Anda di halaman 1dari 5

A.

DEFINISI PERKAWINAN

Dalam KBBI perkawinan berasal dari kata “kawin” yang berarti membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan atau
pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj.
Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan,
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat
kuat (mistaqan ghalidan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
1. Pengertian Perkawinan Menurut Para Ahli
a) H. Mahmud Yunus mengatakan bahwa perkawinan adalah akad antara calon laki-
laki dan istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat
(Triwulan, 2006 : 64).
b) Sayuti Thalib mendefinisikan bahwa perkawinan ialah perjanjian suci membentuk
keluaga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
c) M. Idris Ramulyo mengatakan bahwa perkawinan menurut Islam ialah suatu
perjanjian suci membentuk keluarga yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram bahagia dan kekal
(Triwulan, 2006 : 65).
d) Soetoyo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan
hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan
undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius.
e) Subekti (dalam Pokok-Pokok Hukum Perdata) mengatakan bahwa perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu
yang lama.
f) Kaelany H.D. mengatakan bahwa perkawinan adalah akad antara calon suami-istri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’ah. Dalam akad itu,
kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami istri (Triwulan, 2006 : 66).
Dari sekian banyak defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, perkawinan pada
dasarnya adalah ikatan yang sah antara calon suami-istri untuk menjadi keluarga dan
melanjutkan keturunannya.
2. Perkawinan Menurut Hukum Adat di Indonesia
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi, terjadinya suatu ikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan
keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak,
hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat
kewarisan, kekeluargan, kekerabatan dan ketetanggaan, serta menyangkut upacara-
upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan
larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah)
maupun hubungan manusia sesama manusia dalam pergaulan hidup. Perkawinan
menurut hukum adat juga berarti salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua
mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga mereka masing-masing.
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hukum adat yang berlaku pada masyarakat bersangkutan. Akibat
hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya
hubungan pelamaran yang merupakan rasan sanak (hubungan anak-anak, bujang-gadis)
dan rasan tuha (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah
terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua
(termasuk anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya membina dan memelihara kerukunan,
keutuhan, dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam
perkawinan. Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam
perikatan adat, seperti tentang kedudukan suami dan kedudukan istri, begitu pula
tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus
keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, harta perkawinan, yaitu harta yang timbul
akibat terjadinya perkawinan, tergantung pada sistem kekerabatan, bentuk dan sistem
perkawinan adat setempat (Fakultas Hukum USU: 20).
Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 macam yaitu:
a) Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari
suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut Van Vollenhoven, hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini
pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan
daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat, dan meluas. Sebab, sistem tersebut
di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja.
b) Sistem Eksogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah
dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu dan berputarnya zaman, lambat laun mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah
Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram.
c) Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang
terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu,
nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, maupun saudara bapak atau ibu.
Selain itu, ada juga larangan kawin dengan musyaharah (per-iparan), seperti kawin
dengan ibu tiri, mertua, menantu, maupun anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai
hampir di seluruh masyarakat Indonesia (Soekanto, 1992).
B. PRINSIP UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
maha Esa (Kansil, 2003 : 60-61). Dari Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas dapat
dijelaskan bahwa ikatan lahir batin tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan
batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan
yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain disebut dengan
hubungan formal. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal,
suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Ikatan batin merupakan dasar ikatan lahir yang dapat dijadikan pondasi dalam
membina keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-
undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah


sebagai berikut :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil
dan materiil.
2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu
akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya,
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah
bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas
umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi, wanita.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.

Asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah:


a. Asas sukarela
b. Partisipasi keluarga
c. Perceraian dipersulit
d. Poligami dibatasi secara ketat
e. Kematangan calon mempelai
f. Memperbaiki derajat kaum wanita

Anda mungkin juga menyukai