OLEH
DRS, ISAK MUNAWAR, MH
PENGERTIAN
NAFKAH
اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘ ِﺔ
1
Menurut R. Subekti et.al 1 nafkah, levensonderhoud (Bld)
alimentasi adalah uang belanja yang diperlukan guna memelihara
kehidupan seseorang yang memerlukannya.
Dalam UU No. 1/74 tidak memuat definisi nafkah, akan tetapi secara
oprasional disebutkan pada Pasal 34 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan
“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
Al-Qur’an. UNDANG-UNDANG
Al-Hadis
Al-Qur’an.
2
Surat Al-Baqarah ayat 233:
َﺪﻩِ
وﻻ ﻣﻮﻟُﻮ ٌد ﻟَﻪُ ﺑِﻮﻟ ِ ﻀﺎ ﱠر واﻟِ َﺪةٌ ﺑِﻮﻟ ِ
َﺪﻫﺎ َﻻ ﺗُ َ
َ َ َْ َ
ِِ
ﺿ َﺮ ًارا ِﺄﺑَﺑﻴﻪ أ َْو ﺗَﻄْﻠُ َ
ﺐ َﻻ َﺄﺗ َْﰉ ْاﻷُ ﱡم أَ ْن ﺗُـﺮ ِ
ﺿ َﻌﻪُ إِ ْ ْ َب أَ ْن ﳝَْﻨَ َﻊ ْاﻷُ ﱠم ِﻣ ْﻦ ذَﻟِ َ
ﻚ َﻣ َﻊ َوَﻻ َِﳛ ﱡﻞ ﻟِ ْﻸ ِ
Al-Hadis
ﻓﻤﺎ رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ،رﻗﻢ ،5049 :وﻣﺴﻠﻢ رﻗﻢ (1714 :ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﺎ ،أن
ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﺔ ﻗﺎﻟﺖ � :رﺳﻮل ﷲ ،إن أﺎﺑ ﺳﻔﻴﺎن رﺟﻞ ﺷﺤﻴﺢ ،وﻟﻴﺲ ﻳﻌﻄﻴﲏ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﲏ ووﻟﺪي ،إﻻ
ﻣﺎ أﺧﺬت ﻣﻨﻪ ،وﻫﻮ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ،ﻓﻘﺎل " ،ﺧﺬي ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻚ ووﻟﺪك ﺎﺑﳌﻌﺮوف
"
3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama juga bersabda dalam hadis riwayat
Mu’awiyah Al-Qusyairi1 dari ayahnya radliyallahu ‘anhuma :
ْﺴ َﻮ َﻫﺎ إِ َذا َ َ ﻗ،َﺣ ِﺪ َ� َﻋﻠَْﻴ ِﻪ؟
َ »أَ ْن ﺗُﻄ ِْﻌ َﻤ َﻬﺎ إِ َذا ﻃَ ِﻌ ْﻤ:ﺎل ِ ِﻮل ﱠ
ُ َوﺗَﻜ،ﺖ َ َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ َزْو َﺟﺔ أ،اﻪﻠﻟ َ َ� َر ُﺳ:ْﺖ ُ ﻗُـﻠ:ﺎل
َ َﻗ
ِ وَﻻ َﻬﺗْﺠﺮ إِﱠﻻ ِﰲ اﻟْﺒـ ْﻴ، وَﻻ ﺗُـ َﻘﺒِّ ْﺢ،َب اﻟْﻮ ْﺟﻪ
" َوَﻻ:ﺎل أَﺑُﻮ َد ُاو َد
َ َﺖ« ﻗ َ ُْ َ َ َ ِ ﻀ ِﺮ ْ َ َوَﻻ ﺗ،ﺖ َ َ أَ ِو ا ْﻛﺘ،ﺖ
َ ﺴ ْﺒ َ ﺴ ْﻴ
َ َا ْﻛﺘ
ِ ﻗَـﺒﱠﺤ:ﻮل
ﻚ ﱠ
ُاﻪﻠﻟ َ َ ﺗُـ َﻘﺒِّ ْﺢ أَ ْن ﺗَـ ُﻘ
Artinya “Dia berkata ‘saya bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai
Rasulallah apa saja yang menjadi hak isteri-isteri kita? Rasulullah menjawab:
Berilah dia makan, apabila kamu makan, berilah dia pakaian bila kamu
berpakaian atau bila kamu mampu berusaha, janganlah kamu memukul wajahnya,
janganlah kamu mencidrainya dan janganlah kamu mengusirnya kecuali dalam
rumah. Abu Dawud menyatakan yang dimaksud kalimat wala tuqabbih, seorang
suami tidak boleh menyatakan semoga Allah menghinakanmu.”
UNDANG-UNDANG
UU No. 1/74 Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat
menyatakan “Suami wajib (2) dan dan ayat (4)
melindungi isterinya dan (2) Suami wajib melidungi
memberikan segala sesuatu isterinya dan memberikan segala
keperluan hidup berumah sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan tangga sesuai dengan kemampuannya
kemampuannya (4) sesuai dengan penghasislannya
suami menanggung : a. nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi
isteri; b. biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak
4
Beban nafkah dalam keluarga
ﺎﺑع اﻟﻘﺎﺿﻲ،إن ﻛﺎن اﻟﺰوج ﻣﻮﺳﺮاً وﻟﻪ ﻣﺎل ﻇﺎﻫﺮ اﻪﻠﻟَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ ِ
آﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا ﱠ َ ﻳﻦ َ َ� أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﱠﺬ
. وأﻋﻄﻰ اﻟﺜﻤﻦ ﻟﺰوﺟﺘﻪ ﻟﻠﻨﻔﻘﺔ،ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﺟﱪاً ﻋﻠﻴﻪ ِ ِّ ِﻣ َﻦ
ْ( ﻓَِﺈ ْن َﱂ278) ﲔ َ ِاﻟﺮﺎﺑ إِ ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺆﻣﻨ
ﺣﺒﺴﻪ،ًوإن ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻣﺎل ﻇﺎﻫﺮ وﻛﺎن ﻣﻮﺳﺮا اﻪﻠﻟ َوَر ُﺳﻮﻟِ ِﻪ َوإِ ْن
ِب ِﻣﻦ ﱠ ِ
َ ٍ ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ﲝَ ْﺮ
ﻟﻘﻮل اﻟﻨﱯ ﺻﻠّﻰ،(1) اﻟﻘﺎﺿﻲ إذا ﻃﻠﺒﺖ اﻟﺰوﺟﺔ س أ َْﻣﻮاﻟِ ُﻜ ْﻢ َﻻ ﺗَﻈْﻠِ ُﻤﻮ َن َوﻻ ُ ﺗُـ ْﺒـﺘُ ْﻢ ﻓَـﻠَ ُﻜ ْﻢ ُرُؤ
ﳛﻞ ﻋﺮﺿﻪ،»ﻣﻄْﻞ اﻟﻐﲏ ﻇﻠﻢ
َ :ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ٌ( َوإِ ْن ﻛﺎ َن ذُو ﻋُ ْﺴ َﺮةٍ ﻓَـﻨَ ِﻈ َﺮة279) ﺗُﻈْﻠَ ُﻤﻮ َن
وﻋﻘﻮﺑﺘﻪ« وﻳﻈﻞ ﳏﺒﻮﺳﺎً ﺣﱴ ﻳﺪﻓﻊ اﻟﻨﻔﻘﺔ ﺼ ﱠﺪﻗُﻮا َﺧ ْﲑٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ُﻛﻨْـﺘُ ْﻢ ٍ إِﱃ ﻣﻴ
َ َﺴ َﺮة َوأَ ْن ﺗ َ َْ
ﻓﻼ ﳛﺒﺲ؛ إذ أﻧﻪ ﻟﻴﺲ:ًوأﻣﺎ إن ﻛﺎن اﻟﺰوج ﻣﻌﺴﺮا (280) ﺗَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن
وﻷﻧﻪ ﻻ ﻓﺎﺋﺪة ﻣﻦ،ﻇﺎﳌﺎً ﺎﺑﻣﺘﻨﺎﻋﻪ ﻋﻦ اﻹﻧﻔﺎق
ﺣﺒﺴﻪ
5
Illat kewajiban Suami Memberikan
Nafkah kepada istrinya
6
Syarat-syarat Istri mendapatkan
hak nafkah
Menurut Fikih
7
Ulama Al-Malikiyah
Suami telah
dewasa
Ukuran nafkah
8
Menurut Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa “suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Pasal
ini senada dengan ketentuan Pasal 80 ayat 2 Kompilasi
Hukum Islam. Kemampuan dimaksud dalam pasal ini
adalah penyesuaian besaran nafkah dengan penghasilan
suami, sebagaimana dimuat dalam Pasal 80 ayat (4)
Kompilasi Hukum Islam.1
a. Isteri nusyuz.
Nusyuz dalam Al-Qur’an ditujukan kepada isteri atau istri-istri, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Nisa ayat 34:
ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـﺒْـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن
ُ ُﺿ ِﺮﺑ ِﻀ
ْ ﺎﺟ ِﻊ َوا َ وﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟ َْﻤ ُ ُﻮزُﻫ ﱠﻦ ﻓَ ِﻌﻈ
ُ ﻮﻫ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮ َﺸ ُ ُاﻟﻼِﰐ َﲣَﺎﻓُﻮ َن ﻧَو ﱠ
ﲑ ِ ِ ﱠ
ً اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن َﻋﻠﻴًّﺎ َﻛﺒ
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, 2 maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. 3 Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Dalam Surat Al-Nisa’ ayat 128 Allah berfirman:
2
Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.
3Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula
diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga
barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada
manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
9
ٌْﺢ َﺧ ْﲑ
ُ ﺼﻠ
ْﺤﺎ َواﻟ ﱡ
ً ﺻﻠ
ِ ﺿﺎ ﻓَ َﻼ ﺟﻨَﺎح َﻋﻠَﻴ ِﻬﻤﺎ أَ ْن ﻳ
ُ ﺼﻠ َﺤﺎ ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ
ُْ َ ْ َ ُ ً ﻮزا أ َْو إِ ْﻋ َﺮا
ًﺸ ُ ُﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧْ ََوإِ ِن ْاﻣ َﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ
ﲑا ِ ِ ﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُﲢْ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن ﱠ
ً اﻪﻠﻟَ َﻛﺎ َن ﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﺧﺒ ﺲ اﻟ ﱡ ِ ِ ْ وأ
ُ ُﺣﻀ َﺮت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ َ
Artinya “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz 4 atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, 5 dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. 6 Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 7 menjelaskan yang dimaksud nusyuz dalam Surat Al-
Nisa ayat 34 adalah:
4Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak
mau memberikan haknya.
5Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali
6Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas
hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
7Lihat Abu Al-Fida’ Isma’l bin Ummar bin Katsir Al-Qursy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir,
op.cit, Juz II halaman 294, lihat juga Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Aby Bakr bin Farah Al-Anshary, Syamsu Al-
Din Al-Qurthuby, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, op.cit, Juz V halaman 170
8 Lihat Abu Al-Fida’ Isma’l bin Ummar bin Katsir Al-Qursy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu
10
Oleh karena itu seorang isteri nusyuz tidak mau melakukan kewajiban-kewajiban
yang diwajibkan Allah terhadapnya sebagai seorang isteri, atau tidak mentaati suaminya
atau durhaka terhadap suaminya, atau isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, apabila
setelah isteri itu dinasehati, tetap saja nusyuz, maka gugur hak atas nafkahnya.
إﻻ اﻟﻨﺎﺷﺰ ﻣﻨﻬﻦ، ﻓﺎﺗﻔﻖ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ وﺟﻮب ﻧﻔﻘﺎت اﻟﺰوﺟﺎت ﻋﻠﻰ أزواﺟﻬﻦ إذا ﻛﺎﻧﻮا ﺎﺑﻟﻐﲔ:وأﻣﺎ اﻹﲨﺎع
d. Lewat waktu.
Kewajiban nafkah terhadap isteri menjadi gugur, setelah lewat waktu dan
tidak ada putusan pengadilan yang menghukum untuk membayar nafkah. Ulama
Al-Hanafiyah menyatakan gugur kewajiban nafkah dengan lewatnya waktu
sebelum nafkah itu ditetapkan sebagai utang yang harus ditanggung suami dan
dengan demikian kewajiban nafkah tidak gugur dengan lewatnya waktu setelah
ada putusan pengadilan yang menyatakan nafkah tersebut sebagai utang. Ulama
Al-Malikiyah menyatakan nafkah tidak gugur dengan lewatnya waktu dan isteri
berhak menarik nafkah yang telah dibekukan terhadap suaminya, hal ini berbeda
dengan nafkah terhadap kerabat, nafkah ini gugur dengan lewat waktu, karena
dengan lewat waktu kebutuhan terhadap nafkah menjadi tidak ada.
11
Persoalan nafkah terhadap isteri ini sebaiknya perlu dikembalikan kepada
dua instrumen hak terhadap suatu benda, apakah hak isteri terhadap nafkah
merupakan hak milk atau merupakan hak al-intifa’. Apabila nafkah didefinisikan
dengan hak kepemilikan, maka sesuai dengan sifatnya suatu kepemilikan adalah
merupakan hak mutlak pemiliknya, bila hak milik ini dikuasai orang lain atau
belum diberikan oleh pihak lain, maka ia dapat menuntut agar segera dialihkan
atau dibayarkan. Apabila pemilik hak ini membiarkan haknya dikuasai orang lain
atau membiarkan orang lain tidak memenuhi kewajibannya, hal yang demikian
dapat ditafsirkan pemilik hak ini merelakan haknya dikuasai orang lain dan atau
merelakan orang lain tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga kewajiban
orang lain itu menjadi gugur dengan sendirinya. Hanya saja yang menjadi
persoalan dalam hal ini berapa lama waktu yang diperlukan untuk menggugurkan
suatu hak.
Lamanya waktu pembiaran dalam hak keperdataan sangat diperlukan untuk
kepastian hukum. Oleh karena itu ketentuan kedaluarsa dapat dirujuk ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang dimuat dalam KUHPerdata Pasal 1965 sampai
dengan Pasal 1971. Atau dapat dianalogikan terhadap ta’lik talak yang dimuat
dalam buku nikah, poin 2 (dua) yaitu tidak memberikan nafkah selama tiga bulan
lamanya.
Apabila nafkah didefinisikan sebagai hak pemanfaatan, maka hak nafkah
hanya merupakan hak guna pakai saja, dengan demikian apabila suami tidak
memberikan nafkah kepada isterinya, maka isteri tersebut tidak dapat menuntut
apapun dari suaminya.
e. Pembebasan nafkah yang akan datang.
Nafkah yang akan datang adalah nafkah sebagai hak isteri yang belum
dibayarkan suaminya, apabila nafkah ini dibebaskan atau dihibahkan oleh isteri
terhadap suaminya, maka gugurlah kewajiban suaminya, akan tetapi menurut
ulama Al-Hanafiyah tidak sah menurut hukum membebaskan atau menghibahkan
nafkah yang akan datang, sebab nafkah isteri merupakan kewajiban untuk
menutupi kebutuhan yang terikat dengan waktu, pembebasan dan atau
penghibahan sesuatu yang belum terbukti adanya adalah suatu hal yang tidak
mungkin terjadi.
f. Meninggalnya salah seorang suami isteri.
Apabila suami meninggal dunia sebelum menunaikan kewajibannya
membayar nafkah, maka isteri dari suami itu tidak dapat menuntut penggantian
nafkah dengan harta warisan yang dimiliki suaminya itu, demikian pula apabila
seorang isteri meninggal dunia sebelum dibayarkan nafkahnya, maka ahli waris
isteri tersebut tidak dapat menuntut suaminya untuk mengembalikan nafkah itu
kepada seluruh ahli waris, apabila suami meminjam atau menghutangkan nafkah
dan kiswah terhadap isterinya, kemudian suami itu meninggal dunia sebelum
lewat waktu masa pinjaman, maka ahli waris suami itu tidak dapat menuntut
sesuatu apapun, demikian pula bila isterinya yang meninggal dunia utang nafkah
12
tidak dapat ditarik sebagai harta warisan menurut Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf. 9
g. Murtad atau pindah agama.
Apabila seorang isteri murtad atau berpindah agama dari agama Islam ke
agama yang lain, maka gugur haknya untuk mendapatkan nafkah, karena
hubungan badan menjadi terlarang akibat murtad atau pindah agama tersebut,
apabila ia kembali lagi beragama Islam, maka hak atas nafkahnya akan kembali
lagi sebagaimana biasanya menurut ulama Al-Syafi’iyah dan ulama Al-Hanabilah.
Perbedaan antara nusyuz dengan murtad adalah bahwa seorang isteri yang murtad
gugur haknya untuk mendapatkan nafkah karena kemurtadannya, sedangkan
seorang isteri yang nusyuz gugur hak atas nafkahnya, karena ia menolak untuk
melakukan hubungan badan dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
h. Adanya gugatan perceraian dari pihak isteri.
Setiap perceraian yang dikehendaki isteri dengan alasan yang tidak benar,
misalnya dengan alasan kemurtadannya atau ia tidak mau melaksanakan Syari’ah
Islam, atau ia meninggalkan suaminya tanpa izin, atau ia dengan alasan
pertengkaran yang disebabkan kesalahannya sendiri, maka dalam hal ini gugur
hak atas nafkahnya, akan tetapi ia berhak atas menempati rumah. Sedangkan
apabila gugatan cerai yang dilakukan isteri itu dengan alasan yang dibenarkan,
misalnya karena suaminya impoten, atau memiliki kebiasaan jelek, peminum atau
pemabuk dan lain sebagainya, maka hak isteri untuk mendapatkan nafkah tidak
gugur, karena isteri itu menahan dirinya dengan alasan yang dibenarkan. Dan hak
atas nafkah tidak gugur apabila perceraian itu diajukan oleh pihak suami secara
mutlak.
Pandangan hukum tersebut hampir sama dengan Huruf A angka 3 SEMA
Nomor 3 Tahun 2018 dalam gugat cerai, penggugat dapat diberikan nafkah iddah
dan mut’ah sepanjang penggugat tidak terbukti nusuz.
9Lihat Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Rad Al-Mukhtar ala Al-Dur Al-Mukhtar, op.cit, Juz III halaman 594. Pandangan ini
didasarkan kepada bahwa hak atas nafkah bukan hak atas kepemilikan, melainkan hak kemanfaatan, dan kewajiban
nafkah menjadi gugur dengan lewat waktu tertentu.
13
Kedua, mayoritas ulama1 menyatakan bahwa apabila suami tidak menafkahi isterinya, maka nafkah
tersebut menjadi hutang suami itu, sehingga nafkah terutang tidak gugur kecuali dengan pembayaran atau
pembebasan utang (iqalah) sebagaimana hutang-hutang yang lainnya. Demikian pula nafkah tidak gugur
dengan lewat waktu atau karena sekarang isterinya nusyuz atau karena isteri dijatuhi talak atau karena
suaminya meninggal dunia. Dasar pemikiran mereka dilandaskan pada asumsi bahwa nafkah substansinya
sebagai imbalan penahanan isteri untuk mengurusi segala sesuatu dalam ikatan perkawinannya, nafkah
yang diwajibkan syara’ sebagai akibat dari adanya akad nikah, apabila imbalan itu tidak dibayar, maka
status hukumnya menjadi hutang suami, sebagaimana hutang yang lainnya.
15
zoology, bahwa genetika yang berada pada anak diturunkan dari genetika ayah dan
ibunya.
Dalam ayat tersebut terdapat batasan yang jelas, yaitu “laa takallafu nafsun illa
was’aha” artinya seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Seseorang dalam ayat ini juga seharusnya bermakna orang, bisa suami
atau ayah dan juga isteri atau ibu. Begitu pula dalam ayat yang lain Surat Al-Talak ayat 7
sebagaimana dijelaskan di atas, kalimat dzu sa’atin artinya orang yang memiliki
kemampuan ekonomi. Orang yang memiliki kemapuan ekonomi dimaksud, bisa suami
atau ayah, bisa isteri atau ibu atau keduanya memiliki kemampuan.
Dengan demikian Al-Qur’an yang bersifat universal, ayat-ayatnya harus diartikan
secara universal pula, kecuali menunjukan kekhususannya, dengan cara universalitas
pemaknaan ayat tersebut, maka orang yang bertanggung jawab terhadap biaya keluarga
bukan hanya ayah, ibupun harus ikut bertanggung jawab atau secara bersama-sama.
Artinya ketetapan hukum yang dikehendaki ayat tersebut, adalah kewajiban pokok nafkah
keluarga, mula-mula diwajibkan kepada ayah selaku kepala keluarga, apabila ayah tidak
memiliki kemampuan ekonomi dan ibu yang memiliki kemampuan ekonomi, maka ibulah
yang berkewajiban terhadap nafkah tersebut, dan apabila yang memiliki kemampuan
ekonomi itu ternyata kedua-duanya (ayah dan ibu) maka biaya yang dibutuhkan keluarga
itu harus dipikul secara bersama-sama. Pemaknaan ayat Al-Qur’an tersebut dapat
menjawab seluruh persoalan yang berkaitan dengan ketentuan nafkah, pada masa
sekarang khususnya di Indonesia, hal mana pengendali ekonomi keluarga baik
pemberdayaannya maupun aktifitas usahanya tidak lagi didominasi oleh pihak suami atau
ayah, melainkan juga dikendalikan oleh pihak isteri atau ibu, dalam masyarakat petani
saja, pada masa sekarang sangat jarang ditemukan isteri hanya diam dirumah sedangkan
suaminya berusaha sekuat tenaga mengolah lahan pertaniannya, melainakn suami dan
isteri kedua-duanya berperan aktif mengolah lahan pertanian yang dimilikinya. Kultur
atau budaya masyarakat masa sekarang sangat jauh berbeda dengan kultur dan budaya
masyrakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan, dimana kultur atau budaya masyarakat
pada waktu itu pengendali ekonomi keluarga, baik pemberdayaannya maupun aktifitas
usahanya sangat didominasi suami atau ayah, isteri atau ibu bersifat pasif berdiam di
rumah dan hanya mengkonsumsi hasil usaha suaminya, bila kewajiban nafkah itu juga
dibebankan kepada isteri atau ibu dalam masyarakat seperti ini adalah sangat tidak adil,
karena isteri tidak mempunyai penghasilan apapun, oleh karena itu sangat dimengerti
sesuai kondisi dan situasi yang ada pada waktu itu Rasulullah menetapkan kewajiban
nafkah kepada suami atau ayah, sebagaimana dalam hadis Bukhari-Muslim dan hadis dari
Mu’awiyah Al-Qusairy.
Selain itu alasan-alasan yang dijadikan dasar (illah hukum) suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada isterinya menurut ulama terdahulu adalah jaza’a al-ihtibas
yang arti literalnya karena seorang perempuan yang dinikahi tidak lagi memiliki hak al-
hurriyah dalam kehidupan sehari-harinya, ia harus diam dirumah, seolah-olah tidak ada
hak bergaul dan beraktivitas di luar rumah, ia hanya bertugas melayani segala kebutuhan
suaminya saja. Seandainya lembaga perkawinan yang menjadi dasarnya sebagai sebuah
alat untuk merampas hak kebebasan hidup seorang perempuan, maka sama saja lembaga
perkawinan ini sebagai suatu lembaga perbudakan yang oleh agama apapun dan peraturan
apapun akan ditentangnya.
Substansi perkawinan yang disyari’atkan Allah Subhanau wa Ta’ala terhadap
ummat manusia, tidak mungkin sebagai suatu lembaga yang identik dengan perbudakan
atau jual beli hak kemerdekaan seorang perempuan, melainkan lembaga hukum
perkawinan yang disyari’atkan adalah sebagai salah satu wujud kasih sayang Allah
16
terhadap setiap individu manusia, yang selalu berkeinginan hidup berdampingan dengan
pasangan hidupnya, keinginan itu bukan hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja,
melainkan bersamaan dengan kaum perempuan. Pembentukan sebuah tatanan berkeluarga
dalam syri’at yang universal melalui ikatan perkawinan tidak mungkin ada tujuan yang
terselip untuk memenjarakan salah satu pihak, karena terwujudnya rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah, didasarkan kepada saling merelakan diri menjadi
seorang isteri dan seorang suami atas keinginan bersama. Masing-masing pihak bebas
berkreasi dan beraktivitas di luar rumah dalam batas-batas kewajaran dan norma-norma
syari’ah. Wallahu ‘a’lam bi Al-Shawab.
NAFKAH IDDAH
Jatuh talak
Talak raj’iy
ودﻟﻴﻞ ﻫﺬﻩ
َ ُوﻫ ﱠﻦ ﻟِﺘ
ﻀﻴِّ ُﻘﻮا َ ُﺚ َﺳ َﻜﻨﺘُﻢ ِّﻣﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ َوَﻻ ﺗ
ُ ﻀﺎ ﱡر ُ ﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣ ْﻴ
ُ َُﺳ ِﻜﻨ ْ }أ:وﺟﻞ
ّ ﻋﺰ ّ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺜﻼﺛﺔ ﻗﻮل ﷲ
:[ وﻗﺎل ﷲ ﺗﻌﺎﱃ6 :ﻀ ْﻌ َﻦ َﲪْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ{ ]اﻟﻄﻼق ِ ت َﲪْ ٍﻞ ﻓَﺄ
َ ََﻧﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺣ ﱠﱴ ﻳ ِ ُوﻻ
َ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َوإِن ُﻛ ﱠﻦ أ
{ﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴِّﻨَ ٍﺔ ِ َِﻻ ُﲣْ ِﺮﺟﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣﻦ ﺑـﻴﻮﻬﺗِِ ﱠﻦ وﻻ َﳜْﺮﺟﻦ إِﻻﱠ أَ ْن �ْﺗِﲔ ﺑ
َ ﻔﺎﺣ َ َ َ ْ ُ َ ُُ ْ ُ ُ
17 .[1 :]اﻟﻄﻼق
Talak ba’in
وﺟﻮب اﳌﺴﻜﻦ ﳍﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺰوج ،ودﻟﻴﻞ ذﻟﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ اﻵﻳﺔ اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ:
ﺼﻮا اﻟ ِْﻌ ﱠﺪ َة َواﺗﱠـ ُﻘﻮا ﱠﱯ إِ َذا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُﻢ اﻟﻨِّﺴﺎء ﻓَﻄَﻠِّ ُﻘ ُ ِ ِِ
ﻮﻫ ﱠﻦ ﻟ ِﻌﺪﱠﻬﺗ ﱠﻦ َوأ ْ
َﺣ ُ ُ َ }� أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﻨِ ﱡ
َ
ﺸ ٍﺔ ﱡﻣﺒَـﻴِّﻨَ ٍﺔ{ اﻪﻠﻟ رﺑﱠ ُﻜﻢ َﻻ ُﲣْ ِﺮﺟﻮﻫ ﱠﻦ ِﻣﻦ ﺑـﻴﻮﻬﺗِِ ﱠﻦ وَﻻ َﳜْﺮﺟﻦ إِﱠﻻ أَن �ْﺗِﲔ ﺑَِﻔ ِ
ﺎﺣ َ َ َ ُُ َ ُ ْ َ ُ ُ ﱠَ َ ْ
]اﻟﻄﻼق .[1 :واﻵﻳﺔ ﻫﺬﻩ ّ
ﻋﺎﻣﺔ ﰲ اﳌﻄﻠّﻘﺔ اﻟﺮﺟﻌﻴﺔ واﻟﺒﺎﺋﻨﺔ
ُوﻻ ِ
ت }وإِن ُﻛ ﱠﻦ أ َ
اﻟﻨﻔﻘﺔ ﺄﺑﻧﻮاﻋﻬﺎ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ،ودﻟﻴﻞ ذﻟﻚ ﻗﻮل ﷲ ﺗﻌﺎﱃَ :
َﲪْ ٍﻞ ﻓَﺄ ِ
َﻧﻔ ُﻘﻮا َﻋﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ َﺣ ﱠﱴ ﻳَ َ
ﻀ ْﻌ َﻦ َﲪْﻠَ ُﻬ ﱠﻦ{ ]اﻟﻄﻼق(6 :
ﻣﻼزﻣﺔ اﻟﺒﻴﺖ اﻟﺬي ﺗﻌﺘ ّﺪ ﻓﻴﻪ ،ﻓﻼ ﲣﺮج ﻣﻨﻪ إﻻ ﳊﺎﺟﺔ ،ﻛﺄن ﲢﺘﺎج إﱃ
ﻃﻌﺎم وﳓﻮﻩ ،أو ﲢﺘﺎج إﱃ ﺑﻴﻊ ﻣﺘﺎع ﳍﺎ ﺗﺘﻜﺴﺐ ﻣﻨﻪ ،وﻟﻴﺲ ﲦﺔ َﻣﻦ ﻳﻘﻮم
ﻣﻘﺎﻣﻬﺎ ﰲ ذﻟﻚ
ﻮل ﱠِ ي أ ﱠَ�َﺎ ﻟَ ﱠﻤﺎ َرَو ْ ﺲ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ردﱠﻩُ ﻋُﻤﺮ -ر ِ ﺎﻃﻤﺔَ ﺑِْﻨ ِ وأَ ﱠﻣﺎ ﺣ ِﺪ ُ ِ
اﻪﻠﻟ - ت أَ ﱠن َر ُﺳ َ اﻪﻠﻟُ َﻋ ْﻨﻪُ -ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ُر ِو َ
ﺿ َﻲ ﱠ َ َُ َ ﺖ ﻗَـ ْﻴ ٍ ﻳﺚ ﻓَ َ َ َ
ﺎب َرﺑِّﻨَﺎ َوَﻻ ِ ﺎل ﻋُﻤﺮ -ر ِ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ِ
اﻪﻠﻟُ َﻋﻨْﻪُ َ :-ﻻ ﻧَ َﺪعُ ﻛﺘَ َ ﺿ َﻲ ﱠ ْﲎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ ﻗَ َ َ ُ َ اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ -ﱂْ َْﳚ َﻌ ْﻞ َﳍَﺎ ُﺳﻜ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ﺖ َوِﰲ ﺑَـ ْﻌ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ
ب َرﺑّﻨَﺎ َو ُﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒﻴّﻨَﺎ
ﺎلَ :ﻻ ﻧَ َﺪعُ ﻛﺘَﺎ َ اﻟﺮَو َا�ت ﻗَ َﺾ ِّ ﺖ أ َْم َﻛ َﺬﺑَ ْ ُﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒﻴّﻨَﺎ ﺑ َﻘ ْﻮل ْاﻣ َﺮأَة َﻻ ﻧَ ْﺪ ِري أ َ
َﺻ َﺪﻗَ ْ
اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ -ﻳَـ ُﻘ ُ ﺖ رﺳ َ ِ ِ َو َ�ْ ُﺧ ُﺬ ﺑَِﻘ ْﻮِل ْاﻣ َﺮأَةٍ ﻟ ََﻌﻠﱠ َﻬﺎ ﻧَ ِﺴﻴَ ْ
ﻮلَ :ﳍَﺎ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﻮل ا ﱠﻪﻠﻟ َ - ﺖ أ َْو ُﺷﺒِّﻪَ َﳍَﺎَ ،ﲰ ْﻌ ُ َ ُ
ْﲎ َواﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ
ﺴﻜ َ اﻟ ﱡ
ﺎل اﻟ ِْﻌﺪﱠةِ
ْﲎ َﳍَﺎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ؛ ﻟِ َﻤﺎ ذَ َﻛ ْﺮَ� أَ ﱠن َﺣ َ
ﻓَ َﻼ ُﺳﻜ َ
ْﲎ َوَﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ ِﰲ اﻟﻨِّ َﻜ ِ
ﺎح ﺎح َوَﻻ ُﺳﻜ َ ُﻣ ْﻌﺘَ َﱪةٌ ِﲝَ ِ
ﺎل اﻟﻨِّ َﻜ ِ َ
ﺎﺳﺪِ
اﻟْ َﻔ ِ
19
Dalam Perceraian karena talak dalam
pernikahan yang sah
ﺲ ﺖ ﺑِ َ ٍ
ﺴﺒَﺐ ﻟ َْﻴ َ ﺖ ِﻣ ْﻦ ﻗِﺒَﻠِ َﻬﺎ ﻓَِﺈ ْن َﻛﺎﻧَ ْ َوإِ ْن َﻛﺎﻧَ ْ ﺖ اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔُ ِﻣ ْﻦ ﻗِﺒَﻠِ ِﻪ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ
ﻓَِﺈ ْن َﻛﺎﻧَ ْ
ﺴ َﻬﺎ،ت ﻧَـ ْﻔ َﺖ ﻓَﺎ ْﺧﺘَ َﺎر ْ ﺼﻴَ ٍﺔ َﻛ ْﺎﻷ ََﻣ ِﺔ إذَا أُ ْﻋﺘِ َﻘ ِْﲟَ ْﻌ ِ ﺖ اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔُ
ْﲎ َﻛﻴْـ َﻔ َﻤﺎ َﻛﺎﻧَ ْ ﺴﻜ ََواﻟ ﱡ
ْﲎﺴﻜ َ ت اﻟْ ُﻔ ْﺮﻗَﺔَ ﻓَـﻠَ َﻬﺎ اﻟ ﱡﲔ إذَا ا ْﺧﺘَ َﺎر ْ َو ْاﻣ َﺮأَةِ اﻟ ِْﻌﻨِّ ِ
ﺼﻴَﺔٌ َﻛﺎﻟ ُْﻤ ْﺴﻠِ َﻤ ِﺔ ﺐ ُﻫﻮ ﻣ ْﻌ ِ
ﺴﺒَ ٍ َ َ ﺖﺑَ
واﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘﺔُ ،وإِ ْن َﻛﺎﻧَ ْ ِ
َ َ
ٍ
ﺸ ْﻬ َﻮة ﻗَﺎﻟُﻮاَ :ﻻ ﻧَـ َﻔ َﻘﺔَ َﳍَﺎ َوَﳍَﺎ ِ ِ
ﺖ اﺑْ َﻦ َزْوﺟ َﻬﺎ ﺑ َ ﻗَـﺒﱠـﻠَ ْ
ﺴﻜْﲎ ﻓِﻴﻬﺎ ﺣ ﱡﻖ ﱠِ
اﻪﻠﻟ ﺗَـ َﻌ َﺎﱃ َو ِﻫ َﻲ ﺴﻜ ِ
ْﲎ؛ ﻷَ ﱠن اﻟ ﱡ َ َ َ اﻟ ﱡ َ
ﺎل ﻮق ﱠِ
اﻪﻠﻟ ﺗَـ َﻌ َ ﻣﺴﻠِﻤﺔٌ ُﳐَﺎﻃَﺒﺔٌ ِﲝُ ُﻘ ِ
َ ُْ َ
20
Perceraian Dalam Pasal 38 UU No. 1/74
Fasakh /
pembatalan nikah
Gugatan Perceraian
perceraian karena talak
Dalam KHI tidak memuat ketentuan memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas isteri selama dalam iddah dalam perceraian karena gugatan
perceraian. Yang ada hanya bersifat umum yaitu Pasal 136 ayat (2) huruf a
KHI “menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami” senada
dengan Pasal 78 UU Nomor 7/98 huruf a
21
22