Oleh Kelompok 5
Berlian Try Meisya 2206133084
Clarissa Angeline 2206133134
Dhanna Asha Audria Budi 2206133172
Joy Prananta Barus 2206110401
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam praktik perdagangan di Indonesia dewasa ini, dari pedagang kaki lima hingga
swalayan dapat dijumpai berbagai macam produk barang yang menggunakan merek
terkenal, tetapi sebenarnya hanya merupakan tiruan belaka. Sebagai contoh, seringkali
ditemukan pedagang kaki lima di pasar yang menjual produk-produk celana, baju dan
sepatu dengan merek-merek terkenal seperti Levi’s, Pierre Cardin, Piero, H & R, dan lain-
lain yang dijual dengan harga yang lebih murah. Perkara-perkara merek di Indonesia
cenderung didominasi oleh pelanggaran terhadap merek-merek terkenal, namun demikian
tidak berarti tidak ada merek lokal yang digunakan secara melawan hukum oleh pihak lain
yang juga pengusaha lokal. Bahkan sekarang ini telah berkembang cara pelanggaran
hukum yang lain dalam bentuk meniru kemasan yang sudah terkenal.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antar
negara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan
jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang merek. Merek merupakan simbol
reputasi, yang bisa mengangkat dan mempromosikan produk dan suatu perusahaan. Pada
dasarnya merek dibedakan menjadi merek dagang dan merek jasa serta merek kolektif. 1
Merek pun sudah digunakan sejak lama untuk menandai produk dengan tujuan
menunjukkan asal-usul barang, sehingga perlindungan hukum atas merek semakin
meningkat seiring dengan majunya perdagangan dunia. Dengan demikian, merek semakin
berperan untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya serta menghindari
peniruan.2
Merek sebagai salah satu bagian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki hubungan
yang erat dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang berperan penting terhadap
perekonomian dan perdagangan suatu negara. Peraturan merek yang pertama kali
diterapkan Inggris adalah hasil adopsi dari Perancis tahun 1857, dan kemudian membuat
peraturan tersendiri yakni Merchandise Act tahun 1862 yang berbasis hukum pidana. Pada
tahun 1883, diberlakukan Konvensi Paris mengenai hak milik industri (paten dan merek)
1 Muzakki, M. A., Roisah, K., & Prananda, R. R. (2018). Legal Political Of Well-Known Trademark Protection
Reviewed From Development Of Trademark Law In Indonesia To Avoid Fraudulent Competition. Law Reform,
14(2), 176-190.
2 Balqis, W. G., & Santoso, B. (2020). Arti Penting Perlindungan Merek Terdaftar Bagi Komunitas Penghasil
Produk Ekonomi Kreatif. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(2), 205-221.
yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang. Kemudian pada tahun 1973
lahir pula perjanjian Madrid, yakni perjanjian internasional yang disebut Trademark
Registration Treaty. Di Indonesia, terdapat pengaturan mengenai merek yaitu Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis (UU Merek dan
IG), yang menyesuaikan terhadap TRIPs.
Pentingnya pendaftaran merek atas suatu produk dan/atau jasa selain untuk menjamin
kepastian hukum bagi para pemilik merek, juga memberikan manfaat ekonomi bagi
pengusaha. Merek dapat dijadikan cerminan dari citra, identitas dan kualitas suatu produk
dan/atau jasa itu sendiri. Dengan adanya merek yang memiliki citra, identitas dan kualitas
yang baik dimata konsumen, maka merek tersebut secara tidak langsung memiliki reputasi
yang baik pula. Reputasi baik dari merek ini dapat mengangkat sekaligus mempromosikan
produk dan/atau jasa suatu perusahaan, sehingga mampu menarik investor-investor untuk
berinvestasi dengan sendirinya. Pentingnya membangun reputasi melalui merek yang
terdaftar adalah karena reputasi merupakan efek dasar yang muncul sebagai faktor penting
keputusan konsumen atau investor tentang sikap dan perilakunya terkait keberadaan
produk dan/atau jasa.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap suatu merek dagang bukan hanya
bertujuan untuk memberikan keuntungan pada pihak produsen tetapi juga untuk
memberikan perlindungan pada pihak konsumen. Maka dari itu perlindungan terhadap
suatu merek sudah seharusnya diatur dengan tegas supaya konsumen dapat terlindungi dari
adanya pemalsuan barang atau jasa yang menggunakan suatu merek secara tidak sah.3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dalam dua
permasalahan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1. Bagaimana tinjauan hukum mengenai peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan hak atas merek sebagai hak kekayaan intelektual?
2. Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan Nomor
121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst. tentang Penanganan Pendaftaran
Merek di Indonesia yang Dianggap Telah Dimiliki Didaftarkan Terlebih Dahulu
oleh Suatu Pihak di Negara Lain?
3 Amboro. (2019). Problematika Pendaftaran Merek Untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kota Batam.
Journal of Judicial Review, 21(1), 1-14.
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan uraian di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan hasil
analisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya. Maka dalam
penulisan makalah ini terdapat dua tujuan yang hendak dicapai dan manfaat yang
didapatkan dalam penulisan makalah ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
a. untuk mengetahui cara pendaftaran merek
b. untuk mengetahui bagaimana tata cara pembatalan merek
c. untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak atas merek
d. untuk mengetahui bagaimana penanganan atas merek yang sudah didaftarkan
terlebih dahulu di negara lain
2. Manfaat
a. Hasil penelitian ini diharapkan untuk nantinya dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu hukum di bidang hak
Cipta.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan berpikir yang
lebih maju bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk bisa mendapatkan
kepastian hukum terhadap pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual
dalam melaksanakan aktivitas perdagangan Internasional
BAB II
PEMBAHASAN
4 H. OK. Saidin, 2002, Aspek Hukum Intelektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 27.
5 Angkasa, 2005, Bahan Mata Kuliah Hukum dan Globalisasi, Purwokerto: Pascasarjana Universitas Jenderal
Soedirman, hlm. 17.
6 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Bandung: Alumni, hlm. 314.
Dari sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksinya,
khususnya mengenai kualitas kemudian pemakainya. Dari sisi konsumen, merek
diperlukan sebagai salah satu faktor konsiderasi pilihan barang yang akan dibeli. Bahkan
terkadang penggunaan merek tertentu bagi seorang konsumen dapat menimbulkan image
tertentu pula. Oleh karena itu, suatu produk tentu akan memiliki merek. Bahkan tidak
mustahil merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya akan
selalu diikuti, ditiru, dibajak bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain.7
Untuk menjadikan suatu merek menjadi terkenal dan mampu mewujudkan jaminan
kualitas atau reputasi suatu produk tertentu tidak mudah dan memerlukan waktu yang
cukup lama. Sebagai contoh, merek Coca-Cola dari Amerika Serikat memerlukan waktu
100 tahun untuk mencapai reputasi tersebut. Apabila suatu merek telah terkenal tentu akan
menjadikan merek tersebut suatu aset atau kekayaan perusahaan. Namun pada sisi lain,
keterkenalan tersebut akan memancing produsen lain untuk menirunya, seperti merek
mobil Chevrolet Spark dari Amerika yang ditiru bentuknya atau modelnya oleh
perusahaan dari China dengan nama QQ. Untuk menangani situasi seperti itu, terdapat
perlindungan hukum merek yang diberikan kepada merek terdaftar yang berupa
perlindungan hukum preventif atau represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan
dengan cara pendaftaran merek, sedangkan perlindungan hukum represif dilakukan apabila
terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata atau tuntutan pidana.
Sistem perlindungan merek pada dasarnya dilakukan melalui sistem first to file. Pada
umumnya, negara-negara dengan sistem hukum Civil Law, termasuk Indonesia, menganut
sistem first to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan sistem first to file tersebut,
pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus mendaftarkan mereknya di Ditjen HKI
untuk memperoleh hak eksklusif atas mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif
tidak dapat diperoleh pemilik merek hanya dengan menunjukan bukti-bukti bahwa ia
adalah pemakai pertama merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa
pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk
mendapatkan pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah. 8 Untuk
mendapatkan perlindungan merek, maka pemohon wajib mendaftarkan barang dan/atau
jasa yang dimaksudkan.
7 Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Bandung: Citra Aditya Bakti,
hlm. 97.
Alat-alat senam dan olahraga yang tidak sepeda-sepeda; seperti sepeda mini; sepeda
termasuk kelas-kelas ini; perhiasan untuk sport, sepeda untuk anak-anak; sepeda roda
pohon Natal, Permainan dan alat permainan tiga; suku cadang sepeda; bel sepeda;
keranjang sepeda; ban luar/dalam untuk
sepeda, engkol untuk sepeda; jeruji roda
sepeda; kerangka untuk sepeda; pompa
sepeda; peleg sepeda; poros roda sepeda,
penopang sepeda; pedal sepeda; roda
sepeda; rem sepeda; rantai sepeda; stang
sepeda; sadel sepeda; standar sepeda,
spakbor sepeda; jaring bagasi untuk
kendaraan tempat duduk pengaman untuk
anak-anak (untuk kendaraan); kereta sepeda;
kereta dorong untuk bayi (stroller); kap
untuk kereta bayi; Kereta anak-anak; tempat
duduk untuk bayi didalam mobil (car seat);
kursi roda alat pengangkut roda tiga; kereta
bayi; penutup kereta bayi; tempat tidur
dalam kendaraan; klakson; sabuk pengaman
untuk tempat duduk kendaraan sepeda yang
dilengkapi motor kecil.
Berdasarkan keterangan kategori kelas barang Merek Penggugat dan Tergugat yang
diuraikan mengenai barang-barang yang terdaftar dari masing-masing merek adalah
berbeda karena didaftarkan dengan kelas yang berbeda yang mana Merek Penggugat
mencakup kelas 28 dan Merek Tergugat adalah kelas 12.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut bahwa Merek merupakan simbol reputasi, yang bisa
mengangkat dan mempromosikan produk. Merek yang melekat pada produk tersebut
umumnya mempunyai nama tersendiri sebagai identitas dari produk dan pembeda dalam
membedakan produk tersebut dengan produk yang lain. Hak atas merek yang dimiliki
oleh seseorang atau badan hukum baru akan terjadi setelah merek tersebut terdaftar di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Maka dari itu diperlukan perlindungan hukum terhadap merek
baik perlindungan secara preventif dan perlindungan secara represif maka dari itu
dibentuk WTO World Trade Organization sebagai kerangka kesepakatan internasional
dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para pelaku bisnis dan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan penanaman modal asing
disamping hal-hal yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.
Perlindungan melalui cara preventif diberikan dengan melakukan pencegahan
terhadap terjadinya pelanggaran merek dagang yang bermaksud semakin mendorong yang
mempunyai suatu merek untuk mendaftarkan mereknya agar dapat terlindungi secara
hukum diatur di dalam pasal 1 ayat (5) undang-undang 20 tahun 2016 tentang merek dan
indikasi Geografis dimana hak atas merek merupakan sebuah hak yang eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada yang mempunyai merek yang sudah terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain untuk menggunakan dan sebaliknya perlindungan secara represif dilakukan
untuk menangani pelanggaran hak atas merek sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku melalui lembaga peradilan dan aparat penegak hukum lainnya
seperti kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil dan kejaksaan sebagaimana untuk
melakukan penindakan terhadap pelanggaran hak merek dalam diajukan melalui
Kementerian Hukum dan Hak asasi manusia.
Melalui analisa terhadap Putusan Nomor 121/Pdt.Sus/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst
terkait pembatalan Merek FISHER
B. Saran
Ketentuan terkait perlindungan merek terkenal yang diatur melalui Paris Convention
for the Protection of Industrial Property (“Paris Convention”) dan juga Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”). Indonesia
merupakan salah satu anggota yang termasuk dalam Paris Convention dan TRIPS
Agreement yang juga turut meratifikasi kedua treaty tersebut seharusnya Indonesia dapat
mengedepankan keadilan dan berpihak bagi para perusahaan yang telah terbukti dalam
kapasitas yang cukup dikategorikan memiliki merek “terkenal” dalam kalangan
masyarakat dengan berbagai bukti reputasi, promosi, penjualan dan sebagainya untuk
mendapatkan hak eksklusifnya di Indonesia.
Walaupun Indonesia yang merupakan salah satu negara sistem civil law yang
menganut sistem First to File nyatanya dengan sistem tersebut tidak memberikan keadilan
bagi pemegang merek terkenal yang belum mendaftarkan mereknya di Indonesia.
Sehingga merek terkenal mana pun dapat didaftarkan oleh siapa saja yang mendaftarkan
terlebih dahulu walaupun diketahui dalam kancah internasional suatu merek milik
perusahaan tersebut telah menjadi pengetahuan umum dikalangan masyarakat luas dan
tidak memperoleh hak ekslusifitasnya. Oleh karenanya di Indonesia masih sangat banyak
kasus-kasus sengketa merek terkenal yang dibawa ke meja hijau sehingga sangat
disarankan sistem peradilan Indonesia menggalakan kembali segala ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement demi mengedepankan keadilan
dan menghindari sengketa merek terkenal.