Anda di halaman 1dari 22

NAFKAH DALAM HUKUM ISLAM

OLEH
DRS, ISAK MUNAWAR, MH

PENGERTIAN
NAFKAH

Sayyid Sabiq1 menyatakan bahwa yang dimaksud nafkah dalam


hal ini adalah:
.‫ وإن ﻛﺎﻧﺖ ﻏﻨﻴﺔ‬،‫ ودواء‬،‫ وﺧﺪﻣﺔ‬،‫ وﻣﺴﻜﻦ‬،‫ﺗﻮﻓﲑ ﻣﺎ ﲢﺘﺎج إﻟﻴﻪ اﻟﺰوﺟﺔ ﻣﻦ ﻃﻌﺎم‬
Artinya “Pemenuhan kebutuhan isteri dari makanan, tempat
tinggal, pembantu dan pengobatan, walaupun isteri tersebut kaya”.

NAFKAH DALAM NAFKAH PASCA


IKATAN PERCERAIAN /
PERKAWINAN NAFKAH IDDAH

Muhammad Idris Al-Marbawi 1 mengklasipikasikan nafqah dalam dua akar kata,


yaitu nafaqa yanfiqu nafaqan yang artinya laku dan melakukan, dan nafiqa yanfaqu
nafqan yang artinya habis dan menghabiskan. Dari kata nafaqa dibentuk kata anfaqa
yunfiqu infaq, nafaqah, artinya membelanjakan, menggunakan dan memanfaatkan.

‫اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘ ِﺔ‬

Nafaqa yanfiqu nafaqan Nafiqa yanfaqu nafqan


artinya laku atau artinya menghabiskan
melakukan

Dibentuk menjadi anfaqa yunfiqu infaqan


artinya membelanjakan, menggunakan dan
memanfaatkan

1 Lihat Muhammad Idris Al-Marbawy, Kamus al-Marbawi, op.cit, halaman 336-337

1
Menurut R. Subekti et.al 1 nafkah, levensonderhoud (Bld)
alimentasi adalah uang belanja yang diperlukan guna memelihara
kehidupan seseorang yang memerlukannya.

Dalam UU No. 1/74 tidak memuat definisi nafkah, akan tetapi secara
oprasional disebutkan pada Pasal 34 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan
“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

Dasar Hukum Nafkah.

Al-Qur’an. UNDANG-UNDANG

Al-Hadis

Al-Qur’an.

Surat Al-Baqarah ayat 233:


‫ﺿﺎﻋﺔَ َو َﻋﻠَﻰ اﻟ َْﻤ ْﻮﻟُﻮِد ﻟَﻪُ ِر ْزﻗُـ ُﻬ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮ ُﻬﺗُ ﱠﻦ‬ َ ‫ﲔ ﻟِ َﻤ ْﻦ أَر‬
َ ‫اد أَ ْن ﻳُﺘِ ﱠﻢ اﻟ ﱠﺮ‬ ِ ‫َﲔ‬
ِ ْ َ‫ﻛﺎﻣﻠ‬ ِ ْ ‫ﻻد ُﻫ ﱠﻦ َﺣ ْﻮﻟ‬ ِ ‫ﺪات ﻳـﺮ‬
َ ‫ﺿ ْﻌ َﻦ أ َْو‬ ِ
ْ ُ ُ ‫َواﻟْﻮاﻟ‬
َ ِ‫ث ِﻣﺜْ ُﻞ ذﻟ‬
‫ﻚ‬ ِ ‫َﺪﻩِ و َﻋﻠَﻰ اﻟْﻮا ِر‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ ُ‫ﻒ ﻧَـ ْﻔﺲ إِﻻﱠ وﺳﻌﻬﺎ َﻻ ﺗ‬
َ ‫ﻀﺎ ﱠر واﻟ َﺪةٌ ﺑ َﻮﻟَﺪﻫﺎ َوﻻ َﻣ ْﻮﻟُﻮ ٌد ﻟَﻪُ ﺑ َﻮﻟ‬ َ ْ ُ ٌ ُ ‫ِﺎﺑﻟ َْﻤ ْﻌ ُﺮوف َﻻ ﺗُ َﻜﻠﱠ‬
ِ
Al-maulud lah dalam ayat tersebut adalah ayah terhadap anak dan suami
terhadap isteri, sedangkan rizqi adalah kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti makan,
minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan segala
kebutuhan dalam rumah tangga

Menurut sebagian shahabat diantaranya menurut Al-Suddiy, Al-Dlahak


dan lain-lain ayat ini berkaitan dengan istri-istri yang dijatuhi talak
suaminya yang sedang menyusui anak-anaknya, mereka lebih berhak
menyusui anak-anaknya daripada yng lain, dan mereka berhak ujrah dari
jasa menyusuinya itu. Sedangkan menurut shahabat yang lain secara
tektual ayat tersebut berkaitan dengan istri-istri yang masih berada dalam
ikatan perkawinan dengan suaminya, karena mereka berhak atas nafkah
dan pakaian baik sedang menyusui anak-anaknya maupun tidak

2
‫‪Surat Al-Baqarah ayat 233:‬‬

‫ُﻮد ﻟَﻪُ ِرْزﻗُـ ُﻬ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮ ُﻬﺗُ ﱠﻦ‬


‫و َﻋﻠَﻰ اﻟْﻤﻮﻟ ِ‬ ‫ﻻد ُﻫ ﱠﻦ َﺣ ْﻮﻟ ْ ِ‬
‫َﲔ‬ ‫ﺪات ﻳـﺮ ِ‬
‫ﺿ ْﻌ َﻦ أ َْو َ‬ ‫ِ‬
‫َْ‬ ‫َ‬ ‫َواﻟْﻮاﻟ ُ ُ ْ‬
‫ِ‬ ‫ﱠ‬ ‫ِ‬ ‫اد أَ ْن ﻳُﺘِ ﱠﻢ اﻟ ﱠﺮ َ‬‫ﲔ ﻟِ َﻤ ْﻦ أَر َ‬ ‫ِ‬
‫ﻛﺎﻣﻠَ ْ ِ‬
‫ﺲ إﻻﱠ ُو ْﺳ َﻌﻬﺎ‬ ‫ﻒ ﻧَـ ْﻔ ٌ‬ ‫ِﺎﺑﻟ َْﻤ ْﻌ ُﺮوف َﻻ ﺗُ َﻜﻠ ُ‬ ‫ﺿﺎﻋﺔَ‬

‫َﺪﻩِ‬
‫وﻻ ﻣﻮﻟُﻮ ٌد ﻟَﻪُ ﺑِﻮﻟ ِ‬ ‫ﻀﺎ ﱠر واﻟِ َﺪةٌ ﺑِﻮﻟ ِ‬
‫َﺪﻫﺎ‬ ‫َﻻ ﺗُ َ‬
‫َ‬ ‫َ َْ‬ ‫َ‬

‫ِِ‬
‫ﺿ َﺮ ًارا ِﺄﺑَﺑﻴﻪ أ َْو ﺗَﻄْﻠُ َ‬
‫ﺐ‬ ‫َﻻ َﺄﺗ َْﰉ ْاﻷُ ﱡم أَ ْن ﺗُـﺮ ِ‬
‫ﺿ َﻌﻪُ إِ ْ‬ ‫ْ‬ ‫َب أَ ْن ﳝَْﻨَ َﻊ ْاﻷُ ﱠم ِﻣ ْﻦ ذَﻟِ َ‬
‫ﻚ َﻣ َﻊ‬ ‫َوَﻻ َِﳛ ﱡﻞ ﻟِ ْﻸ ِ‬

‫َﺟ ِﺮ ِﻣﺜْﻠِ َﻬﺎ‬ ‫ِ‬ ‫اﻹ ْر َ‬


‫ﺿ ِﺎع‬ ‫َر ْﻏﺒَﺘِ َﻬﺎ ِﰲ ِْ‬
‫أَ ْﻛﺜَـ َﺮ ﻣ ْﻦ أ ْ‬

‫‪Al-Maulud menurut mufasir al-ab, menurut Mushthafa Al-Khan al-jauz‬‬

‫‪Surat Al-Thalaq ayat 6‬‬

‫ت َﲪْ ٍﻞ ﻓَﺄَﻧْ ِﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ َﺣ ﱠﱴ ﻳَ َ‬


‫ﻀ ْﻌ َﻦ َﲪْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ‬ ‫ُوﻻ ِ‬ ‫وﻫ ﱠﻦ ﻟِﺘُ َ‬
‫ﻀﻴِّ ُﻘﻮا َﻋﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ َوإِ ْن ُﻛ ﱠﻦ أ َ‬ ‫ﺚ َﺳ َﻜﻨْـﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ َوَﻻ ﺗُ َ‬
‫ﻀﺎ ﱡر ُ‬ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴْ ُ‬ ‫َﺳ ِﻜﻨُ ُ‬‫أْ‬
‫وف وإِ ْن ﺗَـﻌﺎﺳﺮُْﰎ ﻓَﺴ ُﱰ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬
‫ﺿ ُﻊ ﻟَﻪُ أُ ْﺧ َﺮى‬ ‫ﻮرُﻫ ﱠﻦ َوأْ َﲤ ُﺮوا ﺑَـﻴْـﻨَ ُﻜ ْﻢ ِﲟَ ْﻌ ُﺮ َ َ َ ْ َ ْ‬ ‫ُﺟ َ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ أ ُ‬ ‫ﻓَِﺈ ْن أ َْر َ‬
‫ﺿ ْﻌ َﻦ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺂﺗُ ُ‬
‫‪Arinya “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah‬‬
‫‪kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang‬‬
‫‪hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-‬‬
‫)‪anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu‬‬
‫‪dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.1‬‬

‫‪Al-Hadis‬‬

‫‪Hadis Nabi riwayat Muslim Nomor 1218‬‬


‫ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ‪ -‬ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ‪ " :-‬ﻓﺎﺗﻘﻮا ﷲ ﰲ اﻟﻨﺴﺎء‪ ،‬ﻓﺈﻧﻜﻢ أﺧﺬﲤﻮﻫﻦ ﺄﺑﻣﺎﻧﺔ ﷲ‪،‬‬
‫ﻋﻠﻴﻬﻦ أن ﻻ ﻳﻮﻃﺌﻦ ﻓﺮﺷﻜﻢ أﺣﺪاً ﺗﻜﺮﻫﻮﻧﻪ‪ ،‬ﻓﺈن ﻓﻌﻠﻦ ذﻟﻚ‬
‫ّ‬ ‫ﻓﺮوﺟﻬﻦ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﷲ‪ ،‬وﻟﻜﻢ‬
‫ّ‬ ‫واﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ‬
‫ﻓﺎﺿﺮﺑﻮﻫﻦ ﺿﺮﺎﺑً ﻏﲑ ﻣﱪح‪ ،‬وﳍﻦ ﻋﻠﻴﻜﻢ رزﻗﻬﻦ وﻛﺴﻮﻬﺗﻦ ﺎﺑﳌﻌﺮوف‪ ،‬وﻗﺪ ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﻣﺎ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮا‬
‫ﺑﻌﺪﻩ إن اﻋﺘﺼﻤﺘﻢ ﺑﻪ‪ ،‬ﻛﺘﺎب ﷲ "‪.‬‬

‫ﻓﻤﺎ رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ‪ ،‬رﻗﻢ‪ ،5049 :‬وﻣﺴﻠﻢ رﻗﻢ‪ (1714 :‬ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﺎ‪ ،‬أن‬
‫ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﺔ ﻗﺎﻟﺖ‪ � :‬رﺳﻮل ﷲ‪ ،‬إن أﺎﺑ ﺳﻔﻴﺎن رﺟﻞ ﺷﺤﻴﺢ‪ ،‬وﻟﻴﺲ ﻳﻌﻄﻴﲏ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﲏ ووﻟﺪي‪ ،‬إﻻ‬
‫ﻣﺎ أﺧﺬت ﻣﻨﻪ‪ ،‬وﻫﻮ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ‪ ،‬ﻓﻘﺎل‪ " ،‬ﺧﺬي ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻚ ووﻟﺪك ﺎﺑﳌﻌﺮوف‬
‫"‬

‫‪3‬‬
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama juga bersabda dalam hadis riwayat
Mu’awiyah Al-Qusyairi1 dari ayahnya radliyallahu ‘anhuma :
‫ْﺴ َﻮ َﻫﺎ إِ َذا‬ َ َ‫ ﻗ‬،‫َﺣ ِﺪ َ� َﻋﻠَْﻴ ِﻪ؟‬
َ ‫ »أَ ْن ﺗُﻄ ِْﻌ َﻤ َﻬﺎ إِ َذا ﻃَ ِﻌ ْﻤ‬:‫ﺎل‬ ِ ِ‫ﻮل ﱠ‬
ُ ‫ َوﺗَﻜ‬،‫ﺖ‬ َ ‫ َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ َزْو َﺟﺔ أ‬،‫اﻪﻠﻟ‬ َ ‫ َ� َر ُﺳ‬:‫ْﺖ‬ ُ ‫ ﻗُـﻠ‬:‫ﺎل‬
َ َ‫ﻗ‬
ِ ‫ وَﻻ َﻬﺗْﺠﺮ إِﱠﻻ ِﰲ اﻟْﺒـ ْﻴ‬،‫ وَﻻ ﺗُـ َﻘﺒِّ ْﺢ‬،َ‫ب اﻟْﻮ ْﺟﻪ‬
‫ " َوَﻻ‬:‫ﺎل أَﺑُﻮ َد ُاو َد‬
َ َ‫ﺖ« ﻗ‬ َ ُْ َ َ َ ِ ‫ﻀ ِﺮ‬ ْ َ‫ َوَﻻ ﺗ‬،‫ﺖ‬ َ َ‫ أَ ِو ا ْﻛﺘ‬،‫ﺖ‬
َ ‫ﺴ ْﺒ‬ َ ‫ﺴ ْﻴ‬
َ َ‫ا ْﻛﺘ‬
ِ ‫ ﻗَـﺒﱠﺤ‬:‫ﻮل‬
‫ﻚ ﱠ‬
ُ‫اﻪﻠﻟ‬ َ َ ‫ﺗُـ َﻘﺒِّ ْﺢ أَ ْن ﺗَـ ُﻘ‬
Artinya “Dia berkata ‘saya bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai
Rasulallah apa saja yang menjadi hak isteri-isteri kita? Rasulullah menjawab:
Berilah dia makan, apabila kamu makan, berilah dia pakaian bila kamu
berpakaian atau bila kamu mampu berusaha, janganlah kamu memukul wajahnya,
janganlah kamu mencidrainya dan janganlah kamu mengusirnya kecuali dalam
rumah. Abu Dawud menyatakan yang dimaksud kalimat wala tuqabbih, seorang
suami tidak boleh menyatakan semoga Allah menghinakanmu.”

UNDANG-UNDANG

UU No. 1/74 Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat
menyatakan “Suami wajib (2) dan dan ayat (4)
melindungi isterinya dan (2) Suami wajib melidungi
memberikan segala sesuatu isterinya dan memberikan segala
keperluan hidup berumah sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan tangga sesuai dengan kemampuannya
kemampuannya (4) sesuai dengan penghasislannya
suami menanggung : a. nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi
isteri; b. biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak

4
Beban nafkah dalam keluarga

Menurut Mayorita ulama bahwa berbeda dengan pendapat Ibn


nafkah wajib diberikan suami Hazm Al-Dhahiry menyatakan
terhadap isteri secara mutlak, baik apabila suami dalam keadaan
isterinya itu seorang muslimah atau kesulitan sedangkan isterinya
non muslimah, baik ia memiliki harta memiliki harta kekayaan yang
kekayaan maupun tidak memiliki melimpah, maka kewajiban nafkah
kekayaan, kewajibnan nafkah dalam
itu dibebankan kepada isterinya.
hal ini berkaitan langsung dengan sah
atau tidak sahnya akad pernikahannya,
Sesuai petunjuk Al-Qur’an Surat
apabila pernikahannya itu fasid secara Al-Baqarah ayat 233 sebagaimana
hukum, maka suami tidak wajib tersebut di atas.
memberikan nafkahnya. Substansinya hampir sama dengan
Sesuai Pasal 80 KHI Pasal 41 huruf b UU Nomor 1/74

ِ ،‫}وإن ﻛﺎن ذو ﻋﺴﺮة‬


{‫ﻓﻨﻈﺮة إﱃ ﻣﻴﺴﺮة‬ ‫ﺲ إِﻻﱠ ُو ْﺳ َﻌﻬﺎ‬ ُ ‫َﻻ ﺗُ َﻜﻠﱠ‬
ٌ ‫ﻒ ﻧَـ ْﻔ‬
[2 /280:‫]اﻟﺒﻘﺮة‬

‫ ﺎﺑع اﻟﻘﺎﺿﻲ‬،‫إن ﻛﺎن اﻟﺰوج ﻣﻮﺳﺮاً وﻟﻪ ﻣﺎل ﻇﺎﻫﺮ‬ ‫اﻪﻠﻟَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ‬ ِ
‫آﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا ﱠ‬ َ ‫ﻳﻦ‬ َ ‫َ� أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﱠﺬ‬
.‫ وأﻋﻄﻰ اﻟﺜﻤﻦ ﻟﺰوﺟﺘﻪ ﻟﻠﻨﻔﻘﺔ‬،‫ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﺟﱪاً ﻋﻠﻴﻪ‬ ِ ِّ ‫ِﻣ َﻦ‬
ْ‫( ﻓَِﺈ ْن َﱂ‬278) ‫ﲔ‬ َ ِ‫اﻟﺮﺎﺑ إِ ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺆﻣﻨ‬
‫ ﺣﺒﺴﻪ‬،ً‫وإن ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻣﺎل ﻇﺎﻫﺮ وﻛﺎن ﻣﻮﺳﺮا‬ ‫اﻪﻠﻟ َوَر ُﺳﻮﻟِ ِﻪ َوإِ ْن‬
ِ‫ب ِﻣﻦ ﱠ‬ ِ
َ ٍ ‫ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ﲝَ ْﺮ‬
‫ ﻟﻘﻮل اﻟﻨﱯ ﺻﻠّﻰ‬،(1) ‫اﻟﻘﺎﺿﻲ إذا ﻃﻠﺒﺖ اﻟﺰوﺟﺔ‬ ‫س أ َْﻣﻮاﻟِ ُﻜ ْﻢ َﻻ ﺗَﻈْﻠِ ُﻤﻮ َن َوﻻ‬ ُ ‫ﺗُـ ْﺒـﺘُ ْﻢ ﻓَـﻠَ ُﻜ ْﻢ ُرُؤ‬
‫ ﳛﻞ ﻋﺮﺿﻪ‬،‫»ﻣﻄْﻞ اﻟﻐﲏ ﻇﻠﻢ‬
َ :‫ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬ ٌ‫( َوإِ ْن ﻛﺎ َن ذُو ﻋُ ْﺴ َﺮةٍ ﻓَـﻨَ ِﻈ َﺮة‬279) ‫ﺗُﻈْﻠَ ُﻤﻮ َن‬
‫وﻋﻘﻮﺑﺘﻪ« وﻳﻈﻞ ﳏﺒﻮﺳﺎً ﺣﱴ ﻳﺪﻓﻊ اﻟﻨﻔﻘﺔ‬ ‫ﺼ ﱠﺪﻗُﻮا َﺧ ْﲑٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ‬ ٍ ‫إِﱃ ﻣﻴ‬
َ َ‫ﺴ َﺮة َوأَ ْن ﺗ‬ َ َْ
‫ ﻓﻼ ﳛﺒﺲ؛ إذ أﻧﻪ ﻟﻴﺲ‬:ً‫وأﻣﺎ إن ﻛﺎن اﻟﺰوج ﻣﻌﺴﺮا‬ (280) ‫ﺗَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن‬
‫ وﻷﻧﻪ ﻻ ﻓﺎﺋﺪة ﻣﻦ‬،‫ﻇﺎﳌﺎً ﺎﺑﻣﺘﻨﺎﻋﻪ ﻋﻦ اﻹﻧﻔﺎق‬
‫ﺣﺒﺴﻪ‬

5
Illat kewajiban Suami Memberikan
Nafkah kepada istrinya

menurut pandangan ulama Al-Hanafiyah yang menjadi illat adalah


istihqaaq al-habs al-tsaabit bi al-nikah li al-zauj, yaitu dengan
pernikahan, suami berhak menahan isterinya untuk menetap
tinggal bersamanya. Dengan demikian menurut pendapat ini
seorang suami tidak berkewajiban menafkahi seorang isteri dalam
pernikahan yang fasid (rusak), karena pernikahan yang fasid tidak
memiliki akibat hukum adanya hak suami menahan terhadap
isterinya. Demikian juga suami tidak berkewajiban memberikan
nafkah terhadap isterinya yang sedang menjalankan masa iddah,
yang ikatan perkawinannya putus cerai karena talak atau bukan
karena talak, raj’iy atau ba’in, dalam keadaan hamil atau tidak,
dan perceraian itu merupakan keinginan isterinya

Mayoritas ulama menyatakan bahwa yang menjadi illat


kewajiban nafkah adalah karena adanya ikatan
perkawinan, dengan demikian menurut pandangan ini
nafkah wajib diberikan kepada isteri yang telah dijatuhi
talak raj’iy atau ba’in dalam keadan hamil, karena pada talak
raj’iy hak suami masih tetap ada untuk melakukan ruju’ dan
pada talak ba’in dalam keadaan isteri hamil masih berhak atas
nafkah dari suaminya

menurut ulama Al-Malikiyah dan ulama Al-Syafi’iah,


isteri yang ditalak ba’in dalam keadaan hamil, ia hanya
berhak atas tempat tinggal tidak berhak atas nafkah,
karena ikatan perkawinannya telah hilang

6
Syarat-syarat Istri mendapatkan
hak nafkah

Menurut KHI Pasal 80 ayat (5) dan


ayat (7)

setelah adanya isterinya itu dalam


tamkin keadaan tidak nusyuz
(bersetubuh) (durhaka) kepada
yang sempurna suaminya

Menurut Fikih

Akad perkawinannya Telah melakukan hubungan suami


sah isteri secara sempurna (tamkin)

Isteri telah dewasa dan Isteri tidak menolak berpindah tempat


memungkinkan dilakukan hubungan tinggal yang diinginkan suaminya
suami isteri

Isteri telah menyerahkan Isteri tersebut dalam


diri kepada suaminya keadaan normal

Ibnu Hazm1 seorang laki-laki harus memberikan nafkah kepada


seorang perempuan seketika ketika ia dinikahinya, dan keharusan
memberikan nafkah tersebut berlaku secara mutlak, dengan tanpa
harus adanya syarat-syarat sebagaimana yang dinyatakan para
ulama terdahulu, isteri tersebut dalam keadaan nusyuz atau tidak
nusyuz.

7
Ulama Al-Malikiyah

Sebelum terjadi Setelah persetubuhan


persetubuhan

Suami memiliki kemampuan


menafkahinya baik dari harta
Isteri telah berupaya
Salah seorang dari maupun dari usahanya, namun
merayu suaminya untuk
suami isteri tidak apabila suami dalam keadaan
melakukan hubungan
kesulitan, maka tidak diwajibkan
suami isteri dalam keadaan
memberikan nafkah kepada isterinya,
(persetubuhan) sakit keras sesuai firman Allah “laa yukallifu
Allahu nafsan illa maa ataaha”.

Suami telah
dewasa

Ukuran nafkah

Menurut ulama Al-Hanafiyah Menurut ulama Al-Syafi’iyah

Islam tidak mengatur ukuran


nafkah yang dapat dijadikan
bagi suami yang memiliki
patokan adalah bi al-ma’ruf
kemampuan lebih, maka ukuran
nafkah yang harus dibayarkan kepada
isterinya adalah dua mud ( 2 X 2,5
Ukuran nafkah yang harus dibayarkan suami liter), bagi suami yang
kepada isterinya dalam perundang-undangan berkemampuan menengah, maka
yang berlaku di Mesir terdapat dua istrumen ukuran nafkah yang harus dibayarkan
yang harus dijadikan pertimbangan, yaitu kepada isterinya adalah 1,5 mud ( 1,5
kemampuan suami dan kepatutan serta X 2,5 liter) dan bagi suami yang
kelayakan bagi isterinya. Hal tersebut memiliki kemampuan kurang, maka
sebagaimana dimuat dalam Pasal 16 Undang- ukuran nafkah yang harus dibayarkan
undang Nomor 25 Tahun 1929 yang kepada isterinya adalah satu mud (2,5
menyatakan bahwa “ukuran nafkah isteri yang liter). Ukuran tersebut adalah
menjadi tanggungjawab suaminya merupakan ijtihad melalui metoda
diperhitungkan dengan keadaan kemampuan
analogi terhadap kifarat.
suami, serta kelayakan dan kepatutan bagi
isterinya”. 1

8
Menurut Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa “suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Pasal
ini senada dengan ketentuan Pasal 80 ayat 2 Kompilasi
Hukum Islam. Kemampuan dimaksud dalam pasal ini
adalah penyesuaian besaran nafkah dengan penghasilan
suami, sebagaimana dimuat dalam Pasal 80 ayat (4)
Kompilasi Hukum Islam.1

Gugurnya hak istri atas nafkah

Isteri nusyuz Isteri bepergian

Pembebasan nafkah Lewat waktu.


yang akan datang
Meninggalnya salah
Murtad atau pindah seorang suami isteri.
agama
Adanya gugatan perceraian
Seorang isteri berstatus
dari pihak isteri
sebagai pegawai

a. Isteri nusyuz.
Nusyuz dalam Al-Qur’an ditujukan kepada isteri atau istri-istri, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Nisa ayat 34:
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـﺒْـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن‬
ُ ُ‫ﺿ ِﺮﺑ‬ ِ‫ﻀ‬
ْ ‫ﺎﺟ ِﻊ َوا‬ َ ‫وﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟ َْﻤ‬ ُ ُ‫ﻮزُﻫ ﱠﻦ ﻓَ ِﻌﻈ‬
ُ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮ‬ َ‫ﺸ‬ ُ ُ‫اﻟﻼِﰐ َﲣَﺎﻓُﻮ َن ﻧ‬‫َو ﱠ‬
‫ﲑ‬ ِ ِ ‫ﱠ‬
ً ‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن َﻋﻠﻴًّﺎ َﻛﺒ‬
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, 2 maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. 3 Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Dalam Surat Al-Nisa’ ayat 128 Allah berfirman:

2
Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.
3Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula

diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga
barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada
manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

9
ٌ‫ْﺢ َﺧ ْﲑ‬
ُ ‫ﺼﻠ‬
‫ْﺤﺎ َواﻟ ﱡ‬
ً ‫ﺻﻠ‬
ِ ‫ﺿﺎ ﻓَ َﻼ ﺟﻨَﺎح َﻋﻠَﻴ ِﻬﻤﺎ أَ ْن ﻳ‬
ُ ‫ﺼﻠ َﺤﺎ ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
ُْ َ ْ َ ُ ً ‫ﻮزا أ َْو إِ ْﻋ َﺮا‬
ً‫ﺸ‬ ُ ُ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧ‬ْ َ‫َوإِ ِن ْاﻣ َﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
‫ﲑا‬ ِ ِ ‫ﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُﲢْ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن ﱠ‬
ً ‫اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن ﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﺧﺒ‬ ‫ﺲ اﻟ ﱡ‬ ِ ِ ْ ‫وأ‬
ُ ‫ُﺣﻀ َﺮت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬ َ
Artinya “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz 4 atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, 5 dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. 6 Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7 menjelaskan yang dimaksud nusyuz dalam Surat Al-
Nisa ayat 34 adalah:

َ ‫ اﳌُْﺒ ِﻐ‬،‫ﺿﺔ ﻋﻨﻪ‬


‫ ﻓﻤﱴ ﻇﻬﺮ ﻟﻪ‬.‫ﻀﺔ ﻟﻪ‬ َ ‫ اﳌُْﻌ ِﺮ‬،‫ اﻟﺘﺎرﻛﺔ ﻷﻣﺮﻩ‬،‫ ﻓﺎﳌﺮأة اﻟﻨﺎﺷﺰ ﻫﻲ اﳌﺮﺗﻔﻌﺔ ﻋﻠﻰ زوﺟﻬﺎ‬،‫ﻫﻮ اﻻرﺗﻔﺎع‬
،‫ﻋﻘﺎب ﷲ ﰲ ﻋﺼﻴﺎﻧﻪ ﻓﺈن ﷲ ﻗﺪ أوﺟﺐ ﺣﻖ اﻟﺰوج ﻋﻠﻴﻬﺎ وﻃﺎﻋﺘﻪ‬
َ ‫وﻟﻴﺨﻮﻓﻬﺎ‬
ّ ‫ﻣﻨﻬﺎ أﻣﺎرات اﻟﻨﺸﻮز ﻓﻠﻴﻌﻈْﻬﺎ‬
‫وﺣﺮم ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ‬
Artinya “ Al-irtifa’ seorang isteri yang nusyuz adalah perempuan yang terangkat
(durhaka) kepada suaminya, yaitu meninggalkan perintah suaminya, membangkang dan
membenci suaminya, bilamana muncul tanda-tanda kenusyuzan isteri, maka suami
hendaknya memberikan nashihat dan menakut-nakuti dengan siksa Allah dalam hal
mendurhakainya, karena Allah telah menetapkan hak suami terhadap isterinya,
menta’atinya dan haram hukumnya isteri mendurhakainya.”
Demikian pula yang dimaksud nusyuz dalam ayat 128 adalah :
‫ ﻣﻦ ﻧﻔﻘﺔ أو‬،‫ ﻓﻠﻬﺎ أن ﺗﺴﻘﻂ ﺣﻘﻬﺎ أو ﺑﻌﻀﻪ‬،‫ أو ﻳﻌﺮض ﻋﻨﻬﺎ‬،‫ﻣﺎ إذا ﺧﺎﻓﺖ اﳌﺮأة ﻣﻦ زوﺟﻬﺎ أن ﻳﻨﻔﺮ ﻋﻨﻬﺎ‬
،‫ وﻟﻪ أن ﻳﻘﺒﻞ ذﻟﻚ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻼ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻬﺎ ﰲ ﺑﺬﳍﺎ ذﻟﻚ ﻟﻪ‬،‫ أو ﻏﲑ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﳊﻘﻮق ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ أو ﻣﺒﻴﺖ‬،‫ﻛﺴﻮة‬
‫ْﺢ‬ ِ ‫} ﻓَﻼ ﺟﻨَﺎح َﻋﻠَﻴ ِﻬﻤﺎ أَ ْن ﻳ‬:‫وﻻ ﻋﻠﻴﻪ ﰲ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﻣﻨﻬﺎ؛ وﳍﺬا ﻗﺎل ﺗﻌﺎﱃ‬
ُ ‫ﺼﻠ‬
‫ﺎل } َواﻟ ﱡ‬
َ َ‫ْﺤﺎ { ﰒُﱠ ﻗ‬
ً ‫ﺻﻠ‬
ُ ‫ﺼﻠ َﺤﺎ ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
ُْ َ ْ َ ُ
‫ ﻣﻦ اﻟﻔﺮاق‬:‫َﺧ ْﲑٌ { أي‬
Artinya “Apabila seorang isteri khawatir suaminya akan mengusirnya atau tidak
mau menunaikan kewajiban yang menjadi haknya, yang akan menggugurkan haknya atau
sebagian haknya seperti untuk mendapatkan nafkah, pakaian atau tempat tinggal atau
yang lainnya yang merupakan bagian dari hak-haknya, maka dalam hal ini untuk
menyelesaikannya diupayakan dengan cara berdamaia, karena perdamaian lebih baik
daripada bercerai, bila suaminya itu dapat menerimanya. 8

4Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah

tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak
mau memberikan haknya.
5Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali
6Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas

hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
7Lihat Abu Al-Fida’ Isma’l bin Ummar bin Katsir Al-Qursy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir,

op.cit, Juz II halaman 294, lihat juga Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Aby Bakr bin Farah Al-Anshary, Syamsu Al-
Din Al-Qurthuby, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, op.cit, Juz V halaman 170
8 Lihat Abu Al-Fida’ Isma’l bin Ummar bin Katsir Al-Qursy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu

Katsir, ibid, Juz II halaman 426

10
Oleh karena itu seorang isteri nusyuz tidak mau melakukan kewajiban-kewajiban
yang diwajibkan Allah terhadapnya sebagai seorang isteri, atau tidak mentaati suaminya
atau durhaka terhadap suaminya, atau isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, apabila
setelah isteri itu dinasehati, tetap saja nusyuz, maka gugur hak atas nafkahnya.

‫ إﻻ اﻟﻨﺎﺷﺰ ﻣﻨﻬﻦ‬،‫ ﻓﺎﺗﻔﻖ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ وﺟﻮب ﻧﻔﻘﺎت اﻟﺰوﺟﺎت ﻋﻠﻰ أزواﺟﻬﻦ إذا ﻛﺎﻧﻮا ﺎﺑﻟﻐﲔ‬:‫وأﻣﺎ اﻹﲨﺎع‬

b. Seorang isteri berstatus sebagai pegawai.


Seorang isteri sebagai seorang pegawai yang menyita waktu, sangat tergantung
kepada izin dari suaminya, seandainya suami memberikan izin terhadap isteri untuk
bekerja siang malam, maka ia berhak atas nafkah, dan apabila suami tidak memberikan
izin, serta pekerjaannya atas kehendak isteri, maka tidak berhak atas nafkah. Termasuk
apabila pekerjaan isteri itu dijadikan syarat dalam akad nikahnya, agar ia tetap bekerja,
persyaratan ini menurut Ulama Al-Hanafiyah tidak berlaku, akadnya sah dan suami tetap
berhak melarang isterinya bekerja, bila ia tetap bekerja maka hak untuk mendapatkan
nafkahnya gugur.
c. Isteri bepergian.
Apabila isteri bepergian tanpa sepengetahuan atau tanpa izin suaminya, maka
gugur hak atas nafkahnya. Ulama sepakat bahwa apabila seorang isteri bepergian bersama
orang lain baik untuk menunaikan ibadah hajji atau yang lainnya sebelum terjadinya
persetubuhan, maka nafkahnya gugur, karena isteri tersebut tidak menunaikan
kewajibannya tinggal bersama suaminya. Demikian pula hak nafkahnya gugur bila ia
bepergian sendiri tanpa izin suami dan telah melakukan hubungan suami isteri. Adapun
jika kepergiannya bersama seorang mahram dan bertujuan untuk menunaikan kewajiban
ibadah hajji, tidak gugur hak atas nafkahnya walaupun tidak diizinkan suaminya (menurut
pandangan ulama al-Malikiyah dan Al-Hanabilah), karena kepergiannya untuk
menunaikan kewajiban agamanya, dengan demikian isteri tidak ada di rumah terdapat
alasan syara’. Sedangkan menurut mayoritas ulama Al-Hanafiyah, isteri yang bepergian
tersebut gugur hak nafkahnya walaupun diizinkan suaminya, karena kepergiannya
kontradiktif dengan kewajibannya sebagai isteri, baik kepergiannya itu untuk menunaikan
kewajiban ibadah hajji, untuk pendidikan atau yang lainnya.

d. Lewat waktu.
Kewajiban nafkah terhadap isteri menjadi gugur, setelah lewat waktu dan
tidak ada putusan pengadilan yang menghukum untuk membayar nafkah. Ulama
Al-Hanafiyah menyatakan gugur kewajiban nafkah dengan lewatnya waktu
sebelum nafkah itu ditetapkan sebagai utang yang harus ditanggung suami dan
dengan demikian kewajiban nafkah tidak gugur dengan lewatnya waktu setelah
ada putusan pengadilan yang menyatakan nafkah tersebut sebagai utang. Ulama
Al-Malikiyah menyatakan nafkah tidak gugur dengan lewatnya waktu dan isteri
berhak menarik nafkah yang telah dibekukan terhadap suaminya, hal ini berbeda
dengan nafkah terhadap kerabat, nafkah ini gugur dengan lewat waktu, karena
dengan lewat waktu kebutuhan terhadap nafkah menjadi tidak ada.

11
Persoalan nafkah terhadap isteri ini sebaiknya perlu dikembalikan kepada
dua instrumen hak terhadap suatu benda, apakah hak isteri terhadap nafkah
merupakan hak milk atau merupakan hak al-intifa’. Apabila nafkah didefinisikan
dengan hak kepemilikan, maka sesuai dengan sifatnya suatu kepemilikan adalah
merupakan hak mutlak pemiliknya, bila hak milik ini dikuasai orang lain atau
belum diberikan oleh pihak lain, maka ia dapat menuntut agar segera dialihkan
atau dibayarkan. Apabila pemilik hak ini membiarkan haknya dikuasai orang lain
atau membiarkan orang lain tidak memenuhi kewajibannya, hal yang demikian
dapat ditafsirkan pemilik hak ini merelakan haknya dikuasai orang lain dan atau
merelakan orang lain tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga kewajiban
orang lain itu menjadi gugur dengan sendirinya. Hanya saja yang menjadi
persoalan dalam hal ini berapa lama waktu yang diperlukan untuk menggugurkan
suatu hak.
Lamanya waktu pembiaran dalam hak keperdataan sangat diperlukan untuk
kepastian hukum. Oleh karena itu ketentuan kedaluarsa dapat dirujuk ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang dimuat dalam KUHPerdata Pasal 1965 sampai
dengan Pasal 1971. Atau dapat dianalogikan terhadap ta’lik talak yang dimuat
dalam buku nikah, poin 2 (dua) yaitu tidak memberikan nafkah selama tiga bulan
lamanya.
Apabila nafkah didefinisikan sebagai hak pemanfaatan, maka hak nafkah
hanya merupakan hak guna pakai saja, dengan demikian apabila suami tidak
memberikan nafkah kepada isterinya, maka isteri tersebut tidak dapat menuntut
apapun dari suaminya.
e. Pembebasan nafkah yang akan datang.
Nafkah yang akan datang adalah nafkah sebagai hak isteri yang belum
dibayarkan suaminya, apabila nafkah ini dibebaskan atau dihibahkan oleh isteri
terhadap suaminya, maka gugurlah kewajiban suaminya, akan tetapi menurut
ulama Al-Hanafiyah tidak sah menurut hukum membebaskan atau menghibahkan
nafkah yang akan datang, sebab nafkah isteri merupakan kewajiban untuk
menutupi kebutuhan yang terikat dengan waktu, pembebasan dan atau
penghibahan sesuatu yang belum terbukti adanya adalah suatu hal yang tidak
mungkin terjadi.
f. Meninggalnya salah seorang suami isteri.
Apabila suami meninggal dunia sebelum menunaikan kewajibannya
membayar nafkah, maka isteri dari suami itu tidak dapat menuntut penggantian
nafkah dengan harta warisan yang dimiliki suaminya itu, demikian pula apabila
seorang isteri meninggal dunia sebelum dibayarkan nafkahnya, maka ahli waris
isteri tersebut tidak dapat menuntut suaminya untuk mengembalikan nafkah itu
kepada seluruh ahli waris, apabila suami meminjam atau menghutangkan nafkah
dan kiswah terhadap isterinya, kemudian suami itu meninggal dunia sebelum
lewat waktu masa pinjaman, maka ahli waris suami itu tidak dapat menuntut
sesuatu apapun, demikian pula bila isterinya yang meninggal dunia utang nafkah

12
tidak dapat ditarik sebagai harta warisan menurut Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf. 9
g. Murtad atau pindah agama.
Apabila seorang isteri murtad atau berpindah agama dari agama Islam ke
agama yang lain, maka gugur haknya untuk mendapatkan nafkah, karena
hubungan badan menjadi terlarang akibat murtad atau pindah agama tersebut,
apabila ia kembali lagi beragama Islam, maka hak atas nafkahnya akan kembali
lagi sebagaimana biasanya menurut ulama Al-Syafi’iyah dan ulama Al-Hanabilah.
Perbedaan antara nusyuz dengan murtad adalah bahwa seorang isteri yang murtad
gugur haknya untuk mendapatkan nafkah karena kemurtadannya, sedangkan
seorang isteri yang nusyuz gugur hak atas nafkahnya, karena ia menolak untuk
melakukan hubungan badan dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
h. Adanya gugatan perceraian dari pihak isteri.
Setiap perceraian yang dikehendaki isteri dengan alasan yang tidak benar,
misalnya dengan alasan kemurtadannya atau ia tidak mau melaksanakan Syari’ah
Islam, atau ia meninggalkan suaminya tanpa izin, atau ia dengan alasan
pertengkaran yang disebabkan kesalahannya sendiri, maka dalam hal ini gugur
hak atas nafkahnya, akan tetapi ia berhak atas menempati rumah. Sedangkan
apabila gugatan cerai yang dilakukan isteri itu dengan alasan yang dibenarkan,
misalnya karena suaminya impoten, atau memiliki kebiasaan jelek, peminum atau
pemabuk dan lain sebagainya, maka hak isteri untuk mendapatkan nafkah tidak
gugur, karena isteri itu menahan dirinya dengan alasan yang dibenarkan. Dan hak
atas nafkah tidak gugur apabila perceraian itu diajukan oleh pihak suami secara
mutlak.
Pandangan hukum tersebut hampir sama dengan Huruf A angka 3 SEMA
Nomor 3 Tahun 2018 dalam gugat cerai, penggugat dapat diberikan nafkah iddah
dan mut’ah sepanjang penggugat tidak terbukti nusuz.

Pandangan Ulama Tentang Nafkah


Terutang/ nafkah madlyah

Pertama. Ulama Al-Hanafiyah1 menyatakan nafkah yang lalu tidak menjadi


utang suami, kecuali dengan putusan pengadilan. Dengan demikian apabila
seorang isteri dapat menafkahi dirinya dari harta yang ia miliki setelah terjadi
akad nikah, maka nafkah itu tidak menjadi utang suami, melainkan gugur
dengan lewat waktu lebih dari satu bulan, sebelum lewat waktu satu bulan
nafkah tersebut tidak gugur. Suami yang diperintahkan oleh putusan pengadilan
untuk membayar nafkah yang lalu, maka nafkah itu menjadi utang yang wajib
dibayar, hanya dapat dibebaskan dengan cara pembayaran atau pembebasan
hak dari pihak isterinya.

9Lihat Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Rad Al-Mukhtar ala Al-Dur Al-Mukhtar, op.cit, Juz III halaman 594. Pandangan ini

didasarkan kepada bahwa hak atas nafkah bukan hak atas kepemilikan, melainkan hak kemanfaatan, dan kewajiban
nafkah menjadi gugur dengan lewat waktu tertentu.

13
Kedua, mayoritas ulama1 menyatakan bahwa apabila suami tidak menafkahi isterinya, maka nafkah
tersebut menjadi hutang suami itu, sehingga nafkah terutang tidak gugur kecuali dengan pembayaran atau
pembebasan utang (iqalah) sebagaimana hutang-hutang yang lainnya. Demikian pula nafkah tidak gugur
dengan lewat waktu atau karena sekarang isterinya nusyuz atau karena isteri dijatuhi talak atau karena
suaminya meninggal dunia. Dasar pemikiran mereka dilandaskan pada asumsi bahwa nafkah substansinya
sebagai imbalan penahanan isteri untuk mengurusi segala sesuatu dalam ikatan perkawinannya, nafkah
yang diwajibkan syara’ sebagai akibat dari adanya akad nikah, apabila imbalan itu tidak dibayar, maka
status hukumnya menjadi hutang suami, sebagaimana hutang yang lainnya.

Reposisi Pembebanan Nafkah Dalam Ikatan Perkawinan.

Pembebanan Nafkah Kaitannya DG Harta Bersama

Dalam suatu negara yang tidak Dalam suatu negara yang


mengatur adanya harta mengakui dan mengatur
bersama, maka biaya yang adanya harta bersama, maka
dibutuhkan keluarga biaya yang dibutuhkan
dibebankan kepada suami keluarga dibebankan kepada
dengan ukuran dan besaran harta bersama selama
yang ketat manfaatnya dapat menutupi
seluruh biaya tersebut, sehingga
kewajiban suami terhadap
biaya tersebut tidak dapat
diukur secara ketat.

Dalam suatu negara yang mengakui dan mengatur adanya harta


bersama, maka pembebaanana nafkah kepada suami secara ketat akan
menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat

Reposisi Norma Dasar Pembebanan Nafkah Dalam Ikatan


Perkawinan.

Surat Al-Baqarah ayat 233:


‫ُﻮد ﻟَﻪُ ِر ْزﻗُـ ُﻬ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮ ُﻬﺗُ ﱠﻦ‬
ِ ‫ﺿﺎﻋﺔَ و َﻋﻠَﻰ اﻟْﻤﻮﻟ‬ ِ َ ‫ﲔ ﻟِﻤﻦ أَر‬ ِ ِ ْ ‫ﻻدﻫ ﱠﻦ ﺣﻮﻟ‬ ِ ُ ِ‫واﻟْﻮاﻟ‬
َْ َ َ ‫اد أَ ْن ﻳُﺘ ﱠﻢ اﻟ ﱠﺮ‬ ْ َ ِ ْ َ‫َﲔ ﻛﺎﻣﻠ‬ ْ َ ُ َ ‫ﺪات ﻳـُ ْﺮﺿ ْﻌ َﻦ أ َْو‬ َ
‫ﻚ‬ ِ
َ ‫ث ﻣﺜْ ُﻞ ذﻟ‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ ‫ﻀﺎ ﱠر واﻟ َﺪةٌ ﺑِﻮﻟَﺪﻫﺎ وﻻ ﻣﻮﻟُﻮ ٌد ﻟَﻪُ ﺑِﻮﻟَﺪﻩ و َﻋﻠَﻰ اﻟْﻮا ِر‬
َ ُ‫ﺲ إِﻻﱠ ُو ْﺳ َﻌﻬﺎ َﻻ ﺗ‬ ِ
ُ ‫ِﺎﺑﻟ َْﻤ ْﻌ ُﺮوف َﻻ ﺗُ َﻜﻠﱠ‬
َ َ َْ َ َ ٌ ‫ﻒ ﻧَـ ْﻔ‬
Al-maulud lah dalam ayat tersebut adalah ayah terhadap anak dan suami
terhadap isteri, sedangkan rizqi adalah kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti makan,
minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan segala
kebutuhan dalam rumah tangga
14
Ketentuan nafkah sebagaimana dimuat dalam berbagai macam literatur fikih yang
telah dipaparkan di atas, pada dasarnya merupakan hukum yang dihasilan dari pemikiran-
pemikiran para ahli hukum melalui penafsiran Al-Qur’an dan Al-Hadis dengan berbagai
macam metoda tafsir yang digunakan. Penafsiran norma dasar sebagai bahan baku hukum
yang akan diberlakukan pada suatu daerah adalah merupakan suatu yang tidak dapat
dilepaskan dari kondisi dan kultur daerah itu sendiri yang bersifat mayoritas. Demikian
pula hukum nafkah yang menghasilkan doktrin hukum pembebananya yang nampak
secara mutlak hanya dibebankan kepada suami yang harus memikul tanggung jawab
penuh terhadap seluruh biaya kehidupan berkeluarga baik terhadap isteri maupun anak-
anaknya.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat tentang pembebanan kewajiban nafkah,
tidak selamanya berlaku secara mutlak, melainkan terdapat batasan-batasan tertentu yang
menjadikan kewajiban nafkah itu berlaku relatif.
Sebagaimana telah diutarakan di atas, tentang firman Allah dalam Surat Al-Baqarat
ayat 233 :
‫ﺲ إِﻻﱠ ُو ْﺳ َﻌﻬﺎ‬ ِ ‫ُﻮد ﻟَﻪ ِرْزﻗُـﻬ ﱠﻦ وﻛِﺴﻮ ُﻬﺗُ ﱠﻦ ِﺎﺑﻟْﻤﻌﺮ‬
ُ ‫وف َﻻ ﺗُ َﻜﻠﱠ‬ ِ
ٌ ‫ﻒ ﻧَـ ْﻔ‬ ُْ َ َ ْ َ ُ ُ ‫َو َﻋﻠَﻰ اﻟ َْﻤ ْﻮﻟ‬
Mufassir terdahulu menafsirkan kalimat “’ala al-mauluud” yang terdapat dalam
ayat tersebut dengan “al-ab” yang artinya ayah, padahal pengertian literal yang paling
dekat sesuai dengan tafsir gramatikal adalah “al” yang berada dalam kalimat tersebut
sebagai al al-maushulah dengan makna al-ladzi artinya seseorang mencakup ayah dan
atau ibu, sebagaimana juga dalam ayat man dza al-ladzi yuqridl Allaha qardlan hasanan.
Al-ladzi dalam ayat ini artinya orang bisa laki-laki dan bisa juga perempuan. Dlamir
yang terdapat pada kalimat lahu berkedudukan sebagai sillah al-maushul kembalinya ke
al al-maushulah dan lam yang ada pada kalimat lahu menunjukan makna ta’lil atau
penyebab yang artinya sebab karena dia. Maka arti literal dari kalimat “wa ‘ala al-
mauluud” itu adalah dan wajib atas orang yang menyebabkan mereka dilahirkan,
memberikan pangan dan sandang dengan cara sesuai kebiasaan mereka. Oleh karena itu
arti yang paling dekat dari kalimat tersebut adalah “al-walid”10 artinya orang tua, ayah
dan atau ibu. Al-Qurthuby menyatakan ayat ini sebagai dalil yang melahirkan
kesepakatan ulama tentang kewajiban orang tua (al-walid) untuk menafkahi anak-anak
yang dilahirkannya. 11 Memang benar yang menyebabkan anak lahir berasal dari sperma
seorang ayah yang membuahi ovum yang berada pada rahim ibunya, akan tetapi nutrisi
zat makanan sebagai pembentuk tubuh embrio yang berada pada rahim seorang ibu
adalah berasal dari ibu itu, dengan demikian kurang tepat bila beranggapan anak yang
dilahirkan hanya berasal dari sperma ayahnya, sebab sebagaimana menurut para ilmuan

10Lihat Al-Qurthuby, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, op.cit, Juz IV halaman 163.


11Lihat Al-Qurthuby, ibid

15
zoology, bahwa genetika yang berada pada anak diturunkan dari genetika ayah dan
ibunya.
Dalam ayat tersebut terdapat batasan yang jelas, yaitu “laa takallafu nafsun illa
was’aha” artinya seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Seseorang dalam ayat ini juga seharusnya bermakna orang, bisa suami
atau ayah dan juga isteri atau ibu. Begitu pula dalam ayat yang lain Surat Al-Talak ayat 7
sebagaimana dijelaskan di atas, kalimat dzu sa’atin artinya orang yang memiliki
kemampuan ekonomi. Orang yang memiliki kemapuan ekonomi dimaksud, bisa suami
atau ayah, bisa isteri atau ibu atau keduanya memiliki kemampuan.
Dengan demikian Al-Qur’an yang bersifat universal, ayat-ayatnya harus diartikan
secara universal pula, kecuali menunjukan kekhususannya, dengan cara universalitas
pemaknaan ayat tersebut, maka orang yang bertanggung jawab terhadap biaya keluarga
bukan hanya ayah, ibupun harus ikut bertanggung jawab atau secara bersama-sama.
Artinya ketetapan hukum yang dikehendaki ayat tersebut, adalah kewajiban pokok nafkah
keluarga, mula-mula diwajibkan kepada ayah selaku kepala keluarga, apabila ayah tidak
memiliki kemampuan ekonomi dan ibu yang memiliki kemampuan ekonomi, maka ibulah
yang berkewajiban terhadap nafkah tersebut, dan apabila yang memiliki kemampuan
ekonomi itu ternyata kedua-duanya (ayah dan ibu) maka biaya yang dibutuhkan keluarga
itu harus dipikul secara bersama-sama. Pemaknaan ayat Al-Qur’an tersebut dapat
menjawab seluruh persoalan yang berkaitan dengan ketentuan nafkah, pada masa
sekarang khususnya di Indonesia, hal mana pengendali ekonomi keluarga baik
pemberdayaannya maupun aktifitas usahanya tidak lagi didominasi oleh pihak suami atau
ayah, melainkan juga dikendalikan oleh pihak isteri atau ibu, dalam masyarakat petani
saja, pada masa sekarang sangat jarang ditemukan isteri hanya diam dirumah sedangkan
suaminya berusaha sekuat tenaga mengolah lahan pertaniannya, melainakn suami dan
isteri kedua-duanya berperan aktif mengolah lahan pertanian yang dimilikinya. Kultur
atau budaya masyarakat masa sekarang sangat jauh berbeda dengan kultur dan budaya
masyrakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan, dimana kultur atau budaya masyarakat
pada waktu itu pengendali ekonomi keluarga, baik pemberdayaannya maupun aktifitas
usahanya sangat didominasi suami atau ayah, isteri atau ibu bersifat pasif berdiam di
rumah dan hanya mengkonsumsi hasil usaha suaminya, bila kewajiban nafkah itu juga
dibebankan kepada isteri atau ibu dalam masyarakat seperti ini adalah sangat tidak adil,
karena isteri tidak mempunyai penghasilan apapun, oleh karena itu sangat dimengerti
sesuai kondisi dan situasi yang ada pada waktu itu Rasulullah menetapkan kewajiban
nafkah kepada suami atau ayah, sebagaimana dalam hadis Bukhari-Muslim dan hadis dari
Mu’awiyah Al-Qusairy.
Selain itu alasan-alasan yang dijadikan dasar (illah hukum) suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada isterinya menurut ulama terdahulu adalah jaza’a al-ihtibas
yang arti literalnya karena seorang perempuan yang dinikahi tidak lagi memiliki hak al-
hurriyah dalam kehidupan sehari-harinya, ia harus diam dirumah, seolah-olah tidak ada
hak bergaul dan beraktivitas di luar rumah, ia hanya bertugas melayani segala kebutuhan
suaminya saja. Seandainya lembaga perkawinan yang menjadi dasarnya sebagai sebuah
alat untuk merampas hak kebebasan hidup seorang perempuan, maka sama saja lembaga
perkawinan ini sebagai suatu lembaga perbudakan yang oleh agama apapun dan peraturan
apapun akan ditentangnya.
Substansi perkawinan yang disyari’atkan Allah Subhanau wa Ta’ala terhadap
ummat manusia, tidak mungkin sebagai suatu lembaga yang identik dengan perbudakan
atau jual beli hak kemerdekaan seorang perempuan, melainkan lembaga hukum
perkawinan yang disyari’atkan adalah sebagai salah satu wujud kasih sayang Allah

16
terhadap setiap individu manusia, yang selalu berkeinginan hidup berdampingan dengan
pasangan hidupnya, keinginan itu bukan hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja,
melainkan bersamaan dengan kaum perempuan. Pembentukan sebuah tatanan berkeluarga
dalam syri’at yang universal melalui ikatan perkawinan tidak mungkin ada tujuan yang
terselip untuk memenjarakan salah satu pihak, karena terwujudnya rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah, didasarkan kepada saling merelakan diri menjadi
seorang isteri dan seorang suami atas keinginan bersama. Masing-masing pihak bebas
berkreasi dan beraktivitas di luar rumah dalam batas-batas kewajaran dan norma-norma
syari’ah. Wallahu ‘a’lam bi Al-Shawab.

NAFKAH IDDAH

Jatuh talak Nikah dibatalkan Suami meninggal dunia

Jatuh talak

Talak raj’iy Talak ba’in

Talak raj’iy

‫وﺟﻮب اﻟﻨﻔﻘﺔ ﳍﺎ ﺑﺴﺎﺋﺮ‬


،‫وﺟﻮب اﳌﺴﻜﻦ ﳍﺎ ﻣﻊ اﻟﺰوج‬ ،‫ وﻛﺴﻮة‬،‫ ﻣﻦ ﻣﺆﻧﺔ‬:‫أﺻﻨﺎﻓﻬﺎ‬
،‫ـ ﳚﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻼزﻣﺔ ﻣﺴﻜﻨﻬﺎ‬
‫واﻷﻓﻀﻞ أن ﻳﻜﻮن ﻣﺴﻜﻦ‬ ‫ ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ‬،‫وﻏﲑ ذﻟﻚ‬
‫ﻓﻼ ﺗﻔﺎرﻗﻪ إﻻ ﻟﻀﺮورة‬
‫ وﱂ‬،‫ إن ﻛﺎن ﻻﺋﻘﺎً ﻬﺑﺎ‬،‫ﻃﻼﻗﻬﺎ‬ ‫ وذﻟﻚ ﻟﺒﻘﺎء‬،ً‫ أو ﺣﺎﺋﻼ‬،ً‫ﺣﺎﻣﻼ‬
‫ وﳓﻮﻩ‬،‫ﳝﻨﻊ ﻣﻨﻪ ﻣﺎﻧﻊ ﺷﺮﻋﻲ‬ ،‫ﺳﻠﻄﺎن اﻟﺰوج ﻋﻠﻴﻬﺎ‬
‫ ﺣﻴﺚ‬،‫واﳓﺒﺎﺳﻬﺎ ﲢﺖ ﺣﻜﻤﻪ‬
‫ﳝﻜﻨﻪ أن ﻳﺮﺟﻌﻬﺎ ﻣﺎ داﻣﺖ ﰲ‬
.‫اﻟﻌ ّﺪة‬

‫ودﻟﻴﻞ ﻫﺬﻩ‬
َ ُ‫وﻫ ﱠﻦ ﻟِﺘ‬
‫ﻀﻴِّ ُﻘﻮا‬ َ ُ‫ﺚ َﺳ َﻜﻨﺘُﻢ ِّﻣﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ َوَﻻ ﺗ‬
ُ ‫ﻀﺎ ﱡر‬ ُ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣ ْﻴ‬
ُ ُ‫َﺳ ِﻜﻨ‬ ْ ‫ }أ‬:‫وﺟﻞ‬
ّ ‫ﻋﺰ‬ ّ ‫اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺜﻼﺛﺔ ﻗﻮل ﷲ‬
:‫[ وﻗﺎل ﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬6 :‫ﻀ ْﻌ َﻦ َﲪْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ{ ]اﻟﻄﻼق‬ ِ ‫ت َﲪْ ٍﻞ ﻓَﺄ‬
َ َ‫َﻧﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺣ ﱠﱴ ﻳ‬ ِ ‫ُوﻻ‬
َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َوإِن ُﻛ ﱠﻦ أ‬
{‫ﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴِّﻨَ ٍﺔ‬ ِ ِ‫َﻻ ُﲣْ ِﺮﺟﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣﻦ ﺑـﻴﻮﻬﺗِِ ﱠﻦ وﻻ َﳜْﺮﺟﻦ إِﻻﱠ أَ ْن �ْﺗِﲔ ﺑ‬
َ ‫ﻔﺎﺣ‬ َ َ َ ْ ُ َ ُُ ْ ُ ُ
17 .[1 :‫]اﻟﻄﻼق‬
‫‪Talak ba’in‬‬

‫وإﻣﺎ أن ﺗﻜﻮن ﺣﺎﺋﻼً‬ ‫إﻣﺎ أن ﺗﻜﻮن ﺣﺎﻣﻼً‬

‫وﺟﻮب اﳌﺴﻜﻦ ﳍﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺰوج‪ ،‬ودﻟﻴﻞ ذﻟﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ اﻵﻳﺔ اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ‪:‬‬
‫ﺼﻮا اﻟ ِْﻌ ﱠﺪ َة َواﺗﱠـ ُﻘﻮا‬ ‫ﱠﱯ إِ َذا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُﻢ اﻟﻨِّﺴﺎء ﻓَﻄَﻠِّ ُﻘ ُ ِ ِِ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻟ ِﻌﺪﱠﻬﺗ ﱠﻦ َوأ ْ‬
‫َﺣ ُ‬ ‫ُ َ‬ ‫}� أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﻨِ ﱡ‬
‫َ‬
‫ﺸ ٍﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَ ٍﺔ{‬ ‫اﻪﻠﻟ رﺑﱠ ُﻜﻢ َﻻ ُﲣْ ِﺮﺟﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣﻦ ﺑـﻴﻮﻬﺗِِ ﱠﻦ وَﻻ َﳜْﺮﺟﻦ إِﱠﻻ أَن �ْﺗِﲔ ﺑَِﻔ ِ‬
‫ﺎﺣ َ‬ ‫َ َ‬ ‫ُُ َ ُ ْ َ‬ ‫ُ ُ‬ ‫ﱠَ َ ْ‬
‫]اﻟﻄﻼق‪ .[1 :‬واﻵﻳﺔ ﻫﺬﻩ ّ‬
‫ﻋﺎﻣﺔ ﰲ اﳌﻄﻠّﻘﺔ اﻟﺮﺟﻌﻴﺔ واﻟﺒﺎﺋﻨﺔ‬

‫ُوﻻ ِ‬
‫ت‬ ‫}وإِن ُﻛ ﱠﻦ أ َ‬
‫اﻟﻨﻔﻘﺔ ﺄﺑﻧﻮاﻋﻬﺎ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ‪ ،‬ودﻟﻴﻞ ذﻟﻚ ﻗﻮل ﷲ ﺗﻌﺎﱃ‪َ :‬‬
‫َﲪْ ٍﻞ ﻓَﺄ ِ‬
‫َﻧﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ َﺣ ﱠﱴ ﻳَ َ‬
‫ﻀ ْﻌ َﻦ َﲪْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ{ ]اﻟﻄﻼق‪(6 :‬‬

‫ﻣﻼزﻣﺔ اﻟﺒﻴﺖ اﻟﺬي ﺗﻌﺘ ّﺪ ﻓﻴﻪ‪ ،‬ﻓﻼ ﲣﺮج ﻣﻨﻪ إﻻ ﳊﺎﺟﺔ‪ ،‬ﻛﺄن ﲢﺘﺎج إﱃ‬
‫ﻃﻌﺎم وﳓﻮﻩ‪ ،‬أو ﲢﺘﺎج إﱃ ﺑﻴﻊ ﻣﺘﺎع ﳍﺎ ﺗﺘﻜﺴﺐ ﻣﻨﻪ‪ ،‬وﻟﻴﺲ ﲦﺔ َﻣﻦ ﻳﻘﻮم‬
‫ﻣﻘﺎﻣﻬﺎ ﰲ ذﻟﻚ‬

‫وإﻣﺎ أن ﺗﻜﻮن ﺣﺎﺋﻼً‬

‫‪Dalam pandangan Syafi’iyah‬‬


‫وإن ﻛﺎﻧﺖ ﺣﺎﺋﻼً‪ :‬ﺗﺮﺗﺐ ﻛﻞ ﻣﺎ ذﻛﺮ ﰲ اﻟﻔﻘﺮة اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ‪ ،‬إﻻ اﻟﻨﻔﻘﺔ ﺄﺑﻧﻮاﻋﻬﺎ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﻣﻦ ﻣﺆﻧﺔ‪ ،‬وﻣﻠﺒﺲ‪،‬‬
‫وﻏﲑ ذﻟﻚ‪ .‬ﻓﻼ ﺗﺜﺒﺖ ﳍﺎ‪ ،‬وإﳕﺎ ﳚﺐ ﳍﺎ اﳌﺴﻜﻦ‪ ،‬وﲡﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻼزﻣﺘﻪ‪.‬‬
‫ودﻟﻴﻞ ذﻟﻚ‪ :‬ﻣﺎ رواﻩ أﺑﻮ داود )اﻟﻄﻼق‪ ،‬ﺎﺑب‪ :‬ﰲ ﻧﻔﻘﺔ اﳌﺒﺘﻮﺗﺔ‪ ،‬رﻗﻢ‪ (229) :‬ﰲ ﻗﺼﺔ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﻗﻴﺲ‪،‬‬
‫َﻚ إِﱠﻻ‬ ‫ﺣﲔ ﻃﻠّﻘﻬﺎ زوﺟﻬﺎ ﺗﻄﻠﻴﻘﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﻘﻴﺖ ﳍﺎ‪ :‬أن اﻟﻨﱯ ‪ -‬ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ‪ -‬ﻗﺎل ﳍﺎ‪َ " :‬ﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ ﻟ ِ‬
‫أَ ْن ﺗَ ُﻜ ِﻮﱐ َﺣ ِﺎﻣ ًﻼ‬
‫‪18‬‬
‫‪Dalam pandangan Hanafiyah‬‬
‫َﺻ َﺤﺎﺑِﻨَﺎ‪.‬‬ ‫ﺴﻜ ِ‬ ‫وإِ ْن َﻛﺎﻧَ ْ ِ‬
‫ْﲎ ﻋ ْﻨ َﺪ أ ْ‬
‫ﺖ َﺣﺎﺋ ًﻼ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ َواﻟ ﱡ َ‬ ‫َ‬

‫[وَﻣ ْﻦ ﻗُ ِﺪ َر َﻋﻠَﻴْ ِﻪ ِرْزﻗُﻪُ ﻓَـﻠْﻴُـﻨْ ِﻔ ْﻖ ِﳑﱠﺎ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫ﺚ َﺳ َﻜﻨْـﺘُ ْﻢ ﻣ ْﻦ ُو ْﺟﺪ ُﻛ ْﻢ{ ]اﻟﻄﻼق‪َ 6 :‬‬ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴْ ُ‬ ‫َﺳ ِﻜﻨُ ُ‬
‫َوﻟَﻨَﺎ ﻗَـ ْﻮﻟﻪ ﺗَـ َﻌ َﺎﱃ }أ ْ‬
‫ﲔ َﻣﺎ ﻗَـ ْﺒ َﻞ اﻟﻄﱠَﻼ ِق َوﺑَـ ْﻌ َﺪﻩُ ِﰲ اﻟ ِْﻌﺪﱠةِ‪َ ،‬وِﻷَ ﱠن اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔَ إ ﱠﳕَﺎ َو َﺟﺒَ ْ‬ ‫ِ‬
‫ﺖ ﻗَـ ْﺒ َﻞ‬ ‫اﻪﻠﻟُ{ ]اﻟﻄﻼق‪ [7 :‬ﻣ ْﻦ ﻏَ ِْﲑ ﻓَ ْ‬
‫ﺼ ٍﻞ ﺑَ َْ‬ ‫آﺎﺗﻩُ ﱠ‬ ‫َ‬
‫ﻚ ِاﻻﺣﺘِﺒﺎس ﺑـﻌ َﺪ اﻟﻄﱠَﻼ ِق ِﰲ ﺣﺎﻟ َِﺔ اﻟ ِْﻌﺪﱠةِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫وج َواﻟ ُْﱪُوِز ﳊَ ِّﻖ اﻟ ﱠﺰْو ِج َوﻗَ ْﺪ ﺑَﻘ َﻲ َذﻟ َ ْ َ ُ َ ْ‬ ‫اﳋُُﺮ ِ‬
‫ﻮﺳﺔً َﻋ ْﻦ ْ‬ ‫اﻟﻄﱠَﻼق ﻟ َﻜ ْﻮ�َﺎ َْﳏﺒُ َ‬
‫ﻮص َوﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟﻄﱠَﻼ ِق‬ ‫اﳋُﻠُ ِ‬ ‫ﺲ ﻗَـ ْﺒ َﻞ اﻟﻄﱠَﻼ ِق َﻛﺎ َن َﺣ ًّﻘﺎ ﻟِﻠ ﱠﺰْو ِج َﻋﻠَﻰ ْ‬ ‫ِ ِ‬ ‫و َﺄﺗَﺑﱠ َﺪ ِﺎﺑﻧْ ِ‬
‫ﻀ َﻤ ِﺎم َﺣ ِّﻖ اﻟ ﱠ‬
‫ﺸ ْﺮ ِع إﻟ َْﻴﻪ؛ ﻷَ ﱠن ا ْﳊَْﺒ َ‬ ‫َ‬
‫ﺖ ﺑِ ِﻪ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ ﻗَـﺒﻞ اﻟﺘﱠﺄَ ﱡﻛﺪِ‬ ‫ِ‬
‫وج ﻓَﻠ َﻤﺎ َو َﺟﺒَ ْ‬ ‫ِ‬
‫ج َﳍَﺎ ﺎﺑ ْﳋُُﺮ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ﺗَـ َﻌﻠﱠ َﻖ ﺑﻪ َﺣ ﱡﻖ اﻟ ﱠ‬
‫َْ‬ ‫وج‪َ ،‬وإ ْن أَذ َن اﻟ ﱠﺰْو ُ‬ ‫اﳋُُﺮ ُ‬‫ﺎح َﳍَﺎ ْ‬‫ﺸ ْﺮ ِع َﺣ ﱠﱴ َﻻ ﻳـُﺒَ َ‬
‫ﺐ ﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟﺘﱠﺄَ ﱡﻛ ِﺪ أ َْو َﱃ‪.‬‬ ‫ِ‬
‫ﻓَ َﻸَ ْن َﲡ َ‬

‫ﻮل ﱠِ‬ ‫ي أ ﱠَ�َﺎ ﻟَ ﱠﻤﺎ َرَو ْ‬ ‫ﺲ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ردﱠﻩُ ﻋُﻤﺮ ‪ -‬ر ِ‬ ‫ﺎﻃﻤﺔَ ﺑِْﻨ ِ‬ ‫وأَ ﱠﻣﺎ ﺣ ِﺪ ُ ِ‬
‫اﻪﻠﻟ ‪-‬‬ ‫ت أَ ﱠن َر ُﺳ َ‬ ‫اﻪﻠﻟُ َﻋ ْﻨﻪُ ‪ -‬ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ُر ِو َ‬
‫ﺿ َﻲ ﱠ‬ ‫َ َُ َ‬ ‫ﺖ ﻗَـ ْﻴ ٍ‬ ‫ﻳﺚ ﻓَ َ‬ ‫َ َ‬
‫ﺎب َرﺑِّﻨَﺎ َوَﻻ‬ ‫ِ‬ ‫ﺎل ﻋُﻤﺮ ‪ -‬ر ِ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ِ‬
‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻨْﻪُ ‪َ :-‬ﻻ ﻧَ َﺪعُ ﻛﺘَ َ‬ ‫ﺿ َﻲ ﱠ‬ ‫ْﲎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ ﻗَ َ َ ُ َ‬ ‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ‪َ -‬ﱂْ َْﳚ َﻌ ْﻞ َﳍَﺎ ُﺳﻜ َ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ﺖ َوِﰲ ﺑَـ ْﻌ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ب َرﺑّﻨَﺎ َو ُﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒﻴّﻨَﺎ‬
‫ﺎل‪َ :‬ﻻ ﻧَ َﺪعُ ﻛﺘَﺎ َ‬ ‫اﻟﺮَو َا�ت ﻗَ َ‬‫ﺾ ِّ‬ ‫ﺖ أ َْم َﻛ َﺬﺑَ ْ‬ ‫ُﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒﻴّﻨَﺎ ﺑ َﻘ ْﻮل ْاﻣ َﺮأَة َﻻ ﻧَ ْﺪ ِري أ َ‬
‫َﺻ َﺪﻗَ ْ‬
‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ‪ -‬ﻳَـ ُﻘ ُ‬ ‫ﺖ رﺳ َ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َو َ�ْ ُﺧ ُﺬ ﺑَِﻘ ْﻮِل ْاﻣ َﺮأَةٍ ﻟ ََﻌﻠﱠ َﻬﺎ ﻧَ ِﺴﻴَ ْ‬
‫ﻮل‪َ :‬ﳍَﺎ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ ‫ﻮل ا ﱠﻪﻠﻟ ‪َ -‬‬ ‫ﺖ أ َْو ُﺷﺒِّﻪَ َﳍَﺎ‪َ ،‬ﲰ ْﻌ ُ َ ُ‬
‫ْﲎ َواﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ‬
‫ﺴﻜ َ‬ ‫اﻟ ﱡ‬

‫‪Nafkah Iddah Dalam Perceraian‬‬


‫‪Menurut Hanafiyah‬‬

‫‪Dalam Perceraian Karena Gugatan‬‬ ‫‪Dalam Perceraian karena talak dengan‬‬


‫‪Perceraian‬‬ ‫‪alasan dalam pernikahan yang fasid‬‬

‫ﺎل اﻟ ِْﻌﺪﱠةِ‬
‫ْﲎ َﳍَﺎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ؛ ﻟِ َﻤﺎ ذَ َﻛ ْﺮَ� أَ ﱠن َﺣ َ‬
‫ﻓَ َﻼ ُﺳﻜ َ‬
‫ْﲎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ ِﰲ اﻟﻨِّ َﻜ ِ‬
‫ﺎح‬ ‫ﺎح َوَﻻ ُﺳﻜ َ‬ ‫ُﻣ ْﻌﺘَ َﱪةٌ ِﲝَ ِ‬
‫ﺎل اﻟﻨِّ َﻜ ِ‬ ‫َ‬
‫ﺎﺳﺪِ‬
‫اﻟْ َﻔ ِ‬
‫‪19‬‬
‫‪Dalam Perceraian karena talak dalam‬‬
‫‪pernikahan yang sah‬‬

‫ﺎح ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ ﻓَ َﻜﺎ َن‬ ‫ف؛ ِﻷَ ﱠن ِﻣﻠ َ‬


‫ْﻚ اﻟﻨِّ َﻜ ِ‬ ‫ﺴﻜْﲎ ﺑِ َﻼ ِﺧ َﻼ ٍ‬ ‫ِ‬
‫ﻓَِﺈ ْن َﻛﺎ َن اﻟﻄﱠَﻼ ُق َر ْﺟﻌﻴًّﺎ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ َواﻟ ﱡ َ‬
‫ﺎل ﺑَـ ْﻌ َﺪ اﻟﻄﱠَﻼ ِق َﻛﺎ ْﳊَ ِ‬
‫ﺎل ﻗَـ ْﺒـﻠَﻪُ‬ ‫ا ْﳊَ ُ‬

‫‪Dalam Perceraian Karena Gugatan‬‬


‫‪Perceraian‬‬

‫ﺲ‬ ‫ﺖ ﺑِ َ ٍ‬
‫ﺴﺒَﺐ ﻟ َْﻴ َ‬ ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﻗِﺒَﻠِ َﻬﺎ ﻓَِﺈ ْن َﻛﺎﻧَ ْ‬ ‫َوإِ ْن َﻛﺎﻧَ ْ‬ ‫ﺖ اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔُ ِﻣ ْﻦ ﻗِﺒَﻠِ ِﻪ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ‬
‫ﻓَِﺈ ْن َﻛﺎﻧَ ْ‬
‫ﺴ َﻬﺎ‪،‬‬‫ت ﻧَـ ْﻔ َ‬‫ﺖ ﻓَﺎ ْﺧﺘَ َﺎر ْ‬ ‫ﺼﻴَ ٍﺔ َﻛ ْﺎﻷ ََﻣ ِﺔ إذَا أُ ْﻋﺘِ َﻘ ْ‬‫ِﲟَ ْﻌ ِ‬ ‫ﺖ اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔُ‬
‫ْﲎ َﻛﻴْـ َﻔ َﻤﺎ َﻛﺎﻧَ ْ‬ ‫ﺴﻜ َ‬‫َواﻟ ﱡ‬
‫ْﲎ‬‫ﺴﻜ َ‬ ‫ت اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔَ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟ ﱡ‬‫ﲔ إذَا ا ْﺧﺘَ َﺎر ْ‬ ‫َو ْاﻣ َﺮأَةِ اﻟ ِْﻌﻨِّ ِ‬
‫ﺼﻴَﺔٌ َﻛﺎﻟ ُْﻤ ْﺴﻠِ َﻤ ِﺔ‬ ‫ﺐ ُﻫﻮ ﻣ ْﻌ ِ‬
‫ﺴﺒَ ٍ َ َ‬ ‫ﺖﺑَ‬
‫واﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ‪ ،‬وإِ ْن َﻛﺎﻧَ ْ ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ٍ‬
‫ﺸ ْﻬ َﻮة ﻗَﺎﻟُﻮا‪َ :‬ﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ َﳍَﺎ َوَﳍَﺎ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ﺖ اﺑْ َﻦ َزْوﺟ َﻬﺎ ﺑ َ‬ ‫ﻗَـﺒﱠـﻠَ ْ‬
‫ﺴﻜْﲎ ﻓِﻴﻬﺎ ﺣ ﱡﻖ ﱠِ‬
‫اﻪﻠﻟ ﺗَـ َﻌ َﺎﱃ َو ِﻫ َﻲ‬ ‫ﺴﻜ ِ‬
‫ْﲎ؛ ﻷَ ﱠن اﻟ ﱡ َ َ َ‬ ‫اﻟ ﱡ َ‬
‫ﺎل‬ ‫ﻮق ﱠِ‬
‫اﻪﻠﻟ ﺗَـ َﻌ َ‬ ‫ﻣﺴﻠِﻤﺔٌ ُﳐَﺎﻃَﺒﺔٌ ِﲝُ ُﻘ ِ‬
‫َ‬ ‫ُْ َ‬

‫‪20‬‬
Perceraian Dalam Pasal 38 UU No. 1/74

kematian perceraian Putusan


pengadilan

Fasakh /
pembatalan nikah

Gugatan Perceraian
perceraian karena talak

Akibat Perceraian karena talak di


atur dalam Pasal 149 KHI

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas


suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada
bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah,
maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi
mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan
untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun

Dalam KHI tidak memuat ketentuan memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas isteri selama dalam iddah dalam perceraian karena gugatan
perceraian. Yang ada hanya bersifat umum yaitu Pasal 136 ayat (2) huruf a
KHI “menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami” senada
dengan Pasal 78 UU Nomor 7/98 huruf a

Dalam huruf A angka 3 SEMA Nomor 03 Tahun 2018 “ISTERI DALAM


PERKARA CERAI GUGAT DAPAT DIBERIKAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH
SEPANJANG TIDAK TERBUKTI NUSYUZ

21
22

Anda mungkin juga menyukai