Anda di halaman 1dari 33

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN

DALAM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN YANG MELANGGAR


UNDANG-UNDANG, AKIBAT HUBUNGAN BADAN TANPA IKATAN
PERKAWINAN DAN PERSELINGKUHAN
Oleh
DRS. ISAK MUNAWAR, MH1

I. PENDAHULUAN.

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan al-
Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah
bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar
mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara
mereka. Yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi
mereka yang mau berfikir 2 . Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para isteri
adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah
pakaian bagi para isteri .3

Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih


yang ditopang saling pengertian di antara suami isteri, karena baik suami atau isteri
menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah yang
sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan. Suasana
kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila
perkawinan dibangun atas dasar pondasi yang kokoh, antara lain antara suami isteri
dapat memposisikan dirinya masing-masing pada posisi yang sebenarnya.
Pentingnya posisi masing-masing suami istri dalam perkawinan sangat selaras
dengan tujuan perkawinan di atas, kehidupan suami isteri yang betul-betul sakinah
dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh
kemesraan, yang pada gilirannya akan melahirkan keturunan sebagai generasi
penerus yang bertaqwa (li al-muttaqina imama) 4.

Perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia diciptakannya di


muka bumi. Al-Jurjani menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan
tujuan untuk memakmurkan bumi, dimana bumi dan segala isinya diciptakan untuk
kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari,
kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian
keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di

1
Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Sumber.
2
Al-Qur’an Surat al-Rum ayat 21 “wa min ayaatihi ‘an khalaqa lakum min anfusikum
azwajaa litaskunuu ilaihaa wa ‘ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan inna fi dzaalika
laaayatin liqaumin yatafakkarun”.
3
Al-Qura’an Surat al-Baqarah ayat 187 “hunna libasun lakum, wa antum libaasun lahunna”
4
Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 74 “walladziina yaquuluna Rabbana hab lana min
azwaajina wadzurriyatina qurrata ‘ayun waj’alna li al-muttaqiina imama”
2

tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara wajar
dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan
mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi 5 . Lebih
lanjut beliau mengatakan kehidupan manusia laki-laki tidak akan selaras, tenang dan
mengasikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Hal itu dapat diwujudkan
jika ada tangan trampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut kaum
perempuan, yang memang secara naluriyah mampu mengelola rumah tangga secara
baik, selaras dan wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi
memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia
yang teratur dan selaras dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami)
melalui perkawinan sangatlah penting.

Muhammad Abu Zahrah6 memaparkan substansi disyari’atkannya perkawinan


dalam Islam, antara lain sebagai beikut:

1. Perkawinan adalah merupakan tonggak kehidupan berkeluarga yang


menghubungkan hak dan kewajiban dengan suatu ikatan akad perkawinan yang
suci, karena perkawinan merupakan salah satu bentuk hubungan kejiwaan
(psikologi) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bertujuan
mengangkat harkat dan martabat manusia dan sekaligus membedakan dengan
hubungan antara dua ekor binatang pejantan dan betina yang didasarkan saling
membutuhkan untuk sekedar menyalurkan hasrat seksualnya saja.
2. Kehidupan berkeluarga merupakan awal berdirinya kehidupan bermasyarakat,
sebab manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin dapat mempertahankan
kehidupannya kecuali dengan cara bermasyarakat, oleh karena itu kehidupan
berkeluarga adalah merupakan tonggak utama untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan adanya ikatan keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dituntut untuk melatih dan
membiasakan menanggalkan segala hal yang akan merusak tatanan kehidupan
bersama dalam keluarga itu dan dengan sendirinya masing-masing pihak suami
istri akan menyadari hak-hak yang harus diterima dan kewajiban-keajiban yang
harus ditunaikan, dan kesadaran ini adalah merupakan norma dasar terbentuknya
kehidupan bermasyarakat secara umum.
3. Perkawinan merupakan salah satu bentuk pemeliharaan terhadap kesempurnaan
kehidupan manusia, sebab hanya dengan cara perkawinan, setiap orang akan
diketahui silsilah keturunannya dari atas sampai kebawah dengan jelas. Silsilah
keturunan sangat berguna untuk menentukan nasab seseorang dengan orang lain,
sehingga dapat diketahui dengan jelas mana orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan nasabiyah dan yang bukan nasabiyah.
4. Perkawinan merupakan kebahagianan yang hakiki bagi seorang laki-laki dan
seorang perempuan secara berimbang. Sebab setiap orang sesuai
karakteristiknya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama membutuhkan
pendamping hidupnya bukan saja untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara
5
Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuhu halaman 102 (Maktabah Misykah
Al-Islam) www.shamile.com
6
Muhammad Ab Zahrah, Al-Ahwaal Al-Syakhshiyah (Bairut: Dar al-Fikr Al-‘Araby, 1957)
halaman 19-22
3

benar, melainkan juga dibutuhkan sebagai teman hidup yang tidak dibatasi
dengan batasan-batasan tertentu.7

Oleh karena itu ikatan nasabiyah dengan ikatan perkawinan adalah merupakan
sebab akibat yang inheren. Artinya dalam hukum Islam menjustifikasikan bahwa
dengan adanya ikatan perkawinan menyebabkan adanya hubungan nasabiyah
sebagai dasar untuk menentukan silsilah keturunan.
Ikatan nasabiyah menentukan status seorang anak yang dilahirkan, sehingga
dengan adanya ikatan tersebut anak memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya
dari kedua orang tua dan keluarganya, baik hak berupa non kebendaan maupun hak
yang berkaitan dengan kebendaan yang oleh hukum wajib dilindungi.
Beberapa tahun belakangan ini, pada masyarakat Indonesia muncul beberapa
persoalan tentang status anak, baik berkaitan dengan anak sebagai akibat
perkawinan sirri, baik yang monogami, poligami, maupun yang berkaitan dengan
anak hasil perzinaan dan atau anak luar kawin. Munculnya persoalan tersebut tidak
terlepas dari pandangan hidup masyarakat yang masih melekat sikap dikotomi
antara hukum agama dan hukum negara, selain itu terjadinya diferensiasi yang tajam
tentang terminologi zina dalam hukum antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
versus Hukum Pidana Islam.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan tema pokok
perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan di
bawah tangan yang melanggar hukum, sebagai akibat hubungan badan tanpa ikatan
perkawinan dan perselingkuhan, sebagai salah satu bentuk sumbangan pemikiran
dalam memecahkan persoalan tersebut di atas.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Dan Klasifikasi Anak.
Terminologi anak dilihat dari segi kelahirannya dalam hukum Islam (fikih),
pada dasarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu al-wiladah al-Syar’iyah, dan al-
wiladah ghair syar’iyah. Selain itu terdapat anak yang dinasabkan melalui istilhaq
au al-iqrar bi al-nasab.
Anak dalam keadaan al-wiladah al-Syar’iyah adalah anak yang dilahirkan
sesuai syari’at, yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat dari ikatan pernikahan
yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan hukum
Islam, dalam terminologi yang lain disebut anak sah, yaitu anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah 8 menurut hukum, atau anak yang

7
Seorang perempuan dalam kehidupannya membutuhkan seorang laki-laki sebagai teman
hidup, demikian pula sebaliknya, pertemanan yang tidak ada batas dalam al-Qur’an disebut dengan
libas sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam Surat Al-baqarah ayat 187 “hunna libaasun lakum
wa antum libaasun lahunna”
8
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan anak yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (b) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
4

dilahirkan sebagai akibat dari akad pernikahan yang menjadi fasid atau sebagai
akibat dari hubungan suami istri yang syubhat.
Anak yang dilahirkan sebagai akibat dari adanya hubungan perkawinan yang
sah (al-zaujiah al-shahihah) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
akan melahirkan adanya hubungan nasab antara laki-laki dan perempuan itu dengan
keturunannya. Oleh karena itu hak yang pertama yang harus diterima seorang anak
yang dilahirkan dari kedua orang tuanya adalah anak berhak mendapatkan hubungan
nasabiyah dengan kedua orang tuanya.
Sedangkan anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat dari adanya hubungan
perkawinan yang sah (al-zaujiah al-shahihah), terdapat beberapa kemungkinan,
yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang batal demi hukum atau
sebagai akibat perkawinan yang fasid, sebagai akibat hubungan badan yang syubhat
dan sebagai akibat hubungan tanpa perkawinan atau perselingkuhan.
Perkawinan yang fasid menurut ulama al-Hanafiyah9 adalah perkawinan yang
tidak memenuhi salah satu syarat-syarat sahnya perkawinan (syarth in’iqad), seperti
perkawinan tanpa saksi, perkawinan yang dibatasi waktu, istri lebih dari empat
orang, melakukan poligami terhadap dua orang perempuan yang bersaudara,
perkawinan dengan seorang perempuan yang masih menjadi istri orang lain, dan
perkawinan yang diharamkan.
Abu Zahrah 10 mengutip pendapat Kamaluddin Ibnu Al-Himam dalam
kitabnya Fath Al-Qadir, beliau menyatakan bahwa akad yang batal dan akad yang
fasid dalam nikah adalah memiliki pengertian yang sama, walaupun terminologi
akad yang batal digunakan untuk pernikahan yang rukunnya rusak, sedangkan
terminologi akad yang fasid digunakan untuk pernikahan yang sifatnya rusak11 akad
pernikahan yang substansinya rusak atau sifatnya rusak, maka akad tersebut fasid,
yaitu pernikahannya menjadi batal demikian pula sebaliknya.
Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak terdapat istilah
fasid nikah, yang ada hanya batalnya perkawinan, yang terdiri dari dua katagori,
yaitu perkawinan yang batal dan perkawinan yang dapat dibatalkan.
Perkawinan yang fasid (rusak), baik fasid sejak semula karena substansinya
rusak, maupun fasid kemudian yang dalam literatur fikih perkawinan tersebut wajib
atau dapat difasakhkan, dan dalam perundangan di Indonesia wajib atau dapat
dibatalkan, setelah terjadi perceraian dengan fasakh atau pembatalan nikah, maka
ulama sepakat tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkannya, artinya
walaupun perkawinan kedua orang suami istri telah dinyatakan batal, tidak berakibat
membatalkan hubungan nasab anak-anak terhadap kedua orang tuanya itu,
ketentuan ini berdasarkan atas mashlahah tentang hifdh al-nasl, yaitu pemenuhan
hak-hak asasi anak dan pemeliharaan terhadap hak-hak tersebut untuk dilindungi

9
Muhammad bin ‘Aly bin Muhammad bin Abdirrahman Al-Haskafy, Al-Dur Al-Mukhtar,
(Mesir: Dar Al-Maktabah tt) Jilid II halaman 181
10
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syahshiyah, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1957) halaman
170
11
Yang dimaksud rusak sifat pernikahan adalah pernikahan tersebut telah terpenuhi rukunnya,
akan tetapi rukun tersebut tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan, misalnya seorang wali tidak
berhak menjadi wali karena tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dan lain
sebagainya.
5

dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. 12 Abu Zahrah menyatakan 13 perkawinan


yang telah dinyatakan fasid tidak berakibat memfasidkan nasab anak yang
dilahirkannya, karena sebelum dinyatakan fasid persetubuhan antara suami istri itu
tidak termasuk perbuatan zina, melainkan termasuk persetubuhan syubhat dan
dengan persetubuhannya itu tidak dapat dijatuhi hukuman had, oleh karena itu anak
yang dilahirkannya tidak termasuk anak zina, melainkan anak yang memiliki
hubungan nasab terhadap kedua orang tuanya.
Anak dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya dalam ikatan perkawinan
yang telah dinyatakan batal atau fasid, harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Seorang laki-laki yang menjadi suami sorang perempuan telah mencapai usia
dewasa dan memiliki kemampuan untuk menghamili istrinya.
2. Telah melakukan persetubuhan secara nyata.
3. Anak yang dilahirkan dalam masa kehamilan lebih dari enam bulan setelah
terjadinya persetubuhan.
Senada dengan doktrin hukum tersebut, Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa putusan pengadilan tentang
pembatalan perkawinan yang didasarkan pada alasan sebagaimana yang dimuat
Pasal 24 sampai Pasal 27 Undang-Undang ini tidak berlaku surut terhadap anak-
anak yang dilahirkannya. Demikian pula senada dengan ketentuan tersebut, Pasal 75
huruf b dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menyatakan putusan Pengadilan
tentang pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dengan demikian pembatalan perkawinan tidak
berakibat memutuskan hubungan hukum anak-anak dengan kedua orang tuanya.
Oleh karena itu ketika perkawinan itu telah ada secara materil dan keabsahannya
diakui oleh negara, meskipun terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dan harus
dinyatakan batal demi hukum atau terjadi pelanggaran terhadap syarat subyektif dan
dapat dibatalkan, tidak mempengaruhi status anak dari anak sah menjadi anak luar
kawin.
Persetubuhan yang syubhat sebagaimana yang dicontohkan Abu Zahrah di
atas salah satunya adalah kedua suami istri melakukan hubungan badan dalam
perkawinan yang diduga sah secara hukum, akan tetapi kemudian ditemukan bukti
kedua suami istri itu memiliki hubungan darah. sebelum perkawinannya itu
dibatalkan pengadilan, maka hubungan badan yang dilakukan mereka bukan zina
dan apabila melahirkan anak, anaknya itu tetap dinasabkan kepada suami istri itu.
Anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan badan tanpa ikatan perkawinan
dalam hukum Islam dibedakan antara anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan
badan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan dan kedua-duanya melajang
baik perawan dengan bujang atau janda dengan duda, dengan anak yang lahir
sebagai akibat dari hubungan badan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan
perkawinan dan salah satunya terikat perkawinan dengan yang lain
(perselingkuhan).

12
Wahbah bin Mushthafa Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr,
T.th) Jilid VI Halaman 686
13
Abu Zahrah, op.cit, Halaman 171
6

Anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan laki-laki dan perempuan
tanpa ikatan perkawinan dan kedua-duanya melajang baik perawan dengan bujang
atau janda dengan duda. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama yang terlihat
kontroversi.

Ibnu Qudamah 14 menyatakan anak hasil zina pada dasarnya dinasabkan


kepada ibunya sebagaimana anak mulaa’inah, sebab kedua-duanya sama terputus
nasab kepada ayahnya, hal ini didasarkan kepada Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallama :

،ً‫ﺮةً أَ ْو أ ََﻣﺔ‬ ‫ﻣ ِﻪ َﻣ ْﻦ َﻛﺎﻧُﻮا ُﺣ‬ُ‫َو ُﻫ َﻮ َوﻟَ ُﺪ ِزﻧَﺎ ِﻷَ ْﻫ ِﻞ أ‬

Artinya “ia adalah anak zina untuk keluarga ibunya baik ia seorang
perempuan merdeka maupun hamba sahaya”15

Sebagaimana juga menasabkan anak dari mula’anah kepada ibunya, Ibnu


Umar Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya menjelaskan:

«ِ‫اﻟﻮﻟَ َﺪ ﺑِﺎﻟ َْﻤ ْﺮأَة‬ ِ ِ ِِ ِ


َ ‫ﻲ‬ ِ‫ﺒ‬‫ن اﻟﻨ‬ َ‫»أ‬
َ ‫ َوأَﻟ‬،‫ﺮ َق ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬ ‫ ﻓَـ َﻔ‬،‫ َﻢ ﻻَ َﻋ َﻦ ﺑَـ ْﻴ َﻦ َر ُﺟ ٍﻞ َو ْاﻣ َﺮأَﺗﻪ ﻓَﺎﻧْـﺘَـ َﻔﻰ ﻣ ْﻦ َوﻟَﺪ َﻫﺎ‬‫ﻰ اﷲُ َﻋﻠَ ْﻴﻪ َو َﺳﻠ‬‫ﺻﻠ‬
َ ‫ْﺤ َﻖ‬

Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara


seorang suami dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya dan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam menceraikan keduanya dan menasabkan anak tersebut
kepada ibunya.”16.
Pandapat mayoritas ini juga berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sebagaimana tersebut di atas:
ِ ِ ِ ‫ اﻟﻮﻟَ ُﺪ ﻟِﻠ ِْﻔﺮ‬،َ‫َﻚ ﻳﺎ َﻋﺒ ُﺪ ﺑﻦ َزﻣﻌﺔ‬
َ ‫اش َوﻟﻠ َْﻌﺎﻫ ِﺮ‬
«‫اﻟﺤ َﺠ ُﺮ‬ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ‫» ُﻫ َﻮ ﻟ‬
Artinya: “dia (anak) yang lahir adalah milikmu wahai ‘Abd bin Zam’ah,
seorang anak pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum”.
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak
tersebut dinasabkan kepada selain suami ibunya. Maka tidak menasabkan anak zina
kepada lelaki pezina adalah ma’na kebalikan hadits ini. Hadits ‘Amri bin Syuaib
dari ayahnya dan dari kakeknya, ia menyatakan :

‫ » َﻻ َد ْﻋ َﻮةَ ﻓِﻲ‬:‫ َﻢ‬‫ﻰ اﷲُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠ‬‫ﺻﻠ‬ ِ ُ ‫ﺎل رﺳ‬ ِ ِ ِ ‫ﻣ ِﻪ ﻓِﻲ اﻟ‬ُ‫ت ﺑِﺄ‬ ِ َ ‫ ﻳﺎ رﺳ‬:‫ﻗَﺎم رﺟﻞ ﻓَـ َﻘﺎ َل‬
َ ‫ﻪ‬‫ﻮل اﻟﻠ‬ ُ َ َ ‫ ﻓَـ َﻘ‬،‫ﺔ‬‫ْﺠﺎﻫﻠﻴ‬
َ َ ‫ن ﻓُ َﻼﻧًﺎ اﺑْﻨِﻲ َﻋ‬ ِ‫ إ‬،‫ﻪ‬‫ﻮل اﻟﻠ‬
ُ ‫ﺎﻫ ْﺮ‬ َُ َ ٌ َُ َ
ِ ‫اش وﻟِﻠْﻌ‬ ِ ‫ اﻟْﻮﻟَ ُﺪ ﻟِﻠ‬،‫ ِﺔ‬‫ﺎﻫﻠِﻴ‬
ِ ‫ َذﻫﺐ أَﻣﺮ اﻟْﺠ‬،‫اﻹﺳ َﻼِم‬
«‫ْﺤ َﺠ ُﺮ‬
َ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ ِ
‫ﺮ‬ ‫ﺎﻫ‬ َ َ َ ِ ‫ﺮ‬ ‫ْﻔ‬ َ َ ُْ َ َ ْ ِْ

14
Abu Hahammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-
Mughni , (Maktabah Al-Qahirah, 1968) , Jilid IX halaman 123
15
Hadis riwayat Abu Dawud, kitab Al-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina Nomor 2266
16
Hadis riwayat Al-Bukhari, Kitab Al-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah, hadis
Nomor 5315
7

Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah! Sungguh si


Fulan ini adalah anak saya, saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’.
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Tidak ada
pengakuan anak dalam Islam, telah hilang sesuatu yang berlaku pada zaman
Jahiliyah. Anak adalah milik pemilik kasur (suami perempuan) dan pezina
dihukum’.”17 Demikian juga dalam hadis Sa’id bin Jubair dan Ibnu Abas, beliau
menyatakan :

‫ﻋﻰ َوﻟَ ًﺪا ِﻣ ْﻦ‬


َ ‫ َوَﻣ ِﻦ اد‬،‫ﺼﺒَﺘِ ِﻪ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ﺎﻋﻰ ﻓِﻲ اﻟ‬
َ ‫ﺔ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻟَﺤ َﻖ ﺑِ َﻌ‬‫ْﺠﺎﻫﻠﻴ‬
َ ِْ ‫ﺎﻋﺎ َة ﻓِﻲ‬
َ ‫ َﻣ ْﻦ َﺳ‬،‫اﻹ ْﺳ َﻼِم‬ َ‫ﺴ‬  ِ  َ ‫ ِﻪ‬‫ﻮل اﻟﻠ‬
َ ‫ » َﻻ ُﻣ‬:‫ﺻﻠﻰ اﷲُ َﻋﻠَ ْﻴﻪ َو َﺳﻠ َﻢ‬ ُ ‫ﺎل َر ُﺳ‬ َ َ‫ﻗ‬
«‫ث‬ ُ ‫ﻮر‬ ُ ‫ﻏَ ْﻴ ِﺮ ِر ْﺷ َﺪةٍ ﻓَ َﻼ ﻳَ ِﺮ‬
َ ُ‫ َوَﻻ ﻳ‬،‫ث‬
Artinya: telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama “Tidak ada
perzinaan dalam Islam, siapa yang berzina di zaman Jahiliyah maka anak yang
lilahirkan adinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang
mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.”18
Ibnu Al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi mula’anah menyatakan:
“Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak, karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak
tersebut dengan nasab ayahnya, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas
ulama. 19 Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat
mayoritas ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi ayahnya karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada
ayahnya”20
Demikian pula menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Rahimahullah menyatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan,
sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada lelaki yang
menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia
tidak memiliki ayah yang syar’i.”21
Menurut Al-Hasan, Ibrahim dan Ibnu Sirrin yang mengutip padangan yang
dinyatakan ‘Urwah, Sulaiman bin Yasar bahwa anak hasil zina nasabnya dapat
dihubungkan kepada laki-laki sebagai pelaku zina, apabila hukuman had dengan
cambuk telah dijatuhkan kepadanya dan anak tersebut berhak mewarisinya atau
setelah laki-laki sebagai pelaku zina memiliki (menikahi) perempuan yang
dizinahinya. Diriwayatkan dari ‘Aly bin Ashim dari Abu Hanifah, beliau

17
Hadis riwayat Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no. 2274
18
Hadis riwayat Abu Dawud Hadis Nomor 2265
19
Lihat Muhammad bin Aby bakar bin Ayub bin Sa’ad Suamsi Al-Din Ibnu Qayyim Al-
Zaujiyah, Zaad al-Ma’ad Fi Huda Khair Al-‘Ibad, (Bairut: Muasssasah Al-Risaalah Maktabah Al-
Manar Al-Islamiyah Al-Kuwait, Ct. 27, 1994) Juz 5 halaman 397 http://www.raqamiya.org. Lihat
Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsimin, Al-syarah Al-Mumthi’ ‘Ala Zad Al-Mustaqni,
(Dar Ibnu Al-Jauzy, 1428 H) Juz 13 halaman 307.
20
Aby Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshary Al-Qurthuby, Al-Jami Liahkam Al-
Qur’an, op.cit. Juz VI halaman 232
21
Lihat Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsimin, Al-syarah Al-Mumthi’ ‘Ala Zad
Al-Mustaqni,ibid. Juz 13 halaman 308.
8

menyatakan menurut pendapat saya tidak ada masalah, apabila seorang laki-laki
menzinahi seorang perempuan yang berakibat perempuan itu hamil, kemudian laki-
laki itu menikahi perempuan yang dalam keadaan hamil, maka anak yang dilahirkan
perempuan itu adalah anaknya. 22

Syaikhu Al-Islam Ibnu Taimiyah setelah memaparkan perbedaan pendapat di


kalangan ulama tentang penasaban anak hasil zina, beliau mengemukakan
argumentasinya bahwa hadis Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana
tersebut di atas yang artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami)
dan pezinanya dihukum.” Nabi shallallahu’alaihi wa sasallama menjadikan anak
tersebut pemilik suami (al-firaasy) tidak kepada pezina. Apabila perempuan itu
tidak bersuami (al-firaasy) maka tidak masuk dalam hadits ini.” 23 demikian pula
sesuai dalil analogy karena ayah biologis adalah salah satu pasangan berzina
tersebut. Anak itu dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab
antara anak tersebut dengan kerabat ibunya, padahal ia berzina dengan lelaki
sebagai ayah biologisnya. Keberadaan anak itu berasal dari sperma dan ovum kedua
pasangan secara bersamaan dan keduanya sepakat anak itu adalah anaknya, lalu apa
yang mencegah penasaban anak tersebut kepada ayah biologisnya. 24
Sedangkan dalam kasus perselingkuhan, hal mana seorang istri yang bersuami
melakukan perselingkuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya, dapat terjadi
dalam dua keadaan
Pertama, suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai
anaknya. maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim
anak itu adalah hasil selingkuh dengannya, hal ini dasarnya adalah sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits A’isyah Radhiallahu’anha:
ِ ِ ِ ‫ اﻟﻮﻟَ ُﺪ ﻟِﻠ ِْﻔﺮ‬،َ‫َﻚ ﻳﺎ ﻋﺒ ُﺪ ﺑﻦ َزﻣﻌﺔ‬
َ ‫اش َوﻟﻠ َْﻌﺎﻫ ِﺮ‬
«‫اﻟﺤ َﺠ ُﺮ‬ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ‫» ُﻫ َﻮ ﻟ‬
Artinya: “dia (anak) yang lahir adalah milikmu wahai ‘Abd bin Zam’ah,
seorang anak bagi pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum”25
Kata al-firaasy disini maksudnya adalah lelaki yang memiliki istri.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau
menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: ُ َ َ ْ ‫ا‬
ِ ‫ ِ َ ِ ِ ا ْ ِ َ ا‬Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)”
26
‫ش‬
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja
seorang wanita telah menjadi firaasy sebagai istri, lalu lahirlah darinya seorang

22
Lihat Abu Muhammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah Al-Muqdasy, Al-Mughny Li-Ibni Qudamah, (Maktabah Al-Qahirah, 1969) Juz VI halaman
345. Pandanagan yang terakhir ini memiliki titik singgung yang sama dengan ketentuan yang dimuat
Pasal 283 KUHPerdata, hal mana anak luar kawin akan menjadi anak sah setelah kedua ayah dan ibu
biologisnya melakukan perkawinan.
23
Syaikh Al-Islam Ibnu Taemiyah Majmu’ Fatawa Juz 32 halaman 112-113 (Maktabah Al-
Syamilah)
24
Ibnu Qayyim Al-Zaujiyah, loc.cit Juz 5 halaman 381(Maktabah Al-Syamilah)
25
Hadis riwayat Al-Bukhari kitab hadis Nomor 6749, lihat Fathul Bary Juz 12 halaman52
26
Hadis riwayat Al-Bukhari dalam kitab al-Faraaid, bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan
kaanat au Amatan, hadis Nomor 6750 lihat Fathul Baari Juz II halaman 32
9

anak, maka anak itu milik pemilik firaasy”27 Beliaupun menambahkan: “Dengan
firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak
juga yang lainnya”28
Kedua, suami mengingkari anak tersebut, maka perempuan ( istri) berada
dalam satu dari dua keadaan, yaitu:
a) Mengakui anak tersebut sebagai hasil selingkuh atau terbukti dengan alat-alat
bukti yang sesuai syari’at, maka perempuan tersebut dihukum dengan rajam dan
anaknya adalah anak hasil zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut
dinasabkan kepada ibunya.
b) Perempuan itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami
istri saling melaknat (mula’anah) lalu perkawinannya dipisahkan untuk selama-
lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak hasil zina. Namun
demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.

Keadaan-keadaan anak dalam berbagai keadaan tersebut, berbeda dengan anak


yang dilahirkan dalam perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri baik dalam
bentuk monogami maupun poligami.
Perkawinan yang tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama maupun di
Catatan Sipil dalam masyarakat Indonesia diistilahkan dengan nikah sirri, padahal
nikah sirri dalam fikih (Hukum Islam) didefinisikan sebagai pernikahan yang tidak
memenuhi rukun nikah, seperti nikah tanpa wali dan nikah tanpa saksi-saksi. 29
Nikah yang tidak tercatat dalam literatur fikih, bukan disebut dengan nikah sirri
melainkan menggunakan istilah nikah al-urf. Sebagaimana definisi yang
dikemukakan ulama Mesir bahwa nikah al-‘urf meliputi pernikahan yang telah
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya suatu pernikahan, akan tetapi tidak
dicatatkan dalam akta nikah, dan pernikahan yang tidak memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat pernikahan, pernikahan dalam hal ini oleh para ulama disebut sebagai
nikah sirri.

Terlepas dari perbedaan penggunaan terminologi, yang dimaksud nikah sirri


dalam terminologi hukum di Indonesia yang telah menjadi istilah umum, digunakan
untuk akad pernikahan yang tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.

Pada pembahasan ini penulis akan mencoba mendiskusikan akibat hukum


nikah sirri atau nikah di bawah tangan terhadap nasab anak yang dilahirkannya.

Persoalan nikah sirri atau nikah yang tidak tercatat, tidak terlepas dari
persoalan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal yang menjadi perdebatan adalah apakah sah atau
tidaknya perkawinan menurut hukum, tergantung pada pemenuhan terhadap
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal tersebut di atas yang berlaku secara

27
Al-Fatawa Al-Sa’diyah (Maktabah Al-Syamilah) halaman 552
28
Al-Fatawa Al-Sa’diyah ibid, halaman 553
29
Lihat Abdul Wahab Khalaf Ilm Ushul Fiqh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1986) halaman 99
10

komulatif, atau sah tidaknya perkawinan hanya tergantung pada pemenuhan ayat (1)
nya saja.

Chatib Rasyid 30 dalam artikelnya memaparkan anak yang lahir di luar


perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut hukum
agamanya dan kepercayaannya itu (sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974), tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku (tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974), singkatnya anak yang lahir di luar perkawinan
adalah anak sah secara materil tapi tidak sah secara formil. Dengan tidak
mengurangi rasa hormat kepada beliau, menurut penulis inti pemikiran beliau ini
secara logis adalah bahwa perkawinan yang sah secara formil adalah perkawinan
yang memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) ketentuan tersebut di atas yang harus
berlaku secara komulatif, dan bersinomin bahwa hubungan suami istri dalam
perkawinan yang tidak dicatat adalah hubungan persetubuhan di luar perkawinan
yang sah, karena perkawinan yang tidak tercatat adalah perkawinan yang sah secara
materil dan tidak sah secara formil dan dengan demikian pula ketentuan pencatatan
perkawinan adalah termasuk syarat sahnya perkawinan secara formil.

Yang menjadi masalah di sini adalah apakah pencatatan perkawinan


menentukan sah atau tidak sahnya perkawinan secara formil dan apakah yang
dimaksud formil disini sebagai terjemahan dari resmi ?

Apabila dilihat secara historis ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974, ketika masih berupa bentuk draf RUU, terdapat dua draf yang hampir
sama antara draf yang disampaikan pemerintah dan draf yang disampaikan ulama,
Pasal 2 RUU ayat (1) versi pemerintah menyatakan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar
pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan
undang-undang ini dan / atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang
melakukan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Draf yang disampaikan ulama menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan
dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dicatatkan dalam daftar pencatat
perkawinan oleh pegawai tersebut dan dilangsungkan menurut undang-undang ini
dan / atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
dalam draf kedua ini hanya menghilangkan kalimat “sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini”. Kedua draf RUU tersebut bermuatan sama, yaitu
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi pencatatan
administrasi negara dan memenuhi ketentuan hukum pihak-pihak yang melakukan
perkawinan, bila salah satunya saja tidak terpenuhi dalam peristiwa perkawinan,
maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Akan tetapi atas prakarsa Menteri
Agama yang pada waktu itu dijabat oleh Prof. Mukti Ali dan Menteri Kehakiman
yang dijabat Prof. Oemar Senoaji, SH, yang memiliki peran penting untuk

30
Lihat Chatib Rasyid, Memahami “Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010, artikel disampaikan pada seminar nasional dengan topik kebijakan
pemerintah jawa tengah terhadap fenomena bersama perkawinan di luar undang-undang perkawinan
pada tanggal 30 April 2012
11

menggulkan RUU ini dengan mengkaji ulang berbagai macam literatur tentang
sahnya suatu perkawinan, yang kemudian menghasilkan ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan
memisahkan antara unsur-unsur yang menentukan sahnya perkawinan dengan
keharusan pencatatan untuk pemenuhan administrasi negara31.

Pencatatan perkawinan bila dihubungkan dengan nilai dasar administrasi


kependudukan berfungsi untuk memenuhi tertib administrasi dengan tujuan
utamanya agar perkawinan tersebut mendapat pengakuan keabsahannya dan
perlindungan dari negara tentang setatus ada dan tidak adanya perkawinan yang
dilakukan32. Apabila hukum administrasi negara menentukan sah atau tidak sahnya
perbuatan hukum seseorang, maka keadaan yang demikian telah menyalahi teori
hukum itu sendiri, misalnya dalam hal jual beli, menurut hukum administrasi negara
perjanjian jual beli harus dimuat dalam akta jual beli yang berfungsi sebagai bukti
bahwa benar jual beli itu ada dan keberadaannya diakui oleh negara, walaupun
demikian pentingnya keberadaan akta jual beli, akan tetapi akta itu tidak dapat
menentukan apakah jual beli itu sah atau tidak sah, sebab yang menentukan sah atau
tidak sahnya jual beli adalah hukum perjanjian jual beli itu sendiri.

Persoalan tentang perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat


Nikah menurut berbagai macam fatwa ulama besar dan fatwa MUI, fatwa ormas
Islam, seperti Nahdlah Al-Ulama, Muhammadiyah, dan lain sebagainya pada
pokoknya dapat disimpulkan mereka sepakat bahwa untuk menilai sah atau tidaknya
peristiwa perkawinan hanya tergantung pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya
rukun-rukun dan syarat-syarat akadnya sebagai arkan al-syar’iy. Sedangkan
pencatatan perkawinan (rasmiyah) adalah sebagai unsur lain (rukn al-tautsiqy) yang
berguna untuk kemaslahatan semua pihak, jaminan ketertiban umum dan sebagai
perlindungan terhadap lembaga perkawinan itu sendiri, dan karena pencatatan
perkawinan termasuk salah satu administrasi negara, maka pencatatan perkawinan
merupakan syarat utama agar adanya perkawinan itu diakui oleh negara. Oleh
karena itu nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak tercatat menurut mereka
selama memenuhi rukun dan syarat perkawinan, maka hukumnya sah dengan segala
konsekuensinya, persetubuhan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
dilakukan dalam ikatan perkawinan yang tidak tercatat, bukan perbuatan yang
diharamkan atau zina, berakibat adanya hak dan kewajiban sebagaimana layaknya
suami istri, demikian pula apabila mereka melahirkan anak, maka anak tersebut
adalah anak sah menurut hukum dan nasabnya dihubungkan terhadap kedua orang
tuanya itu. Doktrin hukum semacam ini nampak jelas sesuai dengan pandangan
hukum yang dimuat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Ketentuan pasal ini adalah ketentuan hukum positif yang secara formal dan tegas

31
Alimudin, SHI artikel Undang-Undang Perkawinan Antara Sejarah dan Agenda, halaman
6-7
32
Klausula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 huruf b. menyatakan bahwa untuk
memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara
Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan
pengaturan tentang Administrasi Kependudukan
12

dinyatakan perkawinan yang sah bagi orang-orang Islam adalah perkawinan yang
dilakukan menurut hukum Islam. Oleh karena itu perkawinan yang demikian
menurut hukum positif adalah sah.33
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggaris bawahi
dengan tegas yang juga merupakan ketentuan hukum positif bahwa pencatatan
perkawinan tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya perkawinan,
melainkan agar keberadaan perkawinan yang telah sah itu diakui oleh negara, maka
Pegawai Pecatat Nikah yang ditugaskan oleh negara diharuskan melihat peristiwa
perkawinan itu dan kemudian mencatatnya dalam akta nikah yang akan dijadikan
sebagai dekumen resmi negara.34

Pencacatan perkawinan dalam pandangan ulama sebagaimana menurut fatwa


Guru Besar Universitas Kairo Mesir, demikian pula menurut Ulama Besar Wahbah
Al-Zuhaily adalah suatu cara yang sangat penting dan harus dilakukan setiap
muslim yang melaksanakan perkawinan, senada dengan fatwa MUI 35 dan fatwa
Muhammadiyah yang mewajibkan bagi warganya untuk mencatatkan perkawinan
yang dilakukannya36.

Dengan demikian sesuai dengan pandangan hukum di atas, maka anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan adalah anak yang
dilahirkan dalam perkawinan yang sah menurut hukum, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

33
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 34 (1) Perkawinan yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. (2)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (3) Kutipan Akta Perkawinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri. (4) Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang beragama Islam kepada
KUAKec. (5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam
Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
Ketentuan ini menunjukan sesuai Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilakukan sesuai hukum masing-masing
agamanya, perkawinan yang sah tersebut wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana,
untuk orang-orang beragama Islam adalah kepada KUA Kecamatan setempat Berdasarkan laporan
tersebut Pegawai Pencatat Nikah mencatat perkawinan tersebut pada Register Akta Perkawinan dan
menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Oleh karena itu pencatatan perkawinan terpisah dari
peristiwa sah atau tidak sahnya perkawinan.
34
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan Akta Perkawinan
dibuat rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada
Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Ketentuan ini sebagai
jaminan terhadap keamanan dan keabadian dan keaslian akta perkawinan, dan setelah akta
perkawinan diarsipkan dalam arsip Kantor Urusan Agama dan Kantor Pengadilan Agama, maka akta
perkawinan tersebut resmi menjadi dekumentasi negara.
35
Lihat fatwa MUI bulan Mei 2006 tentang Pernikahan Di Bawah Tangan.
36
Tarjih.muhammadiyah.or.id/download-fatwa 13 Hukum Nikah Sirri.pdf
13

sah.37 Akan tetapi keberadaan anak tersebut tidak diakui oleh negara sebagai anak
dari kedua orang tuanya itu, karena status perkawinan orang tuanya tidak diakui
oleh negara. Dan dalam hal inilah pernikahan di bawah tangan akan menimbulkan
adanya persoalan besar, rumit dan sulit menemukan solusi terbaik untuk melindungi
hak-hak anak yang dilahirkannya, sebab bukan hal yang mustahil secara tidak
disengaja dengan cara perkawinan yang demikian itu akan menelantarkan anak-
anaknya.

Terdapat beberapa kasus yang berhubungan dengan hak anak yang lahir dalam
perkawinan di bawah tangan dengan tingkat kesulitan yang bertahap adalah sebagai
berikut :

Kasus pertama, misalnya A seorang laki-laki menikah dengan B seorang


perempuan secara dibawah tangan, setelah A dan B menjadi suami istri lahirlah dua
anak perempuan dan laki-laki bernama C dan D, sepuluh tahun kemudian B
meninggal dunia, dan A menikah lagi secara resmi dengan seorang perempuan
bernama E, sedangkan C dan D tidak ikut bersama A sebagai ayahnya melainkan
tinggal dan kehidupannya dibiayai oleh saudara ibunya, setelah A dan E sebagai
suami istri lahirlah dua orang anak laki-laki bernama F dan G dan lima belas tahun
kemudian A meninggal dunia. Dalam kasus ini yang menjadi masalah siapakah
yang menjadi ahli waris A. Kasus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

B A E

C D F G

Apabila E, F dan G mengetahui dan tidak pempersoalkan serta mengakui


kebenaran bahwa C dan D adalah sebagai anak A dari istrinya yang telah meninggal
dunia lebih dahulu yaitu B, maka ahli waris A adalah E, F, G, C dan D, akan tetapi
apabila E, F dan G tidak mengetahui atau tidak mengakui C dan D sebagai anak A
dari B, maka C dan D untuk mendapatkan harta warisan dari A, harus membuktikan
adanya hubungan nasab dengan A, dimana sebelum C dan D mengajukan gugatan
waris ke pengadilan C dan D harus mengajukan permohonan isbat nikah A dengan
B dengan melibatkan F dan G sebagai termohon. Setelah pengadilan menetapkan A
dan B sebagai suami istri yang sah dan dari perkawinan tersebut lahir dua anak yang

37
Ketentuan yang dimuat pasal tersebut senada dengan yang dicantumkan dalam Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :

1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.


2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
14

sah, yaitu C dan D, maka C dan D secara hukum sebagai ahli waris dari A dan hak
kewarisanya tidak tergantung pada ada atau tidak adanya pengakuan dari F dan G.

Kasus kedua, misalnya A seorang laki-laki menikah dengan B seorang


perempuan secara resmi dan memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, setelah A dan B
menjadi suami istri lahirlah dua anak perempuan dan laki-laki bernama C dan D,
sepuluh tahun kemudian A menikah lagi dengan E secara di bawah tangan tanpa
sepengetahuan dan tanpa seizin B serta tanpa seizin pengadilan, dari pernikahan A
dengan E lahirlah tiga orang anak dua orang anak laki-laki yaitu F dan G dan satu
orang anak perempuan yaitu H, lima belas tahun kemudian A meninggal. Dalam
kasus ini yang menjadi masalah siapakah yang menjadi ahli waris A. Kasus tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :

B A E

C D F G H

Dalam kasus ini B sebagai istri pertama A bersama anak-anaknya, yaitu C dan
D mengakui dan menyetujui E sebagai istri kedua A dan mengakui F, G dan H
sebagai anak-anak A juga, maka ahli waris A adalah dua orang istri yaitu B dan E,
lima orang anak yaitu C, D, F, G dan H, akan tetapi apabila B, C dan D
mengingkari atau tidak mau mengakui E, F, G dan H sebagai istri kedua A beserta
tiga orang anaknya, maka mereka belum dapat ditampilkan sebagai ahli waris dari A
sebelum dapat membuktikan dirinya adanya hubungan kewarisan, E harus
membuktikan adanya keterkaitan perkawinan dengan A, demikian pula F, G dan H
harus membuktikan adanya hubungan nasab dengan A.

Perkawinan antara A dengan E adalah perkawinan poligami di bawah tangan,


karena perkawinan ini tidak memenuhi prosudur undang-undang, yaitu perkawinan
poligami yang tidak mendapatkan izin Pengadilan Agama.

Prosudur poligami menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia


sebagaimana Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
Pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, Pasal 4 ayat (1)
menyatakan dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dan ayat (2) pasal ini
menyatakan Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila :

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.


15

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Demikian ketatnya pengaturan berpoligami di Indonesia, sehingga seorang


yang akan berpoligami hanya dapat terlaksana apabila telah mendapatkan izin dari
pengadilan, berpoligami tanpa izin pengadilan termasuk perkawinan yang
melanggar undang-undang, hal ini dapat dipahami dari ketentuan Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini, demikian pula Pasal
20 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan Pegawai pencatat
perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 17
ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan. Karena poligami tanpa izin pengadilan termasuk
perkawinan yang melanggar undang-undang, maka perkawinan tersebut adalah
perkawinan yang dilarang atau tidak diperbolehkan untuk dilangsungkan. Terhadap
perkawinan yang melanggar undang-undang tersebut, menurut ketentuan Pasal 56
ayat (3) Kompilasi Hukum Islam tidak sampai mengakibatkan perkawinan itu tidak
sah menurut hukum, akan tetapi perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum, artinya karena perkawinan tersebut melanggar hukum, maka hukum tidak
dapat melindungi eksistensi perkawinan tersebut.

Demikian pula kasus-kasus permohonan izin poligami yang dapat diizinkan


oleh pengadilan hanya terbatas tiga hal secara alternatif yang dimuat pada ketentuan
Pasal 4 ayat (2) sebagaimana tersebut di atas, yaitu dalam kasus istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri atau istri mendapat cacat badan yang
permanent atau istri tidak dapat melahirkan keturunan. Memahami dari kata “hanya
memberikan izin” pada pasal ini, maka pengadilan dilarang memberi izin kepada
suami untuk beristri lebih seorang dengan alasan selain ketiga keadaan tersebut,
apabila pengadilan tetap memutuskan untuk memberi izin kepada suami tersebut,
maka putusan yang demikian adalah putusan yang melanggar undang-undang.

Pada kasus tersebut di atas, ikatan perkawinan antara A dengan E sejak awal
adalah merupakan perkawinan yang melangggar undang-undang yang eksisitensinya
tidak memiliki kekuatan hukum apapun, oleh karena itu perkawinan yang demikian
sulit untuk dibuktikan keberadaannya, berbeda dengan perkawinan monogami di
bawah tangan, selama perkawinan itu memenuhi ketentuan rukun dan syarat
perkawinan, maka untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan dapat dicatatkan
dalam register akta nikah, maka perkawinan tersebut terlebih dahulu diisbatkan oleh
Pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, akan
tetapi terhadap perkawinan poligami di bawah tangan, karena sejak awal
perkawinan tersebut terdapat larangan atau halangan undang-undang, maka sesuai
Pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam, perkawinan poligami tersebut
tidak dapat diisbatkan oleh pengadilan.
16

Demikian pula akibat perkawinan tersebut terhadap anak-anak yang


dilahirkannya, karena perkawinannya tidak dapat dibuktikan keberadaannya, maka
nasab anak-anak juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya sesuai hukum.

Untuk melindungi hak-hak anak dalam hal ini Chatib Rasyid38 memberikan
solusi sebagai langkah terobosan hukum yang dapat ditempuh melalui dua jalan,
yaitu pertama isbat poligami dengan berpedoman pada ketentuan umum Pasal 28-B
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999, Pasal 42 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, dengan
mengakomodasi putusan MK perlu penambahan satu huruf pada ayat (3) huruf f
yaitu untuk keperluan pengesahan anak yang berlaku baik terhadap perkawinan
monogami maupun poligami di bawah tangan, pedoman khusus bagi isbat poligami
adalah Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal
40 sampai dengan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Kedua
sesuai penjelasan angka 37 Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, angka 14 tentang putusan sah atau
tidaknya anak dan angka 20 tentang penetapan asal usul anak. Untuk pengesahan
anak diperlukan bukti perkawinan dan pengakuan dari ayah biologisnya.
Langkah terobosan hukum yang disodorkan Chatib Rasyid tersebut dalam hal
isbat poligami, mengandung resiko besar sebab sebagaimana dipaparkan di atas
poligami di bawah tangan termasuk perbuatan yang dilarang dan melanggar undang-
undang, sebagaimana pemahaman penulis terhadap ketentuan Pasal 9 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, demikian pula ketentuan Pasal 7 ayat (3)
huruf e Kompilasi Hukum Islam, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomo 1
Tahun 1974, halangan dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diartikan larangan
undang-undang, yaitu perkawinan yang tidak dapat dilakukan karena suatu keadaan
yang ditentukan undang-undang, yang salah satunya adalah sesuai ketetuan Pasal 9
dan Pasal 20 tersebut, apabila tetap dipaksakan berakibat putusan atau penetapan
hakim akan mengakui adanya perbuatan yang dilarang undang-undang. Kebebasan
hakim untuk memutuskan perkara sesuai ijtihadnya menurut penulis terbatas pada
tidak melarang perbuatan yang harus dilakukan menurut undang-undang dan tidak
melegalkan perbuatan yang dilarang undang-undang, misalnya dalam hal anak yang
lahir setelah jatuh talak ba’in dalam masa iddah dan mantan suami dari mantan istri
itu mengingkari anak tersebut, dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk
berijtihad dengan mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan. Demikian
pula dalam pengesahan anak, karena dalam pengesahan anak ini diperlukan bukti
perkawinan orang tuanya baik akta perkawinan maupun penetapan pengadilan.
Untuk perkawinan poligami di bawah tangan tidak mungkin adanya akta
perkawinan, karena sesuai ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974
dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah
dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan dan dilarang
untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Demikian juga penetapan pengadilan

38
Chatib Rasyid, op.cit, halaman 4-12
17

secara logis, karena perkawinan tersebut dilarang untuk dicatatkan sebagai


pengakuan negara terhadap eksistensi perkawinan itu, kemudian melalui
penetapannya atau putusannya pengadilan akan melegalisasi atau mengakui
keabsahannya, persoalan ini seharusnya dapat dijawab oleh nurani seorang hakim
sebagai penegak hukum.

Eksistensi anak dalam hukum Islam walaupun anak hasil zina atau anak
yang orang tuanya tidak diketahui sekalipun, hukumnya tetap sebagai anak yang
harus diperlakukan sebagaimana anak yang lainnya. Anak yang dilahirkan dalam
hukum Islam hanya dibedakan dengan al-walad ‘an thariq al-ziwaj al-shahih au al-
walad yuladu ‘an wilaadah al-syar’iyah yang artinya anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah menurut hukum atau yang dilahirkan sesuai yang disyariatkan
dan al-walad ‘an thariq al-zina au al-walad yuladu ‘an wiladah ghair al-syar’iyah
artinya anak yang dilahirkan dari perbuatan zina atau yang dilahirkan selain yang
disyari’atkan atau dalam istilah Sayyid Abdullah ‘Aly Husain disebut dengan al-
bunuwwah al-thabai’iyah 39 . Perbedaan yang menyebabkan kelahiran anak, tidak
berakibat anak itu menjadi anak sah atau anak tidak sah, melainkan berakibat
terhadap nasab anak tersebut, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang
sah, nasabnya dihubungkan terhadap kedua orang tuanya, ibu dan ayahnya serta
keluarga kedua belah pihak secara bersamaan, sedangkan anak yang dilahirkan
sebagai akibat dari perbuatan zina atau persetubuhan di luar ikatan perkawinan,
nasabnya hanya dihubungkan terhadap ibu dan keluarga ibunya saja sesuai
pandangan mayoritas ulama.
Kategorisasi anak dalam dua sisi yang berbeda menjadi anak sah dan anak
luar kawin, hal itu diterminologikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Senada dengan Pasal ini, Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang
sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.

Pendefinisian anak yang sah dalam ketentuan hukum tersebut menimbulkan


kegelisahan dan keberatan di kalangan ahli hukum Islam Indonesia. Salah satunya
adalah yang dikemukakan DR. H. Ahmad Rofiq, MA, bahwa formulasi pasal
tentang anak sah akan membawa implikasi ganda, lebih cenderung berat sebelah dan
lebih besar dampak negatifnya. Definisi anak sah dalam rumusan hukum yang
tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan
mengandung pengertian bahwa seorang anak yang lahir dapat dikatakan sah apabila
(1) lahir “dalam” perkawinan sah; atau (2) lahir sebagai “akibat” perkawinan sah.

39
Sayyid Abdullah ‘Aly Husain, Al-Muqaranah al-Tasyri’iyah Baina Al-Qawanin Al-
Wadl’iyah Al-Madaniyah wa Al-Tasyri’ Al-Islamy, (Mesir: Dar Ahyaa’ Al-Kutub Al-‘Araby, 1947),
Juz II halaman 214
18

Pada point pertama mengandung dua kemungkinan, Pertama, setelah terjadi akad
perkawinan, istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah, istri
telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. Pada
kemungkinan kedua, mengandung unsur penyelewengan terhadap konsep nasab
yang telah ditetapkan dalam Islam. Terlebih dalam pasal lain disebutkan mengenai
kawin hamil, yaitu Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam, yang dianggap sebagai pasal
pengabsahan anak. Kegelisahan para ahli hukum Islam Indonesia, sebenarnya telah
terjawab dengan tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain, apabila DPR segera
mensahkan RUU HMPA.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pada ketentuan ini digunakan redaksi anak yang lahir di luar perkawinan
sebagai kebalikan dari anak yang sah. Apa yang dimaksud dengan “luar
perkawinan” dalam ketentuan pasal tersebut ?.
Pengertian “luar kawin” setelah substansi Pasal 43 ayat (1) ini direkontruksi
ulang oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai putusan Nomor 46/PUU-
VIII/2010, maka yang dimaksud dengan “luar kawin” menjadi kabur, sebab
sebagaimana dalam putusan MK yang mereview ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berkenaan dengan permohonan yang
diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar tentang status anaknya yang bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono. Muhammad Iqbal Ramadhan dalam
kasus posisinya dinyatakan sebagai anak Moerdiono dari istrinya Hj. Aisyah
Mokhtar yang dinikahinya sekitar tahun 1993 dengan cara poligami secara di bawah
tangan, kemudian oleh MK dalam putusannya Muhammad Iqbal Ramadhan
dimasukan dalam ruang lingkup sebagai anak luar perkawinan, maka anak luar
kawin diartikan sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan
poligami di bawah tangan.
Senada dengan putusan MK, Chatib Rasyid berpendapat 40 sebagaimana
tersebut di atas dalam artikelnya memaparkan anak yang lahir di luar perkawinan
adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya itu (sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974), tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974), singkatnya anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak sah secara
materil tapi tidak sah secara formil.
Untuk memperoleh pengertian “anak lahir luar kawin” yang lebih
komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka perlu
penelusuran historis ketika Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk draf RUU.
Alimuddin41 mengutif pemaparan Amak FZ dalam bukunya Proses Undang-Undang
Perkawinan bahwa khusus mengenai ketentuan anak yang lahir di luar perkawinan
terdapat dua bentuk draf RUU yang berbeda, yang pertama adalah bentuk draf versi
pemerintah, yaitu Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, ayat (2) anak yang

40
Chatib Rasyid, op.cit, halaman 4
41
Alimuddin, loc.cit, halaman 7
19

dimaksud dalam ayat (1) dapat diakui oleh ayahnya, ayat (3) anak yang dimaksud
ayat (2) dapat disahkan dengan perkawinan. Sedangkan bentuk draf versi ulama
Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan setelah menjadi
undang-undang pasalnya menjadi Pasal 43 ayat (1) dengan mengakomodir kedua
draf tersebut yang substansinya memiliki kesamaan dengan penambahan “dan
keluarga ibunya”.
Dalam kedua bentuk draf RUU ini tidak diketahui dengan jelas apa yang
dimaksud di luar perkawinan, akan tetapi sesuai bentuk draf RUU versi pemerintah
pada Pasal 49 RUU ayat (3) menyatakan anak yang dimaksud ayat (2) dapat
disahkan dengan perkawinan, ayat ini menunjukan bahwa anak yang dilahirkan di
luar perkawinan dapat disahkan dengan perkawinan laki-laki dan perempuan yang
menyebabkan kelahirannya. Oleh karena itu ayat ini hanya dapat dipahami anak
yang dilahirkan diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan yang belum ada ikatan perkawinan secara nyata dengan seorang laki-laki
yang menghamilinya, dan status anak itu dapat menjadi anak sah setelah perempuan
dan laki-laki itu melakukan perkawinan.
Beberapa kalangan ahli hukum menyatakan bahwa formulasi pasal tentang
anak, baik dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terlihat
sangat dipengaruhi oleh hukum adat disamping hukum Belanda sebagaimana yang
termaktub dalam Burgerllijk Wetboek (BW) Pasal 250 KUH Perdata Bab XII, yang
mengatakan “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh
suami sebagai ayahnya”. Berkenaan dengan pasal ini, HFA Vollmar, menyatakan
anak sah ialah anak yang dilahirkan atau dibenihkan di dalam perkawinan
(meskipun hal itu berlangsung dalam waktu yang terlalu amat pendek sesudah
prkawinan dilangsungkan). 42 Demikian pula pengambilalihan istilah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang dipergunakan untuk anak yang dilahirkan
sebelum adanya perkawinan, berasal dari ketentuan Pasal 283 KUHPerdata.
Sesuai Pasal 272 sampai dengan Pasal 274, Pasal 280 sampai dengan Pasal
283 KUHPerdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan diklasifikasikan menjadi
tiga bagian, yaitu: (1) anak alam, yaitu pelaku zina sama-sama belum menikah dan
tidak ada larangan untuk menikah. (2) anak zina, yaitu pelaku zina yang salah
satunya sedang dalam ikatan perkawinan. (3) anak sumbang, yaitu pelaku zina
masih ada hubungan darah sehingga dilarang untuk menikah. Anak yang pertama
dapat disahkan melalui perkawinan kedua orang tuanya. Sedangkan anak zina dan
anak sumbang tidak memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya.
Indah Setia Rini 43 menyimpulkan bahwa hubungan antara Pasal 273, 280
dan 283 KUHPerdata melahirkan definisi anak yang lahir di luar perkawinan terbagi
kepada dua bagian, yaitu anak luar kawin dalam arti luas dan anak luar kawin dalam
arti sempit. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak-anak yang dilahirkan
sebagai akibat hubungan badan (persetubuhan) luar nikah (tidak ada nikah) antara

42
Lihat HVA Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS Adiwinarta, (Jakarta: Raja
Grafindo, 1996), 21.
43
Indah Setia Rini, Tesis yang berjudul “PELAKSANAAN PENGESAHAN ANAK LUAR
KAWIN MENURUT KUHPERDATA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 (Study Kasus Terhadap Perkara Nomor 74/Pdt.P/2005/PN.TNG) Tahun 2009, halaman
iv
20

seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang salah satunya terikat perkawinan
dengan orang lain (anak zina) dan anak-anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan badan (persetubuhan) luar nikah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang terdapat larangan undang-undang untuk kawin (anak sumbang) dan
anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak-anak yang dilahirkan sebagai akibat
persetubuhan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki di luar perkawinan
(tidak ada ikatan perkawinan), kedua pihak tidak terkait ikatan perkawinan dengan
orang lain dan perempuan dengan laki-laki itu tidak ada larangan untuk kawin.
Substansi persoalan anak dalam undang-undang perkawinan sebagaimana
yang dimuat dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dimunculkan kembali dengan menggunakan bahasa yang lugas, sebagaimana
dimuat dalam RUU HMPA Pasal 94 dan Pasal 95.

Pasal 94 RUU menyebutkan:


(1) Anak sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.
(2) Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami istri yang sah diuar cara alami
dan dilahirkan oleh istri tersebut adalah anak sah.

Pasal 95 RUU menyebutkan anak yang lahir akibat perzinaan dan / atau di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Peristiwa perkawinan adalah merupakan bagian dari lembaga hukum
keperdataan yang keberadaannya sebagai salah satu bentuk pranata sosial dalam
masyarakat, lembaga perkawinan bagaikan sebuah lingkaran yang didalamnya
terdapat anggota keluarga suami, istri dan anak-anak, seluruh anggota keluarga yang
berada di dalamnya terikat, diakibatkan adanya ikatan perkawinan yang sah, bila
suami istri itu sebelum adanya ikatan perkawinan telah melahirkan anak, maka anak
tersebut tidak berada dalam lingkaran hubungan perkawinan ini, ia hanya terikat
nasab dengan ibunya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

A B B’ A’

C D E

Keterangan gambar:
1. A’, B’, D dan E adalah orang-orang yang terikat dalam ikatan perkawinan yang
sah.
2. A, B dan C adalah orang-orang yang berada di luar ikatan pernikahan.
3. A dan B berpacaran dan sebelum menikah melakukan persetubuhan (perzinaan).
4. Akibat persetubuhan tersebut B hamil dan melahirkan anak C.
21

5. Kemudian A dan B menikah dan setelah menjadi suami istri lahir dua orang
anak, yaitu D dan E.
6. Karena C lahir diluar ikatan perkawinan, maka C hanya memiliki hubungan
nasab dengan B sebagai ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki hubungan
nasab dengan A (ayah biologisnya) demikian pula tidak ada hubungan nasab
dengan D dan E walaupun memiliki hubungan darah yang sama.
7. Apabila C anak perempuan, maka wali nikah C bukan A’ melainkan wali hakim.

Dari penelusuran historis tersebut penulis berkesimpulan bahwa yang


dimaksud anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir sebelum
adanya ikatan perkawinan atau sebagai akibat perbuatan perzinaan. Oleh karena itu
kesimpulan ini berbeda dengan yang disimpulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan
Chatib Rasyid sebagaimana tersebut di atas.
Persoalan menjadi bertambah kompleks seiring dengan realitas zaman yang
terus berubah. Arus globalisasi pada berbagai aspek kehidupan manusia telah
membuka sekat-sekat budaya masyarakat dunia antar satu dengan lainnya.
Kemajuan teknologi dan kebebasan informasi membawa implikasi, baik positif
maupun negatif. Secara umum, positifnya adalah sebagai alat atau sarana untuk
mempermudah manusia dalam mencapai berbagai tujuan hidup. Sedangkan
negatifnya adalah semakin melonggarnya batasan moral yang selama ini menjadi
pegangan masyarakat sehingga semakin terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan itu
sendiri.
Kaitannya dengan permasalahan di atas, hubungan seksual pra-nikah dan
perselingkuhan, sebagaimana dikatakan Rofiq, menjadi “kebiasaan salah” yang
dianggap “biasa”. Dampak lebih jauh dari perbuatan tersebut adalah lahirnya anak
luar nikah. Kehadiran anak yang tidak diinginkan ini memunculkan fakta sosial lain
yang lebih mengenaskan; kasus pembuangan dan penelantaran anak atau bayi sering
ditemukan di pemberitaan media, cetak maupun elektronik.
Persoalan lain yang muncul adalah implikasi hukum dan sosial yang melekat
pada anak tersebut. Anak-anak hasil hubungan yang tidak sah seringkali turut
menanggung akibat dari perbuatan kedua orang tuanya. Pelabelan negatif dan
diskriminatif, seperti sebutan ”anak haram”, ”anak jadah”, ”anak zina”, ”anak tidak
sah”, ”anak semak-semak”, dan lain-lain seringkali melekat pada dirinya.
Oleh karena itu akibat hukum perbuatan zina atau hubungan badan di luar
perkawinan dengan berbagai bentuknya berimplikasi negatif yang besar terhadap
keberadaan anak yang dilahirkannya termasuk dalam penasaban dan segala
konsekuensinya.
Dalam klausula pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak huruf a dan b menyatakan “bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia, bahwa anak
adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”. Untuk mewujudkan perlindungan
tersebut sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Nomor 23 Tahun 2002 setiap anak berhak
22

untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Dengan demikian kaitannya dengan hubungan darah antara anak dengan orang
tuannya juga perlu dilindungi oleh hukum baik ada atau tidak adanya ikatan
perkawinan antara ayah dan ibunya.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perkawinan Di Bawah
Tangan, Tanpa Perkawinan Dan Perselingkuhan.

Berbagai macam masalah anak yang ditemukan dalam masyarakat sebagai


akibat perbuatan orang tuanya yang tidak taat hukum, tidak taat norma agama yang
dianutnya atau paling tidak, tidak mengindahkan tata kesusilaan dalam masyarakat,
berkaitan langsung dengan status anak yang menjadi identitas penting dan
mendasar. Oleh karena itu setiap anak dalam kondisi apapun secara logis tidak dapat
dibebani akibat hukum apapun karena kesalahan orang-orang yang menyebabkan ia
lahir ke alam dunia ini. Melainkan hukum wajib melindungi setiap anak yang
dilahirkan. Diantara perlindungan hukum terhadap anak-anak yang demikian adalah
:
1. Isbat nikah dalam perkawinan monogami di bawah tangan.
Perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri sebagaimana dipaparkan di atas,
tidak berakibat perkawinannya itu menjadi tidak sah menurut hukum, selama
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo,
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Hubungan badan dalam perkawinan yang
demikian bukanlah perbuatan zina dan anak yang dilahirkannya bukanlah anak luar
kawin atau anak zina. Hanya saja perkawinan yang demikian tidak memiliki
kekuatan hukum karena keabsahannya tidak diakui oleh negara demikian pula
segala konsekuensinya termasuk status anak yang dilahirkannya. Untuk
memecahkan persoalan yang demikian hukum memberikan solusi, sebagaimana
penjelasan Pasal 49 angka 22 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Jo. Pasal 7
Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
hal yang berkenaan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b) Hilangnya Akta Nikah;
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan;
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan oleh pencatat nikah, sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan
23

dengan akta nikah, agar keabsahannya itu diakui oleh negara dapat diajukan
permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama sepanjang perkawinannya itu
memenuhi ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan tidak terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Halangan perkawinan
dimaksud adalah perkawinan yang dilarang undang-undang sebagaimana ketentuan
pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang tidak dapat
dilakukan sesuai ketentuan Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan perkawinan yang dilarang ketentuan Pasal 39 sampai dengan Pasal
43 Kompilasi Hukum Islam.
Apabila perkawinan tersebut terbukti keabsahannya dalam persidangan
memenuhi ketentuan yang berlaku dan tidak terdapat halangan atau larangan hukum
atau perkawinan tersebut dapat dilakukan, maka sesuai penjelasan Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 angka 22 yang menyatakan “pernyataan tentang
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain”, pengadilan akan
menjatuhkan penetapan atau putusan dengan diktum bersifat diclaratoir
“Menyatakan sah perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II yang dilaksanakan
pada hari ...... tanggal ......, di wilayah hukum Kantor Urusan Agama Kecamatan
........
Setelah adanya penetapan isbat nikah yang dijatuhkan pengadilan, maka
perkawinan yang dilakukan secara sirri tersebut, memiliki kekuatan hukum, karena
telah memiliki alat bukti otentik berupa penetapan atau putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti otentik yang lain.
Dengan adanya penetapan atau putusan isbat nikah, bukan hanya dapat
membuktikan kebenaran perkawinan yang telah dilaksanakan, melainkan juga
berakibat langsung terhadap anak-anak yang dilahirkannya yang semula status
nasabnya tidak jelas, menjadi secara serta merta sebagai anak yang memenuhi
ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sebaliknya ketika terjadi perkawinan di bawah tangan secara monogami
ternyata terbukti terdapat halangan dan atau larangan hukum. Misalnya yang
menjadi walinya orang yang tidak memiliki kapasitas sebagai wali, saksinya hanya
seorang diri, ternyata suami istri itu terikat hubungan darah yang dilarang untuk
melakukan perkawinan, perempuan yang dikawin masih terikat masa iddah dari
suaminya dan lain sebagainya, maka perkawinan di bawah tangan yang demikian
tidak dapat diisbatkan. Maka konsekuensinya terhadap anak yang dilahirkan tidak
dapat dilindungi oleh hukum. Hanya ada satu solusi hukum terbaik bagi kepentingan
dan perlindungan anak, yaitu dengan mengajukan permohonan asal usul anak
sebagaimana akan dibahas pada point berikutnya.
2. Isbat nikah dalam perkawinan poligami di bawah tangan.

Berbeda dengan perkawinan di bawah tangan secara monogami, perkawinan


poligami secara di bawah tangan nampaknya lebih rumit dan sulit menemukan
solusi hukumnya. Karena ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia tentang
poligami terlihat sangat ketat dan selektif. Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1)
24

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum


Islam, seorang yang akan melakukan poligami hukumnya wajib, tidak boleh tidak
atau suatu kemestian terlebih dahulu mendapatkan izin dari pengadilan. Bila seorang
berpoligami tanpa izin pengadilan, maka secara hukum ia tidak melakukan yang
diwajibkan hukum dan poligami yang demikian sesuai ketentuan Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah poligami yang tidak dapat dilakukan.
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
“Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-
undang ini”. Ketentuan pasal ini hanya dapat dimaknai perkawinan poligami
dilarang kecuali setelah melakukan kewajiban hukum sesuai Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pemaknaan tersebut dapat diilustrasikan
dalam peristiwa hukum yang lain, misalnya dalam rahn al-musta’ar ketentuan
pokoknya adalah harta pinjaman tidak dapat dijadikan sebagai harta agunan, kecuali
atas seizin pemiliknya. Substansi ketentuan ini juga hanya dapat dipahami
menggagunkan harta milik orang lain terdapat larangan hukum, kecuali terlebih
dahulu mendapatkan izin pemiliknya.
Karena poligami yang demikian terdapat larangan hukum, maka
konsekuensinya tidak mungkin dapat diisbatkan melalui pengadilan, sehingga
apabila masyarakat pencari keadilan mengajukan permohonan isbat poligami secara
di bawah tangan ke pengadilan, maka sesuai ketentuan SEMA Nomor 3 Tahun 2018
pengadilah haruslah menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Akan tetapi hukum menentukan pula sebagaimana ketentuan Pasal 56 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan poligami di bawah tangan tanpa izin
pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya perkawinan poligami yang
demikian tidak berakibat perkawinannya itu tidak sah secara hukum, meskipun
keabsahannya tidak diakui oleh negara, akan tetapi hubungan badan yang dilakukan
kedua belah pihak bulanlah termasuk zina dan anak yang dilahirkan bukanlah
termasuk anak zina atau anak luar kawin.
Karena perkawinan poligami di bawah tangan tidak dapat diisbatkan dan
akibatnya negara tidak dapat melindungi perkawinan yang demikian. Maka
konsekuensinya terhadap anak yang dilahirkan tidak dapat dilindungi oleh hukum.
Hanya ada satu solusi hukum terbaik bagi kepentingan dan perlindungan anak, yaitu
dengan mengajukan permohonan asal usul anak sebagaimana akan dibahas pada
point berikutnya.
3. Asal usul anak.
Asal usul anak adalah terminologi yang digunakan Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, penjelasan Pasal 49 angka 22 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 dan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Pada ketentuan-ketentuan
tersebut tidak terdapat satu pasalpun yang menjelaskan definisi tentang asal usul
anak. Hanya saja dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan Pasal 103 diletakan
setelah ketentuan yang mengatur tentang anak sah dengan berbagai macam kondisi
yang menyertainya. Oleh karena itu asal usul anak dimaksud adalah anak-anak yang
25

berada diluar ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal
99 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Kedua ketentuan tersebut menyatakan “Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”. Ketentuan ini paling tidak terdapat dua muatan hukum yang berlainanm
sebagaimana tersebut di atas yaitu pertama calon istri sebelum perkawinan telah
hamil duluan oleh calon suaminya, kemudian melakukan perkawinan dan dalam
perkawinan itu lahirlah anak tersebut (kawin hamil), kedua seorang laki-laki dan
seorang perempuan melakukan perkawinan yang sah dan dari perkawinan tersebut
melahirkan anak. Permasalahan dalam ketentuan ini adalah muatan hukum pertama,
bila kelahiran anak tersebut kurang dari 6 (enam) bulan, sebagaimana telah
dijelaskan di atas menurut mayoritas ulama anak dalam kondisi kelahiran yang
demikian diyakini sebagai anak zina dan hubungan nasabnya hanya dihubungkan
kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Sedangkan menurut Al-Hasan, Ibrahim dan
Ibnu Sirrin beliau menyatakan apabila seorang laki-laki menzinahi seorang
perempuan yang berakibat perempuan itu hamil, kemudian laki-laki itu menikahi
perempuan yang dalam keadaan hamil, maka anak yang dilahirkan perempuan itu
adalah anaknya. Demikian pula menurut Ibnu Taimiyah bahwa anak zina berasal
dari sperma dan ovum kedua pasangan secara bersamaan dan keduanya sepakat
anak itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah penasaban anak tersebut kepada
ayah biologisnya. Oleh karena itu dalam hal ini nampaknya ketentuan sebagaimana
tersebut diadopsi dari dua pendapat ulama besar itu. Perlindungan hukum terhadap
anak yang demikian telah ada dan tidak perlu dimasalahkan lagi.
a. Asal Usul Anak Yang Lahir Sebagai Akibat Hubungan Badan Tanpa Atau
Sebelum Adanya Ikatan Perkawinan.

Persoalan yang muncul dalam masyarakat adalah anak yang lahir sebagai
akibat hubungan badan tanpa atau sebelum adanya ikatan perkawinan. Setelah anak
tersebut lahir kemudian perempuan dan laki-laki yang menyebabkan anak lahir
melakukan perkawinan. Pada kasus tersebut bila bercermin terhadap doktrin hukum
yang dikemukakan mayoritas ulama, anak tersebut adalah anak zina, nasabnya
hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja, tidak tergantung pada ada
atau tidak adanya pengakuan dari ayahnya, demikian pula tidak tergantung pada ada
atau tidak adanya ikatan perkawinan setelah anak tersebut lahir. Sedangkan menurut
Ibnu Taimiyah, ketika laki-laki itu mengakui anak yang dilahirkan perempuan
sebagai anaknya (tidak ada pengingkaran) menjadi tidak ada alasan hukum yang
dapat mencegah untuk menghubungkan penasaban anak tersebut terhadap
perempuan dan laki-laki yang menyebabkan ia lahir secara bersamaan.44 Sedangkan
apabila laki-laki itu mengingkari anak tersebut sebagai anaknya, maka hubungan
nasab anak tersebut hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja.
Eksistensi anak tersebut sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam, nampaknya diadopsi dari pendapat mayoritas ulama, hal mana anak tersebut
tidak termasuk dalam klasifikasi anak sah, melainkan sebagai anak luar kawin yang

44
Doktrin hukum ini senada dengan draf RUU Perkawinan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3)
versi pemerintah.
26

hanya memiliki hubungan keperdataan dan atau hubungan nasab dengan ibu dan
keluarga ibunya saja. Akan tetapi ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 maknanya diperluas yang semula berbunyi “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” oleh Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
beserta keluarga ibunya dan dengan ayahnya beserta keluarga ayahnya”. Dengan
demikian anak tersebut dapat dihubungkan dengan kedua orang tuanya baik dengan
ibunya maupun dengan ayahnya melalui hubungan keperdataan. Maka untuk
merealisasikan ketentuan tersebut dapat digunakan ketentuan yang berkaitan dengan
asal usul anak, sesuai Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada
dengan ketentuan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan Pasal 55 tersebut
menyatakan:
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar penetapan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 103 KHI menyatakan :
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat
bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang
anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang
sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Asal-usul anak dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Melakukan hubungan badan A dan B menikah tahun 2018

A B A B
CALON CALON ISTRI SUAMI ISTRI
SUAMI

Lahir seorang
anak bernama C
pada tahun 2017

Dalam kasus ini A (sebagai Pemohon I) dan B (sebagai Pemohon II) setuju
mengajukan permohonan asal usul anak ke pengadilan untuk kepentingan anaknya
27

bernama C. Maka ketika majelis hakim menerapkan ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diperluas maknanya melalui
putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka bunyi amar penetapannya adalah
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan C anak biologis dari A (Pemohon I) dan B (Pemohon II) ;
3. Menetapkan C memiliki hubungan keperdataan dengan A (Pemohon I) beserta
keluarga A dan dengan B (Pemohon II) beserta keluarga B ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;

Akan tetapi ketika majelis hakim mengambil alih pendapat Al-Hasan, Ibrahim
dan Ibnu Sirrin setelah memenuhi syarat yang ditentukan, yaitu setelah A dijatuhi
hukuman had dan pendapat Ibnu Taemiyah sebagaimana tersebut di atas, maka
bunyi amar penetapannya adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan C anak yang lahir akibat zina yang dilakukan A (Pemohon I)
dengan B (Pemohon II) ;
3. Menetapkan C memiliki hubungan nasab dengan A (Pemohon I) beserta
keluarga A dan dengan B (Pemohon II) beserta keluarga B ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;

Sedangkan ketika majelis hakim mengambil alih pendapat mayoritas ulama


dan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebelum
diperluas maknanya melalui putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka bunyi
amar penetapannya adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan C anak yang lahir akibat zina (anak luar kawin) yang dilakukan A
(Pemohon I) dengan B (Pemohon II) ;
3. Menetapkan C memiliki hubungan nasab atau hubungan keperdataan dengan B
(Pemohon II) beserta keluarga B ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;

Diktum amar penetapan dalam perkara permohonan penetapan asal-usul anak


tersebut akan sama dengan kasus ketika A dan B setelah melakukan perzinaan dan
berakibat melahirkan anak bernama C, antara A dan B berpisah dan tidak pernah
terikat hubungan perkawinan, ketika A tetap mau bertanggungjawab atas kelahiran
anaknya bernama C. Akan tetapi persoalannya akan menjadi rumit ketika A tidak
mau mengakui atau mengingkari C adalah anak yang dihasilkan perbuatan
perzinaannya dengan B. Penyelesaian kasus yang demikian menurut penulis hanya
dapat dilakukan dengan merubah pola permohonan asal usul anak (Voluntair)
menjadi gugatan asal usul anak (Contentius), B sebagai penggugat atau Pemohon
dan A sebagai tergugat atau termohon. Dalam kasus ini B akan kesulitan
membuktikan dalilnya, karena peristiwa perzinaan biasanya adalah peristiwa
tertutup, kecuali B dapat membuktikannya dengan saksi-saksi atau alat bukti
elektronik berupa CCTV yang berada di sebuah kamar tempat melakukan perzinaan
28

tersebut, selain itu kesulitan yang akan dialami B, meskipun perbuatan perzinaan
dapat dibuktikan, akan tetapi belum tentu sperma yang membuahi ovum B adalah
sperma berasal dari A, akan lebih sulit lagi ketika saksi-saksi dan CCTV tidak ada
yang dapat membuktikan perzinaan tersebut, maka untuk tegaknya keadilan dalam
kasus seperti ini harus digunakan prinsip pembuktian terbalik, ketika A mengingkari
C sebagai anaknya, maka A berkewajiban membuktikan pengingkarannya bahwa A
tidak memiliki hubungan darah dengan C melalui tes DNA.
b. Asal Usul Anak Yang Lahir Sebagai Akibat Perkawinan Di Bawah
Tangan Monogami Yang Terdapat Larangan Undang-Undang.

Perkawinan yang di dalamnya terdapat larangan undang-undang sebagaimana


di jelaskan di atas baik yang berakibat perkawinan tersebut menjadi batal demi
hukum karena melanggar syarat obyektif atau dapat dibatalkan karena melanggar
syarat subyektif. Akan tetapi kedua pembatalan perkawinan ini tetap memerlukan
putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan.
Pembatalan perkawinan yang dilakukan di bawah tangan sekalipun terdapat
unsur larangan dan atau halangan undang-undang, tidak dapat diajukan ke
pengadilan, karena pembatalan yang demikian terbatas hanya pada perkawinan yang
dapat dibuktikan dengan akta nikah. Oleh karena itu perkawinan di bawah tangan
yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam haruslah dinyatakan tidak sah menurut
hukum. Maka konsekwensi terhadap anak yang dilahirkannya sama dengan kasus
sebagaimana tersebut di atas, anak tersebut adalah anak biologis dan memiliki
hubungan keperdataan terhadap kedua orang tuanya.
c. Asal Usul Anak Yang Lahir Sebagai Akibat Perkawinan Di Bawah
Tangan Poligami.

Poligami yang dilakukan di bawah tangan sebagaimana dijelaskan di atas


adalah perkawinan yang meyalahi prosedur sebelum melaksanakan perkawinan.
Akan tetapi karena pelanggaran terhadap prosedur perkawinan poligami tersebut
hanya berakibat perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena
itu selama perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan,
maka hubungan badan yang dilakukan tidak termasuk perbuatan zina dan anak yang
dilahirkannya tidak termasuk anak zina atau anak luar kawin dan memiliki
hubungan nasab dengan kedua orang tuanya. Kasus ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
A dan B menikah tahun 2017 B dan D nikah th 2019 tapa izin pngadilan

A B D istri
istri suami kedua

Lahir seorang Lahir anak bernama


anak bernama C E tahun 2020
pada tahun 2018 ISTRI
29

Dari gambar tersebut dapat dipahami, B menikahi D secara poligami di bawah


tangan dan dari perkawinan tersebut lahirlah E, meskipun perkawinan B dan D tidak
dapat diisbatkan, akan tetapi B dan D diberi kewenangan untuk mengajukan asal
usul anak sebagaimana ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang senada dengan ketentuan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas.
Ketika majelis hakim menemukan fakta hukum, maka diktum penetapannya adalah
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan E anak dari B (Pemohon I) dan D (Pemohon II) ;
3. Menetapkan E memiliki hubungan nasab dengan B (Pemohon I) beserta
keluarga B dan dengan D (Pemohon II) beserta keluarga D ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;

4. Pengesahan anak yang dilahirkan sebagai akibat perselingkuhan.

Anak yang dilahirkan sebagai akibat perselingkuhan adalah anak yang


dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan keabsahannya diakui negara. Kasus ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
A dan B menikah tahun 2017 B dan D berselingkuh

A B D laki-laki pasangan
Suami istri selingkuhan B

Lahir seorang Lahir anak bernama


anak bernama C E tahun 2019
pada tahun 2018 ISTRI

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa A dan B melaksanakan


perkawinan secara resmi pada tahun 2017 dan dari perkawinan tersebut lahir
seorang anak bernama C pada tahun 2018. B berselingkuh dengan D dan lahirlah
seorang anak bernama E pada tahun 2019. Dalam kasus ini ketika A tidak
mengingkari E adalah juga sebagai anaknya, maka sesuai ketentuan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang senafas dengan doktrin hukum
yang dikemukakan mayoritas ulama sebagaimana tersebut di atas, E adalah anak sah
dari A dan B dengan segala konsekuensinya, karena E dilahirkan dalam perkawinan
yang sah. Dengan demikian perlindungan seorang anak bernama E telah terpenuhi
dan tidak perlu dipersoalkan.
Lain halnya ketika A mengingkari E sebagai anaknya. A diberi kewenangan
oleh hukum untuk menggugat B bahwa E bukan anaknya dengan dalil B telah
melakukan perzinaan dengan D dan lahirnya anak bernama E sebagai akibat
perzinaannya, sebagaimana ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. A dalam hal ini dibebani wajib bukti untuk membuktikan B telah melakukan
perzinaan dengan D dan E lahir sebagai akibat perzinaan tersebut. Ketika A dapat
membuktikan dalilnya, maka pengadilan menjatuhkan putusan bahwa E anak tidak
30

sah dari A. Kebalikannya ketika A tidak dapat membuktikan dalilnya, maka gugatan
ditolak dan konsekwensinya E adalah anak sah dari A.
Hukum acara tentang pengingkaran anak lebih lanjut di atur pada Pasal 101
dan Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an”.
Dan Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam adalah


berkaitan dengan kasus seorang suami mengingkari anak yang dilahirkan istrinya
dan terhadap pengingkaran tersebut istrinya mengakui bahwa anak yang
dilahirkannya bukan anak dari suaminya, melainkan anak hasil selingkuhnya dengan
laki-laki lain, untuk meneguhkan dalilnya suami dapat melakukan sumpah li’an.
Ketentuan ini bertolak belakang dengan Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam dan
dengan kesepakatan ulama, karena menurut kesepakatan ulama ketika istri
mengakui bahwa anaknya itu sebagai akibat perselingkuhan, maka ia dijatuhi
hukuman had dan anaknya adalah anak zina yang hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Dalam pemeriksaan gugatan pengingkaran
anak yang diajukan suami dalam persidangan, menurut penulis, dalam hal dalil
gugatan penggugat diakui pihak lawan, maka pengakuan yang diucapkan dalam
persidangan adalah bukti lengkap yang memberatkan orang yang mengakui itu,
sehingga dengan pengakuan itu haruslah dianggap cukup bukti untuk mengabulkan
gugatan penggugat tersebut dengan diktum putusan menetapkan bahwa anak
tersebut bukan anak dari suaminya itu. Oleh karena itu tidak perlu dilanjutkan pada
tahap li’an, sebab peristiwa li’an, berkonsekwensi hukum sangat berat bagi kedua
belah pihak45, kecuali istrinya itu membantah dalil-dalil gugatan suaminya. Dalam
hal ini dapat diselesaikan melalui dua cara. Cara pertama, dengan cara pemeriksaan
biasa, ketika suami dapat membuktikan dalilnya baik dengan alat bukti fisik, saksi-
saksi, tes DNA maupun bukti elektronik yang diantaranya CCTV, maka
pemeriksaan dianggap cukup dan gugatan pengingkaran anak dikabulkan. Cara
kedua, dengan cara pemeriksaan li’an ketika istrinya membantah dalil gugatan dan
suami hanya dapat mengajukan alat bukti permulaan dan tidak cukup bukti untuk
membuktikan dalil-dalilnya, maka atas perintah majelis hakim kedua belah pihak
bersumpah li’an atau sama sekali tidak ada bukti yang dapat membuktikan dalil
gugatan penggugat, maka atas permohonan kedua belah pihak, majelis hakim
mengabulkan agar kedua belah pihak bersumpah dengan li’an.

45
Lihat Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam.
31

Pemeriksaan gugatan pengingkaran anak melalui li’an berkonsekuensi anak


yang diingkari suami menjadi terbukti bukan anak sah dari suaminya itu. Akan
tetapi proses penyelesaian perkara ini tidak menyelesaikan masalah tentang
eksistensi anak tersebut yang seharusnya dilindungi hukum. Untuk kepentingan
tersebut setelah putusan pengingkaran anak berkekuatan hukum tetap, ibu dari anak
itu harus mengajukan permohonan asal usul anak, ketika pasangan selingkuhnya
mau mengakui anak tersebut, akan tetapi ketika pasangan selingkuhnya tidak mau
mengakui terhadap anak tersebut, maka ibu dari anak tersebut mengajukan gugatan
asal usul anak sebagaimana telah dijelaskan di atas.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan-pembahasan tersebut, penulis dapat mencatat beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Permasalah yang berkaitan dengan ketidak jelasan status anak dalam silsilah
keturunan, sebagai akibat kedua orang tuanya tidak taat hukum dan
mengabaikan tetib administrasi hukum, maka hukum wajib melindungi terhadap
eksistensi status anak tersebut.
2. Lembaga isbat nikah merupakan salah satu perlindungan hukum terhadap anak
yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan orang tuanya secra di bawah tangan
yang tidak melanggar atau tidak ada halangan perkawinan menurut Hukum
Islam dan perundang-undangan yang berlaku.
3. Lembaga asal usul anak baik berbentuk volunteir maupun contensius merupakan
jalan lain untuk menyelesaikan persoalan silsilah anak tersebut dalam berbagai
macam kondisi, baik terhadap anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan
monogami orang tuanya secara di bawah tangan yang terdapat halangan undang-
undang, sebagai akibat hubungan badan kedua orang tuanya dalam perkawinan
poligami di bawah tangan, sebagai akibat hubungan badan kedua orang tuanya
tanpa atau sebelum adanya ikatan perkawinan .
32

D. DAFTAR PUSTAKA
Ali Ahmad Al-Jurjani, Hikmh Al-Tasyri wa Falsafatuhu, (Maktabah Misykah Al-
Islam) www.shamile.com
Alimudin, SHI artikel Undang-Undang Perkawinan Antara Sejarah dan Agenda,
Artikel.
Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V
(Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt).
Abu Hahammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah, Al-Mughni , (Maktabah Al-Qahirah, 1968).
Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991).
Aby Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-‘Anshary Al-Qurthuby, Al-Jamii’
Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985).
Al-Imam Al-Jaliil Al-Hafidh Imaad Al-Din Aby Al-Fidaa’ Ismaa’il bin Katsir (Ibnu
Kasiir) Tafsiir Al-Qur;an Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa
Mathba’ah Toko Futra, tt).
DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984).
DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989).
Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’iy,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby
1957).
Muhammad bin Aby bakar bin Ayub bin Sa’ad Suamsi Al-Din Ibnu Qayyim Al-
Zaujiyah, Zaad al-Ma’ad Fi Huda Khair Al-‘Ibad, (Bairut: Muassasah
Al-Risaalah Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah Al-Kuwait, Ct. 27, 1994)
http://www.raqamiya.org

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Bairut: Dar Al-fikr, 198).


Muhammad bin ‘Aly bin Muhammad bin Abdirrahman Al-Haskafy, Al-Dur Al-
Mukhtar, (Mesir: Dar Al-Maktabah tt).
Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min Al-
Qur’an,(Bairut: Dar Al-Fikr, T,th).
Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsimin, Al-syarah Al-Mumthi’ ‘Ala Zad
Al-Mustaqni, (Dar Ibnu Al-Jauzy, 1428 H).
Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43
UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon
Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium
PTA Ambon).

Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006).
Chatib Rasyid, Memahami “Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010, artikel disampaikan pada seminar nasional
dengan topik kebijakan pemerintah jawa tengah terhadap penomena
33

bersama perkawinan di luar undang-undang perkawinan pada tanggal


30 April 2012
Syaikh Al-Islam Ibnu Taemiyah Majmu’ Fatawa Juz 32 halaman 112-113
(Maktabah Al-Syamilah)
Sayyid Abdullah ‘Aly Husain, Al-Muqaranah al-Tasyri’iyah Baina Al-Qawanin Al-
Wadl’iyah Al-Madaniyah wa Al-Tasyri’ Al-Islamy, (Mesir: Dar Ahyaa’
Al-Kutub Al-‘Araby, 1947).
Wahbah bin Mushthafa Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar
Al-Fikr, T.th).
HVA Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS Adiwinarta, (Jakarta: Raja
Grafindo, 1996).
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai