Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian dan Pengaturan mengenai Perkawinan.

a. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dalam kehidupan manusia terdapatnya dua jenis manusia yang

berjenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah

mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat

hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan umtuk membentuk

suatu ikatan lahir batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau

rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.14

Tata tertib kaidah-kaidah yang berlaku di Indonesia yang dalam

bentuk konkritnya disebut Hukum Perkawinan atau istilah lain yang

sama maksudnya yang telah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.15

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina

rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami-

isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya

akan mengalami proses psykologis yang berat yaitu kehamilan dan

melahirkan yang meminta pengorbanan.16

14
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azaz-azaz Hukum Perkawinan Indonesia,
Jakarta, PT.Bina Aksara, hlm.1
15
Soedharyo Soimin, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.3
16
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, op.cit, hlm.2

10
11

Suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari

mereka yang masih kurang matang, baik fisik maupun mental

emosional, melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta

kematangan fisik dan mental. Untuk itu suatu perkawinan haruslah

dimasuki dengan suatu persiapan yang matang.17

Pengertian perkawinan pada Pasal 1 UUP yang artinya

ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa dalam perkawinan

terdapat 3 (tiga) unsur pokok yaitu :

a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

wanita sebagai suami istri

b. Ikatan lahir batin itu ditunjukkan untuk membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera.

c. Ikatan lahir batin serta tujuan bahagia dan kekal tersebut

berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Dalam perkawinan ikatan lahir batin dimaksud, adalah bahwa

perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja. Hal ini harus

ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan batin yang

merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina

keluarga yang bahagia dan kekal. Selanjutnya tujuan perkawinan

17
Ibid, hlm.2
12

adalah untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang

bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan ini

hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu

saja. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam

Pancasila.

b. Pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj.

Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada

perbedaan, sebab kata ‘nikah’ berarti hubungan seks antara suami dan

isteri, sedangkan ‘ziwaj’ berarti kesepakatan antara soerang pria dan

seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami isteri

untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kepada

Allah, karena itu sebelum melangsungkan perkawinan bagi calon

suami isteri harus benar-benar bersedia melanjutkan hidup sebagai

pelaksanaan perintah Allah yang dicantumkan dalam Al-Qur’an.

Menurut bentuknya Islam mewujudkan susunan keluarga sebagai

suami isteri yang diridhai Allah melalui ikatan perjanjian (akad)

bernilai kesucian sakral rohaniah dan jasmaniah.18

Demikian dapat diperoleh suatu pengertian perkawinan

menurut Hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan

18
R.Abdul Djamali, 2002, Hukum Islam, Bandung, Mandar Maju, hlm.77
13

dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi

rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.

Pengertian menurut Pasal 2 KHI, pernikahan yaitu akad yang

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dalam Pasal 3 KHI,

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah, mawadah dan warrahmah.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintahkan oleh

Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak perintah-perintah Allah

dalam Al Qur’an untuk melaksanakan perkawinan diantaranya dalam

surat An-Nur ayat 32:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hambahamba

sahaya-Mu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya-Mu yang

perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan

kepada mereka dengan karunianya.

Selanjutnya hal tersebut terdapat dalam Hadits Rasul

muttafaqun alaihi (sepakat para ahli hadits) atau jamaah ahli hadits.

Hai pemuda barang siapa yang mampu di antara kamu serta

berkeinginan hendak nikah (kawin) hendaklah ia itu kawin (nikah),

karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap

orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan

syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia
14

puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan

berkurang.

Dari hadits Rasul ini jelas dapat dilihat bahwa perkawinan itu

dianjurkan karena berfaedah bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga

untuk rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan

melakukan perkawinan itu akan terhindarlah seseorang dari godaan

setan, baik godaan melalui penglihatan mata maupun melalui alat

kelamin atau syahwat, nafsu dan sebagainya.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perkawinan antara UUP

dengan KHI tidak jauh berbeda. Perkawinan dilaksanakan bermaksud

untuk melaksanakan ibadah dengan cara menghalalkan hubungan

antara suami isteri dalam membentuk keluarga yang bertujuan menjadi

keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah serta kekal. Selanjutnya

tujuan perkawinan menurut Hukum Islam terdiri dari :

1) Berbakti kepada Allah SWT

2) Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah

menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita itu saling

membutuhkan.

3) Mempertahankan keturunan umat manusia.

4) Melanjutkan perkembangan hidup dan ketentraman hidup rohaniah

antara pria dan wanita.


15

5) Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antara golongan

manusia untuk menjaga keselamatan hidup.19

Kelima tujan perkawinan tersebut diatas didasarkan pada

Qur’an Surat (30) Ar-Rum ayat 21 yang menyatakan bahwa “Ia

jadikan bagi kamu bersenang-senang kepadanya, dan Ia jadikan di

antara kamu percintaan dan kasih sayang sesungguhnya hal itu menjadi

bukti bagi mereka yang berfikir”.

2. Syarat-syarat Perkawinan

a. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Di dalam Undang-Undang perkawinan terdapat ketentuan

mengenai syarat sahnya perkawinan terdapat pada Pasal 2 UUP yang

berbunyi, Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya.

b. Syarat Sah Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai

dengan Pasal 2 ayat (1) UUP.

Dengan demikian dapat diketahui dari UUP serta KHI telah

mengatur dan menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilaksanakan sesuai dengan prosedur dari tiap-tipa agama dan sesuai

kepercayaannya.

19
Ibid, hlm.80.
16

c. Syarat Materiil Perkawinan

Syarat-syarat materiil, yaitu syarat mengenai orang-orang yang

hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan,

ijin dan kewenangan untuk memberi ijin. Syarat-syarat yang perlu

dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan yaitu :

1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan

Calon suami isteri mempunyai dorongan (motivasi) yang

sama untuk membentuk suatu kehidupan keluarga. Motivasi

mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh

dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan lanjut

berpartisipasi dalam membentuk suatu keluarga. Keinginan itu

sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat dipaksakan

oleh pihak lain baik orang tua maupun orang yang dituakan dalam

keluarga masing-masing.

2) Kesamaan Agama Islam

Kedua belah pihak pemeluk agama Islam yang sama. Hal ini

dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak

ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu

pihak untuk terwujudnya keagamaan dalam keturunan mereka.

3) Tidak ada dalam hubungan nasab

Yang dimaksudkan adalah tidak adanya hubungan keluarga

dekat baik dari pihak ibu atau pihak ayah.


17

4) Tidak ada hubungan Rodhoah

Rodhoah adalah persesusuan, maksudnya bahwa antara

wanita dan pria yang akan melangsungkan perkawinan harus

meyakini bahwa diantara mereka tidak pernah mendapat air susu

satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya dari orang tua yang

berlainan. Diantara keduanya jika melangsungkan perkawinan

hukumnya adalah haram.

5) Tidak semenda (mushoharoh)

Artinya kedua calon suami isteri tidak mempunyai hubungan

perkawinan seperti antara bapak atau ibu dan menantunya, anak dan

bapak atau ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan ibu atau bapak.20

Undang-Undang Perkawinan mengatur syarat yang sama

dengan Hukum Islam kecuali syarat usia yang ditentukan batasannya.

Ketentuan mengatur syarat-syarat perkawinan dicantumkan dalam

Pasal 6 sampai dengan Pasal 11. Rukun dari perkawinan adalah

hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu

rukun, maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan.21

Di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUP dan Pasal 14

sampai dengan Pasal 29 KHI mengatur mengenai syarat-syarat materiil

tersebut, yang ternyata dibedakan lagi menjadi syarat materiil absolut

atau materiil mutlak dan syarat materiil yang relatif atau syarat materiil

20
Ibid, hlm. 84-86.
21
Ahdiyana Yuni Lestari & Endang Heriyani, 2007, Hand Out Hukum Keluarga dan
Waris Islam, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hlm.12.
18

yang nisbi. Syarat materiil yang absolut atau mutlak merupakan syarat-

syarat yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapapun

dia akan melangsungkan perkawinan.22

Syarat materiil yang relatif atau nisbi, merupakan syarat yang

melarang perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu.23

Jika syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi, maka sebelum

melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-

rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan diatur dalam

Pasal 14 KHI.

d. Syarat Formil Perkawinan

Syarat-syarat formil, yakni syarat-syarat yang merupakan

formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.24

1) Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon

mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai

Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka

waktu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah

Tahun 1975)

2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya

pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatat Perkawinan.

Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan

22
Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Universitas Islam
Indonesia, hlm. 44
23
Ibid, hlm. 45
24
Komariah, 2010, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, hlm. 44
19

kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami isteri

itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya

Kejaksaan) untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan

Undang-Undang yang dilanggar. Pengumuman tersebut

dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan

surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.

Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati

hari ke 10 (sepuluh) setelah diumumkan (Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Menurut Pasal 57 KUH Perdata

yang masih berlaku karena tidak diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, pengumuman yang sudah melewati 1 (satu)

Tahun sedang perkawinan belum dilaksanakan, maka perkawinan

menjadi daluwarsa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali melalui

pemberitahuan dan pengumuman baru.25

Adapun yang termasuk rukun perkawinan, yaitu hakekat

dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat dilaksanakan

menurut Pasal 14 KHI, yaitu :

1) Calon suami

2) Calon isteri

3) Wali

4) Saksi

5) Akad nikah.

25
Ibid,, hlm.48
20

1) Calon suami dan calon isteri

Kedua calon mempelai yang akan melaksanakan

perkawinan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Telah Baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna.

b) Berakal sehat

c) Tidak karena paksaan (harus ada kesukarelaan)

d) Wanita yang hendak dikawini oleh pria bukan termasuk salah

satu macam wanita yang haram untuk dinikahi. 26

Adapun wanita yang haram untuk dinikahi untuk selama-

lamanya meliputi :

a) Karena hubungan nasb atau darah

b) Karena hubungan susuan

c) Karena hubungan semenda

d) Karena sumpah li’an

e) Karena beda agama.

Haram dinikahi untuk sementara waktu, meliputi :

a) Mengumpulkan antara dua orang

b) Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain

c) Perempuan sedang dalam menjalani massa iddah kematian dan

iddah talak

d) Perempuan yang telah ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi

dengan bekas suaminya yang mentalaknya, kecuali setalah

26
Ahdiyana Yuni Lestari & Endang Heriyani, op.cit, hlm.13.
21

kawin lagi dengan orang laki-laki lain, kemudian bercerai dan

telah habis masa iddah.

e) Mengawini lebih dari empat wanita

f) Perkawinan orang yang sedang ihram, baik yang melakukan

akad nikah untuk diri sendiri atau wakil orang lain.

g) Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik dengan

perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki

pezina, tidak di halalkan kecuali setelah masing-masing

menyatakan bertobat.27

2) Wali nikah

Wali adalah orang yang berhak menikahkan anak

perempuan dengan pria pilihannya. Adapun syarat-syarat menjadi

wali di dalam perkawinan seseorang adalah :

a) Mukallaf atau baligh

b) Muslim

c) Berakal sehat

d) Laki-laki

e) Adil

Dalam hukum Islam walaupun seseorang telah memenuhi

syarat menjadi wali perkawinan kalau tidak termasuk pada macam-

macam wali. Ada tiga macam wali dalam perkawinan Islam, yaitu :

27
Ibid, hlm.13.
22

a) Wali Nasab

Adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai

wanita yang mempunyai hubungan darah patrilineal dengan calon

mempelai wanita. Wali nasab terbagi menjadi dua yakni wali

mujbir dan wali nasab biasa.Wali mujbir yaitu wali yang berhak

memaksakan kehendak untuk mengawinkan calon mempelai

wanita tanpa minta ijin terlebih dahulu dari yang bersangkutan.

b) Wali hakim (penguasa/sultan)

Adalah wali yang ditunjuk berdasarkan peraturan

perUndang-Undangan. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai

wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin

menghadirkannya atau tidak dapat diketahui tempat tinggalnya atau

ghaib atau enggan. Wali hakim dapat bertindak jika sudah ada

putusan dari Pengadilan Agama (Pasal 23 Kompilasi Hukum

Islam). Kewenangan Pengadilan agama tersebut sesuai dengan

Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, dengan demikian Kompilasi Hukum Islam

mempersulit penggunaan wali hakim yaitu harus terlebih dahulu

ada putusan dari Pengadilan Agama.

c) Wali Muhakkam

Adalah wali yang ditunjuk oleh calon mempelai wanita

dimana wali nasab dan wali hakim tidak dapat menjalankan

sebagai wali. Adapun syarat wali muhakkam adalah seorang laki-


23

laki yang dianggap mempunyai pengetahuan agama yang

mendalam dan baik, misalnya para ulama, mukallaf/baligh,

muslim, berakal sehat dan adil.

3) Saksi

Syarat menjadi saksi adalah :

a) Mukallaf/baligh

b) Muslim

c) Berakal sehat

d) Adil

e) Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang

diucapkan pada waktu akad nikah dilaksanakan.

f) Saksi yang hadir minimum 2 orang, yaitu harus laki-laki, kalau

tidak ada boleh satu laki-laki dan dua perempuan.

Berdasarkan Pasal 26 UUP adanya saksi dalam perkawinan

merupakan suatu keharusan, karenan perkawinan yang tidak

dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam saksi dalam perkawinan diatur

dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 26.

Adapun hikmah dari adanya saksi di dalam perkawinan

adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak apabila ada pihak

yang meragukan keabsahan perkawinan, maka saksi yang ada


24

dapat menjadi sebagai alat bukti yang akan menghilangkan

keraguan yang timbul.

4) Akad nikah dan Ijab Qobul

Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon

suami dan calon isteri untuk mengikatkan diri mereka dengan tali

perkawinan dengan menggunakan kata-kata ijab dan qobul. Ijab

dinyatakan oleh pihak wali mempelai wanita, qabul adalah

pernyataan-pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki

atau walinya.

Supaya sighat akad nikah ini sah harus memenuhi syarat-

syarat tertentu, yaitu :

a) Prinsip diucapkan secara singkat

b) Dilakukan dalam satu majelis

c) Antar ijab dan qabul tidak boleh diselingi perkataan-perkataan

lain

d) Tidak boleh digantungkan pada suatu syarat

e) Masing-masing satu pihak harus mendengarkan dan memahami

perkataan atau isyarat-isyarat yang diucapkan atau dilakukan

oleh masing-masing pihak.


25

3. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Perkawinan

a. Prinsip Pelaksanaan Perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut

Undang-Undang Perkawinan, disebutkan di dalam penjelasan

umumnya sebagai berikut :

1) Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan

melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual

dan material.

2) Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan Perundang-undangan

yang berlaku.

3) Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama

dari yang bersangkutan mengijinkannya serta yang bersangkutan

dapat memenuhi berbagai persyaratan serta sudapat diputuskan

oleh pengadilan, maka seorang suami dapat beristeri lebih dari

seorang.
26

4) Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu

harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik dan sehat. Undang-Undang menentukan batas umur

untuk menikah baik bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi

pria dan 16 tahun bagi wanita.

5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini

menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

mempersukar perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta

harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.

6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala

sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami-isteri.28

28
Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta , Liberty, hlm. 7
.
27

b. Prinsip Pelaksanaan Perkawinan menurut Hukum Islam

Untuk pelaksanaan suatu perkawinan harus terpenuhinya

beberapa syarat nikah dan atau rukun nikah yang sudah diatur di dalam

Undang-Undang atau peraturan yang diatur pada setiap agama dan

keyakinan yang dianut oleh pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini

penulis ingin menjabarkan mengenai beberapa prinsip-prinsip dalam

pelaksanaan perkawinan yang terdapat di dalam ajaran Islam, yaitu :

1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang

mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan

terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju

untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada

ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita

yang harus diindahkan.

3) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-

persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak

maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu

sendiri.

4) Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk suatu

keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk

selama-lamanya.
28

5) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah

tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada

suami.29

Dari prinsip-prinsip yang terdapat di dalam hukum islam serta

menurut Undang-Undang Perkawinan pada pokoknya adalah sama

atau sejalan dan tidak terdapat perbedaan yang prisipil.

4. Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Hak dalam hal ini adalah apa yang diterima oleh seseorang dari

orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban yaitu apa yang

mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami

istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan kewajiban begitu pula

dengan istri yang disebutkan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 228 :

“Bagi istri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajibankewajibannya

secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari istri”.

Ayat ini menjelaskan, bahwa istri mempunyai hak dan juga

kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak dan

kedudukan istri setara dan seimbang dengan hak dan kedudukan suami.

Meski demikian, suami mempunyai kedudukan lebih tinggi, yaitu sebagai

kepala keluarga. Dalam hadis Nabi, hadis dari Amru bin Al-Ahwash:

“Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh istrimu

dan istrimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”.

29
Ibid, hlm. 5
29

Akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah antara lain dapat

dirumuskan sebagai berikut :30

1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang

antara suami isteri tersebut.

2. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami isteri, suami menjadi

kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah tangga.

3. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah.

4. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak-anak

dan isterinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama.

5. Berhak saling waris mewarisi antara suami isteri dan nak-anak dengan

orang tua.

6. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.

7. Bapak berhak menjadi wali bagi anak perempuannya.

8. Bila diantara suami isteri meninggal salah satunya, maka yang lainnya

berhak menjadi wali pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.

30
Mohammad Idris Ramulyo, 1987, Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan,
Jakarta, Sinar Grafika, hlm 23.
30

Perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan dianggap sebagai perjanjian yang sah, dan adanya suatu

perkawinan tersebut menimbulkan akibat, yaitu :

1) Akibat terhadap hubungan suami isteri

Hubungan hukum antara suami isteri dalam perkawinan

mempunyai dampak terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak

dalam fungsinya sebagai suami isteri.

a. Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Undang-Undang

Perkawinan

Setelah dilangsungkannya perkawinan, maka diantara

keduanya timbuhlah hak dan kewajiban suami isteri yang sudah

diatur dan ditentukan dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP

yaitu:

a) Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi

sendi dasar dari susunan masyarakat.

b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati

dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

c) Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal atau domisili.

Tempat tinggal tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan

suami isteri.

d) Suami dan isteri mempunyai hak dan kedudukan yang sama

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat.
31

e) Suami dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum.

f) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

g) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup rumah tangga (nafkah) sesuai dengan

kemampuannya.

h) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 31

b. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Kompilasi Hukum

Islam

Pada Pasal 77 KHI diuraikan secara umum mengenai

kewajiban dan hak suami dan isteri, yaitu :

a) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang

menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat

b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,

setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang

lain;

c) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan

memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan

jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan

agamanya;

d) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

31
Komariah, 2010, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, hlm. 61
32

e) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing

dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

2) Akibat terhadap hubungan orang tua dan anak

Salah satu akibat dari perkawinan adalah lahirnya anak yang

sah. Orang tua mempunyai hak dan kewajiban terhadap anaknya dan

begitu pula sebaliknya. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak

merupakan kekuasaan orang tua. Kekuasaan orang tua tersebut akan

berlangsung hingga anaknya tersebut sudah berumur 18 tahun atau

anak tersebut sudah kawin. Kekuasaan orang tua menurut Undang-

Undang Perkawinan meliputi :

1) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat (1))

2) Orang tua mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di

dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 47 ayat (2))

3) Orang tua mengurus, menyimpan atau membelanjakan harta anak

untuk kepentingannya sebelum berumur 18 tahun atau sebelum

kawin, begitu pula anak wajib menghormati orang tua dan mentaati

kehendak orang tua yang baik (Pasal 46)

3) Akibat terhadap harta benda

Harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai

dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dan pada Pasal 85

sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan pada

dasarnya menimbulkan tiga macam bentuk harta kekayaan, yaitu :


33

1) Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan

(Pasal 35 ayat (1)). Berkaitan dengan harta bersama ini, suami dan

isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36

ayat(1)).

2) Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing

pemiliknya yaitu suami atau isterinya. Masing-masing suami atau

isteri berhak secara penuh untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap harta bendanya (Pasal 36 ayat (2)), tetapi apabila pihak

suami dan isteri menentukan lain misalnya dengan adanya

perjanjian, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai

dengan perjanjian yang dibuat. Apabila terjadi perceraian harta

bawaan dikuasai dan di bawa oleh masing-masing pemiliknya

kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3) Harta perolehan, yaitu harta yang diperoleh oleh masing-masing

suami isteri sebagai hadiah, warisan atau hibah (Pasal 87 ayat (1))

Kompilasi Hukum Islam. Suami atau isteri berhak sepenuhnya

untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing.

5. Putusnya Perkawinan

Di dalam Pasal 38 UUP serta Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam

mengatakan bahwa perkawinan dapat putus karena :


34

1) Kematian

Kematian suami atau isteri mengakibatkan suatu perkawinan

berakhir. Apabila tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan peraturan

perUndang-Undangan maka seorang suami atau isteri yang ditinggalkan

berhak menjadi ahli waris atas harta peninggalan si yang mati. Harta

peninggalan yang dimaksud disini adalah sisa harta setelah diambil untuk

mencukupi biaya penyelenggaraan pemakaman jenazah, untuk pelunasan

hutang-hutang si mati, dan untuk melaksanakan wasiat si mati ;

2) Perceraian;

Perkawinan antara suami dan isteri dapat putus karena perceraian

seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) UUP, yang menentukan

bahwa perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan pengadilan, setelah

pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak.

Dari ketentuan mengenai perceraian yang terdapat dalam UUP dan

Peraturan Pelaksanaannya dapat ditarik kesimpulan adanya 2 (dua) macam

perceraian, yaitu cerai gugat dan cerai talak.32

Menurut K.Wantjik Saleh yang dimaksud dengan “Cerai Gugat”

adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih

dahulu oleh satu pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan

pengadilan, sedangkan “cerai talak” adalah perceraian yang dikhususkan

untuk orang yang beragama islam, yang akan menceraikan isterinya,

32
Wantjik Saleh, 1987, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia,
hlm. 37.
35

mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi

pemberitahuan bahwa ia akan menceraikan isterinya disertai dengan

alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan Agama untuk diadakan

sidang untuk keperluan itu. 33

Dalam Pasal 39 ayat (2) UUP dijelaskan bahwa perceraian suami

isteri harus didasarkan atas alasan-alasan yang cukup kuat, yaitu bahwa

antara suami dan isteri tidak dapat rukun sebagai suami isteri, artinya

bahwa perceraian suatu perkawinan sekali-kali tidak dapat dicapai dengan

suatu persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menandakan bahwa peraturan

mengenai perkawinan di Indonesia menganut asas mempersulit terjadinya

suatu perceraian.

3) Atas keputusan pengadilan;

Putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan sebenarnya secara

teori hampir sama dengan putusnya perkawinan karena perceraian. Sebab

percerain sendiri harus berdasarkan putusan pengadilan. Putusan

pengadilan terjadi dalam hal pembatalan perkawinan hanya dapat

dilakukan oleh hakim. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

Pasal 38 dijelaskan mengenai pembatalan perkawinan :

a) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang

berhak mengajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami

isteri.

33
Ibid, hlm. 38.
36

b) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan

sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan cerai.

c) Hal-hal berhubungan dengan pengadilan, pemeriksaan, pembatalan

perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai tata cara tersebut

dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975.

B. Tinjauan Umum Tentang Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah :

Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan


salah satu pihak dalam perkawinan itu. Maksudnya adalah
Undang-Undang tidak memperbolehkan perceraian dengan
permufakatan saja antara suami dan isteri. Tuntutan perceraian
harus dimajukan kepada Hakim secara gugat biasa dalam perkara
perdata, yang harus didahului dengan meminta izin kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk menggugat. Sebelum izin
diberikan, Hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak. 34

Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di kenal 2 (dua) macam

perceraian, yaitu cerai talaq, dan cerai gugat. Cerai talaq adalah cerai yang

dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka

menjadi putus. Seorang suami yang bermaksud menceraikan isterinya

mereka harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Agama, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya

34
Achmad Djumairi. 1990, Hukum Perdata II, Semarang , hlm 65.
37

gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya

menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya

harus lebih dahulu mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Apabila pergaulan kedua suami-isteri tidak dapat mencapai tujuan


perkawinan, maka akan mengakibatkan perpisahan, karena tidak
adanya kata kesepakatan antara suami-isteri, maka dengan keadilan
Allah SWT, dibukanya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu,
yaitu pintu perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu
terjadilah ketertiban, dan ketentraman antara kedua belah pihak.
Dan masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok yang
dapat mencapai apa yang dicita-citakan. 35

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhmmad SAW, yang artinya

sebagai berikut: Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

telah bersabda Sesungguhnya yang halal yang amat dibenci Allah adalah

talaq (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah). Adapun tujuan Perceraian

adalah sebagai obat, dan jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat

diatasi lagi selain dengan perceraian. Meskipun demikian talaq masih tetap

dibenci Allah.

Pada dasarnya sautu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk

suatu keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1

UUP atau dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebut

dengan Mistaqan ghaliza (ikatan yang kuat). Akan tetapi pada

kenyataannya tidak selalu tujuan yang diinginkan tersebut dapat tercapai

seperti yang diharapkan. Bahkan tidak jarang perkawinan tersebut justru

menjadi petaka bagi pasangan suami isteri yang telah melangsungkan

35
Sulaiman Rasjid, 2004, Fiqh Islam, Jakarta, Attahiriyah, hlm.380.
38

perkawinan, sehingga perkawinan tersebut harus diputuskan atau harus

terjadi suatu perceraian.

Perkawinan yang buruk dan yang dirasakan tidak dapat diperbaiki

lagi tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut, sehingga oleh salah satu

pihak atau oleh kedua belah pihak dari suami atau isteri demi kepentingan

kedua belah pihak maka perkawinan mereka lebih baik putus dengan

perceraian, walaupun perceraian itu merupakan perbuatan yang tidak

terpuji baik ditinjau dari segi sosial atau dari segi agama.

Menurut Subekti, memberikan pengertian mengenai perceraian

adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah

satu pihak dalam perkawinan. 36

Perceraian adalah :

Putus hubungan perkawinan antara suami dengan isteri.37


Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “Talak”. Talak menurut
arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang
dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun
perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah satu seorang dari suami atau isteri.38

Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak.

Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah

‫ﺣﻞ راﺑﻄﺔ اﻟﺰواج واﻧﻬﺎء اﻟﻌﻼﻗﺔ اﻟﺰوﺟﻴﺔ‬

Artinya: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan


perkawinan.

36
Subekti, 1982, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, hlm.20.
37
Fuad Said, 1994, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna,
hlm 1.
38
Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta ,Liberty, hlm. 103.
39

Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah

putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat

kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain. Sedangkan perkataan

Talaq dalam istilah fiqih mempunyai 2 (dua) arti, yaitu :39

a. Talaq menurut arti yang umum

Segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami,

yang ditetapkan oleh hakim, perceraian yang jatuh dengan sendirinya

atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari pasangan

suami isteri.

b. Talaq menurut arti yang khusus

Perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Menurut Agama Islam ada 4 macam talaq diatur dalam Pasal

122 sampai dengan Pasal 178 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

a. Talaq raj’i yaitu talaq dimana suami boleh merujuk isteri tanpa akad

nikah yang baru. Talaq raj’i merupakan talaq satu dan talaq dua yang

tidak disertai uang tebus atau iwald selama masih dalam masa iddah.

b. Talaq ba’in yaitu talaq satu atau talaq dua yang disertai uang atau

iwald dari pihak isteri.

1) Talaq ba’in kecil atau shugra adalah talaq yang tidak boleh dirujuk

tapi boleh akad nikah baru dengan mantan isterinya meskipun

dalam massa iddah.

39
Ibid, hlm. 103.
40

2) Talaq ba’in besar atau kubra adalah thalaq yang terjadi untuk yang

ketiga kalinya, talaq jenis ini dapat dirujuk dan tidak dapat

dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan

setelah mantan isteri menikah dengan orang lain kemudian terjadi

perceraian ba’da duk-hal dan habis masa iddah.

c. Talaq sunny adalah talaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang

suci tersebut dan talaq yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil,

dan hukumnya halal.

d. Talaq bid’i adalah talaq yang dilarang, yaitu talaq yang dijatuhkan

pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu

suci tersebut dan hukumnya haram.

2. Tata Cara Perceraian

Mengenai tata cara perceraian yang terinci dapat dilihat pada Pasal

129 sampai dengan 148 Kompilasai Hukum Islam.

a. Cerai Talak

1) Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan,

maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, serta Seorang suami

yang akan mengajukan talak kepada isterinya harus meminta agar

diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan

tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat meminta upaya

banding atau kasasi.


41

3) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan

tersebut, kemudian dalam waktu yang selambat-lambatnya tiga

puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta

penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

maksud menjatuhkan talak.

4) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah

pihak, dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak, serta

yang bersangkutan tidak mungkin akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangganya, Pengadilan Agama dapat menjatuhkan putusan

tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

5) Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami

mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama yang

dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

6) Apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6

(enam) bulan, terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, tentang

izin ikrar talak baginya yang mempunyai kekuatan hukum yang

tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur, dan ikatan

perkawinan tetap utuh.

7) Setelah sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama

membuat penetapan tentang terjadinya talak, dalam rangkap 4

(empat) yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan

isteri, Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada

pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami


42

untuk diadakan pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing

diberikan kepada suami, isteri, dan Helai keempat disimpan oleh

Pengadilan Agama.

8) Gugatan cerai talak ini dapat di kabulkan atau ditolak oleh

Pengadilan Agama.

b. Cerai Gugat

1) Gugatan diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan

agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal

penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama

tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar

negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut

melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

2) Gugatan perceraian karena alasan:

a) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

Tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan

yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat

diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat

meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat

mengatakan, atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali

kerumah kediaman bersama.

b) Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan, dan

pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga. Gugatan baru dapat diterima apabila telah


43

cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab

peselisihan, dan pertengkaran itu, serta telah mendengar pihak

keluarga juga terhadap orang-orang yang dekat dengan suami-

isteri tersebut.

c) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau

hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung, maka

untuk mendapatkan putusan sebagai bukti penggugat, cukup

menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan

perkara, disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan

itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan

penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang

mungkin di timbulkannya, Pengadilan Agama dapat mengizinkan

suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

4) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan

tergugat atau penggugat, Pengadilan Agama dapat:

a) Menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami.

b) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya

barang barang yang menjadi hak bersama suami-isteri, atau

barang-barang yang menjadi hak suami, atau barang-barang

yang menjadi hak isteri. Gugatan perceraian gugur apabila

suami, atau isteri meninggal sebelum adanya putusan

Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian tersebut.


44

3. Alasan Mengajukan Perceraian

a. Alasan Mengajukan Perceraian Menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975

Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

alasan-alasan perceraian adalah :

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya.

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain.

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau isteri.

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

b. Alasan Mengajukan Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam

Alasan perceraian yang dapat diajukan kepada Pengadilan

Agama juga terdapat pada Pasal 116 KHI yaitu sebagai berikut :
45

a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya;

c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain;

e) sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau

isteri;

f) antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga;

g) Suami melanggar taklik talak;

h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Alasan yang dapat digunakan dalam pengajuan perceraian ke

Pengadilan Agama yang terdapat pada UUP dengan KHI terdapat

banyak kesamaan hanya saja di dalam KHI terdapat tambahan

mengenai alasan bahwa salah satu pihak murtad atau pindah agama

dan mengenai pelanggaran atas taklik talak.


46

c. Alasan Mengajukan Perceraian Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam, terdapat beberapa penyebab atau

alasan terjadinya suatu perceraian, yaitu :

1) Suami sakit gila.

2) Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan

kesembuhannya.

3) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk

melakukan hubungan kelamin.

4) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada

isterinya.

5) Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan

suami.

6) Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita,

sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah

cukup lama.

Alasan-alasan yang dapat digunakan suami untuk sampai

mengucap talak terhadap isterinya dapat disebabkan karena isteri

berbuat zina, nusyuz (suka keluar rumah yang mencurigakan), suka

mabuk, berjudi dan atau berbuat sesuatu yang mengganggu

ketenteraman dalam rumah tangga, atau sebab-sebab lain yang tidak

memungkinkan pembinaan rumah tangga yang rukun dan damai.40

40
Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut
Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, hlm.153
47

Sebaliknya isteri dapat mengajukan permintaan cerai terhadap

suaminya melalui pengadilan, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1) Suami telah melanggar ta’lik talak atau perjanjian lain yang

diucapkannya ketika akad nikah. sighat ta’lik talak yang

tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agaman, adalah

sebagai berikut :

Sewaktu-waktu saya :

a) Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;

b) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan

lamanya;

c) Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;

d) Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu

enam bulan lamanya. 41

2) Pasal 19 e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Salah satu

pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau isteri.

3) Syikak (pertengkaran), isteri mengajukan perceraian karena antar

suami isteri selalu terjadi pertengkaran. 42

41
Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta , Liberty, hlm. 114
42
Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, hlm.155
48

4. Akibat dari Perceraian

a. Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan

1) Akibat perceraian terhadap anak

Perceraian membawa akibat dalam hal pemeliharaan, pendidikan

dan pembiayaan anak. Orang tua mempunyai kewajiban untuk

menjalankan kewajiban tersebut terutama bagi anak-anaknya yang belum

cukup umur (mumayiz) sehingga kepentingan si anak terlindungi.

Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai

penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah

keluarga atau pun dengan keputusan pengadilan.

Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal

41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu :

a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

Pengadilan memberi keputusan.

b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan

dapat menetukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi

bekas isterinya.
49

2) Akibat Perceraian terhadap harta

Adanya perkawinan mengakibatkan adanya harta kekayaan dalam

perkawinan, dimana selama dalam perkawinan harta yang diperoleh

merupakan harta bersama, dalam perjalanan hidup berumah tangga.

Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama

perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang

didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan

perkawinan. Harta bersama tersebut dikuasai secara bersama antara suami

istri, masing-masing bertindak terhadap harta tersebut dengan persetujuan

pihak yang lain.43

Pengaturan harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 diatur adalam beberapa Pasal yaitu :

Pasal 35 :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Pasal 36 :

1. Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak

43
Sayuti Thalib, 1985, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta , UI Press, hlm. 78.
50

2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

3. Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak mengenai harta bendanya.

Pasal 37 :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing.

b. Akibat Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam

1) Akibat perceraian terhadap anak

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadanah. Secara

etimologis, hadanah ini berarti disamping atau berada dibawah ketiak.

Sedang secara terminologisnya, hadanah merawat dan mendidik

seseorang yang belum mumayiz atau kehilangan kecerdasannya,

karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.

Pasal 105 berbunyi :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah ataui ibu sebagai pemegang hak

pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.


51

Pasal 156 berbunyi :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka

kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak-anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)


52

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agma memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),

(c) dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang

tidak turut padanya.

Pemeliharaan anak ini mencakup masalah hak atas nafkah, makanan,

pakaian, tempat tinggal, biaya pendidikan dan kesejahtaraan yang menjadi

kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk memenuhinya sampai anak

dewasa atau sebelum itu telah kawin. 44

Selain dari pada itu apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri

menurut Kompilasi Hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah

dibedakannya kewajiban suami terhadap isteri dan anak-anaknya, yaitu :

1. Memberi mut’ah yang pantas berupa uang atau barang.

2. Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas

isteri dalam masa idah.

3. Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi

sampai ia dewasa dan dapat mandiri.

4. Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lain ketika

perkawinan berlangsung dahulunya.45

44
Abdul Azis Dahlan, 1999, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hope,
hlm.415.
45
Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung,, Mandar Maju, hlm.179.
53

2) Akibat perceraian terhadap harta

Dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 tersebut, maka bagi mereka yang kawin menurut hukum Islam

terhadap harta bersama dalam Perkawinan diatur dalam 2 Pasal yaitu :

Pasal 1 sub f Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa :

Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam

ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak sperdua dari

harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan. Harta kekayaan dalam perkawinan yang terdapat dalam suatu

keluarga, apabila dilihat dari beberapa tinjauan maka harta tersebut dapat

digolongkan sebagai berikut :

1. Dilihat dari asal-usulnya harta suami itu dapat digolongkan menjadi

tiga yaitu :

a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimiliki sebelum

mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau uasaha mereka

sendiri-sendiri atau dapat disebut harta bawaan.

b. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka

berada dalam hubungan perkawinan tetapi diperolehnya bukan dari

usaha mereka baik orang seorang atau bersama- sama, tetapi

merupakan hibah wasiat atau warisan untuk masingmasing.


54

c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan

perkawinan atau usaha mereka berdua atau salah seorang diantara

mereka atau disebut harta pencaharian.

2. Dilihat dari sudut penggunaan, maka harta ini dipergunakan untuk :

a. Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah

anak-anak.

b. Harta kekayaan yang lain.

3. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perseorangan dalam

masyarakat, harta itu berupa :

a. Harta milik bersama

b. Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keduanya

c. Harta milik seseorang dan pemiliknya dengan tegas oleh yang

bersangkutan.46

Pentingnya ditetapkan harta bersama dalam perkawinan adalah pada

penguasaan dan pembagiannya. Penguasaan terhadap harta bersama dalam hal

perkawinan masih berlangsung, sedangkan pembagian harta bersama harus

dilakukan ketika terjadi perubahan struktur keluarga, baik perkawinan putus atau

terjadi.

Pembagian tersebut dapat dilaksanakan melalui sidang di pengadilan atau

dapat juga dilaksanakan di luar persidangan pengadilan, yakni dengan

musyawarah para pihak.

46
Sayuti Thalib, 1999, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta , UI Press, hlm. 82.

Anda mungkin juga menyukai