakan kertas saring, sehingga diperoleh residu yang kemudian dicuci dengan
aquades hingga memperoleh pH netral. Residu tersebut dikeringkan menggunakan
oven pada suhu 105⁰C selama 2 jam, kemudian digunakan dalam pengujian kadar
selulosa dan pati agar diperoleh hasil terbaik padatan kulit singkong yang akan
digunakan sebagai substrat dalam tahap hidrolisis.
c) Tahap Hidrolisis
Hasil dari proses delignifikasi kemudian dilanjutkan pada proses hidrolisis
selulosa dan hemiselulosa yang terkandung dalam kulit singkong dengan cara
menimbang 15 gram dari hasil saringan pada proses delignifikasi dan dimasukkan ke
dalam larutan HCl dan H2SO4 sebanyak 180 mL dalam wadah yang terpisah, lalu
dipanaskan pada suhu 100⁰C selama 2 jam. Campuran tersebut kemudian disaring
menggunakan kertas saring, hingga diperoleh filtrat yang selanjutnya akan digunakan
dalam pengukuran kadar glukosa dengan menggunakan spektrometer UV vis.
d) Tahap Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan mengambil filtrat dari hasil hidrolisis
sebanyak 160 mL, kemudian ditambahkan dengan larutan NaOH 6 M hingga pHnya
menjadi 4,5. Setelah itu, campuran ditambahkan dengan 14 gram amonium sulfat dan
14 gram NH3SO4, lalu dilanjutkan dengan pasteurisasi dalam suhu 80°C selama 15
menit. Setelah tahap pasteurisasi selesai, campuran ditambahkan dengan ragi
(Saccharomyces cerevisiae) sebanyak 14 gram lalu campuran dibagi menjadi 4 bagian
dan masing-masing bagian ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama 4
hari, 6 hari dan 8 hari dan 10 hari pada suhu 27 - 30°C.
e) Tahap Pemisahan
Proses pemisahan dilakukan dengan memasukkan hasil fermentasi ke dalam
erlenmeyer kemudian dipasang pada perangkat alat evaporator untuk dilakukan proses
penguapan pada suhu 78°C. Masing-masing larutan dari hasil evaporasi kemudian
dilakukan pengukuran kadar etanol dengan menggunakan alkohol meter.

3. Pemanfaatan Jerami dalam Pembuatan Produk Biogas


Biogas adalah gas yang dihasilkan secara mikrobiologi anaerobik dari limbah
organik. Biogas mengandung metana 50-70%, karbon dioksida 25-45%, air 2-7%, selain itu
juga mengandung hidrogen sulfida, nitrogen, hidrogen dan oksigen namun dalam jumlah
yang sedikit. Pembuatan biogas dari campuran jerami dengan campuran kotoran sapi
dilakukan dengan proses fermentasi menggunakan digester. Tahap persiapan bahan baku
dilakukan dengan mengumpulkan kotoran sapi yang masih segar dan mencacah jerami yang
kemudian dikeringkan. Jerami dan kotoran sapi selanjutnya dicampurkan dan dimasukan
kedalam digester, kemudian menunggu proses fermentasi selama 14 hari. Dengan
perbandingan berat antara jerami dan kotoran sapi (0:1 ; 1:1 ; 2:8 ; 1:9 ; 0,5;9,5), sehingga
dapat diketahui perbandingan optimal untuk menghasilkan biogas maksimal selama 14 hari
proses fermentasi. Dilakukan pengujian pada hasil biogas yang didapat dengan cara
membakarnya sehingga diperoleh lama waktu biogas terbakar dalam satu kantong.
Campuran jerami dan kotoran sapi dapat menghasilkan biogas dan berpengaruh terhadap
jumlah biogas yang dihasilkan. Perbandingan optimal untuk membuat biogas dengan
campuran jerami antara kotoran sapi selama 14 hari adalah 1:9, dengan menghasilkan biogas
7,24 menit/kg kotoran sapi.

4. Pemanfaatan Ekstrak Tanaman sebagai Pestisida Alami (Biopestisida) dalam


Pengendalian Hama Serangga
Pemanfaatan ekstrak tanaman berarti mengisolasi materi yang terkandung di dalam
organ tanaman itu, materi yang dimaksud umumnya mengarah kepada kandungan metabolit
sekunder yang ada pada tanaman. Sebagian besar tanaman penghasil senyawa metabolit
sekunder memanfaatkan senyawa tersebut untuk mempertahankan diri dan berkompetisi
dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder
(seperti: quinon, flavonoid, tanin, dan lain-lain) yang membuat tanaman lain tidak dapat
tumbuh di sekitarnya. Hal ini disebut sebagai alelopati. Berbagai senyawa metabolit
sekunder telah digunakan sebagai obat atau model untuk membuat obat baru, contohnya
adalah aspirin yang dibuat berdasarkan asam salisilat yang secara alami terdapat pada
tumbuhan tertentu. Manfaat lain dari metabolit sekunder adalah sebagai pestisida dan
insektisida, contohnya adalah rotenon dan rotenoid. Beberapa metabolit sekunder lainnya
yang telah digunakan dalam memproduksi sabun, parfum, minyak herbal, pewarna, permen
karet, dan plastik alami adalah resin, antosianin, tanin, saponin, dan minyak volatil.
Metabolit sekunder memainkan peranan penting pada interaksi antara tanaman dan serangga
baik secara konstitutif maupun secara induktif.
Banyak sekali jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida.
Kandungan kimia organ tanaman yang dimanfaatkan adalah metabolit sekunder. Beberapa
jenis metabolit sekunder seperti rotenon, azadirachtin, quassin, nicotine, pyrethrin, piperin
diketahui efektif mempengaruhi hama serangga baik secara fisik, fisiologis maupun genetis
Bagian organ tanaman yang diekstrak bervariasi. Daun adalah sumber yang paling banyak
digunakan, lalu bunga, biji dan akar. Metode pembuatan larutan ekstrak umumnya adalah
dengan melarutkan di dalam air atau alkohol. Efektifitas kedua larutan tersebut juga
bervariasi tergantung kepada jenis serangga target dan jenis tanaman itu sendiri. Hal penting
yang harus diketahui dalam pemanfaatan biopestisida adalah jenis tanaman, konsentrasi
larutan ekstrak dan lamanya waktu pemberian. Efek yang diberikan terhadap hama serangga
juga bervariasi, ada yang bersifat racun (toksik), repellent, anti feeding dan mengganggu
sistem fisiologis hewan.

C. Kesenjangan Pemanfaatan Bioproduk di Indonesia dan Negara Lain


Tantangan utama yang dihadapi negara dalam penerapan teknologi konversi biomassa
untuk menghasilkan bioproduk adalah kesiapan teknologi dan keekonomian produk yang
dihasilkan. Teknologi di Indonesia belum cukup memadai sehingga penelitian biodiversitas
darat yang dimanfaatkan sebagai bioproduk cukup lambat. Penggunaan bioetanol sebagai
sumber energi alternatif telah banyak diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Brazil, Kolombia, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Belanda, Belgia, Tiongkok, India,
Thailand, Malaysia hingga Philipina. Amerika Serikat menggunakan bahan pangan sebagai
bahan biomassa berupa jagung, sementara Brazil menggunakan tebu sebagai bahan baku untuk
produksi etanol. Pada tahun 2007, kedua negara tersebut dapat memproduksi bioetanol
sebanyak 49,6% dan 38,3% dari total produksi bioetanol dunia (Agustini dan Efiyanti, 2015).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Indonesia telah merilis
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang di dalamnya menyebutkan bahwa
penggunaan bioetanol E5 diwajibkan pada tahun 2020 dengan formulasi 5% etanol dan 95%
bensin, lalu meningkat ke E20 pada 2025. Namun, dalam perjalanannya rencana tersebut
menghadapi kendala seperti yang dialami oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah bahkan
akhirnya merevisi penerapan bioetanol tersebut dengan menurunkan kandungan etanol menjadi
2%. Setelah serangkaian uji coba dilakukan, termasuk dengan Pertamina, penerapan E2 pun
masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga
kehadiran etanol kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Dalam
upaya mewujudkan cita-cita pemerintah tersebut, Dewan Energi Nasional (DEN) mengharapkan
adanya kerja sama terintegrasi antar Kementerian terkait termasuk dengan industri otomotif.
Peningkatan kebutuhan bahan bakar yang meningkat secara pesat pada era teknologi saat
ini akan berakibat pada efek rumah kaca. Selain efek rumah kaca, kelangkaan bahan bakar
minyak juga menjadi permasalahan utama karena kenaikan harga minyak dunia yang signifikan
oleh karena itu perlu dikembangkan alternatif energi baru terbarukan, yaitu berupa suatu inovasi
dalam pembuatan biogas (Herawati dkk., 2010). Namun terdapat tantangan dalam pengelolaan
sumber energi di Indonesia yaitu tingginya ketergantungan masyarakat atas pemanfaatan
sumber daya energi tak terbarukan (Aisah dan Herdiansyah., 2019). Saat ini, banyak negara
maju meningkatkan penggunaan biogas yang dihasilkan baik dari limbah cair maupun limbah
padat atau yang dihasilkan dari sistem pengolahan biologi mekanis pada tempat pengolahan
limbah yang biasa digunakan sebagai sumber penerangan dan listrik. Bioteknologi yang
berkembang dengan pesat di negara maju, meningkatkan kemampuan mereka dalam
memanfaatkan Sumberdaya hayati yang sebagian besar terdapat di negara berkembang.
Sedangkan negara berkembang selaku pemilik asli tidak mampu memanfaatkan kekayaannya
secara optimal.
Upaya dan pemikiran serta hasil penelitian tentang pestisida biologi sudah banyak
dikemukakan dan dipublikasi. Namun, perkembangannya di negara berkembang masih banyak
terkendala, terutama karena terbatasnya jumlah pestisida biologi yang mendapat ijin untuk
diperdagangkan secara komersial. Sebaliknya, di negara maju, seperti di Amerika Serikat, pasar
pestisida biologi sudah berkembang pesat, dilihat dari besarnya nilai perdagangan maupun
publikasi hasil penelitiannya. Nilai ekonomi pestisida biologi di luar negeri cukup tinggi
mencapai US$ 1,8 milyar, tetapi di Indonesia belum terdokumentasikan atau masih kecil karena
hanya mencapai 30 buah formulasi (0,6%) dari total 2475 formulasi pestisida pada tahun 2012.
Walaupun sudah banyak hasil penelitian tentang keefektifan pestisida biologi, tetapi
komersialisasinya masih terbatas karena hanya ada beberapa perusahaan pestisida yang
mengembangkannya.

D. Solusi dan Ide untuk Mempertahankan Biodiversitas dan Menyelesaikan Kesenjangan


dengan Negara Lain
Biodiversitas flora merupakan sumber daya strategis yang berperan sebagai salah satu
penentu kualitas hidup manusia. Eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya yang tidak ramah
lingkungan telah menyebabkan laju degradasinya cukup tinggi, sehingga mengancam
biodiversitas secara global, khususnya pada hutan tropika humida yang mencapai tingkat
degradasi sebanyak 2 - 11% setiap dekade. Salah satu akibatnya adalah terjadi krisis
biodiversitas flora yang berimplikasi pada krisis lingkungan, krisis pangan, krisis air dan krisis
energi, hingga akhirnya menjadi persoalan politik, sosial dan ekonomi masyarakat internasional.
Pelestarian biodiversitas flora sangat diperlukan karena perannya sebagai sumber pangan, obat-
obatan dan konservasi alam. Oleh karena itu, konservasi biodiversitas flora harus digalakkan
dalam skala luas, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Konservasi di luar kawasan
hutan dapat dilakukan terhadap lahan-lahan masyarakat dalam bentuk pekarangan, hutan rakyat,
kebun campur, hutan keluarga dan sekitar pemukiman. Dalam perspektif masyarakat,
pemukiman memiliki nilai sosial, budaya dan religius yang tinggi, sehingga mendorong adanya
pengelolaan biodiversitas flora di sekitarnya sebagai atribut sosial-budaya-religius. Nilai
manfaat yang tinggi tersebut menjadi peluang strategis untuk melibatkan partisipasi masyarakat
dalam konservasinya. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memahami dan
mengembangkan model-model konservasi biodiversitas flora berbasis masyarakat (Njurumana,
2016). Solusi untuk permasalahan kesenjangan negara dalam meningkatkan kualitas bioproduk
biodiversitas adalah kesadaran antar lembaga penelitian, universitas hingga kementerian turut
mendukung dan mengembangkan teknologi ini secara terapan dan ekonomi. Dengan
terdukungnya pemanfaatan biodiversitas tersebut maka akan mempermudah negara untuk
menggunakan bahan alternatif untuk pembuatan bioetanol, biogas, biodegradasi, dan
biopestisida.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Biodiversitas darat di Indonesia sangat beragam dan dapat dimanfaatkan sebagai
bioproduk untuk menggantikan atau menjadi alternatif petrokimia yang berbahan fosil,
pemanfaatan menjadi biogas, bioetanol, biopestisida, serta biodegradasi suatu limbah dengan
bahan yang ramah lingkungan yang lebih efisien secara biaya dan waktu. Salah satu
penggunaan bioproduk yang dapat diterapkan di Indonesia adalah pemanfaatan White-Rot fungi
yang dapat mendegradasi komponen lignin, pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong,
pemanfaatan jerami dalam pembuatan produk biogas, dan pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai
pestisida alami (biopestisida) dalam pengendalian hama serangga.
Namun terdapat tantangan yang harus dihadapi negara untuk mengembangkan
bioproduk yakni masalah ekonomi, teknologi, dan dukungan untuk mengembangkan penelitian
bioproduk. Maka dari itu perlu kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk segera peduli
penelitian bioproduk untuk alternatif bahan yang dapat habis seperti fosil, kemudian salah satu
alternatif bahan menggunakan biodiversitas juga membawa keuntungan yaitu lestarinya
organisme tersebut dan hasil dari bioproduk tersebut lebih ramah pada ekosistem. Dengan
terdukungnya pemanfaatan biodiversitas maka akan mempermudah negara untuk menggunakan
bahan alternatif untuk pembuatan bioetanol, biogas, biodegradasi, dan biopestisida.
DAFTAR PUSTAKA

Agustini, L. dan Efiyanti, L. 2015. Pengaruh Perlakuan Delignifikasi terhadap Hidrolisis Selulosa
dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 33(1):
69-80.

Aisah, I.U. and Herdiansyah, H. 2019. Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan
program Desa Mandiri Energi. Share: Social Work Journal. 9(2):130-141.

Coniwanti, P., Herlanto, A. dan Anggraini, I. 2009. Pembuatan Biogas Dari Ampas Tahu. Jurnal
Teknik Kimia. 16(1): 38-45.

Herawati, D.A. and Wibawa, A.A., 2010. Pengaruh pretreatment jerami padi pada produksi
biogas dari jerami padi dan sampah sayur sawi hijau secara batch. Jurnal rekayasa
proses. 4(1):25-29.

Leksono, A.S. 2011. Keanekaragaman Hayati: Teori dan Aplikasi. Malang: UB Press.

Njurumana, G.N. 2016. Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora pada Sistem
Pekarangan di Kabupaten Sumba Tengah. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 5(1):
25-36.

Permata, D.A. dan Sayuti, K., 2016. Pembuatan Minuman Serbuk Instan dari Berbagai Bagian
Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri). Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. 20(1): 44-49.

Perwitasari, U., Amanah, S., Wahidiyah, M., Nuryati, R., Melliawati, L., Kholida, A. A., Yopi.
(2020). Pengaruh Konsentrasi Kulit Singkong dan Sumber Nitrogen Terhadap Produksi
Glukoamilase Oleh Aspergillus Awamori KT-11 Pada Submerged Fermentasi (Effect of
Cassava Peelfor Glucoamylase Production by Aspergillus Awamori KT-11 in Submerged
Fermentation). Biopropal Industry, 11(2) : 119-126.

Pohan, S. D. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Tanaman sebagai Pestisida Alami (Biopestisida) dalam
Pengendalian Hama Serangga. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 20 (75): 94-98.

SANTI, L. P., SUDIRMAN, L. I., & GOENADI, D. H. (2007). Potensi fungi pelapuk putih asal
lingkungan tropik. Menara Perkebunan, 75(1) : 43-55.
Sriyana, H.Y. dan Nasita, U. 2019. Karakteristik Bioetanol Hasil Fermentasi Kulit Singkong.
Jurnal Inovasi Teknik Kimia. 4(2): 1-5.

Trihadiningrum, Y. (2004). Potensi Kapang Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium Dalam


Pengolahan Limbah Industri Tekstil. Berk. Penel. Hayat, 9(2004) : 125-129.

Triyono, K. 2013. Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Inovasi
Pertanian. 11(1): 12-22.

Widyastuti, P. 2019. Pengolahan Limbah Kulit Singkong Sebagai Bahan Bakar Bioetanol Melalui
Proses Fermentasi. Jurnal Kompetensi Teknik. 11(1): 41-46.
BERITA ACARA

A. Anggota Kelompok dan Kontribusinya dalam Pembuatan Makalah

1. Tamarina Qatrunnada W. (M0419080) :

Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Pemanfaatan Bioproduk Hulu-hilir


(Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong), Kesenjangan dengan Negara
Lain, Solusi & Ide

2. Tasya Meidiva (M0419081) :

Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Pemanfaatan Bioproduk Hulu-hilir


(White-Rot Fungi sebagai Biodegradasi), Solusi & Ide, Penutup

3. Tsamara Fadya N. (M0419083) :

Latar Belakang, Pemanfaatan Bioproduk Hulu-hilir (Pemanfaatan Ekstrak Tanaman


sebagai Pestisida Alami (Biopestisida) dalam Pengendalian Hama Serangga),
Kesenjangan dengan Negara Lain, Solusi dan Ide

4. Willis Safitri (M0419084) :

Latar Belakang, Tujuan, Bioproduk Biodiversitas Darat, Pemanfaatan Bioproduk


Hulu-hilir (Pemanfaatan Jerami dalam Pembuatan Produk Biogas), Kesenjangan
dengan Negara Lain

Anda mungkin juga menyukai