Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERKAWINAN

ADAT, ISLAM DAN INDONESIA

Di Susun Guna Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Perbandingan Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Bahrul Ulum
Oleh
Dimas Siswanda Purba 1817304008
Misbahudin Annahdi 1817304022

FAKUTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
K.H. PROF. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
A. Pendahuluan

Hukum perkawinan masuk dalam bagian hukum keluarga, dimana


hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan karena sedarah,
perkawinan, kekuasaan orang tua,dsb. Hubungan keluarga ini sangat penting
untuk menentukan hubungan anak dengan orang tua, waris, perwalian dan
pengampuan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang
berhubungan dalam suatu perkawinan yangdidalamnya memuat perihal yang
lebih banyak.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan


manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami
istri, tetapi jugamenyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya
perkawinan dianggapsebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama
selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah
agama. Manusia dalam menempuhpergaulan hidup dalam masyarakat ternyata
tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan
yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya.
Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat
rohani.

Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang


telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan
tersebut. Ia inginmemenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama
dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati, penyejuk jiwa, tempat
berbagi suka dan duka.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan
suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya
disebut sebagai sebuah perkawinan. Namun menurut berbagai sistem, hukum
perkawinan itu tidak selalu sama. Setiap daerah maupun agama memiliki
ketentuan sendiri untuk menentukan bagaimana perkawinan itu dapat
dilangsungkan. Maka dari itu dalam penulisan makalah ini, penulis akan
menjelaskan beberapa sistem hukum perkawinan, seperti halnya perkawinan
menurut adat, menurut Hukum Islam, menurut hukum positif di Indonesia, dan
Amerika.

B. Perkawinan Menurut Hukum Adat


Perkawinan dalam hukum adat merupakan ikatan hidup bersama antara
seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan
generasipenerus supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang
didahului dengan rangkaian upacara adat. Van Gennep menamakan semua
upacara perkawinan sebagai ”Rites De Passage” (upacara peralihan) yang
melambangkan peralihan status dari masing-masing mempelai yang tadinya
hidup sendiri-sendiri berpisah setelah melampaui upacara yang disyaratkan
menjadi hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri, suatu
keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiridengan tujuan menjamin
ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Rites De Passage terdiri atas 3
tingkatan yaitu 1

1. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula.


2. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan ke status yang baru.
3. Rites De Agreegation yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru
Sistem Perkawinan Adat Menurut Hukum Adat Ada 3 Macam, Yaitu:
1. Sistem endogami

1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya, (Bandung: Citra Aditya, 2003), hlm. 26.
Yaitu suatu sistem perkawinan yang hanya memperbolehkan
seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri.
2. Sistem Eksogami
Yaitu suatu sistem perkawinan yang mengharuskan seseorang
melakukan perkawinan dengan seseorang dari luar suku
keluarganya.
3. Sistem Eleutherogami
Yaitu sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan atau
keharusan sepertihalnya dalam sistem endogami ataupun exogami.
Larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu larangan karena nasab
dan mushaharah.
Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut: 2
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan
kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan
dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota
keluarga dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau istri yang tidakdiakui masyarakat adat.
4. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan
beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing-masing
ditentukan menurut hukum adat setempat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum
cukup umur ataumasih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah

2
Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Hukum Adat di
Indonesia), (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2011), hlm. 36.
cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang
tua/keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh.
Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya
kekerabatan antara kedua belah pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang
bukan ibu rumah tangga.
B. Bentuk-Bentuk Perkawinan Hukum Adat 3
1. Perkawinan Pinang, yaitu dengan cara meminang atau melamar
sebelum menikah. Alasannya untuk Menjamin, Membatasi pergaulan,
Memberi kesempatan
2. Perkawinan Lari Bersama, yaitu (calon suami-istri) secara bersama-
sama dan atas persetujuan bersama melarikan diri ke suatu tempat
untuk melangsungkanperkawinan. Tujuannnya untuk menghindarkan
diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara
pelamaran atau peminangan ataupun untuk menghindarkan diri dari
berbagai rintangan dari pihak orang tua atau sanak saudara.

3. Perkawinan Bawa – Lari, yaitu lari dengan seorang perempuan yang


sudah dipertunangkan atau sudah dikawinkan dengan laki-laki lain
(terdapat di Kalimantan) / Melarikan seorang perempuan secara paksa
(terdapat di Lampung).

3
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1960), hlm.
45.
C. Berdasarkan tata susunan kekerabatan, yaitu:

1. Patrilineal,

Pada hukum susunan kekerabatan patrilineal sistem pertalian darah lebih


diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya berlaku adat
perkawinan dengan pembayaran jujur, dimana setelah perkawinan istri masukke
dalam kerabat suaminya. Kemudian jika tidak mempunyai keturunan berlaku adat
pengangkatan anak laki-laki. Anak laki-laki adalah penerus keturunan baik yang
ditarik dari satu bapak asal, sedang anak perempuan dipersiapkan untuk menjadi
anak orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Perkawinan ini
dibagi menjadi 5, yaitu:

a. Perkawinan Jujur, pemberian jujur oleh pihak laki-laki


kepada pihak perempuan. Pemberian jujur ini sebagai
lambang dari diputuskannya hubungan kekeluargaan istri
dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara
kandungnya, kerabatnya, dan persekutuannya.

b. Mengabdi, pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-


syarat yang ditentukan oleh pihak perempuan. Dan
seorang suami harus mengabdi kepada kerabat mertuanya
hingga dia mampu membayar jujur yang dipersyaratkan
oleh pihak perempuan.

c. Mengganti/levirate, yaitu seorang janda kawin dengan


saudara laki-laki almarhum suaminya. Disebagaian
daearah terdapat anggapan bahwa perempuan telah dibeli
oleh pihak suami.

d. Meneruskan/sorotan, yaitu seorang duda kawin dengan


saudara perempuan almarhum istrinya tanpa membayar
jujur tambahan karena istri kedua hanya berfungsi
meneruskan istri pertama.
e. Ambil anak, yaitu perkawinana tanpa pembayaran jujur
dengan maksud untuk mengambil sang suami sebagai
anak laki-laki mereka sehingga si istri akan berkedudukan
tetap sebagai anggota clan-nya.

2. Matrilineal

Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tata tertib garis Ibu,
sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam
clannnya yang matrilineal. Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si
suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan
kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan
dilahirkan termasuk dalam clan ibunya yang matrilineal.5 Ketentuan dari
sistem ini yaitu:
a. Si istri tetap tinggal dalam clan atau golongan familinya
(keluarganya).
b. Suami tidak masuk dalam kerabat atau golongan si istri,
melainkan tetaptinggal dalam clan-nya sendiri
c. Suami diperkenankan bergaul dalam lingkungan kerabat
si istri sebagaiurang semendo (ipar).
d. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan ini akan masuk
ke dalam clanibunya.
e. Berlaku ketentuan hukum exogami
f. Perkawinan “cross-cousin”, di mana antara dua orang
saudara yang berbeda sex (laki-laki dan perempuan)
diizinkan/ diperbolehkan berbesanan satu dengan yang lain.
g. Perkawinan “pararel-cousin”, di mana antara dua orang
saudara yang berkelamin sama (laki-laki semua atau
perempuan semua) tidak diperbolehkan berbesanan.
3. Parental

Yaitu bentuk perkawinan yang mengakibatkan bahwa pihak suami maupun


pihak istri masing- masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak.
Demikian juga anak- anaknya yang lahir kelak dan seterusnya.6 Ketentuan dari
sistem ini yaitu:
a. Pihak suami maupun pihak istri masing-masing menjadi anggota
kerabat dari kedua belah pihak.
b. Anak-anak yang kelak dilahirkan juga menjadi anggota
kekerabatan keluarga suami dan sekaligus keluarga istri.
c. Kebiasaan pemberian-pemberian dari pihak suami kepada pihak
istri.Perkawinan Anak.

D. Perkawinan Menurut Hukum Islam


1. Pengertian perkawinan
Bagi umat Islam, perkawinan tidak hanya dianggap sakral, tetapi juga
bermakna ibadah, karena kehidupan berkeluarga, selain melestarikan
kelangsungan hidup anak manusia, juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi
yang bermartabat bagi laki-laki dan perempuan. Perkawinan mempunyai tujuan
yang agung dan motif yang mulia, sebagaimana yang terlukis dalam Al-Qur’an
surat Ar-Rum ayat 21. 4
Perkawinan menurut hukum Islam yaitu akad yang ditetapkan syara’untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkannya bersenang-senang perempuan dengan laki-laki. Sedangkan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat.
Pengertian perkawinan ini tidak beda jauh dengan Undang-Undang Perkawinan
yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum
Islam danHukum Adat, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 426-429.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan belah
pihak (calon suami istri), yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan
syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara
keduannya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutusebagai
teman dalam rumah tangga.
Dalam tata hukum nasional-Indonesia UU NO 1 Tahun 1974 dan Inpres no.
1/1991 merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI
merupakan fiqh Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan
Islam (perkawinan, kewarisan dan kewakafan), dan perkembangan hukum
perbedaan agama dan keluarga Islam kontemporer mengalami banyak
perkembangan pemikiran, antara lain dalam diperbolehkannya perkawinan beda
agama. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu
ibadah, tetapi syarat itu tidak termasuk dalam rangkaian ibadah tersebut, seperti
menurut Islam calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama Islam.
Sedangkan rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah/tidaknya suatu
ibadah, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.9 Jumhur ulama
sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami istri
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
E. Batasan Usia Perkawinan

Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang. Tanda-tanda


mulai dewasa, apabila telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila telah
mengeluarkan darah haid atau hamil bagi perempuan. Batas usia baligh menurut
yuridik adalah jika seseorang telah mencapai usia 12 tahun bagi laki- laki dan
berusia 9 tahun bagi perempuan. Sedangkan batas akhirnya dikalanganpara ulama’
terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah yakni setelah seseorang
mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan telah mencapai usia
17 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut kebanyakan para ulama’ termasuk
pula sebagian ulam’ Hanafiyah yaitu apabila seseorang telah mencapai usia 15
tahun baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.5
Ukasyah Athibi dalam bukunya Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya,
menyatakan bahwa seseorang dianggap sudah pantas untuk menikah apabila dia
telah mampu memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Kematangan jasmani
Minimal dia sudah baligh, mampu memberikan keturunan, dan bebas dari
penyakit atau cacat yang dapat membahayakan pasangan suami istri atau
keturunannya.
b. Kematangan finansial/keuangan
Kematangan finansial/keuangan maksudnya dia mampu membayar mas kawin,
menyediakan tempat tinggal, makanan, minuman, dan pakaian.Kematangan
perasaan
c. Kematangan perasaan artinya, perasaan untuk menikah itu sudah tetap dan
mantap, tidak lagi ragu-ragu antara cinta dan benci, sebagaimana yang
terjadi pada anak-anak, sebab pernikahan bukanlah permainan yang
didasarkan pada permusuhan dan perdamaian yang terjadi sama-sama
cepat.Pernikahan itu membutuhkan perasaan yang seimbang dan pikiran
yang tenang.
Karena pentingnya lembaga perkawinan maka seseorang yang akan
melaksanakan perkawinan harus mempunyai persiapan yang matang dalamsegala
bidang. Persiapan ini berkaitan dengan kedewasaan seseorang, tidak dapat
diragukan, kehidupan pada masa sekarang lebih sulit dibanding pada zaman
dahulu. Dan datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya
pikiran kita sehingga kita telah memiliki kedewasaan berfikir. Karena itu wajib
bagi kita pegang dalam menentukan anak cukup umur adalah kedewasaannya
secara jiwa, bukan dari banyaknya umur dan tanda-tanda fisik (tubuh).

5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 45-46.
F. Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia

Menurut Pasal 1 Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dari uraian pengertian dalam Pasal 1 tersebut dalam
penjelasannya disebutkan:

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang


pertamanya ialah Ketuhanan Yang maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang eratsekali dengan agama/kerohanian sehingga
perkawinan bukan bukan saja mempunyaiunsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban orang tua”.
Dari uraian pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya, sesungguhnya perkawinan bukan
hanya kebutuhan lahiriah (jamani), namun juga merupakan kebutuhan
rohani (bathin). Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami isteri. Ikatan ini merupakan hubungan formal yang sifatnya
nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi oranglain maupun
masyarakat.6
Oleh karena itu perkawinan tersebut harus di dasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 UU No.
1 Tahun 1974yang telah penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) juga mempertegas mengenai sahnya perkawinan yaitu:

6
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV ( Jakarta: Ghalia
Indonesia,1976), hlm. 14-15.
1. Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing
masing agamanya dan kepercayaann yaitu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

G. Syarat-Syarat Perkawinan

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinanmenyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhanan
Yang Maha Esa . Sehingga untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan
tersebut, setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang
undangNomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1).

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 1, 2, 3, 4, 5 dan 6).
3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita
sudahmencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat 1).
Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Harus ada persetujuan ke dua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1)

Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat


perkawinan yang lain. Namun dalam masyarakat yang telah maju
tidak pantas lagi adanya ”kawinpaksa” ,oleh karena itu adanya
persetujuan dari ke dua calon mempelai merupakan syarat utama
dalam perkawinan di Indonesia yang sekarangberlaku. Persetujuan
atau kesukarelaan ke dua belah pihak ini sangat pentingsekali untuk
membentuk keluarga yang bahagia ,kekal dan sejahtera sesuai
dengan tujuan perkawinan khususnya apabila dilihat dari pihak calon
isteri hal ini adalah sesuai dengan persoalan emansipasi wanita dalam
kehidupan masyarakat sekarang mempunyai kebebasan dalam
menentukan pilihannya dalam ikatan perkawinan.13
Pasal 6 ayat (1) ini oleh Prof .Dr. Hazairin , SH. Di beri
komentar sebagai berikut: Pasal 6 ayat (1) mengandung suatu prinsip
kebebasan, kemauan yang sangat baik .Buat umat Islam ketentuan
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
2. Calon mempelai laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan calon
mempelaiperempuan sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat
1).
Dalam Pasal 29 KUH Perdata (BW) yang sudah tidak
berlaku lagi, seorang pemuda yang belum mencapai 18 tahun begitu
pula pemudi yang belum mencapai umur 15 tahun tidak di bolehkan
mengikat tali pernikahan. Jadi terdapat perbedaan batas umur
perkawinan antara KUH Perdata dan Undang-undang No.1 Tahun
1974. Namun kedua undang-undang itu menetapkan adanya batas
umur perkawinan sebagaimana di jelaskan dalam penjelasan
Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya perkawinan anak-anak, agar pemuda dan pemudi yang
akan melangsungkan perkawinan benar benar telah masak jiwa dan
raganya dalam bentuk keluarga yang kekal dan Bahagia. Juga
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perceraian muda, dapat
membenihkan keturunan yang baik dan sehat, juga dapat menekan
laju kelahiran yang cepat yang akan berakibat pertambahan
penduduk yang cepat pula.15 Kalau umur calon suami isteri tidak
diketahui mereka tidak boleh kawin kecuali apabila dapat dipastikan
bahwa umur mereka sudah cukup. Mendapat izin dari ke dua orang
tuanya ,bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun
(Pasal 6ayat (2)).7

7
Bakri A. Rahman dan Ahmad Suharja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW (Jakarta: Hida karya Agung, 1993),
hlm. 38.
Jika kedua calon mempelai tidak mempunyai orang tua lagi
atau orang tua yang bersangkutan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, misalnya karena berpenyakit ,kurang akal, sakit
ingatan dan lain sebagainya, maka izindimaksudkan cukup dari orang
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu meyatakan
kehendaknya. Kalau tidak ada juga izin diperoleh dari wali atau
orang yang mempunyai hubungan darah dengan kedua calon
mempelai dalam garis ke atas selama mereka masih hidup dan
mampumenyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3-4)).
Daftar Pustaka

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2006.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan


UpacaraAdatnya.Bandung: Citra Aditya. 2003.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan


Hukum AdatHukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 1990.

Mathlub, Abdul Majid Mahmud. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Solo:


Intermedia. 2005.

Rahman, Bakri A. dan Ahmad Suharja. Hukum Perkawinan Menurut Islam,


Undang- Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta: Hida
karya Agung. 1993.

Rato, Dominikus. Pengantar Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Hukum


Adat diIndonesia). Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 2011.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV. Jakarta: Ghalia


Indonesia. 1976.

Santoso. Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum


Islam danHukum Adat, Yudisia. Vol. 7, No. 2. 2016.

Anda mungkin juga menyukai