Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Oleh Kelompok 5
Berlian Try Meisya 2206133084
Clarissa Angeline 2206133134
Dhanna Asha Audria Budi 2206133172
Joy Prananta Barus 2206110401

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam praktik perdagangan di Indonesia dewasa ini, dari pedagang kaki lima hingga
swalayan dapat dijumpai berbagai macam produk barang yang menggunakan merek
terkenal, tetapi sebenarnya hanya merupakan tiruan belaka. Sebagai contoh, seringkali
ditemukan pedagang kaki lima di pasar yang menjual produk-produk celana, baju dan
sepatu dengan merek-merek terkenal seperti Levi’s, Pierre Cardin, Piero, H & R, dan lain-
lain yang dijual dengan harga yang lebih murah. Perkara-perkara merek di Indonesia
cenderung didominasi oleh pelanggaran terhadap merek-merek terkenal, namun demikian
tidak berarti tidak ada merek lokal yang digunakan secara melawan hukum oleh pihak lain
yang juga pengusaha lokal. Bahkan sekarang ini telah berkembang cara pelanggaran
hukum yang lain dalam bentuk meniru kemasan yang sudah terkenal.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antar
negara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan
jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang merek. Merek merupakan simbol
reputasi, yang bisa mengangkat dan mempromosikan produk dan suatu perusahaan. Pada
dasarnya merek dibedakan menjadi merek dagang dan merek jasa serta merek kolektif. 1
Merek pun sudah digunakan sejak lama untuk menandai produk dengan tujuan
menunjukkan asal-usul barang, sehingga perlindungan hukum atas merek semakin
meningkat seiring dengan majunya perdagangan dunia. Dengan demikian, merek semakin
berperan untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya serta menghindari
peniruan.2
Merek sebagai salah satu bagian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki hubungan
yang erat dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang berperan penting terhadap
perekonomian dan perdagangan suatu negara. Peraturan merek yang pertama kali
diterapkan Inggris adalah hasil adopsi dari Perancis tahun 1857, dan kemudian membuat
peraturan tersendiri yakni Merchandise Act tahun 1862 yang berbasis hukum pidana. Pada
tahun 1883, diberlakukan Konvensi Paris mengenai hak milik industri (paten dan merek)

1 Muzakki, M. A., Roisah, K., & Prananda, R. R. (2018). Legal Political Of Well-Known Trademark Protection
Reviewed From Development Of Trademark Law In Indonesia To Avoid Fraudulent Competition. Law Reform,
14(2), 176-190.
2 Balqis, W. G., & Santoso, B. (2020). Arti Penting Perlindungan Merek Terdaftar Bagi Komunitas Penghasil
Produk Ekonomi Kreatif. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(2), 205-221.
yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang. Kemudian pada tahun 1973
lahir pula perjanjian Madrid, yakni perjanjian internasional yang disebut Trademark
Registration Treaty. Di Indonesia, terdapat pengaturan mengenai merek yaitu Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis (UU Merek dan
IG), yang menyesuaikan terhadap TRIPs.
Pentingnya pendaftaran merek atas suatu produk dan/atau jasa selain untuk menjamin
kepastian hukum bagi para pemilik merek, juga memberikan manfaat ekonomi bagi
pengusaha. Merek dapat dijadikan cerminan dari citra, identitas dan kualitas suatu produk
dan/atau jasa itu sendiri. Dengan adanya merek yang memiliki citra, identitas dan kualitas
yang baik dimata konsumen, maka merek tersebut secara tidak langsung memiliki reputasi
yang baik pula. Reputasi baik dari merek ini dapat mengangkat sekaligus mempromosikan
produk dan/atau jasa suatu perusahaan, sehingga mampu menarik investor-investor untuk
berinvestasi dengan sendirinya. Pentingnya membangun reputasi melalui merek yang
terdaftar adalah karena reputasi merupakan efek dasar yang muncul sebagai faktor penting
keputusan konsumen atau investor tentang sikap dan perilakunya terkait keberadaan
produk dan/atau jasa.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap suatu merek dagang bukan hanya
bertujuan untuk memberikan keuntungan pada pihak produsen tetapi juga untuk
memberikan perlindungan pada pihak konsumen. Maka dari itu perlindungan terhadap
suatu merek sudah seharusnya diatur dengan tegas supaya konsumen dapat terlindungi dari
adanya pemalsuan barang atau jasa yang menggunakan suatu merek secara tidak sah.3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dalam dua
permasalahan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1. Bagaimana tinjauan hukum mengenai peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan hak atas merek sebagai hak kekayaan intelektual?
2. Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan Nomor
121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst. tentang Penanganan Pendaftaran
Merek di Indonesia yang Dianggap Telah Dimiliki Didaftarkan Terlebih Dahulu
oleh Suatu Pihak di Negara Lain?

3 Amboro. (2019). Problematika Pendaftaran Merek Untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kota Batam.
Journal of Judicial Review, 21(1), 1-14.
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan uraian di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan hasil
analisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya. Maka dalam
penulisan makalah ini terdapat dua tujuan yang hendak dicapai dan manfaat yang
didapatkan dalam penulisan makalah ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
a. untuk mengetahui cara pendaftaran merek
b. untuk mengetahui bagaimana tata cara pembatalan merek
c. untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak atas merek
d. untuk mengetahui bagaimana penanganan atas merek yang sudah didaftarkan
terlebih dahulu di negara lain
2. Manfaat
a. Hasil penelitian ini diharapkan untuk nantinya dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu hukum di bidang hak
Cipta.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan berpikir yang
lebih maju bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk bisa mendapatkan
kepastian hukum terhadap pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual
dalam melaksanakan aktivitas perdagangan Internasional
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Hukum Mengenai Peraturan Perundang-Undangan tentang


Perlindungan Hak atas Merek sebagai Hak Kekayaan Intelektual
World Trade Organization (WTO) adalah kerangka sebagai kesepakatan internasional
dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para pelaku bisnis dan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan penanaman modal asing
disamping hal-hal yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.4
Pembentukan WTO merupakan salah satu wujud lembaga ekonomi yang dibentuk
untuk menangani ekonomi global yang sarat dengan standar-standar regional maupun
internasional. Demikian pula dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) yang diatur dalam Agreement on Trade Related Aspect of Intellecual of Property
Right (TRIPs), merupakan suatu rambu yang harus disikapi dengan baik oleh para
pengusaha di Indonesia.5
Untuk melaksanakan persetujuan TRIPs tersebut dan sekaligus membangun hukum
nasional di bidang HKI, Indonesia telah mempersiapkan peraturan-peraturan di bidang
HKI. Salah satu di antara perangkat hukum di bidang HKI Indonesia yang disesuaikan
dengan TRIPs adalah Pengaturan merek dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek, yang merevisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Perubahan ini
selain dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi, juga dimaksudkan
untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang belum
ditampung dalam Undang-Undang Merek tahun 1997.6
Menurut Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001, merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa. Berdasarkan pasal tersebut, terlihat jelas bahwa fungsi utama merek adalah
untuk membedakan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis. Dengan
demikian, merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa yang bersangkutan
dengan produsennya.

4 H. OK. Saidin, 2002, Aspek Hukum Intelektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 27.
5 Angkasa, 2005, Bahan Mata Kuliah Hukum dan Globalisasi, Purwokerto: Pascasarjana Universitas Jenderal
Soedirman, hlm. 17.
6 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Bandung: Alumni, hlm. 314.
Dari sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksinya,
khususnya mengenai kualitas kemudian pemakainya. Dari sisi konsumen, merek
diperlukan sebagai salah satu faktor konsiderasi pilihan barang yang akan dibeli. Bahkan
terkadang penggunaan merek tertentu bagi seorang konsumen dapat menimbulkan image
tertentu pula. Oleh karena itu, suatu produk tentu akan memiliki merek. Bahkan tidak
mustahil merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya akan
selalu diikuti, ditiru, dibajak bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain.7
Untuk menjadikan suatu merek menjadi terkenal dan mampu mewujudkan jaminan
kualitas atau reputasi suatu produk tertentu tidak mudah dan memerlukan waktu yang
cukup lama. Sebagai contoh, merek Coca-Cola dari Amerika Serikat memerlukan waktu
100 tahun untuk mencapai reputasi tersebut. Apabila suatu merek telah terkenal tentu akan
menjadikan merek tersebut suatu aset atau kekayaan perusahaan. Namun pada sisi lain,
keterkenalan tersebut akan memancing produsen lain untuk menirunya, seperti merek
mobil Chevrolet Spark dari Amerika yang ditiru bentuknya atau modelnya oleh
perusahaan dari China dengan nama QQ. Untuk menangani situasi seperti itu, terdapat
perlindungan hukum merek yang diberikan kepada merek terdaftar yang berupa
perlindungan hukum preventif atau represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan
dengan cara pendaftaran merek, sedangkan perlindungan hukum represif dilakukan apabila
terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata atau tuntutan pidana.
Sistem perlindungan merek pada dasarnya dilakukan melalui sistem first to file. Pada
umumnya, negara-negara dengan sistem hukum Civil Law, termasuk Indonesia, menganut
sistem first to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan sistem first to file tersebut,
pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus mendaftarkan mereknya di Ditjen HKI
untuk memperoleh hak eksklusif atas mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif
tidak dapat diperoleh pemilik merek hanya dengan menunjukan bukti-bukti bahwa ia
adalah pemakai pertama merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa
pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk
mendapatkan pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah. 8 Untuk
mendapatkan perlindungan merek, maka pemohon wajib mendaftarkan barang dan/atau
jasa yang dimaksudkan.

7 Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Bandung: Citra Aditya Bakti,
hlm. 97.

8 Hukum Online, “Perlindungan Merek Terkenal yang Tidak Terdaftar di Indonesia”,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5892/perlindungan-merek-terkenal-yang-tidak-terdaftar-di-
indonesia
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pasal 3 Undang-Undang Merek menyatakan
bahwa hak atas merek adalah khusus yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek
terdaftar. Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya kepada
Menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia. Dalam
Permohonan tersebut harus mencantumkan:
a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;
b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;
c. nama lengkap dan alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui Kuasa;
d. warna jika Merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur
warna;
e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; dan
f. kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa.
(Pasal 4 ayat (2) UU Merek.
Kemudian Pasal 7 menentukan bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum
untuk jangka waktu 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran
merek yang bersangkutan. Sebenarnya, tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk
mendaftarkan merek yang dimiliki. Akan tetapi jika hendak mendapatkan perlindungan
hukum, maka merek yang bersangkutan harus didaftarkan terlebih dahulu.
Suatu permohonan pendaftaran merek akan diterima apabila telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Merek. Syarat utama yang sekaligus
menjadi ciri utama suatu merek adalah adanya daya pembeda. Pasal 5 Undang-Undang
Merek mengatur mengenai apa saja yang tidak dapat dijadikan suatu merek atau yang
tidak dapat didaftarkan sebagai suatu merek, yaitu apabila merek tersebut mengandung
salah satu unsur di bawah ini:
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan atau ketertiban umum;
b. Tidak memiliki daya pembeda;
c. Telah menjadi milik umum; atau
d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftar.
Persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 5 di atas harus ditambah dengan persyaratan
yang ditentukan Pasal 6. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Merek menentukan bahwa
permintaan pendaftaran merek harus ditolak oleh Kantor Merek apabila mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek milik orang lain yang sudah
terdaftar untuk barang atau jasa sejenis. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Merek, yang dimaksud sama pada pokoknya dengan merek terdaftar orang
tersebut adalah adanya kesan yang sama antara lain mengenai bentuk, cara penempatan
atau kombinasi antara unsur-unsur maupun bunyi ucapan yang terdapat didalam merek
yang bersangkutan.
Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Merek menambahkan lagi bahwa pendaftaran merek
juga harus ditolak oleh Kantor Merek apabila:
1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto dan nama badan
hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang
berhak;
2. Merupakan peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang atau simbol atau emblem dari Negara atau lembaga nasional maupun
internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
3. Merupakan peniruan atau menyerupai tanda atau cap stempel resmi yang
digunakan negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis
dari pihak yang berwenang; atau
4. Merupakan atau menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi hak cipta ,
kecuali atas persetujuan pemegang hak cipta tersebut.
Apabila permohonan pendaftaran merek tersebut memenuhi persyaratan, maka
pemohon dapat diberikan sertifikasi merek dan kemudian didaftarkan dalam Daftar Umum
Merek. Dengan telah diterimanya sertifikat merek dan didaftarkannya, maka pemilik
merek terdaftar memiliki hak menikmati dan hak untuk mengeksploitasi keuntungan.
Pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek,
baik dalam gugatan ganti rugi maupun pidana, dan juga memiliki hak untuk mengajukan
permohonan pembatalan pendaftaran merek orang lain secara tanpa hak.
Perlindungan hukum represif dapat diperoleh apabila telah terjadi pelanggaran hak
atas merek. Dalam hal ini, peran lembaga peradilan dan aparat penegak hukum seperti
kepolisian, penyelidik pegawai negeri sipil dan kejaksaan sangat diperlukan. Pasal 76
Undang-Undang Merek menyatakan bahwa:
(1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang
secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:
a. Gugatan ganti rugi dan/atau
b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
UU No. 15 Tahun 2001 juga menetapkan bahwa ada dua macam bentuk atau isi
tuntutan gugatan tersebut, yaitu:
1. Permintaan ganti rugi; dan
2. Penghentian pemakaian merek.
Dengan ditetapkannya Pengadilan Niaga sebagai lembaga peradilan formal untuk
gugatan yang bersifat keperdataan, maka terbuka kesempatan luas kepada pemegang
merek untuk mempertahankan haknya. Secara lebih spesifik, Undang-Undang Merek
menggolongkan delik dalam perlindungan hak merek ini sebagai delik kejahatan dan delik
pelanggaran. Adapun ancaman pidana yang dimaksud yang termuat dalam Pasal 90 dan
Pasal 91 Undang-Undang Merek. Pasal 90 menentukan bahwa:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).”
Selebihnya, Pasal 91 Undang-Undang Merek menetapkan bahwa:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).”
Penting juga untuk diperhatikan bahwa ancaman pidana tersebut bersifat kumulatif
dan bukan alternatif. Dengan demikian, di samping dikenakan ancaman penjara, terhadap
pelaku juga dikenakan ancaman hukuman berupa denda agar membuat pelaku menjadi
jera. Delik pelanggaran dimuat dalam Pasal 94 Undang-Undang Merek yang menetapkan
bahwa:
“Barangsiapa memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui atau patut diketahui
barang dan jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud
Pasal 90 dan Pasal 91 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”
Ancaman hukuman yang dimuat dalam Pasal 94 di atas bersifat alternatif karena dapat
berupa hukum kurungan saja atau membayar denda saja.
Dalam kaitannya dengan kasus yang akan dibahas dalam karya tulis ini, perlindungan
hukum juga diberikan terhadap merek terkenal yang ditiru oleh pihak lain. Perlindungan
terhadap merek terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan Merek terkenal
milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil
kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat
perlindungan hukum. Berdasarkan Undang-undang, mekanisme perlindungan Merek
terkenal, selain melalui inisiatif pemilik Merek tersebut, dapat pula ditempuh melalui
penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran Merek yang sama pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal.
Penting untuk diperhatikan bahwa jangka waktu pengajuan gugatan pembatalan
pendaftaran merek yang didaftarkan atas itikad tidak baik adalah tidak terbatas. Hal ini
sesuai dengan Pasal 6 bis Konvensi Paris yang menyatakan sebagai berikut:
(1) The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or
at the request of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to
prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an imitation,
or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the
competent authority of the country of registration or use to be well known in that
country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this
Convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also
apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such
well–known mark or an imitation liable to create confusion therewith.
(2) A period of at least five years from the date of registration shall be allowed for
requesting the cancellation of such a mark. The countries of the Union may
provide for a period within which the prohibition of use must be requested.
(3) No time limit shall be fixed for requesting the cancellation or the prohibition of
the use of marks registered or used in bad faith.
Pasal 6 ayat 3 Konvensi Paris memberikan batas waktu pembatalan merek yang
didaftarkan tidak terbatas bila mengandung itikad tidak baik. Sebelumnya, Pasal 69 ayat
(1) Undang-Undang Merek menyatakan batas waktu pengajuan pembatalan merek yang
didaftarkan hanya lima tahun, dan diatur oleh Pasal 69 ayat (2) bahwa pengajuan gugatan
permohonan pembatalan pendaftaran merek tidak terbatas jika merek bertentangan dengan
norma agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Itikad tidak baik tidak termasuk dalam
pasal ini maka berlaku ketentuan pada ayat Pasal 69 ayat (1). Tentu hal ini bertentangan
dengan Pasal 6 ayat 3 Konvensi Paris. Bila dilihat dari aspek keadilan, Pasal 69 ayat 1 UU
Merek sangat merugikan pemilik merek yang sebenarnya, akibatnya perlindungan merek
terkenal asing di Indonesia tidak dilindungi secara maksimal.
Undang-undang Merek melakukan perubahan pada tahun 2016 dengan
diundangkannya UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Undang-Undang Merek 2016 menggantikan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, di
mana Pasal 77 Undang-Undang Merek 2016 dinyatakan bahwa batas waktu pengajuan
gugatan terhadap merek yang didaftarkan atas itikad tidak baik tidak terbatas, dan hal
tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat 2 Konvensi Paris.
Asas itikad baik terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Merek 2001 yang
menyatakan bahwa “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh
Pemohon yang beritikad tidak baik.” Pasal tersebut melindungi keberadaan merek
terkenal, sehingga seharusnya setiap merek yang memiliki persamaan pada pokoknya
harus ditolak oleh Dirjen HKI. Penolakan atas merek tidak beritikad baik merupakan
bentuk preventif dari Teori Perlindungan Hukum, sedangkan pengajuan gugatan dan
penghapusan merek adalah bentuk represif.
Perubahan batas waktu pengajuan gugatan pendaftaran merek atas itikad tidak baik
dalam Undang-Undang Merek 2016 merupakan bentuk komitmen Indonesia sebagai
Negara anggota WTO dimana setiap anggota harus melaksanakan peraturan- peraturan
tentang merek di Konvensi Paris. Sehingga Undang- Undang No. 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis diharapkan dapat mencegah kejadian pelanggaran merek,
pada merek terkenal asing maupun merek terkenal lokal, baik yang sudah terdaftar, belum
terdaftar, maupun sedang dalam proses pendaftaran merek.

B. Analisis Hukum Terhadap Putusan Nomor


121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst. tentang Penanganan Pendaftaran
Merek di Indonesia yang Dianggap Telah Dimiliki Didaftarkan Terlebih Dahulu
oleh Suatu Pihak di Negara Lain
Merek merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan
mempunyai peranan paling penting untuk membedakan asal usul produk barang dan
jasa. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik Merek
yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut
atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak atas Merek
diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar, yakni setelah permohonan melalui proses
pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta
mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (‘Menteri”) untuk
diterbitkan sertifikat.9
Diketahui bahwa Penggugat merupakan suatu perusahaan internasional yang
berdomisili di Amerika Serikat bernama MATTEL, INC yang notabene adalah perusahaan
mainan yang terkemuka di dunia dan sebagai pemilik sah merek terkenal yaitu “FISHER-
PRICE” dengan Jenis Barang Kelas 28 Daftar No IDM000495798 yang telah terdaftar
secara global termasuk di Indonesia dan telah memperoleh perlindungan mereknya di
Indonesia. Namun diketahui oleh merek yang dimiliki Tergugat juga namanya adalah
“Fisherprice” dengan Jenis Barang Kelas 12 Daftar No IDM000764021 mengakibatkan
permohonan merek milik Penggugat ditolak oleh Turut Tergugat yang mana adalah
Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq. Direktorat Merek dan Indikasi
Geografis.
Penggugat mengajukan pembatalan merek berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, b, dan c UU Merek, yaitu:
“(1) Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan:
a. merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis;
b. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang
memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. ……….”
Selebihnya, Pasal 21 ayat (3) UU Merek menyatakan bahwa “Permohonan ditolak jika
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”, dan penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU
Merek adalah “yang dimaksud dengan Pemohon yang beritikad tidak baik adalah
Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru,
menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan
kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.”
Dalam kasus ini, Penggugat adalah MATTEL, Inc. yang dikatakan pemilik dari merek
FISHER-PRICE, dan Tergugat adalah Liu Ignasia F. Yuliyanti sebagai pemilik merek
yang telah terdaftar Fisherprice (tertera dalam putusan pengadilan halaman 8 hanya
9 Pasal 1 angka 5 dan angka 20 jo. Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Merek dan Indikasi Geografis.
terdapat perbedaan yang bersifat minor yaitu format tulisan dan tanda “-” pada tulisan
tersebut). Persamaan Merek FISHER-PRICE & Lukisan Daftar No. IDM00043556 1 di
kelas 20 dan 28 milik Penggugat yang hampir identik dengan merek milik Tergugat yaitu
dari segi:
- bunyi ucapan yang mana dalam hal ini secara bunyi kedua merek terbukti diucap
identik atau sama persis dan tanpa ada perbedaan sama sekali;
- visual dalam hal ini adalah penggalan kata “FISHER-PRICE” untuk bentuk, cara
penempatan, dan cara penulisan; namun, kombinasi antara unsur-unsur huruf yang
digunakan pada kedua merek adalah sama persis atau identik.
Selain itu perlu diketahui bahwa dengan mempertimbangkan fakta bahwa Merek
Tergugat dan Merek Penggugat mencakup barang-barang yang diperuntukkan atau
ditargetkan untuk anak-anak, bayi, dan konsumen terkait masuk dalam group konsumen
yang sama terlebih lagi persamaan jenis-jenis barangnya yaitu:
a. sifat yang sama dari barang dan/atau jasa;
b. tujuan dan metode penggunaan barang yang sama;
c. komplementaritas barang dan/atau jasa yang sama;
d. kompetisi barang dan/atau jasa yang sama;
e. saluran distribusi barang dan/atau jasa yang sama;
f. konsumen yang relevan yang sama; atau
g. asal produksi barang dan/atau jasa.
Melalui hal-hal yang telah diuraikan diatas dan berdasarkan dalil-dalil yang telah
disampaikan oleh Penggugat dalam gugatannya maka diajukanlah gugatan pembatalan
Merek FISHERPRICE oleh Penggugat yang telah terdaftar lebih dulu oleh Tergugat pada
tahun 2016. Penggugat mengajukan gugatan pembatalan merek FISHERPRICE milik
Tergugat untuk Kelas 12 dengan alasan memiliki persamaan pada pokoknya dan merek
milik Penggugat yang telah terdaftar lebih dahulu, yang adalah memiliki persamaan
dengan nama badan hukum pihak lain
Tata cara atau proses dalam penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek diatur
dalam Pasal 72 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis mengatur bahwa penghapusan
merek terdaftar dapat diajukan oleh pemilik merek yang bersangkutan kepada Menteri.
GUGATAN OBSCUUR LIBEL
A. KARENA PENGGUGAT BUKAN REPRESENTATIVE DARI PEMILIK
MEREK FISHER-PRICE (TIDAK MEMILIKI LEGAL STANDING)
Seperti yang sempat dijelaskan sebelumnya dalam Pasal 72 ayat (1) UU Merek dan
Indikasi Geografis bahwa terdapat 2 (dua) unsur utama dalam mengajukan pembatalan
merek yaitu:
a. diajukan oleh pemilik Merek; dan
b. diajukan kepada Menteri
Berdasarkan dalil Penggugat yang menyatakan bahwa FISHER-PRICE, Inc. telah
diakuisisi kepemilikan sepenuhnya oleh MATTEL, Inc. sejak tahun 1993, atas akuisisi
tersebut mengakibatkan perusahaan FISHER-PRICE, Inc. telah melebur seluruhnya
kepada perusahaan Penggugat. Oleh karena itu pemilik merek FISHER-PRICE dengan
kategori Kelas 28 yang berasal dari Amerika Serikat bukan MATTEL, Inc. melainkan
FISHER-PRICE, Inc yang adalah anak perusahaan dari MATTEL, Inc. Akuisisi tersebut
tidak serta merta memindahkan hak kepemilikan mereknya kepada holding perusahaan,
sehingga merek atas nama FISHER-PRICE tetap berada di bawah naungan FISHER-
PRICE, Inc sebagai perusahaan subsidiary dari MATTEL, Inc. Namun sayangnya pihak
yang mengajukan gugatan adalah MATTEL, Inc. selaku perusahaan holding dan bukan
FISHER-PRICE, Inc. sehingga hakim menganggap sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku yaitu Pasal 72 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis bahwa MATTEL,
Inc. bukanlah pihak yang tepat untuk mengajukan gugatan tersebut, dan oleh karenanya
gugatan tersebut selayaknya ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga.
Selain itu diperkuat dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Merek yang
menyebutkan:
“(2) Permohonan ditolak jika Merek tersebut:
a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto,
atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan
tertulis dari yang berhak”
Petitum yang diajukan oleh Penggugat dinyatakan oleh Majelis Hakim adalah
Obscuur Libel atau kabur dan tidak jelas karena yang mengajukan Gugatan Pembatalan
Merek adalah pihak MATTEL, Inc. dan bukan FISHER-PRICE, Inc. Penggugat
menyatakan bahwa petitum Penggugat yang menyatakan FISHERPRICE atas nama
Tergugat memiliki persamaan dengan nama badan hukum dari FISHER-PRICE, Inc yang
merupakan anak perusahaan Penggugat bernama MATTER, Inc. Walaupun memang
benar adanya secara umum dalam penyebutan atau pengucapan dan visual merek Tergugat
memiliki persamaan dengan nama perusahaan FISHER-PRICE, Inc. permohonan tersebut
ada kemungkinan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Niaga jika gugatannya diajukan oleh
FISHER-PRICE, Inc sebagai pemilik yang berhak atas merek itu sendiri.
Berdasarkan tanggapan Majelis Hakim tersebut dapat disimpulkan bahwa MATTEL,
Inc. sebagai holding tidak memiliki legal standing dalam pengajuan gugatan melainkan
seharusnya adalah FISHER-PRICE, Inc. sendiri, namun sayangnya FISHER-PRICE, Inc.
tidak diikutsertakan dalam gugatan pembatalan merek ini sebagai Penggugat II.
Pada umumnya negara-negara dengan sistem hukum civil law termasuk Indonesia
menganut sistem First to File dalam memberikan hak atas merek. berdasarkan sistem
First to File tersebut, pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus mendaftarkan
mereknya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”) untuk memperoleh hak
eksklusif atas mereknya dan perlindungan hukum. hak eksklusif tidak dapat diperoleh
pemilik merek hanya dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa ia adalah pemakai pertama
merek tersebut di Indonesia. First to File system berarti bahwa pihak yang pertama kali
mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk mendapatkan pendaftaran
merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah. FISHER PRICE, Inc
B. KOMPETENSI ABSOLUT
Bahwa sebagaimana dalam Pasal 76 ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis bahwa
kewenangan pembatalan merek yang telah terdaftar merupakan kewenangan
Pengadilan Niaga, sedangkan kewenangan memutuskan/menolak suatu permohonan
pendaftaran merek bukan merupakan kewenangan dari Pengadilan Niaga melainkan
kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI cq. Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Merek dan
Indikasi Geografis.
Penggugat juga mendalilkan bahwa Penggugat telah mengajukan permohonan
pendaftaran merek terkenal FISHER-PRICE untuk kelas 12, sehingga petitumnya mohon
agar Majelis Hakim memerintahkan Kemenkumham untuk menerima permohonan
pendaftaran FISHER-PRICE yang diajukan tanggal 15 November 2022 untuk semua jenis
barang diajukan dan menerbitkan Sertifikat Pendaftaran Mereknya serta mengumumkan
dalam Berita Negara. Melalui Pasal 76 ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis yang
telah dijelaskan diatas adalah salah satu alasan Hakim menolak permohonan tersebut yang
mana permohonan mengenai penerimaan agar merek dapat didaftarkan sudah barang tentu
bukan diajukan melalui Pengadilan Niaga.
Sebagai tambahan bahwa sebagaimana Pasal 21 ayat (1) huruf a dengan tegas
mengatur bahwa permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain atau
dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Namun
diketahui bahwa merek FISHER-PRICE yang dimiliki oleh FISHER-PRICE, Inc. tersebut
belum terdaftar dalam Kemenkumham yakni masih dalam proses pendaftaran dan telah
ditolak oleh Menkumham selain itu juga FISHER PRICE, Inc melakukan pendaftarannya
di tahun 2018 dengan kategori Kelas 18 dengan status DITOLAK. sedangkan LIU
IGNASIA F. YULIYANTI telah melakukan pendaftarannya dan telah mendapatkan status
terdaftar di tahun 2016 dengan kategori Kelas 12.
Selain itu melalui tanggapan sisi Tergugat bahwa melalui perbandingan tabel dibawah
ini terlihat jelas jenis barang-barang dari masing-masing merek adalah berbeda dan tidak
sejenis satu sama lainnya yaitu seperti berikut:

Jenis Barang di Kelas 28 Merek FISHER- Jenis Barang di Kelas 12 Merek


PRICE Daftar No. IDM000495798 milik FISHERPRICE Daftar No. IDM000764021
Penggugat milik Tergugat

Alat-alat senam dan olahraga yang tidak sepeda-sepeda; seperti sepeda mini; sepeda
termasuk kelas-kelas ini; perhiasan untuk sport, sepeda untuk anak-anak; sepeda roda
pohon Natal, Permainan dan alat permainan tiga; suku cadang sepeda; bel sepeda;
keranjang sepeda; ban luar/dalam untuk
sepeda, engkol untuk sepeda; jeruji roda
sepeda; kerangka untuk sepeda; pompa
sepeda; peleg sepeda; poros roda sepeda,
penopang sepeda; pedal sepeda; roda
sepeda; rem sepeda; rantai sepeda; stang
sepeda; sadel sepeda; standar sepeda,
spakbor sepeda; jaring bagasi untuk
kendaraan tempat duduk pengaman untuk
anak-anak (untuk kendaraan); kereta sepeda;
kereta dorong untuk bayi (stroller); kap
untuk kereta bayi; Kereta anak-anak; tempat
duduk untuk bayi didalam mobil (car seat);
kursi roda alat pengangkut roda tiga; kereta
bayi; penutup kereta bayi; tempat tidur
dalam kendaraan; klakson; sabuk pengaman
untuk tempat duduk kendaraan sepeda yang
dilengkapi motor kecil.

Berdasarkan keterangan kategori kelas barang Merek Penggugat dan Tergugat yang
diuraikan mengenai barang-barang yang terdaftar dari masing-masing merek adalah
berbeda karena didaftarkan dengan kelas yang berbeda yang mana Merek Penggugat
mencakup kelas 28 dan Merek Tergugat adalah kelas 12.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut bahwa Merek merupakan simbol reputasi, yang bisa
mengangkat dan mempromosikan produk. Merek yang melekat pada produk tersebut
umumnya mempunyai nama tersendiri sebagai identitas dari produk dan pembeda dalam
membedakan produk tersebut dengan produk yang lain. Hak atas merek yang dimiliki
oleh seseorang atau badan hukum baru akan terjadi setelah merek tersebut terdaftar di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Maka dari itu diperlukan perlindungan hukum terhadap merek
baik perlindungan secara preventif dan perlindungan secara represif maka dari itu
dibentuk WTO World Trade Organization sebagai kerangka kesepakatan internasional
dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para pelaku bisnis dan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan penanaman modal asing
disamping hal-hal yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.
Perlindungan melalui cara preventif diberikan dengan melakukan pencegahan
terhadap terjadinya pelanggaran merek dagang yang bermaksud semakin mendorong yang
mempunyai suatu merek untuk mendaftarkan mereknya agar dapat terlindungi secara
hukum diatur di dalam pasal 1 ayat (5) undang-undang 20 tahun 2016 tentang merek dan
indikasi Geografis dimana hak atas merek merupakan sebuah hak yang eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada yang mempunyai merek yang sudah terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain untuk menggunakan dan sebaliknya perlindungan secara represif dilakukan
untuk menangani pelanggaran hak atas merek sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku melalui lembaga peradilan dan aparat penegak hukum lainnya
seperti kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil dan kejaksaan sebagaimana untuk
melakukan penindakan terhadap pelanggaran hak merek dalam diajukan melalui
Kementerian Hukum dan Hak asasi manusia.
Melalui analisa terhadap Putusan Nomor 121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst
terkait pembatalan Merek FISHER

Berdasarkan analisa keputusan diatas bahwa penggugat telah lebih dahulu


mendaftarkan merek sehingga penggugat meminta untuk pembatalan merek tersebut dan
dalam Pasal 72 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis bahwa terdapat 2 (dua) unsur
utama dalam mengajukan pembatalan merek yaitu diajukan oleh pemilik merek dan
diajukan kepada Menteri dan penggugat mengajukan pembatalan merek karena hanya
terdapat perbedaan minor yang memenuhi unsur pembatalan karna berdasarkan Pasal 21
ayat (1) huruf a, b, dan c UU Merek, yaitu:
“(1) Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan:
a. merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis;
b. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang
memenuhi persyaratan tertentu; atau

B. Saran
Ketentuan terkait perlindungan merek terkenal yang diatur melalui Paris Convention
for the Protection of Industrial Property (“Paris Convention”) dan juga Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”). Indonesia
merupakan salah satu anggota yang termasuk dalam Paris Convention dan TRIPS
Agreement yang juga turut meratifikasi kedua treaty tersebut seharusnya Indonesia dapat
mengedepankan keadilan dan berpihak bagi para perusahaan yang telah terbukti dalam
kapasitas yang cukup dikategorikan memiliki merek “terkenal” dalam kalangan
masyarakat dengan berbagai bukti reputasi, promosi, penjualan dan sebagainya untuk
mendapatkan hak eksklusifnya di Indonesia.
Walaupun Indonesia yang merupakan salah satu negara sistem civil law yang
menganut sistem First to File nyatanya dengan sistem tersebut tidak memberikan keadilan
bagi pemegang merek terkenal yang belum mendaftarkan mereknya di Indonesia.
Sehingga merek terkenal mana pun dapat didaftarkan oleh siapa saja yang mendaftarkan
terlebih dahulu walaupun diketahui dalam kancah internasional suatu merek milik
perusahaan tersebut telah menjadi pengetahuan umum dikalangan masyarakat luas dan
tidak memperoleh hak ekslusifitasnya. Oleh karenanya di Indonesia masih sangat banyak
kasus-kasus sengketa merek terkenal yang dibawa ke meja hijau sehingga sangat
disarankan sistem peradilan Indonesia menggalakan kembali segala ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement demi mengedepankan keadilan
dan menghindari sengketa merek terkenal.

Anda mungkin juga menyukai