Disusun Oleh :
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biodiversity atau Biological Diversity merupakan istilah lain untuk keanekaragaman
hayati yang pertama kali digunakan oleh Lovejoy pada tahun 1980. Pada awalnya, istilah ini
digunakan untuk menyatakan jumlah atau kekayaan spesies makhluk hidup, tetapi sebagian
besar peneliti menyatakan bahwa keanekaragaman hayati tidak sama dengan jumlah spesies
karena istilah biological diversity lebih bersifat umum atau tidak terbatas hanya pada jumlah
spesies. Istilah yang lebih cocok untuk menggambarkan jumlah spesies dalam suatu wilayah
adalah kekayaan spesies atau species richness. Keanekaragaman hayati menurut DeLong
(1996) merupakan suatu karakter atau ciri dari suatu wilayah yang menggambarkan keragaman
di dalam dan di antara organisme hidup dalam suatu kumpulan organisme serta komunitas
biotik dan proses biotik yang masih bersifat alami ataupun telah diubah oleh manusia.
Keanekaragaman hayati yang ada di bumi ini pada dasarnya tidak terdistribusi dengan merata,
dimana daerah tropis umumnya memiliki keanekaragaman yang lebih banyak dan akan
semakin berkurang jumlahnya di daerah yang jauh dari garis ekuator. Keanekaragaman hayati
di suatu daerah juga sangat bervariasi yang ditentukan oleh tingkat ketinggian (altitude), tipe
musimnya serta hasil evolusi selama miliaran tahun (Leksono, 2011).
Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkenal akan keanekaragaman hayatinya
yang melimpah, sehingga mendapat julukan Negara Mega Biodiversity. Kepulauan yang
dimiliki Indonesia memiliki cakupan yang sangat luas dan bervariasi, dari yang sempit hingga
yang luas, dari yang datar hingga yang berbukit dan bergunung tinggi, yang di dalamnya
terdapat beraneka ragam flora, fauna hingga mikroba. Selain itu, Negara Indonesia juga terletak
di wilayah yang strategis dari sisi kekayaan dan keanekaragaman spesies dan ekosistemnya.
Berdasarkan data IBSAP pada tahun 2003, terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan (55%
endemik) di Indonesia, kemudian keanekaragaman hewan bertulang belakang terdapat sekitar
515 jenis hewan menyusui (39% endemik), 511 jenis reptilian (30% endemik), 1531 jenis
burung (20% endemik) serta 270 jenis amfibi (40% endemik). Keanekaragaman hayati yang
tinggi tersebut merupakan suatu kekayaan alam yang dapat memberikan berbagai manfaat
dalam kehidupan manusia dan sebagai modal dasar pembangunan nasional yang akan
dibutuhkan baik pada masa kini maupun masa yang akan datang (Triyono, 2013).
Bioproduk adalah material yang bersumber pada bio-based material (sumber daya
hayati) yang memiliki nilai dalam segi ekonomi. Salah satu hal yang memicu penggunaan
bioproduk adalah menguntungkan dan menjaga lingkungan, seperti mereduksi emisi
karbondioksida, mudah dirombak dan produk kimia yang dihasilkan dapat berkelanjutan dan
menguntungkan lingkungan dibandingkan produk yang dihasilkan oleh petrokimia.
Biodiversitas darat di Indonesia cukup beragam sehingga dapat dimanfaatkan menjadi
bioproduk. Perwitasari dkk (2020) menyatakan bahwa kulit singkong dapat digunakan sebagai
konsentrasi untuk produksi enzim glukoamilase. Selain itu, kulit singkong dapat dijadikan
medium alternatif untuk pertumbuhan mikroorganisme untuk menggantikan media yang mahal,
kemudian dapat digunakan untuk produksi asam sitrat, bioetanol, gula untuk fermentasi dan
amilase. Kelapa sawit di Indonesia cukup melimpah sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi yang dapat didaur ulang.
Ketergantungan dengan energi yang tidak dapat diperbaharui cukup berbahaya sehingga
diupayakan memaksimalkan sumber energi alternatif yang menggantikan energi fosil.
Biomassa kelapa sawit dapat diubah menjadi bio-pellet atau bio-batubara sebagai pengganti
batubara konvensional. Kemudian hidrolisis pati atau biomassa berpati menggunakan
pemanasan gelombang mikro dan karbon aktif yang memiliki potensi sebagai alternatif metode
enzimatis yang keduanya sama-sama ramah lingkungan namun lebih efisien dalam kecepatan
waktu (Hermiati, 2019). Kacang polong dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan
pakan ternak, namun tanaman kacang polong juga dapat dimanfaatkan menjadi berbagai
macam, yaitu seperti memanfaatkan kulit polong sebagai bahan bakar pada beberapa usaha
pembuatan batu bata atau di tingkat rumah tangga, kemudian batang dan kulit ari bijinya
mengandung bahan kimia Resveratrol yang berfungsi sebagai antioksidan. Kemudian terdapat
fungi yang dapat dimanfaatkan menjadi bioproduk yakni White-Rot Fungi atau yang dikenal
sebagai fungi pelapuk yang dapat bioremediasi untuk mengurangi senyawa herbisida dengan
cara memelihara isolat fungi kemudian menghasilkan enzim oksidase yang dapat digunakan
untuk mengurangi senyawa herbisida (Santi dkk, 2007). White-Rot fungi juga dapat
dimanfaatkan sebagai biodegradasi limbah pabrik tekstil.
Jenis tanaman herbal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman meniran
(Phyllanthus niruri). Tanaman ini mengandung senyawa flavonoid, lignan, tanin, alkaloid serta
saponin. Kandungan tersebut memiliki efek antioksidan dan anti hepatotoksik terhadap CCl₄
dan galaktosanin. Air rebusan tanaman meniran dapat dijadikan obat untuk menurunkan kadar
gula darah. Pada dasarnya, air rebusan tanaman meniran memiliki rasa yang agak pahit dan
aroma yang kurang enak, sehingga dapat dilakukan inovasi berupa minuman serbuk dengan
menambahkan pemanis dan pemberi aroma (Permata dan Sayuti, 2016). Di samping tanaman
herbal, bahan pangan seperti kedelai juga dapat digunakan dalam pembuatan bioproduk.
Contohnya adalah pemanfaatan ampas tahu sebagai bahan baku pembuatan biogas. Bioproduk
ini mirip dengan pembuatan bioetanol, yaitu menggunakan bahan organik berupa limbah untuk
melestarikan lingkungan. Biogas merupakan bahan bakar yang dapat diperoleh melalui proses
pembakaran dan fermentasi (Coniwanti dkk, 2009). Selain ampas tahu limbah jerami padi juga
dapat dijadikan salah satu dari beberapa bahan baku pembuatan biogas. Biogas dapat dihasilkan
dari fermentasi bahan-bahan organik maupun berasal dari segala jenis kotoran binatang,
termasuk manusia. Sampah organik juga dapat digunakan sebagai bahan pokok pembuatan
biogas oleh bakteri anaerobik. Pemanfaatan jerami untuk produksi biogas juga dapat
meningkatkan nilai tambah jerami dan sumber energi terbarukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja bioproduk yang dapat dihasilkan dari biodiversitas darat?
2. Bagaimana bioproses dan biosistem dalam pembuatan bioproduk dari hulu hingga hilir?
3. Bagaimana kesenjangan antara Indonesia dan negara lain serta tantangan dalam
pemanfaatan bioproduk?
4. Apa solusi dan ide yang tepat untuk menyelesaikan kesenjangan tersebut?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-mcam bioproduk yang dapat dihasilkan dari biodiversitas darat.
2. Untuk mengetahui bioproses dan biosistem dalam pembuatan bioproduk dari hulu hingga
hilir.
3. Untuk mengetahui kesenjangan antara Indonesia dengan negara lain serta tantangan dalam
pemanfaatan bioproduk.
4. Untuk mengetahui solusi dan ide untuk menyelesaikan kesenjangan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PENUTUP
A. Kesimpulan
Biodiversitas darat di Indonesia sangat beragam dan dapat dimanfaatkan sebagai
bioproduk untuk menggantikan atau menjadi alternatif petrokimia yang berbahan fosil,
pemanfaatan menjadi biogas, bioetanol, biopestisida, serta biodegradasi suatu limbah dengan
bahan yang ramah lingkungan yang lebih efisien secara biaya dan waktu. Salah satu
penggunaan bioproduk yang dapat diterapkan di Indonesia adalah pemanfaatan White-Rot fungi
yang dapat mendegradasi komponen lignin, pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong,
pemanfaatan jerami dalam pembuatan produk biogas, dan pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai
pestisida alami (biopestisida) dalam pengendalian hama serangga.
Namun terdapat tantangan yang harus dihadapi negara untuk mengembangkan
bioproduk yakni masalah ekonomi, teknologi, dan dukungan untuk mengembangkan penelitian
bioproduk. Maka dari itu perlu kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk segera peduli
penelitian bioproduk untuk alternatif bahan yang dapat habis seperti fosil, kemudian salah satu
alternatif bahan menggunakan biodiversitas juga membawa keuntungan yaitu lestarinya
organisme tersebut dan hasil dari bioproduk tersebut lebih ramah pada ekosistem. Dengan
terdukungnya pemanfaatan biodiversitas maka akan mempermudah negara untuk menggunakan
bahan alternatif untuk pembuatan bioetanol, biogas, biodegradasi, dan biopestisida.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, L. dan Efiyanti, L. 2015. Pengaruh Perlakuan Delignifikasi terhadap Hidrolisis Selulosa
dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 33(1):
69-80.
Aisah, I.U. and Herdiansyah, H. 2019. Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan
program Desa Mandiri Energi. Share: Social Work Journal. 9(2):130-141.
Coniwanti, P., Herlanto, A. dan Anggraini, I. 2009. Pembuatan Biogas Dari Ampas Tahu. Jurnal
Teknik Kimia. 16(1): 38-45.
Herawati, D.A. and Wibawa, A.A., 2010. Pengaruh pretreatment jerami padi pada produksi
biogas dari jerami padi dan sampah sayur sawi hijau secara batch. Jurnal rekayasa
proses. 4(1):25-29.
Leksono, A.S. 2011. Keanekaragaman Hayati: Teori dan Aplikasi. Malang: UB Press.
Njurumana, G.N. 2016. Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora pada Sistem
Pekarangan di Kabupaten Sumba Tengah. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 5(1):
25-36.
Permata, D.A. dan Sayuti, K., 2016. Pembuatan Minuman Serbuk Instan dari Berbagai Bagian
Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri). Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. 20(1): 44-49.
Perwitasari, U., Amanah, S., Wahidiyah, M., Nuryati, R., Melliawati, L., Kholida, A. A., Yopi.
(2020). Pengaruh Konsentrasi Kulit Singkong dan Sumber Nitrogen Terhadap Produksi
Glukoamilase Oleh Aspergillus Awamori KT-11 Pada Submerged Fermentasi (Effect of
Cassava Peelfor Glucoamylase Production by Aspergillus Awamori KT-11 in Submerged
Fermentation). Biopropal Industry, 11(2) : 119-126.
Pohan, S. D. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Tanaman sebagai Pestisida Alami (Biopestisida) dalam
Pengendalian Hama Serangga. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 20 (75): 94-98.
SANTI, L. P., SUDIRMAN, L. I., & GOENADI, D. H. (2007). Potensi fungi pelapuk putih asal
lingkungan tropik. Menara Perkebunan, 75(1) : 43-55.
Sriyana, H.Y. dan Nasita, U. 2019. Karakteristik Bioetanol Hasil Fermentasi Kulit Singkong.
Jurnal Inovasi Teknik Kimia. 4(2): 1-5.
Triyono, K. 2013. Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Inovasi
Pertanian. 11(1): 12-22.
Widyastuti, P. 2019. Pengolahan Limbah Kulit Singkong Sebagai Bahan Bakar Bioetanol Melalui
Proses Fermentasi. Jurnal Kompetensi Teknik. 11(1): 41-46.
BERITA ACARA