Anda di halaman 1dari 12

1

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMOHON MEREK YANG TIDAK BERITIKAD BAIK DARI
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI
GEOGRAFIS (Analisis atas Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga
Medan,Tanggal 2 Maret 2021)

FRANSISKUS PERI

Email: thefransperi@gmail.com

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Politik (FHISIP), Universitas
Terbuka.

ABSTRAK

Pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 mengatur tentang gugatan pembatan
merek ke pengadilan niaga oleh pemilik merek tanpa jangka waktu tertentu. Salah satu alasan
untuk melakukan gugatan pembatalan tersebut adalah jika pemohon merek beritikad tidak
baik. Tujuan penelitian ini adalah memahami sejauh mana pengaturan pemohon beritikad tidak
baik dalam perspektif Undang-Undang No.20/2016 dan bagaimana pandangan hakim dalam
memutus suatu perkara berdasarkan alasan pemohon beritikad tidak baik. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus (case approach).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tentang pemohon merek beritikad tidak baik
dalam UU No.20/2016 sangat terbatas. Oleh karena itu, pertimbangan hakim dalam memutus
gugatan pembatalan mereka yang didasarkan pada pemohon merek beritikad tidak baik
menjadi sangat penting untuk memahami apa yang disebut dengan pemohon merek yang
beritikad tidak baik. Hakim berpandangan bahwa pemilik merek beritikad tidak baik terjadi
dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran terhadap kesepakatan atau perjanjian yang telah
dilakukan sebelumnya pemilik merek yang pertama (first to file). Hakim juga berpandangan
bahwa adanya persamaan pada pokoknya merupakan bentuk dari itikad tidak baik.

Kata kuci: pemohon merek, itikad tidak baik, gugatan, pembatalan merek, first to file
2

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Merek merupakan faktor yang sangat penting dalam bidang usaha, baik barang dan
jasa. Merek tidak hanya menjelaskan kualitas suatu barang, tetapi juga menjadi penanda bahwa
barang yang dihasilkan oleh produsen memiliki ciri khas tersendiri 1. Itulah sebabnya barang
menjadi aset yang sangat berharga bagi pelaku usaha. Oleh karena itu perlindungan hukum
atas merek merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa adanya perlindungan hukum, pelaku bisnis
tentu akan mengalami banyak benturan dengan pelaku bisnis lainnya sehingga mengakibatkan
persaingan usaha yang tidak sehat. Perlindungan hukum terhadap merek bukanlah sesuatu
yang baru di Indonesia. Perlindungan hukum atas merek di Indonesia melewati sejarah yang
sangat panjang.

Merek pertama kali diatur dalam UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Dagang dan
Merek Perniagaan, yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb.1912
Nomor 545 jo.Stb.1913 Nomor 214. 2 Selanjtunya pada tahun 1992, lahir Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek untuk mencabut Undang-Undang Nomor 21/1961. Salah
satu hal mendasar dalam perubahan ini adalah bahwa pada Undang-Undang No.19/1992 diatur
sistem pendaftar pertama (first to file system). 3 Sistem pendaftar pertama adalah sistem yang
mengatur bahwa pihak yang pertama kali mendaftarkan mereka adalah pihak yang yang berhak
atas merek tersebut sampai terbukti sebaliknya. Kemudian, pada tahun 1997 lahir Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Merek. Namun karena
udang-undang terbaru ini tidak dianggap praktis, maka dibuatlah single text melalui Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Adapun yang yang menjadi pertimbangannya
adalah sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oelh Indonesia 4,
maka dirasakan peranan merek menjadi sangat penting terutama untuk menjaga persaingan

1
Lih. Hery Firmansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011,hal.28
2
Ibid., hlm. 36
3
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2017, hlm.15
4
Konvensi-konvensi internasional yang diratifikasi oleh Indonesia antara lain adalah Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeti Goods (TRIPs), The Paris Convention For The
Protection of Industrial Property Rights 1967, dan Trademark Law Treaty 1994
3

usaha yang sehat di era perdagangan bebas5. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun
2016 lahir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
sebagai undang-undang merek terbaru yang ada di Indonesia.

Sejarah singkat pengaturan merek tersebut di atas dapat memberikan gambaran


tentang komitmen Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek.
Dalam undang-undang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis telah diatur tentang syarat dan tata cara pendaftaran merek,
permohonan pendaftaran merek, pemeriksaan, pengumuman permohonan, keberatan dan
sanggahan, permohonan banding kepada komisi banding, dan seterusnya. Artinya,
perlindungan hukum dalam hal pendaftaran dan keluarnya lisensi tentang kepemilikan mereka
diperoleh melalui sebuah proses yang panjang dan terdapat ruang bagi pihak yang keberatan
untuk mengajukan keberatan. Namun faktanya proses yang panjang tersebut tidak cukup
menyelesaikan sengketa merek yang ada di dalam dunia usaha. Permasalah klasik yang sering
muncul adalah bahwa ada merek baru yang beredar di pasaran sangat mirip dengan merek
yang sudah ada. Oleh karena itu, pihak yang merasa dirugikan melakukan upaya hukum dengan
mengajukan gugutan pembatalan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU N0.20/2016.
Sebuah informasi dari kompas.com, tanggal 29 Januari 2021, diberitakan bahwa sepanjang
tahun 2020 terdapat 10 kasus pembatalan merek yang diputus di pengadilan niaga 6. Salah satu
pembatalan mereka yang cukup ramai diberitakan pada tahun 2020 adalah pembatalan merek
ayam “Geprek Bensu” yang dimiliki oleh salah satu artis di Indonesia yaitu Ruben Onsu. Merek
Geprek Bensu ternyata sudah digunakan dan didaftarkan terlebih dahulu oleh orang lain
sehingga ayam Merek “Geprek Bensu” yang didaftarkan oleh Ruben Onsu dibatalkan oleh
pengadilan melalui putusan di Mahkamah Agung 7. Kemudian yang terbaru adalah putusan
Mahkamah Agung pada tanggal 7 April 2021 terkait sengketa pasta gigi merek “Pepsodent
Strong”(PT Unilever Indonesia) dengan “Formula Strong”(PT. Grup Orang Tua). Unilever
Indonesia digugat oleh Orang Tua karena Unilever Indonesia menggunakan nama pada merek
5
Rahmi Jened. op.cit. hlm.16
6
https://money.kompas.com/read/2021/01/29/131959926/sepanjang-2020-pembatalan-merek-paling-banyak-
diajukan-ke-pengadilan-niaga?page=all, diakses 20 Mei 2021.
7
Lihat https://money.kompas.com/read/2020/10/17/060625826/babak-baru-sengketa-perebutan-merek-geprek-
bensu?page=all, diakses 20 Mei 2021
4

pasta giginya dengan nama “Pepsodent Strong”, dimana Orang Tua memiliki pasta gigi yang
bernama “Formula Strong”, yang lebih dulu didaftarkan. Pada Pengadilan Niaga, gugatan Orang
Tua dikabulkan oleh hakim. Pertarungan hukum tersebut berlanjut dengan kasasi yang diajukan
oleh Unilever. Setelah melalui pertarungan yang sengit akhirnya kasasi yang diajukan oleh
Unilever Indonenisa dikabulkan oleh Mahkamah Agung dimana pendaftaran merek oleh PT
Unilever Indonesia tidak dibatalkan meskipun Orang Tua lebih dahulu mendaftarkan merek
pasta giginya dengan nama “Formula Strong”.

Paparan dan contoh tersebut di atas memberikan gambaran tentang penyelesaian


sengketa merek yang diselesaikan di tingkat pengadilan baik pengadilan niaga,maupun kasasi di
Makhamah Agung. Sengketa merek tersebut tentu bukanlah yang terakhir. Akan ada sengketa-
sengketa merek lainnya mengingat derasnya arus perdagangan tingkat regional seperti
Masyarakat Ekonomi Asean dan juga perdagangan dunia. Dasar gugatan untuk pembatalan
merek diatur dalam Pasal 77 UU No.20/2016. Pasal 77 ayat (1) menyatakan bahwa gugatan
pembatalan merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal pendaftaran merek. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan pemilik merek
yang terdaftar kemudian menyadari bahwa terdapat merek baru yang telah terdaftar yang
sangat menyerupai mereknya. Oleh karena itu pada Pasal 77 ayat (2) dinyatakan bahwa
gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu jika terdapat unsur itikad tidak baik
dan/atau merek yang bersangkutan bertentangan dengan ideologi negara, peraturan
perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dari beberapa alsan
yang terdapat pada pasal 77 ayat (2), itikad tidak baik merupakan salah satu hal yang dijadikan
alasan gugatan ke pengadilan niaga ketika batas waktu yang dibatasi pada pasal 77 ayat 1. Hal
inilah yang membuat penulis meneliti sebuah sengketa merek yang diselesaikan melalui
pengadilan niaga di kota Medan. Sengketa merek tersebut melibatkan pihak penggugat yaitu
Gindo Halim sebagai pemilik dari Merek Lem Kambing (Goat Brand) melawan tergugat Chandra
sebagai pemilik dari merek “2 Kambing”. Dalam putusan Putusan Nomor
2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan, Tanggal 2 Maret 2021, hakim mengabulkan
gugatan penggugat untuk membatalkan merek “2 kambing” karena pemohon merek tersebut
beritikad tidak baik. Berkaitan dengan pemohon yang beritikad tidak baik, pengaturan tentang
5

pemohon yang beritikad tidak baik dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 beserta
penjelasannya sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis akan fokus meneliti tentang pemohon
yang beritikad tidak baik dalam putusan hakim pengadilan Niaga Medan pada Pengadilan
Negeri Medan dengan nomor putusan tersebut di atas guna mendapatkan pemahaman yang
lebih komprehensif tentang pemohon merek yang beritikad tidak baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, fokus rumusan masalah yang akan diteliti oleh penulis
adalah sebagai berikut:

Bagaimana pengaturan pemohon beritikad tidak baik sebagai dasar gugatan ke pengadilan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Mereka dan Indikasi Geografis?

Bagaimana pertimbangan hakim terkait pemohon merek yang tidak beritikad baik dalam
Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.KHI/Merek/2020/pn.Niaga Medan, Tanggal 2 Maret 2021?

C. Tujuan Penelitian

Kajian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

Pertama, untuk mengetahui sejauh mana pengaturan pemohon beritikad tidak baik dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis?

Kedua, untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim dalam memutus sengketa mereka
dengan dalam putusan Nomor 2/Pdt.Sus.KHI/Merek/2020/pn.Niaga Medan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Mereka dan Indikasi Geografi

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan peneliti dalam kajian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis
normatif) dengan pendekatan pada kasus (case approach) dengan cara melakukan analisis
terhadap putusan nomor 2/Pdt.Sus.KHI/Mereka/2020/Pn.Niaga Medan yang ditinjau dari
prespektif Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
6

II. PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap pemohon merek beritikad tidak baik berdasarkan ketentuan UU
No.20/2016

Dalam Pasal 77 ayat 2, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 disebutkan alasan pemilik merek
tertentu dapat melakukan gugatan, meskipun sudah melampau jangka waktu 5 tahun
sebagaimana ditentukan dalam pasal 77 ayat (1). Dengan kata lain bahwa pemilik merek yang
pertama kali mendaftarkan mereknya dapat mengajukan gugatan pembatalan Merek pihak lain
yang beredar tanpa batas waktu yang ditentukan dengan beberapa alasan tertentu. Alasan-
alasan yang dapat dijadikan dasar dari gugatan sebagaimana terdapat dalam Pasal 77 ayat (2)
adalah bahwa terdapat itikad tidak baik dan/atau merek yang bersangkutan bertentangan
dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan
ketertiban umum.

Berkaitan dengan alasan “itikad tidak baik”, pasal tersebut diatas harus dipahami dalam
konteks Pasal 20 s/d Pasal 22 UU No.20 Tahun 2016, yang berisi ketentuan tentang merek yang
tidak dapat didaftar dan ditolak. Pada Pasal 21 ayat (3) dinyatakan dengan tegas bahwa
“permohonan ditolak jika diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”.

Pada bagian penjelasan pasal 21 ayat (3) diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “Pemohon
yang beritikad tidak baik” adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan merekknya
memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan
usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan
konsumen.

Penjelasan terhadap Pasal 21 ayat (3) dari perpektif UU No.20/2016 merupakan penjelasan
langsung dari pembuat undang-undang terkait dengan pemohon merek yang beritikad tidak
baik. Meskipun sudah dijelaskan dalam bagian penjelasan bahwa tindakan seperti meniru,
menjiiplak, atau mengikuti merek pihak lain merupakan tindakan yang menunjukkan itikad
tidak baik namun faktanya sering ditemukan mereka yang sangat mirip dengna mereka yang
sudah ada di Indonesia sebagai contoh putusan nomor 2/Pdt.Sus.KHI/Mereka/2020/Pn.Niaga
7

Medan dimana merek penggugat (Goat Brand/Cap Kambing) yang sudah didaftarkan sejak
tahun 1970 ternyata diduga ditiru oleh merek tergugat (2 Kambing) dalam jenis produk lem.

Pendaftaran merek di Indonesia melewati sebuah prosedur administratif yang cukup panjang
dan melewati sebuah proses penting yang disebut dengan pemeriksaan substantif dimana
dalam pemeriksaan ini, pemeriksa tentu saja memeriksa hal-hal substantif terkait dengan
permohonan merek tersebut. Hal yang termasuk kualifikasi itikad tidak baik yaitu penggunaan
merek berupa bentuk tulisan, lukisan, logo, atau susunan warna yang sama dengan mereka
milik pihak lain.8 Dalam hal terdapat dua merek terdaftar yang hampir mirip seperti tersebut di
atas, maka dapat dikatakan bahwa penjelasan pasal 21 ayat 3 tentang pemohon merek
beritikad tidak memberikan kepastian hukum. Salah satu hal yang mungkin menjadi penyebab
dari beredarnya merek lain yang mirip dengan merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu
adalah karena pada tataran teoretis maupun praktis, itikad tidak baik sebagaimana terdapat
dalam pasal 21 ayat (3) merupakan terminologi yang luas, abstrak, dan sulit untuk
didefenisikan9. Oleh karena itu, pandangan hakim dalam putusan pengadilan menjadi sangat
penting untuk memberikan pencerahan yang lebih terang tentang pemohon merek yang
beritikad tidak baik.

B. Analisis atas pandangan hakim terkait pemohon merek beritikad tidak baik dalam
putusan pengadilan.

Dalam amar putusannya , Majelis Hakim Pengadilan Niaga 10 pada Pengadilan Negeri Medan
memutus antara lain sebagai berikut:

a) Menyatakan penggugat sebagai satu-satunya pemilik pertama dan pemegang hak yang
sah atas merek Goat Brand atau Merek Kambing/Cap Kambing untuk merek dadang Lem
Industri untuk jenis barang jasa kelas 1

8
Indriyanto, Agung dan Irnie Mela Yustina, Aspek Hukum Pendaftaran Merek, Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo
Persada, 2017, hlm. 154
9
Ibid, hlm.152.
10
Lih. Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan tanggal 2 Maret 2021, hlm.70
8

b) Menyatakan pendaftaran mereka “2 Kambing” atas nama Tergugat dengan Indonesia


Daftar Merek (IDM) Nomor:1dm00085747 di kelas barang/Jasa:1 dengan tanggal
pendaftara 27 Juli 2015 telah mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
terdapaftar GOAT BRAND atau Merek Kambing milik Penggugat
c) Menyatakan pendaftaran merek “2 Kambing’ atas nama Tergugat dengan Indonesia
Daftar Merek (IDM) Nomor: IDM000485747 di Kelas Barang/Jasa: 1 dengan tanggal
pendaftaran 27 Juli 2015 telah didaftarkan oleh Tergugat atas dasar itikad tidak baik dan
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dinyatakan batal dengan
segala akibat hukumnya.

Berdasarkan amar putusan tersebut di atas, terdapat beberapa hal penting yang dinyatakan
secara tegas oleh Majelis hakim yakni:

Pertama, pernyataan hakim tentang asas pendaftar yang pertama (first to file principle) yang
merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang merek

Kedua, pernyataan hakim bahwa merek tergugat ( 2 KAMBING) memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek penggungat (GOAT BRAND/MEREK KAMBING) sebagai pemegang
merek yang sah berdasarkan sistem first to file.

Ketiga, pernyataan hakim bahwa tergugat adalah pemohon merek yang tidak beritikad baik.
Pernyataan hakim tersebut dipandang sebagai suatu kesimpulan setelah melalui proses
pemeriksaan bukti-bukti di pengadilan dan setelah melalui pertimbangan dari majelis sesuai
dengan kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam pertimbangannya11, pandangan-pandangan majelis hakim dapat diuraikan sebagai


berikut:

a) Asas Pendaftar Yang Pertama (First to file principle)


Dalam pertimbangannya hakim menegaskan tentang sistem pemberian hak kepada
pemohon mereka yang disebut sistem pendaftar yang pertama (first to file system) yang
dianut dalam peraturan perundang-undangan tentang merek yang berlaku saat ini di
11
Lih.Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan tanggal 2 Maret 2021, hlm 64-67
9

Indonesia. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan berpandangan


bahwa pendaftar pertama dianggap mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari
pemilik merek lainnya12. Oleh karena itu, pemilik merek yang mendaftarkan mereknya
pertama kali harus diberikan perlindungan dan kepastian hukum. Merek “Goat Brand/Cap
Kambing” dari penggugat sudah terdaftar sejak 15 Maret 1977 merupakan merek lem yang
memiliki hak untuk dilindungi sebagai satu-satunya yang berhak untuk menggunakan merek
tersebut dalam kelas dan jenis barang/jasa tertentu. Pasal 1 ayat (5) UU No.20/2016
menyatakan “Hak atas Mereka adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri
Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”. Dalam
sengketa merek tersebut di atas, hakim berpandangan bahwa pemegang Merek “GOAT
BRAND” telah dan sedang dalam perlindungan hukum selama 10 tahun dati 28 November
2015 sampai dengan 28 November 2025 sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 35 UU
No.20/2016.
b) Pertimbangan terkait terjadinya itikad tidak baik dari tergugat
1. Hakim berpandangan bahwa tergugat merupakan pemohon yang tidak berititikad baik
karena dapat dibuktikan bahwa terdapat proses hukum sebelumnya yakni pada tahun
2013 dimana penggugat pernah melaporkan tergugat ke polisi karena tergugat
mengedarkan lem merek “2 Kambing” di pasaran yang pada pokoknya sangat
menyerupai merek “Goat Brand/Cap Kambing” yang belum terdaftar sehingga
merugikan penggugat. Dalam prosesnya tergugat mengakui telah melakukan tindak
pidana tersebut dan telah menghentikan produksi lem “2 Kambing” tersebut sehingga
kasus tersebut berakhir dengan perdamaian pada tahun 2014 dimana dalam surat
kesepakatan perdamaian pemilik merek lem “2 Kambing” berjanji akan membatalkan
proses pendaftaran merek tersebut ke DJKI. Namun tergugat tidak melaksanakan
kesepakatan damai tersebut dan justru melanjutkan proses pendaftaran merek “2
Kambing” dan terdaftar pada tanggal 27 Juli 2015.

12
Lih.Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan tanggal 2 Maret 2021, hlm 59
10

2. Hakim berpandangan bahwa terjadinya itikad tidak baik dalam pendaftaran merek “2
Kambing” karena merek “2 Kambing” terbukti memiliki persamaan pada pokoknya
terhadap merek “Goat Brand/Cap Kambing” menyangkut tiga hal pokok sebagai berikut:
a. Kemiripan kombinasi warna, yaitu warna merah dan tulisan yang berwarna putih
b. Kemiripan karakter tulisan yaitu tulisan “Goat” dan “Kambing”
c. Terdapat gambar kambing dan gambar Kepala kambing pada produk tersebut
walaupun bentuk gambar kambing dan kepala kambingnya berbeda tetapi dapat
diasumsikan bahwa di gambar tersebut terdapat niat untuk meniru merek “Goat
Brand/Cap Kambing”

Hakim berpandangan bahwa meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan-perbedaannya


hanya sedikit dan dipandang sebagai strategi untuk menyesatkan masyarakat sehingga
menimbulkan kesan bahwa merek yang “2 Kambing” seolah-olah sama dengan dengan
merek “Goat Brand/Cap Kambing”. Prof.Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya berjudul
“Hukum Merek Indonesia” berpendapat bahwa apabila sesuatu mereka bersangkutan
akan menimbulkan kekeliriuan pada khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang
sejenis, maka dianggap ada persamaan pada pokoknya. Dalam hal ini yang menentukan
apakah ada persamaan pada pokoknya atau tidak adalah sang Hakim13

3. Hakim berpandangan bahwa tergugat memiliki itikad tidak baik dalam menggunakan
mereknya karena dilakukan dengan cara tidak layak dan tidak jujur sebab berusaha
membonceng,meniru atau menjiplak mereka pihak lain, yang telah lebih dahulu
dipergunakan dan didaftarkan oleh penggugat. Tindakan tergugat tersebut dipandang
sebagai suatu tindakan untuk menguntungkan kepentingan usahanya semata yang
dapat membawa kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan
curang,mengecoh atau menyesatkan konsumen.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan

13
Gautama, Sudargo, Hukum Merek Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hlm.84
11

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemohon merek beritikad tidak baik dalam Pasal 77 ayat 2 UU No.20/2016


merupakan salah satu alasan untuk melakukan gugatan ke pengadilan tanpa jangka
waktu. Namun pemohon merek beritikad tidak baik yang disebutkan dalam Pasal 77
ayat 2 dan Pasal 21 ayat 3 serta penjelasan Pasal 21 ayat 3 masih bersifat abstrak
dan luas maknanya sehingga membutuhkan interpretasi pengadilan untuk
memberikan lebih banyak pencerahan tentang definisi dari pemohon merek yang
beritikad tidak baik.
b. Dalam Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya hakim berpandangan bahwa:
 Pemohon merek beritikad tidak baik muncul dari niat untuk melakukan tindakan
yang tidak layak dan tidak jujur untuk meniru merek pihak lain yang telah
terdaftar dan kemudian mendaftarkan merek tersebut sehingga menimbulkan
kerugian pada pemilik merek yang lebih dahulu mendaftarkan mereknya. Oleh
karena itu, pemilik merek yang pertama kali mendaftar (first to file) perlu
diberikan perlindungan hukum.
 Pemohon merek beritikad tidak baik dilihat dari tindakan meniru yang dilakukan
dengan membuat merek yang menyerupai merek pihak lain yang terdaftar yang
memiliki persamaan pada pokoknya.
 Pemohon merek beritikad tidak baik dapat dibuktikan dengan melihat proses
hukum sebelumnya antara pemilik merek yang pertama kali mendaftar dengan
pemilik merek yang berusaha untuk meniru merek yang sudah terdaftar. Dalam
sengketa merek tersebut di atas, terdapat bukti laporan polisi dan surat
perdamaian yang berisi pengakuan dan pernyataan untuk menghentikan
peredaran produk dan tidak melakukan pendaftaran merek karena merugikan
pihak lain yang lebih dahulu terdaftar.
B. Saran
1) Terkait dengan pemilik merek yang beritikad tidak baik, Direktor Jenderal
Kekayaan Intelektual perlu memastikan perlindungan terhadap pendaftar merek
12

pertama kali dengan cara melakukan pemeriksaan substantif dengan lebih teliti
dan dengan mempertimbangkan yurisprudensi sehigga dapat menolak pemohon
merek yang tidak beritikad baik yang dapat dianggap memiliki persamaan pada
pokoknya dengan pemilik merek yang sudah terdaftar.
2) Terkait dengan terminologi “pemohon merek beritikad tidak baik”, yang
dijelaskan dalam penjelasan pasal 21 ayat 3 UU No.20/2016, perlu dilakukan
revisi oleh DPR atau pengaturan yang lebih konkrit sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang beragam dan pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi pendaftar merek pertama kali.

IV. DAFTAR PUSTAKA


 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis
 Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2020/PN Niaga Medan,Tanggal 2 Maret 2021
 Indriyanto, Agung, dan Irnie Mela Yusnita. Aspek Hukum Pendaftaran Merek. Jakarta: PT
Rajagrafindo, 2017
 Jened, Rahmi. Hukum Merek (Trademark Law) dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi.
Jakarta: Kencana, 2015
 Firmansyah, Hery. Perlindungan Hukum Terhadap Merek. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2011
 Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1986

Anda mungkin juga menyukai