Pertama, pada ayat tersebut Allah menyapa orang beriman. Ini menandakan bahwa puasa
meniscayakan iman yang kuat sebelum betul-betul sanggup menunaikan kewajiban ini.
Kedua, Allah menggunakan kalimat pasif (fi'il mabni majhul), yakni “kutiba” (diwajibkan),
dan bukan kalimat aktif “kataba” (mewajibkan). Tafsir asy-Sya’rawi menyebut redaksi semacam ini
bermakna kata kerja yang memberatkan (fi‘lun taklîfiyyun) sebagaimana perintah berperang dalam
QS al-Baqarah ayat 216 yang juga menggunakan kalimat “kutiba”.
Kesannya menjadi lain ketika kita geser makna “menahan” tersebut pada pengertian yang
lebih hakiki, yakni menahan diri dari nafsu untuk berbuat buruk. Artinya, puasa tidak hanya
berhubungan masalah perut dan kelamin tapi juga jiwa manusia untuk selalu terhindar dari perbuatan
tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Karena itu, yang dijaga bukan satu atau dua anggota badan,
melainkan seluruh anggota tubuh agar berlaku sesuai tuntunan syariat-Nya.
Konsekuensi dari itu semua adalah tuntutan untuk tidak hanya menjaga mulut dari makanan
tetapi juga dari perkataan kotor, ucapan yang menyakiti orang lain, bohong, obrolan sia-sia, ghibah,
fitnah, adu domba, dan ungkapan-ungkapan yang bisa merusak hubungan sosial.
Kemudian Rasulullah menyebut perang melawan hawa nafsu dengan sebutan jihad akbar
(jihad terbesar), lebih dahsyat ketimbang perang fisik yang beliau istilahkan sebagai jihad ashghar
(jihad kecil). Sepulang dari perang Badar, Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya:
Kedua, puasa spesial (shaumul khusus), yaitu puasa yang sudah beranjak dari standar
minimum, dengan menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh organ jasmani
dari perbuatan dosa.
Ketiga, puasa super-spesial (shaumu khususil khusus). Ini level yang lebih tinggi dari dua
level sebelumnya. Pada derajat ini, seseorang bukan hanya menahan godaan konsumsi, syahwat, dan
praktik maksiat, melainkan sudah mampu menahan diri dari keinginan yang rendah, larut
memikirkan dunia, dan berpaling ke selain Allah. Puasa dengan standar ini dianggap “batal” bila
pikiran masih melayang-layang kepada selain Allah dan akhirat.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Dari penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa Puasa umum hanya dilakukan oleh orang-orang
awam yang hanya melakukan puasa secara ala kadarnya. Puasa spesial biasanya dilakukan orang-
orang saleh yang selalu berhati-hati dan menghindar dari perbuatan dosa meski kecil. Sedangkan
puasa super-spesial dilakukan oleh orang-orang tertentu yang hatinya selalu tertaut kepada Allah,
bukan kepada yang lain. Dengan demikian, jihad yang betul-betul akbar terdapat pada derajat puasa
kedua dan ketiga.