I. PENDAHULUAN.
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan al-
Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah
bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar
mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara
mereka. Yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi
mereka yang mau berfikir 2 . Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para isteri
adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah
pakaian bagi para isteri .3
1
Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Sumber.
2
Al-Qur’an Surat al-Rum ayat 21 “wa min ayaatihi ‘an khalaqa lakum min anfusikum
azwajaa litaskunuu ilaihaa wa ‘ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan inna fi dzaalika
laaayatin liqaumin yatafakkarun”.
3
Al-Qura’an Surat al-Baqarah ayat 187 “hunna libasun lakum, wa antum libaasun lahunna”
4
Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 74 “walladziina yaquuluna Rabbana hab lana min
azwaajina wadzurriyatina qurrata ‘ayun waj’alna li al-muttaqiina imama”
2
tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara wajar
dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan
mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi 5 . Lebih
lanjut beliau mengatakan kehidupan manusia laki-laki tidak akan selaras, tenang dan
mengasikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Hal itu dapat diwujudkan
jika ada tangan trampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut kaum
perempuan, yang memang secara naluriyah mampu mengelola rumah tangga secara
baik, selaras dan wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi
memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia
yang teratur dan selaras dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami)
melalui perkawinan sangatlah penting.
benar, melainkan juga dibutuhkan sebagai teman hidup yang tidak dibatasi
dengan batasan-batasan tertentu.7
Oleh karena itu ikatan nasabiyah dengan ikatan perkawinan adalah merupakan
sebab akibat yang inheren. Artinya dalam hukum Islam menjustifikasikan bahwa
dengan adanya ikatan perkawinan menyebabkan adanya hubungan nasabiyah
sebagai dasar untuk menentukan silsilah keturunan.
Ikatan nasabiyah menentukan status seorang anak yang dilahirkan, sehingga
dengan adanya ikatan tersebut anak memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya
dari kedua orang tua dan keluarganya, baik hak berupa non kebendaan maupun hak
yang berkaitan dengan kebendaan yang oleh hukum wajib dilindungi.
Beberapa tahun belakangan ini, pada masyarakat Indonesia muncul beberapa
persoalan tentang status anak, baik berkaitan dengan anak sebagai akibat
perkawinan sirri, baik yang monogami, poligami, maupun yang berkaitan dengan
anak hasil perzinaan dan atau anak luar kawin. Munculnya persoalan tersebut tidak
terlepas dari pandangan hidup masyarakat yang masih melekat sikap dikotomi
antara hukum agama dan hukum negara, selain itu terjadinya diferensiasi yang tajam
tentang terminologi zina dalam hukum antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
versus Hukum Pidana Islam.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan tema pokok
perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan di
bawah tangan yang melanggar hukum, sebagai akibat hubungan badan tanpa ikatan
perkawinan dan perselingkuhan, sebagai salah satu bentuk sumbangan pemikiran
dalam memecahkan persoalan tersebut di atas.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Dan Klasifikasi Anak.
Terminologi anak dilihat dari segi kelahirannya dalam hukum Islam (fikih),
pada dasarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu al-wiladah al-Syar’iyah, dan al-
wiladah ghair syar’iyah. Selain itu terdapat anak yang dinasabkan melalui istilhaq
au al-iqrar bi al-nasab.
Anak dalam keadaan al-wiladah al-Syar’iyah adalah anak yang dilahirkan
sesuai syari’at, yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat dari ikatan pernikahan
yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan hukum
Islam, dalam terminologi yang lain disebut anak sah, yaitu anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah 8 menurut hukum, atau anak yang
7
Seorang perempuan dalam kehidupannya membutuhkan seorang laki-laki sebagai teman
hidup, demikian pula sebaliknya, pertemanan yang tidak ada batas dalam al-Qur’an disebut dengan
libas sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam Surat Al-baqarah ayat 187 “hunna libaasun lakum
wa antum libaasun lahunna”
8
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan anak yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (b) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
4
dilahirkan sebagai akibat dari akad pernikahan yang menjadi fasid atau sebagai
akibat dari hubungan suami istri yang syubhat.
Anak yang dilahirkan sebagai akibat dari adanya hubungan perkawinan yang
sah (al-zaujiah al-shahihah) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
akan melahirkan adanya hubungan nasab antara laki-laki dan perempuan itu dengan
keturunannya. Oleh karena itu hak yang pertama yang harus diterima seorang anak
yang dilahirkan dari kedua orang tuanya adalah anak berhak mendapatkan hubungan
nasabiyah dengan kedua orang tuanya.
Sedangkan anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat dari adanya hubungan
perkawinan yang sah (al-zaujiah al-shahihah), terdapat beberapa kemungkinan,
yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang batal demi hukum atau
sebagai akibat perkawinan yang fasid, sebagai akibat hubungan badan yang syubhat
dan sebagai akibat hubungan tanpa perkawinan atau perselingkuhan.
Perkawinan yang fasid menurut ulama al-Hanafiyah9 adalah perkawinan yang
tidak memenuhi salah satu syarat-syarat sahnya perkawinan (syarth in’iqad), seperti
perkawinan tanpa saksi, perkawinan yang dibatasi waktu, istri lebih dari empat
orang, melakukan poligami terhadap dua orang perempuan yang bersaudara,
perkawinan dengan seorang perempuan yang masih menjadi istri orang lain, dan
perkawinan yang diharamkan.
Abu Zahrah 10 mengutip pendapat Kamaluddin Ibnu Al-Himam dalam
kitabnya Fath Al-Qadir, beliau menyatakan bahwa akad yang batal dan akad yang
fasid dalam nikah adalah memiliki pengertian yang sama, walaupun terminologi
akad yang batal digunakan untuk pernikahan yang rukunnya rusak, sedangkan
terminologi akad yang fasid digunakan untuk pernikahan yang sifatnya rusak11 akad
pernikahan yang substansinya rusak atau sifatnya rusak, maka akad tersebut fasid,
yaitu pernikahannya menjadi batal demikian pula sebaliknya.
Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak terdapat istilah
fasid nikah, yang ada hanya batalnya perkawinan, yang terdiri dari dua katagori,
yaitu perkawinan yang batal dan perkawinan yang dapat dibatalkan.
Perkawinan yang fasid (rusak), baik fasid sejak semula karena substansinya
rusak, maupun fasid kemudian yang dalam literatur fikih perkawinan tersebut wajib
atau dapat difasakhkan, dan dalam perundangan di Indonesia wajib atau dapat
dibatalkan, setelah terjadi perceraian dengan fasakh atau pembatalan nikah, maka
ulama sepakat tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkannya, artinya
walaupun perkawinan kedua orang suami istri telah dinyatakan batal, tidak berakibat
membatalkan hubungan nasab anak-anak terhadap kedua orang tuanya itu,
ketentuan ini berdasarkan atas mashlahah tentang hifdh al-nasl, yaitu pemenuhan
hak-hak asasi anak dan pemeliharaan terhadap hak-hak tersebut untuk dilindungi
9
Muhammad bin ‘Aly bin Muhammad bin Abdirrahman Al-Haskafy, Al-Dur Al-Mukhtar,
(Mesir: Dar Al-Maktabah tt) Jilid II halaman 181
10
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syahshiyah, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1957) halaman
170
11
Yang dimaksud rusak sifat pernikahan adalah pernikahan tersebut telah terpenuhi rukunnya,
akan tetapi rukun tersebut tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan, misalnya seorang wali tidak
berhak menjadi wali karena tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dan lain
sebagainya.
5
12
Wahbah bin Mushthafa Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr,
T.th) Jilid VI Halaman 686
13
Abu Zahrah, op.cit, Halaman 171
6
Anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan laki-laki dan perempuan
tanpa ikatan perkawinan dan kedua-duanya melajang baik perawan dengan bujang
atau janda dengan duda. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama yang terlihat
kontroversi.
Artinya “ia adalah anak zina untuk keluarga ibunya baik ia seorang
perempuan merdeka maupun hamba sahaya”15
» َﻻ َد ْﻋ َﻮةَ ﻓِﻲ: َﻢﻰ اﷲُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﺻﻠ ِ ُ ﺎل رﺳ ِ ِ ِ ﻣ ِﻪ ﻓِﻲ اﻟُت ﺑِﺄ ِ َ ﻳﺎ رﺳ:ﻗَﺎم رﺟﻞ ﻓَـ َﻘﺎ َل
َ ﻪﻮل اﻟﻠ ُ َ َ ﻓَـ َﻘ،ﺔْﺠﺎﻫﻠﻴ
َ َ ن ﻓُ َﻼﻧًﺎ اﺑْﻨِﻲ َﻋ ِ إ،ﻪﻮل اﻟﻠ
ُ ﺎﻫ ْﺮ َُ َ ٌ َُ َ
ِ اش وﻟِﻠْﻌ ِ اﻟْﻮﻟَ ُﺪ ﻟِﻠ، ِﺔﺎﻫﻠِﻴ
ِ َذﻫﺐ أَﻣﺮ اﻟْﺠ،اﻹﺳ َﻼِم
«ْﺤ َﺠ ُﺮ
َ ﻟ ا ِ
ﺮ ﺎﻫ َ َ َ ِ ﺮ ْﻔ َ َ ُْ َ َ ْ ِْ
14
Abu Hahammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-
Mughni , (Maktabah Al-Qahirah, 1968) , Jilid IX halaman 123
15
Hadis riwayat Abu Dawud, kitab Al-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina Nomor 2266
16
Hadis riwayat Al-Bukhari, Kitab Al-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah, hadis
Nomor 5315
7
17
Hadis riwayat Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no. 2274
18
Hadis riwayat Abu Dawud Hadis Nomor 2265
19
Lihat Muhammad bin Aby bakar bin Ayub bin Sa’ad Suamsi Al-Din Ibnu Qayyim Al-
Zaujiyah, Zaad al-Ma’ad Fi Huda Khair Al-‘Ibad, (Bairut: Muasssasah Al-Risaalah Maktabah Al-
Manar Al-Islamiyah Al-Kuwait, Ct. 27, 1994) Juz 5 halaman 397 http://www.raqamiya.org. Lihat
Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsimin, Al-syarah Al-Mumthi’ ‘Ala Zad Al-Mustaqni,
(Dar Ibnu Al-Jauzy, 1428 H) Juz 13 halaman 307.
20
Aby Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshary Al-Qurthuby, Al-Jami Liahkam Al-
Qur’an, op.cit. Juz VI halaman 232
21
Lihat Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsimin, Al-syarah Al-Mumthi’ ‘Ala Zad
Al-Mustaqni,ibid. Juz 13 halaman 308.
8
menyatakan menurut pendapat saya tidak ada masalah, apabila seorang laki-laki
menzinahi seorang perempuan yang berakibat perempuan itu hamil, kemudian laki-
laki itu menikahi perempuan yang dalam keadaan hamil, maka anak yang dilahirkan
perempuan itu adalah anaknya. 22
22
Lihat Abu Muhammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah Al-Muqdasy, Al-Mughny Li-Ibni Qudamah, (Maktabah Al-Qahirah, 1969) Juz VI halaman
345. Pandanagan yang terakhir ini memiliki titik singgung yang sama dengan ketentuan yang dimuat
Pasal 283 KUHPerdata, hal mana anak luar kawin akan menjadi anak sah setelah kedua ayah dan ibu
biologisnya melakukan perkawinan.
23
Syaikh Al-Islam Ibnu Taemiyah Majmu’ Fatawa Juz 32 halaman 112-113 (Maktabah Al-
Syamilah)
24
Ibnu Qayyim Al-Zaujiyah, loc.cit Juz 5 halaman 381(Maktabah Al-Syamilah)
25
Hadis riwayat Al-Bukhari kitab hadis Nomor 6749, lihat Fathul Bary Juz 12 halaman52
26
Hadis riwayat Al-Bukhari dalam kitab al-Faraaid, bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan
kaanat au Amatan, hadis Nomor 6750 lihat Fathul Baari Juz II halaman 32
9
anak, maka anak itu milik pemilik firaasy”27 Beliaupun menambahkan: “Dengan
firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak
juga yang lainnya”28
Kedua, suami mengingkari anak tersebut, maka perempuan ( istri) berada
dalam satu dari dua keadaan, yaitu:
a) Mengakui anak tersebut sebagai hasil selingkuh atau terbukti dengan alat-alat
bukti yang sesuai syari’at, maka perempuan tersebut dihukum dengan rajam dan
anaknya adalah anak hasil zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut
dinasabkan kepada ibunya.
b) Perempuan itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami
istri saling melaknat (mula’anah) lalu perkawinannya dipisahkan untuk selama-
lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak hasil zina. Namun
demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
Persoalan nikah sirri atau nikah yang tidak tercatat, tidak terlepas dari
persoalan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal yang menjadi perdebatan adalah apakah sah atau
tidaknya perkawinan menurut hukum, tergantung pada pemenuhan terhadap
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal tersebut di atas yang berlaku secara
27
Al-Fatawa Al-Sa’diyah (Maktabah Al-Syamilah) halaman 552
28
Al-Fatawa Al-Sa’diyah ibid, halaman 553
29
Lihat Abdul Wahab Khalaf Ilm Ushul Fiqh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1986) halaman 99
10
komulatif, atau sah tidaknya perkawinan hanya tergantung pada pemenuhan ayat (1)
nya saja.
30
Lihat Chatib Rasyid, Memahami “Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010, artikel disampaikan pada seminar nasional dengan topik kebijakan
pemerintah jawa tengah terhadap fenomena bersama perkawinan di luar undang-undang perkawinan
pada tanggal 30 April 2012
11
menggulkan RUU ini dengan mengkaji ulang berbagai macam literatur tentang
sahnya suatu perkawinan, yang kemudian menghasilkan ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan
memisahkan antara unsur-unsur yang menentukan sahnya perkawinan dengan
keharusan pencatatan untuk pemenuhan administrasi negara31.
31
Alimudin, SHI artikel Undang-Undang Perkawinan Antara Sejarah dan Agenda, halaman
6-7
32
Klausula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 huruf b. menyatakan bahwa untuk
memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara
Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan
pengaturan tentang Administrasi Kependudukan
12
dinyatakan perkawinan yang sah bagi orang-orang Islam adalah perkawinan yang
dilakukan menurut hukum Islam. Oleh karena itu perkawinan yang demikian
menurut hukum positif adalah sah.33
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menggaris bawahi
dengan tegas yang juga merupakan ketentuan hukum positif bahwa pencatatan
perkawinan tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya perkawinan,
melainkan agar keberadaan perkawinan yang telah sah itu diakui oleh negara, maka
Pegawai Pecatat Nikah yang ditugaskan oleh negara diharuskan melihat peristiwa
perkawinan itu dan kemudian mencatatnya dalam akta nikah yang akan dijadikan
sebagai dekumen resmi negara.34
Dengan demikian sesuai dengan pandangan hukum di atas, maka anak yang
dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan adalah anak yang
dilahirkan dalam perkawinan yang sah menurut hukum, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
33
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 34 (1) Perkawinan yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. (2)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (3) Kutipan Akta Perkawinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri. (4) Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang beragama Islam kepada
KUAKec. (5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam
Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
Ketentuan ini menunjukan sesuai Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilakukan sesuai hukum masing-masing
agamanya, perkawinan yang sah tersebut wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana,
untuk orang-orang beragama Islam adalah kepada KUA Kecamatan setempat Berdasarkan laporan
tersebut Pegawai Pencatat Nikah mencatat perkawinan tersebut pada Register Akta Perkawinan dan
menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Oleh karena itu pencatatan perkawinan terpisah dari
peristiwa sah atau tidak sahnya perkawinan.
34
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan Akta Perkawinan
dibuat rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada
Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Ketentuan ini sebagai
jaminan terhadap keamanan dan keabadian dan keaslian akta perkawinan, dan setelah akta
perkawinan diarsipkan dalam arsip Kantor Urusan Agama dan Kantor Pengadilan Agama, maka akta
perkawinan tersebut resmi menjadi dekumentasi negara.
35
Lihat fatwa MUI bulan Mei 2006 tentang Pernikahan Di Bawah Tangan.
36
Tarjih.muhammadiyah.or.id/download-fatwa 13 Hukum Nikah Sirri.pdf
13
sah.37 Akan tetapi keberadaan anak tersebut tidak diakui oleh negara sebagai anak
dari kedua orang tuanya itu, karena status perkawinan orang tuanya tidak diakui
oleh negara. Dan dalam hal inilah pernikahan di bawah tangan akan menimbulkan
adanya persoalan besar, rumit dan sulit menemukan solusi terbaik untuk melindungi
hak-hak anak yang dilahirkannya, sebab bukan hal yang mustahil secara tidak
disengaja dengan cara perkawinan yang demikian itu akan menelantarkan anak-
anaknya.
Terdapat beberapa kasus yang berhubungan dengan hak anak yang lahir dalam
perkawinan di bawah tangan dengan tingkat kesulitan yang bertahap adalah sebagai
berikut :
B A E
C D F G
37
Ketentuan yang dimuat pasal tersebut senada dengan yang dicantumkan dalam Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
sah, yaitu C dan D, maka C dan D secara hukum sebagai ahli waris dari A dan hak
kewarisanya tidak tergantung pada ada atau tidak adanya pengakuan dari F dan G.
B A E
C D F G H
Dalam kasus ini B sebagai istri pertama A bersama anak-anaknya, yaitu C dan
D mengakui dan menyetujui E sebagai istri kedua A dan mengakui F, G dan H
sebagai anak-anak A juga, maka ahli waris A adalah dua orang istri yaitu B dan E,
lima orang anak yaitu C, D, F, G dan H, akan tetapi apabila B, C dan D
mengingkari atau tidak mau mengakui E, F, G dan H sebagai istri kedua A beserta
tiga orang anaknya, maka mereka belum dapat ditampilkan sebagai ahli waris dari A
sebelum dapat membuktikan dirinya adanya hubungan kewarisan, E harus
membuktikan adanya keterkaitan perkawinan dengan A, demikian pula F, G dan H
harus membuktikan adanya hubungan nasab dengan A.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pada kasus tersebut di atas, ikatan perkawinan antara A dengan E sejak awal
adalah merupakan perkawinan yang melangggar undang-undang yang eksisitensinya
tidak memiliki kekuatan hukum apapun, oleh karena itu perkawinan yang demikian
sulit untuk dibuktikan keberadaannya, berbeda dengan perkawinan monogami di
bawah tangan, selama perkawinan itu memenuhi ketentuan rukun dan syarat
perkawinan, maka untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan dapat dicatatkan
dalam register akta nikah, maka perkawinan tersebut terlebih dahulu diisbatkan oleh
Pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, akan
tetapi terhadap perkawinan poligami di bawah tangan, karena sejak awal
perkawinan tersebut terdapat larangan atau halangan undang-undang, maka sesuai
Pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam, perkawinan poligami tersebut
tidak dapat diisbatkan oleh pengadilan.
16
Untuk melindungi hak-hak anak dalam hal ini Chatib Rasyid38 memberikan
solusi sebagai langkah terobosan hukum yang dapat ditempuh melalui dua jalan,
yaitu pertama isbat poligami dengan berpedoman pada ketentuan umum Pasal 28-B
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999, Pasal 42 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, dengan
mengakomodasi putusan MK perlu penambahan satu huruf pada ayat (3) huruf f
yaitu untuk keperluan pengesahan anak yang berlaku baik terhadap perkawinan
monogami maupun poligami di bawah tangan, pedoman khusus bagi isbat poligami
adalah Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974, Pasal
40 sampai dengan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Kedua
sesuai penjelasan angka 37 Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, angka 14 tentang putusan sah atau
tidaknya anak dan angka 20 tentang penetapan asal usul anak. Untuk pengesahan
anak diperlukan bukti perkawinan dan pengakuan dari ayah biologisnya.
Langkah terobosan hukum yang disodorkan Chatib Rasyid tersebut dalam hal
isbat poligami, mengandung resiko besar sebab sebagaimana dipaparkan di atas
poligami di bawah tangan termasuk perbuatan yang dilarang dan melanggar undang-
undang, sebagaimana pemahaman penulis terhadap ketentuan Pasal 9 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, demikian pula ketentuan Pasal 7 ayat (3)
huruf e Kompilasi Hukum Islam, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomo 1
Tahun 1974, halangan dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diartikan larangan
undang-undang, yaitu perkawinan yang tidak dapat dilakukan karena suatu keadaan
yang ditentukan undang-undang, yang salah satunya adalah sesuai ketetuan Pasal 9
dan Pasal 20 tersebut, apabila tetap dipaksakan berakibat putusan atau penetapan
hakim akan mengakui adanya perbuatan yang dilarang undang-undang. Kebebasan
hakim untuk memutuskan perkara sesuai ijtihadnya menurut penulis terbatas pada
tidak melarang perbuatan yang harus dilakukan menurut undang-undang dan tidak
melegalkan perbuatan yang dilarang undang-undang, misalnya dalam hal anak yang
lahir setelah jatuh talak ba’in dalam masa iddah dan mantan suami dari mantan istri
itu mengingkari anak tersebut, dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk
berijtihad dengan mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan. Demikian
pula dalam pengesahan anak, karena dalam pengesahan anak ini diperlukan bukti
perkawinan orang tuanya baik akta perkawinan maupun penetapan pengadilan.
Untuk perkawinan poligami di bawah tangan tidak mungkin adanya akta
perkawinan, karena sesuai ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974
dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah
dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan dan dilarang
untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Demikian juga penetapan pengadilan
38
Chatib Rasyid, op.cit, halaman 4-12
17
Eksistensi anak dalam hukum Islam walaupun anak hasil zina atau anak
yang orang tuanya tidak diketahui sekalipun, hukumnya tetap sebagai anak yang
harus diperlakukan sebagaimana anak yang lainnya. Anak yang dilahirkan dalam
hukum Islam hanya dibedakan dengan al-walad ‘an thariq al-ziwaj al-shahih au al-
walad yuladu ‘an wilaadah al-syar’iyah yang artinya anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah menurut hukum atau yang dilahirkan sesuai yang disyariatkan
dan al-walad ‘an thariq al-zina au al-walad yuladu ‘an wiladah ghair al-syar’iyah
artinya anak yang dilahirkan dari perbuatan zina atau yang dilahirkan selain yang
disyari’atkan atau dalam istilah Sayyid Abdullah ‘Aly Husain disebut dengan al-
bunuwwah al-thabai’iyah 39 . Perbedaan yang menyebabkan kelahiran anak, tidak
berakibat anak itu menjadi anak sah atau anak tidak sah, melainkan berakibat
terhadap nasab anak tersebut, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang
sah, nasabnya dihubungkan terhadap kedua orang tuanya, ibu dan ayahnya serta
keluarga kedua belah pihak secara bersamaan, sedangkan anak yang dilahirkan
sebagai akibat dari perbuatan zina atau persetubuhan di luar ikatan perkawinan,
nasabnya hanya dihubungkan terhadap ibu dan keluarga ibunya saja sesuai
pandangan mayoritas ulama.
Kategorisasi anak dalam dua sisi yang berbeda menjadi anak sah dan anak
luar kawin, hal itu diterminologikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Senada dengan Pasal ini, Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang
sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.
39
Sayyid Abdullah ‘Aly Husain, Al-Muqaranah al-Tasyri’iyah Baina Al-Qawanin Al-
Wadl’iyah Al-Madaniyah wa Al-Tasyri’ Al-Islamy, (Mesir: Dar Ahyaa’ Al-Kutub Al-‘Araby, 1947),
Juz II halaman 214
18
Pada point pertama mengandung dua kemungkinan, Pertama, setelah terjadi akad
perkawinan, istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah, istri
telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. Pada
kemungkinan kedua, mengandung unsur penyelewengan terhadap konsep nasab
yang telah ditetapkan dalam Islam. Terlebih dalam pasal lain disebutkan mengenai
kawin hamil, yaitu Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam, yang dianggap sebagai pasal
pengabsahan anak. Kegelisahan para ahli hukum Islam Indonesia, sebenarnya telah
terjawab dengan tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain, apabila DPR segera
mensahkan RUU HMPA.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pada ketentuan ini digunakan redaksi anak yang lahir di luar perkawinan
sebagai kebalikan dari anak yang sah. Apa yang dimaksud dengan “luar
perkawinan” dalam ketentuan pasal tersebut ?.
Pengertian “luar kawin” setelah substansi Pasal 43 ayat (1) ini direkontruksi
ulang oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai putusan Nomor 46/PUU-
VIII/2010, maka yang dimaksud dengan “luar kawin” menjadi kabur, sebab
sebagaimana dalam putusan MK yang mereview ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berkenaan dengan permohonan yang
diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar tentang status anaknya yang bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono. Muhammad Iqbal Ramadhan dalam
kasus posisinya dinyatakan sebagai anak Moerdiono dari istrinya Hj. Aisyah
Mokhtar yang dinikahinya sekitar tahun 1993 dengan cara poligami secara di bawah
tangan, kemudian oleh MK dalam putusannya Muhammad Iqbal Ramadhan
dimasukan dalam ruang lingkup sebagai anak luar perkawinan, maka anak luar
kawin diartikan sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan
poligami di bawah tangan.
Senada dengan putusan MK, Chatib Rasyid berpendapat 40 sebagaimana
tersebut di atas dalam artikelnya memaparkan anak yang lahir di luar perkawinan
adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya itu (sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974), tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974), singkatnya anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak sah secara
materil tapi tidak sah secara formil.
Untuk memperoleh pengertian “anak lahir luar kawin” yang lebih
komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka perlu
penelusuran historis ketika Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk draf RUU.
Alimuddin41 mengutif pemaparan Amak FZ dalam bukunya Proses Undang-Undang
Perkawinan bahwa khusus mengenai ketentuan anak yang lahir di luar perkawinan
terdapat dua bentuk draf RUU yang berbeda, yang pertama adalah bentuk draf versi
pemerintah, yaitu Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, ayat (2) anak yang
40
Chatib Rasyid, op.cit, halaman 4
41
Alimuddin, loc.cit, halaman 7
19
dimaksud dalam ayat (1) dapat diakui oleh ayahnya, ayat (3) anak yang dimaksud
ayat (2) dapat disahkan dengan perkawinan. Sedangkan bentuk draf versi ulama
Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan setelah menjadi
undang-undang pasalnya menjadi Pasal 43 ayat (1) dengan mengakomodir kedua
draf tersebut yang substansinya memiliki kesamaan dengan penambahan “dan
keluarga ibunya”.
Dalam kedua bentuk draf RUU ini tidak diketahui dengan jelas apa yang
dimaksud di luar perkawinan, akan tetapi sesuai bentuk draf RUU versi pemerintah
pada Pasal 49 RUU ayat (3) menyatakan anak yang dimaksud ayat (2) dapat
disahkan dengan perkawinan, ayat ini menunjukan bahwa anak yang dilahirkan di
luar perkawinan dapat disahkan dengan perkawinan laki-laki dan perempuan yang
menyebabkan kelahirannya. Oleh karena itu ayat ini hanya dapat dipahami anak
yang dilahirkan diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan yang belum ada ikatan perkawinan secara nyata dengan seorang laki-laki
yang menghamilinya, dan status anak itu dapat menjadi anak sah setelah perempuan
dan laki-laki itu melakukan perkawinan.
Beberapa kalangan ahli hukum menyatakan bahwa formulasi pasal tentang
anak, baik dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terlihat
sangat dipengaruhi oleh hukum adat disamping hukum Belanda sebagaimana yang
termaktub dalam Burgerllijk Wetboek (BW) Pasal 250 KUH Perdata Bab XII, yang
mengatakan “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh
suami sebagai ayahnya”. Berkenaan dengan pasal ini, HFA Vollmar, menyatakan
anak sah ialah anak yang dilahirkan atau dibenihkan di dalam perkawinan
(meskipun hal itu berlangsung dalam waktu yang terlalu amat pendek sesudah
prkawinan dilangsungkan). 42 Demikian pula pengambilalihan istilah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang dipergunakan untuk anak yang dilahirkan
sebelum adanya perkawinan, berasal dari ketentuan Pasal 283 KUHPerdata.
Sesuai Pasal 272 sampai dengan Pasal 274, Pasal 280 sampai dengan Pasal
283 KUHPerdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan diklasifikasikan menjadi
tiga bagian, yaitu: (1) anak alam, yaitu pelaku zina sama-sama belum menikah dan
tidak ada larangan untuk menikah. (2) anak zina, yaitu pelaku zina yang salah
satunya sedang dalam ikatan perkawinan. (3) anak sumbang, yaitu pelaku zina
masih ada hubungan darah sehingga dilarang untuk menikah. Anak yang pertama
dapat disahkan melalui perkawinan kedua orang tuanya. Sedangkan anak zina dan
anak sumbang tidak memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya.
Indah Setia Rini 43 menyimpulkan bahwa hubungan antara Pasal 273, 280
dan 283 KUHPerdata melahirkan definisi anak yang lahir di luar perkawinan terbagi
kepada dua bagian, yaitu anak luar kawin dalam arti luas dan anak luar kawin dalam
arti sempit. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak-anak yang dilahirkan
sebagai akibat hubungan badan (persetubuhan) luar nikah (tidak ada nikah) antara
42
Lihat HVA Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS Adiwinarta, (Jakarta: Raja
Grafindo, 1996), 21.
43
Indah Setia Rini, Tesis yang berjudul “PELAKSANAAN PENGESAHAN ANAK LUAR
KAWIN MENURUT KUHPERDATA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 (Study Kasus Terhadap Perkara Nomor 74/Pdt.P/2005/PN.TNG) Tahun 2009, halaman
iv
20
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang salah satunya terikat perkawinan
dengan orang lain (anak zina) dan anak-anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan badan (persetubuhan) luar nikah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang terdapat larangan undang-undang untuk kawin (anak sumbang) dan
anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak-anak yang dilahirkan sebagai akibat
persetubuhan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki di luar perkawinan
(tidak ada ikatan perkawinan), kedua pihak tidak terkait ikatan perkawinan dengan
orang lain dan perempuan dengan laki-laki itu tidak ada larangan untuk kawin.
Substansi persoalan anak dalam undang-undang perkawinan sebagaimana
yang dimuat dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dimunculkan kembali dengan menggunakan bahasa yang lugas, sebagaimana
dimuat dalam RUU HMPA Pasal 94 dan Pasal 95.
Pasal 95 RUU menyebutkan anak yang lahir akibat perzinaan dan / atau di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Peristiwa perkawinan adalah merupakan bagian dari lembaga hukum
keperdataan yang keberadaannya sebagai salah satu bentuk pranata sosial dalam
masyarakat, lembaga perkawinan bagaikan sebuah lingkaran yang didalamnya
terdapat anggota keluarga suami, istri dan anak-anak, seluruh anggota keluarga yang
berada di dalamnya terikat, diakibatkan adanya ikatan perkawinan yang sah, bila
suami istri itu sebelum adanya ikatan perkawinan telah melahirkan anak, maka anak
tersebut tidak berada dalam lingkaran hubungan perkawinan ini, ia hanya terikat
nasab dengan ibunya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
A B B’ A’
C D E
Keterangan gambar:
1. A’, B’, D dan E adalah orang-orang yang terikat dalam ikatan perkawinan yang
sah.
2. A, B dan C adalah orang-orang yang berada di luar ikatan pernikahan.
3. A dan B berpacaran dan sebelum menikah melakukan persetubuhan (perzinaan).
4. Akibat persetubuhan tersebut B hamil dan melahirkan anak C.
21
5. Kemudian A dan B menikah dan setelah menjadi suami istri lahir dua orang
anak, yaitu D dan E.
6. Karena C lahir diluar ikatan perkawinan, maka C hanya memiliki hubungan
nasab dengan B sebagai ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki hubungan
nasab dengan A (ayah biologisnya) demikian pula tidak ada hubungan nasab
dengan D dan E walaupun memiliki hubungan darah yang sama.
7. Apabila C anak perempuan, maka wali nikah C bukan A’ melainkan wali hakim.
untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Dengan demikian kaitannya dengan hubungan darah antara anak dengan orang
tuannya juga perlu dilindungi oleh hukum baik ada atau tidak adanya ikatan
perkawinan antara ayah dan ibunya.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perkawinan Di Bawah
Tangan, Tanpa Perkawinan Dan Perselingkuhan.
dengan akta nikah, agar keabsahannya itu diakui oleh negara dapat diajukan
permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama sepanjang perkawinannya itu
memenuhi ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan tidak terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Halangan perkawinan
dimaksud adalah perkawinan yang dilarang undang-undang sebagaimana ketentuan
pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang tidak dapat
dilakukan sesuai ketentuan Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan perkawinan yang dilarang ketentuan Pasal 39 sampai dengan Pasal
43 Kompilasi Hukum Islam.
Apabila perkawinan tersebut terbukti keabsahannya dalam persidangan
memenuhi ketentuan yang berlaku dan tidak terdapat halangan atau larangan hukum
atau perkawinan tersebut dapat dilakukan, maka sesuai penjelasan Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 angka 22 yang menyatakan “pernyataan tentang
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain”, pengadilan akan
menjatuhkan penetapan atau putusan dengan diktum bersifat diclaratoir
“Menyatakan sah perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II yang dilaksanakan
pada hari ...... tanggal ......, di wilayah hukum Kantor Urusan Agama Kecamatan
........
Setelah adanya penetapan isbat nikah yang dijatuhkan pengadilan, maka
perkawinan yang dilakukan secara sirri tersebut, memiliki kekuatan hukum, karena
telah memiliki alat bukti otentik berupa penetapan atau putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti otentik yang lain.
Dengan adanya penetapan atau putusan isbat nikah, bukan hanya dapat
membuktikan kebenaran perkawinan yang telah dilaksanakan, melainkan juga
berakibat langsung terhadap anak-anak yang dilahirkannya yang semula status
nasabnya tidak jelas, menjadi secara serta merta sebagai anak yang memenuhi
ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sebaliknya ketika terjadi perkawinan di bawah tangan secara monogami
ternyata terbukti terdapat halangan dan atau larangan hukum. Misalnya yang
menjadi walinya orang yang tidak memiliki kapasitas sebagai wali, saksinya hanya
seorang diri, ternyata suami istri itu terikat hubungan darah yang dilarang untuk
melakukan perkawinan, perempuan yang dikawin masih terikat masa iddah dari
suaminya dan lain sebagainya, maka perkawinan di bawah tangan yang demikian
tidak dapat diisbatkan. Maka konsekuensinya terhadap anak yang dilahirkan tidak
dapat dilindungi oleh hukum. Hanya ada satu solusi hukum terbaik bagi kepentingan
dan perlindungan anak, yaitu dengan mengajukan permohonan asal usul anak
sebagaimana akan dibahas pada point berikutnya.
2. Isbat nikah dalam perkawinan poligami di bawah tangan.
berada diluar ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal
99 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Kedua ketentuan tersebut menyatakan “Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”. Ketentuan ini paling tidak terdapat dua muatan hukum yang berlainanm
sebagaimana tersebut di atas yaitu pertama calon istri sebelum perkawinan telah
hamil duluan oleh calon suaminya, kemudian melakukan perkawinan dan dalam
perkawinan itu lahirlah anak tersebut (kawin hamil), kedua seorang laki-laki dan
seorang perempuan melakukan perkawinan yang sah dan dari perkawinan tersebut
melahirkan anak. Permasalahan dalam ketentuan ini adalah muatan hukum pertama,
bila kelahiran anak tersebut kurang dari 6 (enam) bulan, sebagaimana telah
dijelaskan di atas menurut mayoritas ulama anak dalam kondisi kelahiran yang
demikian diyakini sebagai anak zina dan hubungan nasabnya hanya dihubungkan
kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Sedangkan menurut Al-Hasan, Ibrahim dan
Ibnu Sirrin beliau menyatakan apabila seorang laki-laki menzinahi seorang
perempuan yang berakibat perempuan itu hamil, kemudian laki-laki itu menikahi
perempuan yang dalam keadaan hamil, maka anak yang dilahirkan perempuan itu
adalah anaknya. Demikian pula menurut Ibnu Taimiyah bahwa anak zina berasal
dari sperma dan ovum kedua pasangan secara bersamaan dan keduanya sepakat
anak itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah penasaban anak tersebut kepada
ayah biologisnya. Oleh karena itu dalam hal ini nampaknya ketentuan sebagaimana
tersebut diadopsi dari dua pendapat ulama besar itu. Perlindungan hukum terhadap
anak yang demikian telah ada dan tidak perlu dimasalahkan lagi.
a. Asal Usul Anak Yang Lahir Sebagai Akibat Hubungan Badan Tanpa Atau
Sebelum Adanya Ikatan Perkawinan.
Persoalan yang muncul dalam masyarakat adalah anak yang lahir sebagai
akibat hubungan badan tanpa atau sebelum adanya ikatan perkawinan. Setelah anak
tersebut lahir kemudian perempuan dan laki-laki yang menyebabkan anak lahir
melakukan perkawinan. Pada kasus tersebut bila bercermin terhadap doktrin hukum
yang dikemukakan mayoritas ulama, anak tersebut adalah anak zina, nasabnya
hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja, tidak tergantung pada ada
atau tidak adanya pengakuan dari ayahnya, demikian pula tidak tergantung pada ada
atau tidak adanya ikatan perkawinan setelah anak tersebut lahir. Sedangkan menurut
Ibnu Taimiyah, ketika laki-laki itu mengakui anak yang dilahirkan perempuan
sebagai anaknya (tidak ada pengingkaran) menjadi tidak ada alasan hukum yang
dapat mencegah untuk menghubungkan penasaban anak tersebut terhadap
perempuan dan laki-laki yang menyebabkan ia lahir secara bersamaan.44 Sedangkan
apabila laki-laki itu mengingkari anak tersebut sebagai anaknya, maka hubungan
nasab anak tersebut hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja.
Eksistensi anak tersebut sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam, nampaknya diadopsi dari pendapat mayoritas ulama, hal mana anak tersebut
tidak termasuk dalam klasifikasi anak sah, melainkan sebagai anak luar kawin yang
44
Doktrin hukum ini senada dengan draf RUU Perkawinan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3)
versi pemerintah.
26
hanya memiliki hubungan keperdataan dan atau hubungan nasab dengan ibu dan
keluarga ibunya saja. Akan tetapi ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 maknanya diperluas yang semula berbunyi “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” oleh Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
beserta keluarga ibunya dan dengan ayahnya beserta keluarga ayahnya”. Dengan
demikian anak tersebut dapat dihubungkan dengan kedua orang tuanya baik dengan
ibunya maupun dengan ayahnya melalui hubungan keperdataan. Maka untuk
merealisasikan ketentuan tersebut dapat digunakan ketentuan yang berkaitan dengan
asal usul anak, sesuai Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada
dengan ketentuan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan Pasal 55 tersebut
menyatakan:
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar penetapan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 103 KHI menyatakan :
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat
bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang
anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang
sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Asal-usul anak dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Melakukan hubungan badan A dan B menikah tahun 2018
A B A B
CALON CALON ISTRI SUAMI ISTRI
SUAMI
Lahir seorang
anak bernama C
pada tahun 2017
Dalam kasus ini A (sebagai Pemohon I) dan B (sebagai Pemohon II) setuju
mengajukan permohonan asal usul anak ke pengadilan untuk kepentingan anaknya
27
bernama C. Maka ketika majelis hakim menerapkan ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diperluas maknanya melalui
putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka bunyi amar penetapannya adalah
sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan C anak biologis dari A (Pemohon I) dan B (Pemohon II) ;
3. Menetapkan C memiliki hubungan keperdataan dengan A (Pemohon I) beserta
keluarga A dan dengan B (Pemohon II) beserta keluarga B ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;
Akan tetapi ketika majelis hakim mengambil alih pendapat Al-Hasan, Ibrahim
dan Ibnu Sirrin setelah memenuhi syarat yang ditentukan, yaitu setelah A dijatuhi
hukuman had dan pendapat Ibnu Taemiyah sebagaimana tersebut di atas, maka
bunyi amar penetapannya adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menyatakan C anak yang lahir akibat zina yang dilakukan A (Pemohon I)
dengan B (Pemohon II) ;
3. Menetapkan C memiliki hubungan nasab dengan A (Pemohon I) beserta
keluarga A dan dengan B (Pemohon II) beserta keluarga B ;
4. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon I dan Pemohon II ;
tersebut, selain itu kesulitan yang akan dialami B, meskipun perbuatan perzinaan
dapat dibuktikan, akan tetapi belum tentu sperma yang membuahi ovum B adalah
sperma berasal dari A, akan lebih sulit lagi ketika saksi-saksi dan CCTV tidak ada
yang dapat membuktikan perzinaan tersebut, maka untuk tegaknya keadilan dalam
kasus seperti ini harus digunakan prinsip pembuktian terbalik, ketika A mengingkari
C sebagai anaknya, maka A berkewajiban membuktikan pengingkarannya bahwa A
tidak memiliki hubungan darah dengan C melalui tes DNA.
b. Asal Usul Anak Yang Lahir Sebagai Akibat Perkawinan Di Bawah
Tangan Monogami Yang Terdapat Larangan Undang-Undang.
A B D istri
istri suami kedua
A B D laki-laki pasangan
Suami istri selingkuhan B
sah dari A. Kebalikannya ketika A tidak dapat membuktikan dalilnya, maka gugatan
ditolak dan konsekwensinya E adalah anak sah dari A.
Hukum acara tentang pengingkaran anak lebih lanjut di atur pada Pasal 101
dan Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an”.
Dan Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima
45
Lihat Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam.
31
D. DAFTAR PUSTAKA
Ali Ahmad Al-Jurjani, Hikmh Al-Tasyri wa Falsafatuhu, (Maktabah Misykah Al-
Islam) www.shamile.com
Alimudin, SHI artikel Undang-Undang Perkawinan Antara Sejarah dan Agenda,
Artikel.
Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V
(Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt).
Abu Hahammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah, Al-Mughni , (Maktabah Al-Qahirah, 1968).
Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991).
Aby Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-‘Anshary Al-Qurthuby, Al-Jamii’
Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985).
Al-Imam Al-Jaliil Al-Hafidh Imaad Al-Din Aby Al-Fidaa’ Ismaa’il bin Katsir (Ibnu
Kasiir) Tafsiir Al-Qur;an Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa
Mathba’ah Toko Futra, tt).
DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984).
DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989).
Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’iy,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby
1957).
Muhammad bin Aby bakar bin Ayub bin Sa’ad Suamsi Al-Din Ibnu Qayyim Al-
Zaujiyah, Zaad al-Ma’ad Fi Huda Khair Al-‘Ibad, (Bairut: Muassasah
Al-Risaalah Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah Al-Kuwait, Ct. 27, 1994)
http://www.raqamiya.org
Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006).
Chatib Rasyid, Memahami “Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010, artikel disampaikan pada seminar nasional
dengan topik kebijakan pemerintah jawa tengah terhadap penomena
33