Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hak kekayaan intelektual (HKI) adalah hak yang berkenaan dengan kekayaan
yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Kemampuan tersebut dapat
berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.1 Konsepsi
mengenai HKI didasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah
dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan tenaga, waktu, dan biaya. Dengan
adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang telah dihasilkan memiliki
nilai ekonomis karena manfaat yang dapat dinikmati.2 Secara garis besar, ruang
lingkup HKI dibagi menjadi dua, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak
cipta mencakup ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hak
kekayaan industri terdiri dari paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit
terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman. 3
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa salah satu bagian dari HKI adalah
merek. Keberadaan merek tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha atau bisnis.
Kegiatan usaha di Indonesia semakin berkembang, banyak usaha baru yang diikuti
dengan munculnya beragam merek dagang. Merek merupakan salah satu HKI yang
dilindungi serta bisa dipertanggungjawabkan. Hak merek adalah bentuk
perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar
untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang atau jasa. Merek
merupakan salah satu bentuk karya intelektual yang memiliki peran penting bagi
kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Merek juga memiliki
nilai yang strategis dan penting bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen, selain
untuk membedakan produknya dengan produk perusahaan lain yang sejenis, merek
juga dimaksudkan untuk membangun citra perusahaan dalam pemasaran. 4

1
Muhammad Ahkmad Subroto & Suprapedi, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual)
Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi (Jakarta: Indeks, 2008), hlm. 14.
2
Afrillyanna Purba et al., TRIPs – WTO & Hukum HKI Indonesia: Kajian Perlindungan Hak
Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2005), hlm. 12.
3
Much. Nurachmad, Segala Tentang HAKI Indonesia (Yogyakarta: Buku Biru, 2012), hlm. 22.
4
Muhamad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 78.

1
2

Keberadaan merek dagang di Indonesia semakin banyak dengan teknologi


informasi dan komunikasi yang mendukung perkembangan berbagai macam merek
yang terkenal di masyarakat luas. Dengan sangat mudah dapat mencari informasi
keunggulan produk dari merek yang diinginkan konsumen. Oleh karena itu, pemilik
merek pada suatu produk akan bersaing untuk mendapatkan kepercayaan
masyarakat. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya tindakan persaingan usaha
yang tidak sehat, seperti pemalsuan ataupun peniruan terhadap merek terkenal. 5
Merek yang dibuat oleh pelaku usaha bertujuan untuk membedakan barang
atau jasa yang diproduksi. Merek dapat disebut sebagai tanda pengenal asal barang
atau jasa yang menghubungkan tujuan pembuatan produk atau jasa tersebut. Bagi
konsumen, merek berfungsi sebagai jaminan dari nilai hasil produksi dengan sudut
pandang yang berbeda dari masyarakat luas. Dengan demikian, merek yang
memiliki kualitas yang dikenal luas oleh konsumen berpotensi untuk diikuti, ditiru,
atau dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.6
Setiap negara memiliki sistem perlindungan merek melalui peraturan
perundang-undangan nasionalnya. Indonesia memiliki sejarah panjang pengaturan
merek, sehingga terjadi beberapa kali perubahan. Pertama kali, Indonesia mengatur
keberadaan merek setelah kemerdekaan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21
Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Saat ini, keberadaan
merek diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis. UU Nomor 20 Tahun 2016 ditetapkan sebagai hasil penyempurnaan
sistem pendaftaran merek yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek.
Era globalisasi terus berkembang. Indonesia sebagai negara hukum pun terus
melakukan pembenahan dengan memperbaiki isi undang-undang di bidang HKI.
Dengan mendapat perlindungan hukum, penemu dan pencipta akan mendapatkan
keuntungan apabila penemuan atau ciptaannya dimanfaatkan. Keuntungan tersebut
dapat berupa pembayaran royalti dan technical fee. Dengan adanya imbalan
ataupun pengakuan atas kreasi, karya, karsa, dan cipta manusia di dalam peraturan

5
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 28.
6
Tommy Hendra Purwaka, Perlindungan Merek (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2017), hlm. 7.
3

HKI, diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk melahirkan


ciptaan atau inovasi baru yang berkelanjutan. 7
UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan
bahwa peran pemerintah sangat penting, terutama untuk menjaga persaingan usaha
yang baik dan sehat. Merek dapat dipakai sebagai alat untuk menjelaskan asal mula
suatu produk, untuk mengetahui kualitas produk, serta keaslian suatu produk. Oleh
sebab itu, diperlukan pengaturan yang memadai tentang merek sehingga bisa
memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat luas. 8
Hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar. Adapun yang
dimaksud dengan "terdaftar" adalah setelah permohonan melalui proses
pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif
serta mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
diterbitkan sertifikat.9
Hukum merek di Indonesia secara konstitutif menganut sistem first to file,
sehingga yang mendaftarkan merek pertama kali adalah yang berhak atas
kepemilikan merek tersebut. Agar merek dapat dilindungi hukum, maka merek
harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga terdaftar dalam Daftar Umum
Merek (DUM) dan pemilik merek yang sebenarnya akan mendapat sertifikat merek
sebagai tanda bukti hak/kepemilikan atas merek dagang/jasa. Jika tidak, maka
pemilik merek yang sebenarnya akan sulit membuktikan haknya apabila suatu
ketika ada sengketa karena merek tersebut digunakan pihak lain atau digugat oleh
pihak lain. Pada sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran,
artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah mutlak karena
merek yang tidak didaftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum.
Terkait persyaratan merek di atas, terdapat kasus menyangkut Merek
“BENSU”. Pembuatan Merek “Ayam Geprek Bensu” bermula dari inisiatif

7
Mastur, ”Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Paten,” Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum QISTI Vol. 6 No. 1 (Januari 2012), hlm. 65.
8
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Ed.
Revisi. Cet. Kedelapan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 329.
9
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,
Pasal 3 dan Penjelasannya.
4

Yangcent yang ingin membuat bisnis kuliner. Benny Sujono (ayah Yangcent)
menginisiasi Merek “BENSU” sebagai singkatan nama dirinya. Selanjutnya, Benny
Sujono mendirikan perusahaan PT AYAM GEPREK BENNY SUJONO dan
mendaftarkan Merek “BENSU”. Setelah mendaftarkan perusahaan, Yangcent
menjalankan bisnis kuliner dengan Merek “I Am Geprek Bensu” yang beroperasi
sejak 17 April 2017.
Jordi Onsu, adik Ruben Onsu, menawarkan diri sebagai manajer operasional
dari bisnis tersebut. Hal ini disebabkan Jordi dan Yangcent merupakan teman main.
Tawaran itu diterima, namun hanya terbatas pada pengelolaan bisnis, bukan
menyangkut merek dagang tersebut. Setelah bisnis “I Am Geprek Bensu”
berkembang, Jordi Onsu merekomendasikan kakaknya, Ruben Onsu, sebagai brand
ambassador, hingga merek dagang itu berubah menjadi “I AM GEPREK SEDEP
BENERRR”. Dari kerja sama itu, Ruben Onsu juga menerima keuntungan dari
Yangcent melalui sistem bagi hasil. Sampai waktu itu, Ruben tidak pernah
mempermasalahkan merek dagang yang mirip dengan namanya. Alasan Ruben
Onsu tidak mempermasalahkan nama “BENSU” karena dia tahu bahwa Yangcent
telah mendaftarkan merek bisnis makanan itu. Pendaftaran atas penggunaan nama
“BENSU” tersebut diambil dari singkatan nama ayah Yangcent, yaitu Benny
Sujono.
Melalui adiknya, Ruben Onsu meminta agar satu karyawannya diperbolehkan
bekerja di bagian dapur atau quality control. Diduga, pekerja itu ditugaskan untuk
mengetahui formula atau resep dan cara memasak menu makanan di “I AM
GEPREK BENSU”. Ruben Onsu mulai membuka usaha kuliner ayam geprek,
serupa dengan milik rekan bisnisnya, Yangcent. Mengusung nama Geprek Bensu,
Ruben Onsu membuka gerainya sejak Agustus 2017. Pada Juli 2019, Ruben
menarik karyawannya yang bekerja di “I AM GEPREK BENSU”. Dia juga
mempromosikan merek dagang miliknya kepada masyarakat. Melihat ada
kesamaan merek dagang, Yangcent melayangkan somasi pada 31 Agustus 2017.
Namun, pada 30 Mei 2018, Ruben Onsu juga melakukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas merek dagang “BENSU”, yang merupakan
singkatan nama dirinya. Gugatan itu berlanjut pada Agustus 2019, ketika Ruben
Onsu kembali memperkarakan Merek “BENSU” ke Pengadilan Niaga pada
5

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Niaga


Jakarta Pusat telah mengeluarkan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-Merek/2019/PN
Niaga Jkt Pst.
Sehubungan dengan masalah tersebut, penulis tertarik untuk meneliti sengketa
Merek “BENSU”. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada ketentuan UU
Nomor 20 Tahun 2016 dan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
57/Pdt.Sus-Merek/2019/PN Niaga Jkt Pst. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut
dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Sengketa Merek “BENSU” Ditinjau dari
UU Nomor 20 Tahun 2016 dan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
57/Pdt.Sus-Merk/2019/PN Niaga Jkt Pst”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang di atas, penulis
mengidentifikasi hal-hal yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keberadaan Merek “BENSU” ditinjau dari UU Nomor 20 Tahun
2016?
2. Bagaimanakah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terkait sengketa Merek
“BENSU”?

C. Tujuan Peneltian
Setiap penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menganalisa dan mengetahui keberadaan Merek “BENSU” ditinjau dari
UU Nomor 20 Tahun 2016; dan
2. Untuk menganalisa dan mengetahui putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
terkait sengketa Merek “BENSU”.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi
kepentingan teori ilmu hukum maupun untuk kepentingan praktis, sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoretis
6

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam rangka


pengembangan teori, asas, dan kaidah-kaidah ilmu hukum pada umumnya dan
secara khusus dalam rangka pengembangan teori, asas, dan kaidah-kaidah
hukum yang terkait dengan merek sebagai salah satu HKI.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat umum, khususnya kalangan pengusaha, mengenai keberadaan
merek. Dalam hal ini, agar masyarakat mengetahui hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pendaftaran dan penggunaan merek. Dengan demikian,
masyarakat dapat mengetahui langkah apa saja yang harus diantisipasi
ketika akan mendaftarkan dan menggunakan merek;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi hakim
dalam memutus perkara yang terkait dengan sengketa merek; dan
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding bagi
pihak lain yang ingin meneliti tentang merek.

E. Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisa masalah yang diteliti dalam skripsi ini, diperlukan teori dan
peraturan sebagai dasar analisa. Untuk itu, pada subbab ini, penulis akan
mengemukakan teori dan peraturan sebagai dasar analisa yang memungkinkan
pertanyaan dalam identifikasi masalah dapat diajukan dan jawaban tentatif dapat
diberikan. Adapun yang digunakan sebagai dasar analisa adalah teori dan peraturan
yang terkait dengan HKI pada umumnya dan yang terkait dengan merek.
Pertama, teori yang terkait dengan HKI. Teori ini digunakan sebagai dasar
analisa karena keberadaan merek sebagai salah satu HKI tidak dapat dipisahkan
dari teori-teori HKI pada umumnya. Perlindungan hukum terhadap HKI, termasuk
merek, telah dilakukan dan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku
dalam masyarakat internasional. Hal ini bermakna bahwa kaidah-kaidah hukum
merek dalam hukum nasional Indonesia telah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
merek dalam Agreement on Trade-Related aspects of Intellectual Property Rights
(Perjanjian TRIPs) dan konvensi internasional lainnya di bidang HKI. Perlindungan
hukum terhadap HKI pada umumnya didasarkan pada beberapa alasan atau
7

pertimbangan. Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa


alasan perlunya perlindungan atas HKI, yaitu: 10
1. Untuk memberikan penghargaan, pengakuan, dan perlindungan hukum atas
keberhasilan dalam melahirkan suatu karya baru. Dengan demikian, atas usaha
dari pencipta atau penemu yang telah mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan
biaya yang tidak sedikit jumlahnya, kepadanya layak diberikan hak eksklusif
untuk mengeksploitasi HKI tersebut dalam rangka memperoleh kembali apa
yang telah dikeluarkan dan menikmati keuntungan ekonomis atas jerih payah
yang telah dikeluarkannya itu;
2. Untuk memberikan hak khusus (eksklusif), yaitu dalam jangka waktu tertentu
melakukan eksploitasi atas ciptaan atau penemuannya, sehingga setiap
pelanggaran atas hak tersebut dapat dituntut, baik secara perdata maupun
pidana; dan
3. Untuk memberikan perlindungan atas ciptaan atau penemuan mendasar yang
belum terdaftar atau dipublikasikan, meskipun mungkin belum dapat
memperoleh perlindungan di bawah hukum paten, hak cipta, dan desain
industri, tetapi dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang atau informasi yang
dirahasiakan.
Pada bagian lain, Robert M. Sherwood mengemukakan beberapa teori yang
mendasari perlunya perlindungan hukum terhadap HKI, yaitu: 11
1. Reward theory. HKI merupakan pengakuan terhadap karya intelektual yang
dihasilkan seseorang, sehingga kepada penemu, pencipta, atau pendesain harus
diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam
menemukan atau menciptakan karya-karya intelektual tersebut;
2. Recovery theory. Penemu, pencipta, atau pendesain yang telah mengeluarkan
waktu, biaya, dan tenaga dalam menghasilkan karya intelektual harus
memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya itu;

10
Mieke Komar dan Ahmad M.Ramli, “Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual Masa Kini
dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21” dalam Ahmad M. Ramli, Hak Atas
Kepemilikan Intelektual: Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang (Bandung: Mandar Maju,
2009), hlm. 26-27.
11
Robert M. Sherwood dalam Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia
dalam Era Perdagangan Bebas (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 44-46.
8

3. Incentive theory. Teori ini mengaitkan pengembangan kreativitas dengan


memberikan insentif bagi para penemu, pencipta, dan pendesain tersebut.
Berdasarkan teori ini, insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya
keinginan penelitian yang berguna;
4. Risk theory. Menurut teori ini, HKI merupakan suatu karya cipta yang
mengandung risiko karena memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu
menemukan cara tersebut dan memperbaikinya, sehingga wajar untuk
memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan
yang mengadung risiko tersebut; dan
5. Economic growth stimulus theory. Teori ini mengakui bahwa perlindungan
terhadap HKI merupakan suatu sarana pembangunan ekonomi. Pembangunan
ekonomi yang dimaksud adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem
perlindungan terhadap HKI yang efektif.
Perlindungan hukum terhadap HKI, antara lain dimaksudkan untuk
menciptakan kepastian hukum di bidang tersebut. Selain itu, perlindungan hukum
bertujuan untuk:12
1. Memberi dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi (technological
base) nasional guna meningkatkan pembangunan teknologi yang lebih cepat;
2. Mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah
mencipta atau menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni, atau
sastra; dan
3. Mengakui hasil karya dan karsa manusia oleh negara sekaligus menciptakan
iklim investasi yang kondusif serta memperlancar perdagangan internasional.
Pada dasarnya, HKI merupakan bagian dari hak asasi manusia, yaitu berupa
hak untuk turut serta dalam setiap kebudayaan, untuk menikmati kesenian, dan turut
serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan mendapat manfaatnya. Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa konsepsi HKI meliputi hak milik hasil
pemikiran (intelektual) yang melekat pada pemiliknya, bersifat tetap, dan eksklusif.

12
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelekual (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 31.
9

Selain itu, meliputi hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik, yang
bersifat sementara.13
Dari beberapa konsepsi yang dikemukakan di atas, timbul implikasi perlunya
perlindungan hukum terhadap HKI dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini
telah ditindaklajuti dengan adanya ketentuan hukum internasional mengenai
perlindungan terhadap HKI serta peraturan perundang-undangan nasional di
berbagai negara yang mengatur perlindungan terhadap hak tersebut.
Kedua, teori dari peraturan yang terkait dengan merek. Berdasarkan Perjanjian
TRIPs bahwa salah satu bagian dari HKI yang dilindungi hukum internasional dan
hukum nasional adalah merek dagang (trade marks). Merek merupakan salah satu
HKI yang cukup berperan dalam dunia bisnis, karena merek berkaitan erat dengan
barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Sementara bagi konsumen,
timbul suatu prestise tersendiri jika ia menggunakan merek tertentu. Dalam
masyarakat, ada anggapan bahwa merek yang digunakan dapat menunjukkan status
sosial penggunanya.14
Di Indonesia, keberadaan merek diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 20 Tahun 2016
merumuskan pengertian merek sebagai berikut:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi
dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau
lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi
oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau
jasa.”

Setiap pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya sesuai ketentuan UU


Merek dan Indikasi Geografis, memiliki hak atas merek. Pasal 1 angka 5 UU Merek
dan Indikasi Geografis menyatakan, hak atas merek adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain untuk menggunakannya. Pemberian izin oleh pemilik merek kepada

13
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 1.
14
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Edisi Revisi, Cet. Ketiga (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2008), hlm. 201.
10

pihak lain berupa pemberian lisensi, yaitu memberikan izin kepada pihak lain untuk
jangka waktu tertentu menggunakan merek tersebut sebagaimana ia sendiri
menggunakannya. 15
Berdasarkan reputasi dan kemahsyurannya, merek dapat dibedakan ke dalam
tiga jenis, yaitu merek biasa (normal marks), merek terkenal (wellknown marks),
dan merek termahsyur (famous marks). Merek terkenal adalah merek yang memiliki
reputasi tinggi. Munculnya istilah “merek terkenal” berawal dari tinjauan terhadap
merek berdasarkan reputasi dan kemahsyuran suatu merek.
Merek memiliki fungsi tertentu, dan yang paling penting adalah bahwa merek
mengidentifikasi sumber atau asal barang atau jasa, sehingga memberikan
perlindungan kepada konsumen dari ketidakpastian dan penipuan. Selain itu, merek
memiliki fungsi periklanan dan pengawasan mutu (quality control).
Pada dasarnya, ada dua persyaratan dasar sebagai pengakuan atas suatu merek.
Pertama, merek harus bersifat khusus. Dengan kalimat lain, merek harus mampu
menunjukkan barang atau jasa yang berasal dari sumber tertentu dan mampu
membedakan barang atau jasa tersebut dengan barang atau jasa sejenis milik pihak
lain. Merek tidak harus asli dan inovatif, tidak seperti hak cipta yang harus “asli”
dan paten yang harus “baru”. Kedua, merek harus tidak hanya menggambarkan
barang atau jasa, misalnya “log cabin” yang hanya menggambarkan produk dan
tidak membedakan dengan pembangunan rumah dari kayu lainnya. Merek dapat
dimiliki oleh satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau oleh badan
hukum.
Merek memberikan keuntungan kepada individu maupun perusahaan. Dengan
merek, sesorang atau suatu perusahaan dapat mengembangkan identitas dan
reputasinya di mata pelanggan, sehingga tumbuh dan berkembang. Merek juga
memungkinkan individu (konsumen) untuk membeli barang atau jasa yang disukai
dan menghindari barang atau jasa yang tidak disukai. Dengan demikian, merek
memberikan petunjuk yang berguna bagi konsumen untuk menentukan pilihan pada
saat memberi barang atau jasa.

15
Ahmadi Miru, Hukum Merek (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 12.
11

F. Metode Penelitian
Suatu penelitian akan berhasil mengungkapkan permasalahan yag diteliti
apabila ditunjang dengan metode yang tepat. Sehubungan dengan itu, dalam
penelitiaan ini digunakan metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian
yang menggambarkan dan menganalisa secara sistematis, faktual, dan akurat
sengketa Merek “BENSU” ditinjau dari UU Nomor 20 Tahun 2016 dan Putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 57/Pdt.Sus-Merek/2019/PN Niaga Jkt
Pst.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif merupakan penelitian data kepustakaan atau data sekunder.16 Dalam
hal ini, penulis meneliti data kepustakaan atau data sekunder mengenai
sengketa Merek “BENSU”. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan dan
meneliti data kepustakaan atau data sekunder sebagai alat untuk menganalisa
masalah yang diteliti, yang meliputi:
a. Data sekunder bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-
undangan, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,
Perjanjian TRIPs, Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
57/Pdt.Sus-Merek/2019/PN Niaga Jkt Pst, serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang terkait;
b. Data sekunder bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menunjang
bahan hukum primer, berupa karya-karya ilmiah dan hasil penelitian para
ahli hukum, khususnya yang terkait dengan merek; dan
c. Data sekunder bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
antara lain kamus hukum.

16
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. Keempat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11.
12

3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan cara menelaah
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan topik penelitian ini.
Peraturan perundang-undangan tersebut, antara lain UU Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sementara itu, pendekatan kasus
dilakukan dengan cara menelaah kasus yang terkait dengan masalah yang
diteliti, khususnya putusan badan pengadilan atau sejenisnya yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal yang menjadi kajian pokok dalam
pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau alasan (reasoning), yaitu
pertimbangan hukum untuk sampai pada suatu putusan. Sehubungan dengan
pendekatan kasus tersebut, penulis akan menelaah kasus yang terkait dengan
sengketa merek sebagaimana telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
dalam Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-Merek/2019/PN Niaga Jkt Pst.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dikumpulkan dengan cara
studi dokumen atau studi kepustakaan, yang dilakukan untuk mengumpulkan
dan menginventarisasi semua data kepustakaan atau data sekunder yang terkait
dengan topik penelitian. Data tersebut diperoleh dari perpustakaan Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, dan dari internet.
5. Metode Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
normatif kualitatif. Metode normatif karena penelitian ini berangkat dari
peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif, sedangkan kualitatif
karena analisa data dilakukan tanpa menggunakan model-model matematik dan
rumus-rumus statistik.

Anda mungkin juga menyukai