FAKUTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
K.H. PROF. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
A. Pendahuluan
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya, (Bandung: Citra Aditya, 2003), hlm. 26.
Yaitu suatu sistem perkawinan yang hanya memperbolehkan
seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri.
2. Sistem Eksogami
Yaitu suatu sistem perkawinan yang mengharuskan seseorang
melakukan perkawinan dengan seseorang dari luar suku
keluarganya.
3. Sistem Eleutherogami
Yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan atau
keharusan sepertihalnya dalam sistem endogami ataupun exogami.
Larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu larangan karena nasab
dan mushaharah.
Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut: 2
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan
kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan
dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota
keluarga dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau istri yang tidakdiakui masyarakat adat.
4. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan
beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing-masing
ditentukan menurut hukum adat setempat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum
cukup umur ataumasih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah
2
Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Hukum Adat di
Indonesia), (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2011), hlm. 36.
cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang
tua/keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh.
Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya
kekerabatan antara kedua belah pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang
bukan ibu rumah tangga.
B. Bentuk-Bentuk Perkawinan Hukum Adat 3
1. Perkawinan Pinang, yaitu dengan cara meminang atau melamar
sebelum menikah. Alasannya untuk Menjamin, Membatasi pergaulan,
Memberi kesempatan
2. Perkawinan Lari Bersama, yaitu (calon suami-istri) secara bersama-
sama dan atas persetujuan bersama melarikan diri ke suatu tempat
untuk melangsungkanperkawinan. Tujuannnya untuk menghindarkan
diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara
pelamaran atau peminangan ataupun untuk menghindarkan diri dari
berbagai rintangan dari pihak orang tua atau sanak saudara.
3
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1960), hlm.
45.
C. Berdasarkan tata susunan kekerabatan, yaitu:
1. Patrilineal,
2. Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tata tertib garis Ibu,
sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam
clannnya yang matrilineal. Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si
suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan
kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan
dilahirkan termasuk dalam clan ibunya yang matrilineal.5 Ketentuan dari
sistem ini yaitu:
a. Si istri tetap tinggal dalam clan atau golongan familinya
(keluarganya).
b. Suami tidak masuk dalam kerabat atau golongan si istri,
melainkan tetaptinggal dalam clan-nya sendiri
c. Suami diperkenankan bergaul dalam lingkungan kerabat
si istri sebagaiurang semendo (ipar).
d. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan ini akan masuk
ke dalam clanibunya.
e. Berlaku ketentuan hukum exogami
f. Perkawinan “cross-cousin”, di mana antara dua orang
saudara yang berbeda sex (laki-laki dan perempuan)
diizinkan/ diperbolehkan berbesanan satu dengan yang lain.
g. Perkawinan “pararel-cousin”, di mana antara dua orang
saudara yang berkelamin sama (laki-laki semua atau
perempuan semua) tidak diperbolehkan berbesanan.
3. Parental
4
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum
Islam danHukum Adat, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 426-429.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan belah
pihak (calon suami istri), yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan
syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara
keduannya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutusebagai
teman dalam rumah tangga.
Dalam tata hukum nasional-Indonesia UU NO 1 Tahun 1974 dan Inpres no.
1/1991 merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI
merupakan fiqh Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan
Islam (perkawinan, kewarisan dan kewakafan), dan perkembangan hukum
perbedaan agama dan keluarga Islam kontemporer mengalami banyak
perkembangan pemikiran, antara lain dalam diperbolehkannya perkawinan beda
agama. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu
ibadah, tetapi syarat itu tidak termasuk dalam rangkaian ibadah tersebut, seperti
menurut Islam calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama Islam.
Sedangkan rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah/tidaknya suatu
ibadah, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.9 Jumhur ulama
sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami istri
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
E. Batasan Usia Perkawinan
5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 45-46.
F. Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia
6
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV ( Jakarta: Ghalia
Indonesia,1976), hlm. 14-15.
1. Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing
masing agamanya dan kepercayaann yaitu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
G. Syarat-Syarat Perkawinan
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 1, 2, 3, 4, 5 dan 6).
3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita
sudahmencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat 1).
Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Harus ada persetujuan ke dua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1)
7
Bakri A. Rahman dan Ahmad Suharja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW (Jakarta: Hida karya Agung, 1993),
hlm. 38.
Jika kedua calon mempelai tidak mempunyai orang tua lagi
atau orang tua yang bersangkutan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, misalnya karena berpenyakit ,kurang akal, sakit
ingatan dan lain sebagainya, maka izindimaksudkan cukup dari orang
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu meyatakan
kehendaknya. Kalau tidak ada juga izin diperoleh dari wali atau
orang yang mempunyai hubungan darah dengan kedua calon
mempelai dalam garis ke atas selama mereka masih hidup dan
mampumenyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3-4)).
Daftar Pustaka