Liky Faizal
Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
Jl Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung
Abstrak
Pencatatan perkawinan menjadi penting bagi keabsahan perkawinan, selain itu karena
perkawinan yang dicatatkan akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi
suami, isteri dan anak-anak, serta memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak
tertentu yang timbul karena perkawinan antara lain hak untuk mewaris, hak untuk
memperoleh akta kelahiran, hak atas nafkah hidup, dan lain sebagainya. Perkawinan siri
dianggap tidak sah menurut hukum negara,serta memiliki dampak negatif bagi status anak.
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
A. Pendahuluan
4 Pasal 6-11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 5 Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1974 Tentang perkawinan 1975
60
saudara, antara seorang dengan saudara menurut hukum masing-masing agamanya
orang tua dan antara seorang dengan dan kepercayaannya itu. Kedua calon
saudara neneknya/ kewangsaan. mempelai menandatangani akta
o. Berhubungan semenda, yaitu mertua, perkawinan dihadapan pegawai pencatat
anak tiri, menantu dan ibu/bapak dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka
tiri/periparan. perkawinan telah tercatat secara
p. Berhubungan sususan, yaitu orang tua resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap
susuan, anak susuan, saudara susuan dan dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu
bibi/ paman susuan. lagi disimpan pada Panitera Pengadilan.
q. Berhubungan saudara dengan istri atau Kepada suami dan Istri masing-masing
sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam diberikan kutipan akta perkawinan.
hal seorang suami beristri lebih Dari
seorang
r. Mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang 3. Perkawinan Yang Dicatatkan Dan
berlaku dilarang kawin. Perkawinan yang Tidak
Secara singkat syarat formal ini dapat Dicatatkan
diuraikan sebagai berikut6 : Perkawinan adalah salah satu bentuk
a. Setiap orang yang akan melangsungkan perwujudan hak-hak konstitusional warga
perkawinan harus memberitahukan negara yang harus dihormati (to respect),
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat dilindungi (to protect) oleh setiap orang dalam
Perkawinan di mana perkawinan di
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
mana perkawinan itu akan
bernegara sebagaimana tercantum dalam
dilangsungkan, dilakukan sekurang-
kurangnya 10 hari sebelum perkawinan UUD 1945, dinyatakan secara tegas dalam
dilangsungkan. Pemberitahuan dapat Pasal 28B ayat (1): "Setiap orang berhak
dilakukan lisan/tertulis oleh calon membentuk keluarga dan melanjutkan
mempelai/orang tua/wakilnya. keturunan melalui perkawinan yang sah",
Pemberitahuan itu antara lain memuat: dan Pasal 28J ayat (1): "Setiap orang
nama, umur, agama, tempat tinggal wajib menghormati hak asasi manusia
calon mempelai (Pasal 3-5) orang lain dalam tertib bermasyarakat,
b. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai berbangsa dan bernegara".
Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah Dengan demikian perlu disadaribahwa
sudah memenuhi syarat/belum. Hasil
di dalam hak-hak konstitusional tersebut,
penelitian ditulis dalam daftar khusus
terkandung kewajiban penghormatan atas
untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
c. Apabila semua syarat telah dipenuhi hak-hak konstitusional orang lain.
Pegawai Pencatat Perkawinan membuat Sehingga tidaklah mungkin hak-hak
pengumuman yang ditandatangani konstitusional yang diberikan oleh negara
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang tersebut dapat dilaksanakan sebebas-
memuat antara lain: bebasnya oleh setiap orang, karena bisa jadi
1). Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pelaksanaan hak konstitusional seseorang
pekerjaan calon pengantin. justru akan melanggar hak konstitusional orang
2). Hari, tanggal, jam dan tempat lain, karenanya diperlukan adanya pengaturan
perkawinan akan dilangsungkan. pelaksanaan hak-hak konstitusional
Kemudian perkawinan dilaksanakan
tersebut.7
setelah hari ke sepuluh yang dilakukan
7 Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan
6 Pasal 12 UU No. I/1974 Jo. Pasal 3 s/d Terlarang, Jakarta: Cv. Cendekia Sentra Muslim
Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 (anggota IKAPI), 2002, hlm.25-26
61
Pengaturan tersebut sebagaimana tertuang Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang perwujudan pelaksanaan hak-hak konstitusional
menyatakan bahwa “Dalam menjalankan yang diberikan oleh UUD 1945 khususnya
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib hak untuk membentuk keluarga dan
tunduk kepada pembatasan yang melanjutkan keturunan, akan tetapi ketentuan
ditetapkan dengan undang-undang dengan tersebut sekaligus memberi batasan
maksud semata-mata untuk menjamin terhadap pelaksanaan hak konstitusional
pengakuan serta penghormatan atas hak dan yang semata-mata bertujuan untuk
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi melindungi warga Negara untuk terciptanya
tuntutan yang adil sesuai dengan masyarakat adal makmur dan sejahtera, seperti
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, yang dicita-citakan dalam Pembukaan
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu UUD 1945. Oleh karenanya perkawinan
masyarakat demokratis”. adalah suatu lembaga yang sangat menentukan
Meskipun pengaturan yang terbentuknya sebuah keluarga yang bahagia
dituangkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD dan sejahtera, maka keluarga yang
1945, pada hakikatnya adalah mengurangi merupakan unit terkecil dalam masyarakat
kebebasan, namun pengaturan tersebut itulah yang akan membentuk masyarakat bangsa
bertujuan dalam rangka kepentingan Indonesia menjadi masyarakat yang adil,
nasional atau kepentingan masyarakat luas, makmur, dan sejahtera. Jika keluarga yang
yakni agar pelaksanaan hak konstitusional terbentuk adalah keluarga yang tidak harmonis,
seseorang tidak menggangguhak tidak bahagia, dan tidak sejahtera, mustahil
konstitusional orang lain. Selain itu akan terbentuk masyarakat Indonesia menjadi
pengaturan pelaksanaan hak konstitusional masyarakat yang sejahtera.
tersebut merupakan konsekuensi logis dari Undang-Undang Perkawinan telah
kewajiban negara yang diamanatkan oleh sejalan dengan amanat konstitusi, UUD 1945,
Pembukaan UUD 1945, "... untuk karena UU Perkawinan tidak mengandung
membentuk Pemerintah negara Indonesia materi muatan yang mengurangi dan
yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan menghalang-halangi hak seseorang untuk
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan melakukan perkawinan, akan tetapi undang-
kesejahteraan umum, mencerdaskan undang perkawinan mengatur bagaimana
kehidupan bangsa ...”. sebuah perkawinan seharusnya dilakukan
Artinya bahwa pembentukan Undang- sehingga hak-hak konstitusional seseorang
Undang meskipun di terpenuhi tanpa merugikan hak-hak
dalamnya mengandung norma atau materi konstitusional orang lain.
yang dianggap membatasi hak Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan
konstitusional seseorang, namun bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian bathin antara seorang pria dengan seorang
dari upaya yang dilakukan oleh negara dalam wanita sebagai suami dan isteri dengan
rangka melindungi segenap bangsa tujuan membentuk keluarga (rumah
Indonesia, untuk memajukan ketertiban tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
umum, kesejahteraan, mencerdaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan
kehidupan bangsa, dan lain sebagainya.8 pernyataan tersebut diatas, perkawinan
Sebagaimana halnya ketentuan yang sesungguhnya tidak hanya bertujuan untuk
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 membentuk keluarga dalam rangka hidup
bersama, tetapi lebih dari itu untuk
8 Harahap, Op. Cit., hal. 125. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
62
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan
timbulnya kewajiban suami dan isteri memang tidak berdiri sendiri, karena frasa
untuk saling membantu dan melengkapi agar “dicatat menurut peraturan perundang-
masing-masing dapat mengembangkan undangan yang berlaku” memiliki
kepribadiannya dalam rangka membantu pengertian bahwa pencatatan perkawinan
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan
material. bahwa pencatatan harus mengikuti persyaratan
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-
menyatakan bahwa : undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak
“suatu perkawinan adalah sah suami, istri, dan anak-anaknya benar-
bilamana dilakukan menurut hukum benar dapat dijamin dan dilindungi oleh
masing-masing agamanya dan negara. Persyaratan dan prosedur tersebut
kepercayaannya itu”; dan pada Pasal meliputi ketentuan yang diatur dalam
2 ayat (2)dinyatakan bahwa “Tiap-tiap Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9,
perkawinan harus dicatat menurut dan Pasal 12 UU Perkawinan, dan
peraturan perundang-undangan yang Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
berlaku”. 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan
Menurut Undang-Undang khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.
Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan Ketentuan tersebut sejalan dengan
kepada hukum agama masing-masing, namun ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
demikian suatu perkawinan belum dapat diakui yang berbunyi:
keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan “Dalam menjalankan hak dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
Pencatatan perkawinan sebagaimana kepada pembatasan yang ditetapkan
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan dengan undang-undang dengan maksud
untuk: semata-mata untuk menjamin
a. tertib administrasi perkawinan pengakuan serta penghormatan atas hak
b. memberikan kepastian dan dan kebebasan orang lain dan untuk
perlindungan terhadap status hukum memenuhi tuntutan tuntutan yang adil
suami, istri maupun anak sesuai dengan pertimbangan moral,
c. memberikan jaminan dan perlindungan
nilai-nilai agama, keamanaan, dan
terhadap hak-hak tertentu yang timbul
ketertiban umum dalam suatu
karena perkawinan seperti hak waris,
hak untuk memperoleh akte kelahiran, masyarakat demokratis”.
dan lain-lain; Perkawinan menimbulkan akibat hukum
Pencatatan perkawinan bukanlah bagi pihak suami dan isteri dalam perkawinan,
dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga antara lain mengenai hubungan hukum diantara
negara melainkan sebaliknya yakni suami dan isteri, terbentuknya harta benda
melindungi warga negara dalam perkawinan, kedudukan dan status anak
membangun keluarga dan melanjutkan yang sah, serta hubungan pewarisan.
keturunan, serta memberikan kepastian hukum Timbulnya akibat hukum perkawinan
terhadap hak suami, istri, dan anak- tersebut hanya dapat diperoleh apabila
anaknya.9 perkawinan dilakukan secara sah, yaitu
memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan
Ayat (2) UU Perkawinan, yaitu dilakukan
9 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum
Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Centre Publishing, 2002), hal. 46.
63
menurut hukum masing-masing agama bahwa perkawinan yang dicatatkan akan
dan kepercayaannya, serta dicatat menurut lebih baik daripada perkawinan yang tidak
peraturan perundang-undangan yang berlaku. dicatatkan, karena akan mendapatkan
Pengaturan yang demikian menunjukkan perlindungan dan kepastian hukum dari
adanya ketentuan yang tegas yang harus segala akibat yang ditimbulkan dari suatu
dipatuhi oleh seorang pria dan seorang perkawinan. Perkawinan yang sah hanya
wanita yang melangsungkan perkawinan, dapat dibuktikan dengan akta perkawinan
sehingga dengan dipenuhinya ketentuan yang sah, artinya perkawinan yang tidak dapat
tersebut diatas maka perkawinan tersebut dibuktikan dengan akta perkawinan, maka
akan diakui dan mempunyai kekuatan hukum perkawinan tersebut tidak mempunyai
yang sah. Sebagai penjabaran lebih lanjut akibat hukum.
dari ketentuan tersebut diatas, ada pula Pihak yang menyatakan bahwa
ketentuaan yang terdapat dalam Instruksi perkawinan tidak perlu dicatatkan berpendapat
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang bahwa perkawinan yang tidak dicatat tidak
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya melanggar syariat agama sepanjang
disebut KHI) dalam Pasal 4 yang menyatakan dilakukan dengan berpedoman pada
bahwa perkawinan adalah sah apabila ketentuan hukum Islam.
dilakukan menurut hukum Islam, sesuai Sejak dilangsungkannya perkawinan,
dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, maka sejak saat itu menjadi tetaplah
dan selanjutnya Pasal 5 Ayat (1) kedudukan laki-laki sebagai suami dan
menyatakan bahwa agar terjamin perempuan sebagai isteri, dan sejak saat itu
ketertiban perkawinan, bagi masyarakat pula suami dan isteri memperoleh hak-hak dan
Islam setiap perkawinan harus dicatat. kewajiban-kewajiban tertentu dalam ikatan
Mengenai keharusan pencatatan perkawinan perkawinan.10
ini, Pasal 6 Ayat (1) KHI menyatakan Hak dan kewajiban suami dan isteri
bahwa setiap perkawinan harus dalam perkawinan adalah setara (seimbang
dilangsungkan dihadapan dan di bawah atau sama). Hal tersebut dapat dilihat
pengawasan pegawai pencatat nikah, dan Pasal antara lain dalam ketentuan Pasal 31 UU
6 Ayat (2) menyatakan lebih lanjut bahwa Perkawinan yang menyatakan bahwa hak
perkawinan yang dilakukan di luar dan kedudukan isteri adalah seimbang
pengawasan pegawai pencatat nikah sebagai dengan hak dan kedudukan suami dalam
perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hukum. Dengan demikian pencatatan hidup bersama dalam masyarakat, dan
perkawinan ini sangat penting dalam masing-masing pihak berhak untuk melakukan
rangka menciptakan kepastian hukum dari perbuatan hukum. Penjelasan Umum
suatu perkawinan yang telah dilangsungkan. dalam UU Perkawinan menyatakan lebih tegas
Berkaitan dengan kesahan perkawinan mengenai kesetaraan kedudukan suami dan
tersebut, terdapat perbedaan pendapat isteri dalam perkawinan, dimana hal ini
dimana disatu pihak menyatakan bahwa dapat dilihat dalam ketentuan Penjelasan
perkawinan adalah sah apabila dilakukan Umum Angka 3 yang menyatakan bahwa
pencatatan atas perkawinan, sedangkan di hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
pihak yang lain menyatakan bahwa dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
perkawinan tidak perlu dicatat sepanjang
telah memenuhi ketentuan agama.
10Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum
Pihak yang menyatakan bahwa Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
perkawinan harus dicatatkan berpendapat Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976, hlm. 55.
64
kehidupan rumah tangga maupun dalam 1). Perkawinan ini dilakukan tanpa
pergaulan masyarakat, sehingga dengan sepengetahuan wali perempuan, setiap
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat perkawinan yang dilaksanakan tanpa
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh adanya wali maka perkawinan itu
tidak sah. Hal ini sangat bertentangan
suami dan isteri.
dengan maksud-maksud syari’ah.
2). Karena tidak adanya pemberitahuan
dan walimah maka perkawinan ini tidak
ubahnya dengan zina tersembunyi.
4. Arti Penting Dan Akibat 3). Tanpa ada ketentuan untuk
Hukumnya Dicatatkannya Sebuah menyediakan tempat dan mahar.
Perkawinan
Nikah Di Bawah Tangan yang
dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang b. Pentingnya Pencatatan Perkawinan
ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) 1). Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
namun tanpa pencatatan resmi di instansi Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1
perundang-undangan yang berlaku”. Undang-Undang Perkawinan nomor 1
Perkawinan seperti itu dipandang tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
tidak memenuhi ketentuan peraturan perkawinan menurut agama Islam,
perundang-undangan dan seringkali pencatatan dilakukan di Kantor Urusan
menimbulkan dampak negatif (madharat) Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama
terhadap istri dan atau anak yang Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan
dilahirkannya terkait dengan hak-hak itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil
mereka seperti nafkah, hak waris dan lain (KCS).
sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak 2). Akibat Hukum Tidak Dicatatnya
tersebut manakala terjadi sengketa akan Perkawinan.
sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan a). Perkawinan Dianggap tidak Sah
resmi perkawinan yang sah. b). Meski perkawinan dilakukan
menurut agama dan kepercayaan,
a. Ketentuan Hukum namun di mata negara perkawinan
Para ulama sepakat bahwa pernikahan Anda dianggap tidak sah jika belum
harus dicatatkan secara resmi pada dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau
lembaga yang berwenang, sebagai langkah Kantor Catatan Sipil.
preventif untuk menolak dampak negatif c). Anak Hanya Mempunyai Hubungan
/saddan lidz-dzari ‘ah. Pernikahan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Dibawah Tangan hukumnya sah karena Akibat lebih jauh dari perkawinan
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun
tetapi haram jika terdapat mudharat.11 anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
Perkawinan semacam ini termasuk dalam tersebut tidak berhak menuntut nafkah
kategori zina, berdasarkan hal-hal sebagai ataupun warisan dari ayahnya. Namun
berikut: demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan Macicha Muktar
sehingga anak hasil perkawinan siri
11 Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan memiliki hubungan perdata dengan
Terlarang, Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim ayahnya.
(anggota IKAPI), 2002, h.58-59
65
rangka perceraian) hanya dimungkinkan
5. Sahnya Perkawinan jika sebelumnya sudah memiliki akta
Sahnya perkawinan apabila dilakukan nikah dari pejabat berwenang.
menurut hukum masing-masing agamanya dan Walaupun sudah resmi memiliki akta,
kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU status anak-anak yang lahir dalam perkawinan
Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu di bawah tangan sebelum pembuatan akta
perkawinan telah memenuhi syarat dan tersebut akan tetap dianggap sebagai anak di
rukun nikah atau ijab kabul telah luar nikah, karena perkawinan ulang tidak
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau berlaku terhadap status anak yang
pendeta/pastur telah melaksanakan dilahirkan sebelumnya.
pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang Akan tetapi, salah satu syarat dalam
non muslim), maka perkawinan tersebut adalah pengajuan permohonan itsbat nikah adalah
sah,terutama di mata agama dan kepercayaan harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan
masyarakat. Karena sudah dianggap sah, syarat lainnya adalah jika perkawinan itu
akibatnya banyak perkawinan yang tidak dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1
dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan
mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk yang dilaksanakan setelah berlakunya UU
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan tersebut mau tidak mau harus disertai dengan
hukum dan hukuman adiministrasi dari gugatan perceraian.
atasan, terutama untuk perkawinan kedua
dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan 7. Akibat Hukum
ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini Perkawinan yang tidak dicatatkan
dikenal dengan istilah Perkawinan Siri. sangat merugikan bagi istri dan, baik
secara hukum maupun sosial. Secara hukum,
6. Pengesahan Perkawinan perempuan tidak dianggap sebagai istri sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan
7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam dari suami jika ditinggal meninggal dunia.
hal perkawinan tidak dapat dibuktikan Selain itu sang istri tidak berhak atas harta
dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat gono-gini jika terjadi perceraian, karena
nikahnya ke Pengadilan Agama. secara hukum perkawinan tersebut dianggap
Itsbat nikah ini hanya dimungkinkan bila tidak pernah terjadi. Secara sosial, Perempuan yang
berkenaan dengan: perkawinan yang tidak dicatatkan sering
a. dalam rangka penyelesaian perceraian; dianggap menjadi istri simpanan. Selain
b. hilangnya akta nikah; itu status anak yang dilahirkan dianggap
c. adanya keraguan tentang sah atau sebagai anak tidak sah.
tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU
C. Kesimpulan
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
Berdasarkan uraian di atas dapat dapat
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan disimpulkan Secara hukum, perempuan
perkawinan menurut UU No. 1/1974. tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak
Biasanya untuk perkawinan di bawah berhak atas nafkah dan warisan dari suami
tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu
dengan alasan dalam rangka penyelesaian sang istri tidak berhak atas harta gono-gini
perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat jika terjadi perpisahan, karena secara
nikah dengan alasan lain (bukan dalam hukum perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah terjadi. Status anak yang
66
dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu.
D. Daftar Pustaka
Khoiruddin Nasutio,2002, Status
Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta-Leiden: INIS
67