Anda di halaman 1dari 7

AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN

e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

TINJAUAN HAK-HAK PEREMPUAN DAN ANAK PASCA


PERCERAIAN PADA KASUS CERAI GUGAT

Masyhari1
Rafifa Luthfarida2
Institut Agama Islam Cirebon
masyharicirebon@gmail.com
rafifarufarafa@gmail.com

Issue Process Abstract


Received: Marriage is just not about love, but it concerns with roles, rights, and
Revised: responsibilites as a husband and wife, as well as parents. The roles and
Accepted: responsibilities as parents will always be binding, even efter they divorce. After
DOI:
divorce, the rights of children and women are considered in the law. In the case
of divorce, these rights must be fulfilled by the ex-husband. Whereas in a
contested divorce, the ex-wife doesn’t really care about her rights and their
children. The purpose of this research is to find out about the rights of women
and the children after divorce in a divorce lawsuit case. The research use
qualitative method, with library research. The results are that in a divorce case,
ex-wifes may submit their rights and children’s rights ini the content of the
lawsuit, and the judge can grant it based on fair considerations and decsions.

Keyword: Abstrak
Divorce Lawsuit, Dalam pernikahan bukan sekadar tentang cinta dan kasih sayang, namun di
Rights and dalamnya menyangkut tentang peran, hak, dan kewajiban sebagai seorang suami
responsibilities, dan istri, serta sebagai orang tua. Peran dan kewajiban sebagai orang tua akan
Women and children.
selalu mengikat, bahkan setelah sepasang suami dan istri bercerai. Pasca
perceraian, hak-hak anak dan perempuan diperhatikan dalam undang-undang.
Dalam kasus cerai talak, hak-hak tersebut wajib dipenuhi oleh mantan suami.
Sedangkan dalam cerai gugat, mantan istri tidak terlalu memperdulikan
mengenai hak-haknya dan hak-hak anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui mengenai hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian pada kasus
cerai gugat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif
dengan studi pustaka (library research). Adapun hasil penelitian ini adalah
dalam kasus cerai gugat, mantan istri boleh mengajukan hak-hak mereka dan
hak-hak anak dalam isi gugatannya, dan hakim bisa mengabulkannya
berdasarkan pertimbangan dan keputusan yang adil.

1. PENDAHULUAN
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Namun, tidak semua
perkawinan bisa mencapai tujuan tersebut. Ketika dalam sebuah keluarga tidak ada lagi bahagia
dan kesejahteraan, maka dalam keluarga tersebut bisa menimbulkan masalah dan tidak bisa
bertahan lama. Beberapa perkawinan justru berakhir pada perpisahan atau perceraian.

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 1
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

Perceraian adalah putusnya perkawinan yang bisa disebabkan oleh talak ataupun adanya
gugatan perceraian. Di dalam Pengadilan Agama terdapat istilah Cerai Talak dan Cerai Gugat.
Cerai talak adalah perceraian yang permohonannya diajukan oleh pihak suami, sedangkan cerai
gugat diajukan oleh pihak istri.
Dalam kasus perceraian, perempuan dan anak-anak adalah pihak yang dipandang
dirugikan atas perceraian tersebut. Mahkamah Agung, dalam hal ini sebagai Badan Peradilan
selalu berusaha untuk menjamin pemenuhan hak-hak perempuan dan hak anak pasca terjadinya
perceraian, salah satunya adalah dengan cara menyediakan template (blanko/formulir) surat
gugatan yang mencantumkan tuntutan hak-hak tersebut.
Hak-hak yang diajukan tersebut biasanya berupa hak nafkah yang harus dipenuhi oleh
pihak suami. Menurut Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, dalam kasus cerai talak bekas suami
mempunyai kewajiban untuk memberikan mut’ah, memberi nafkah, maskan, kiswah selama
masa iddah, melunasi mahar yang masih terutang, serta memberikan biaya hadhanah untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Sedangkan dalam kasus cerai gugat yang terjadi, beberapa pihak penggugat tidak terlalu
peduli dengan hak-haknya dan hak-hak anaknya setelah bercerai, karena mengetahui bahwa
mantan suaminya tidak akan mampu untuk memenuhinya. Karena sebagian perceraian terjadi
karena alasan ekonomi, sehingga pihak penggugat lebih memilih berpisah atau bercerai tanpa
menuntut apa-apa.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam cerai
gugat, pihak penggugat bisa menuntut hak-hak perempuan dan hak anak pasca terjadinya
pereraian, serta mengetahui kasus cerai gugat pada Pengadilan Agama Sumber yang menuntut
hak-hak perempuan dan hak anak pasca terjadinya perceraian.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Secara umum, perceraian berarti lepasnya sebuah ikatan pernikahan atau perkawinan yang
diputuskan dengan putusan hakim pada Pengadilan Agama. Menurut A. Fuad Sa’id yang
dikutip dari Khoirul Abror (2020:161), perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-
istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri
atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.
Dalam Pasal 207 KUHPerdata disebutkan bahwa perceraian merupakan penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu
berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang.
Sanjaya dan Faqih (2017:10) menjelaskan bahwa pernikahan didefinisikan dengan akad
yang kuat antara laki-laki dan perempuan demi mewujudkan ketentraman dan kebahagiaan
hidup keluarga dengan diliputi penuh rasa kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 2
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

Sehingga, dalam hal ini perceraian dapat didefinisikan sebagai rusaknya atau lepasnya akad
tersebut dikarenakan tidak adanya lagi ketentraman, kebahagiaan, dan kasih sayang dalam
pernikahan tersebut.
Dalam sebuah perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau
dipenuhi oleh kedua belah pihak sebagai suami dan istri sekaligus sebagai orang tua. Seperti
yang dijelaskan oleh Fikri (2016:44) dalam bukunya yang berjudul Dinamika Hukum Perdata
Islam di Indonesia, bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dalam akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, melaksanakannya merupakan
ibadah, untuk memperoleh keturunan yang sah dan sanggup memenuhi segala hak-hak anak
dalam memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Begitu juga setelah adanya
perceraian, terdapat hak-hak yang harus dipenuhi oleh mantan suami kepada mantan istri dan
kepada anak-anaknya, atau oleh kedua belah pihak (mantan istri dan mantan suami) sebagai
orang tua kepada anak-anaknya.
Dalam pernikahan maupun pasca perceraian, tidak bisa terlepas dari hak-hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi, terlebih jika dalam pernikahan tersebut telah dilengkapi
dengan lahirnya anak.
Menurut Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, dalam kasus cerai talak bekas suami
mempunyai kewajiban untuk memberikan mut’ah, memberi nafkah, maskan (tempat tinggal),
kiswah (pakaian) selama masa iddah (masa tunggu), melunasi mahar yang masih terutang, serta
memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada
istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan yang lainnya. Sedangkan hadhanah
menurut Sanjaya dan Faqih (2017:144), adalah perbuatan yang wajib dilaksanakan orang tua
kepada anak yang meliputi pengawasan, pelayanan baik itu kesehatan jasmani dan rohani,
kasih sayang orang tua, mendapatkan kebutuhan hidup, dan mendapatkan nafkah
Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus cerai gugat, penggugat dalam hal ini
adalah istri meminta hak-haknya. Namun dalam kebanyakan kasus cerai gugat yang terjadi,
beberapa pihak penggugat tidak terlalu peduli dengan hak-haknya dan hak-hak anaknya setelah
bercerai, karena mengetahui bahwa mantan suaminya tidak akan mampu untuk memenuhinya.
Karena sebagian perceraian terjadi karena alasan ekonomi, sehingga pihak penggugat lebih
memilih berpisah atau bercerai tanpa menuntut apa-apa.
3. METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan studi pustaka (library
research), yaitu metode pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori
dari berbagai sumber atau berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian mengenai
hak-hak perempuan dan anak pasca terjadinya perceraian.

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 3
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

4. HASIL PEMBAHASAN
1) Menurut Undang-Undang
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atau karena adanya putusan
Pengadilan.
Dalam putusnya perkawinan selalu ada akibat hukum yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak yang harus
dipenuhi oleh mantan suami kepada mantan istrinya dan anak-anaknya.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa setelah
perceraian, baik mantan istri ataupun mantan suami tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Mantan suami sebagai seorang bapak bertanggungjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, namun jika bapak tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut serta dalam
memenuhi kewajiban atas biaya tersebut.
Bukan hanya hak anak yang harus dipenuhi setelah adanya perceraian, dalam Pasal
41 disebutkan pula bahwa Pengadilan dapat memutuskan hak-hak yang didapatkan oleh
mantan istri dari mantan suaminya.
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang didalamnya memuat hak-hak anak yang wajib dipenuhi oleh
orang tuanya, antara lain mengenai hak hidup, hak tumbuh, hak berkembang, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak untuk mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Hak tersebut harus didapatkan oleh anak, baik selama
keluarganya utuh ataupun setelah orang tuanya bercerai.
Sehingga dalam undang-undang tersebut, hak perempuan (mantan istri) dan hak anak-
anaknya sama-sama diperhatikan dan harus dipenuhi baik oleh mantan suami kepada
mantan istri, ataupun oleh kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sebagai
orang tua meskipun telah terjadi adanya perceraian.
2) Menurut Peraturan Lainnya
Dalam Pasal 207 KUHPerdata disebutkan bahwa perceraian merupakan penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu
berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang.
Terdapat dua istilah dalam perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai gugat
didefiniskan dalam Pasal 132 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam sebagai perceraian yang
diajukan oleh pihak istri atau kuasa hukumnya pada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami. Sedangkan cerai talak adalah cerai yang diajukan oleh pihak
suami atau kuasa hukumnya.
Dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bekas suami memiliki
kewajiban untuk memberikan nafkah hadhanah kepada anak-anaknya yang belum

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 4
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

mencapai umur 21 tahun. Menurut Sanjaya dan Faqih (2017:144), hadhanah adalah
perbuatan yang wajib dilaksanakan orang tua kepada anak yang meliputi pengawasan,
pelayanan baik itu kesehatan jasmani dan rohani, kasih sayang orang tua, mendapatkan
kebutuhan hidup, dan mendapatkan nafkah. Hadhanah juga bisa diartikan sebagai biaya
pemeliharaan, pengasuhan, serta pendidikan terhadap anak hingga anak tersebut tumbuh
dewasa, atau hingga ia kawin dan mampu mengurus dirinya sendiri.
Disebutkan pula pada Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam, tanggung jawab
mengenai biaya pemeliharaan anak pasca terjadinya perceraian adalah ditanggung oleh
ayahnya.
Dalam surat Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Nomor
1960/DjA/HK.00/6/2021 perihal Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan Anak
Pascaperceraian, bahwa Mahkamah Agung dalam hal ini sebagai Badan Peradilan selalu
berusaha untuk menjamin pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian,
salah satunya adalah dengan cara menyediakan template (blanko/formulir) surat gugatan
yang mencantumkan tuntutan hak-hak tersebut. Oleh karena itu, pada dasarnya, dalam
perkara cerai gugat, istri sebagai pihak penggugat boleh menuntut nafkah idah, nafkah,
mut’ah, dan nafkah anak. Tuntutan tersebut, bisa dikabulkan ataupun tidak oleh majelis
hakim, tergantung alasan dan kondisi yang ada, dengan catatan putusan tersebut harus adil.
Seperti yang dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2018
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, bahwa nafkah madhiyah, nafkah
iddah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi
“Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak,
harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan
ekonomi suami dan fakta kebutuhan hidup isteri dan/atau anak.”

3) Studi Kasus Perkara Cerai Gugat


Terdapat perkara cerai gugat pada Pengadilan Agama Sumber dengan nomor perkara
328/Pdt.G/2023/PA.Sbr, di dalam surat gugatannya dijelaskan bahwa penggugat (istri)
telah ditinggalkan oleh pihak tergugat (suami) sekitar 9 tahun 6 bulan, selama itu pula
pihak tergugat tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun batin kepada pihak
penggugat.
Dalam surat gugatan tersebut, disebutkan pula mengenai penghasilan yang terima oleh
pihak tergugat selama sebulannya. Di dalamnya memuat pula mengenai Penggugat yang
menuntut nafkah iddah sejumlah Rp. 30.000.000,- selama 3 bulan, dan mut’ah berupa uang
sebesar Rp. 20.000.000,-, serta menuntut agar Tergugat memberikan nafkah terutang
(madliyah) sebesar Rp. 108.000.000,- yang harus dibayarkan Tergugat sebelum
mengambil akta cerai. Pihak penggugat tidak menuntut nafkah anak, karena anak-anak
dari kedua belah pihak sudah mampu menghidupi dirinya sendiri. Namun, pihak tergugat

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 5
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

selaku seorang bapak, harus tetap memperhatikan kehidupan masa depan serta
memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan permohonan tersebut untuk
dikabulkan, namun nominal nafkah yang dikabulkan tidak sebesar permohonan yang
tertulis dalam surat gugatan yaitu hanya sebesar Rp. 29.360.000,-. Namun untuk tuntutan
nafkah mut’ah tidak dapat dikabulkan oleh majelis hakim, karena mut’ah hanya diberikan
kepada mantan istri karena telah dijatuhi talak (untuk kasus cerai talak), serta diperkuat
dengan Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa mut’ah adalah pemberian
bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
Dari kasus cerai gugat tersebut, bisa disimpulkan bahwa hak-hak perempuan bisa
menjadi tuntutan untuk pihak tergugat dalam hal ini adalah mantan suami. Perempuan /
istri boleh menuntut hak-haknya dan hak untuk anak-anaknya, dan Pengadilan dapat
mengabulkannya dengan mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan.

5. KESIMPULAN
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Sedangkan perceraian
adalahputusnya ikatan perkawinan dikarenakan dalam sebuah keluarga tidak ada lagi bahagia
dan kesejahteraan, maka dalam keluarga tersebut bisa menimbulkan masalah dan tidak bisa
bertahan lama. Perceraian adalah putusnya perkawinan yang bisa disebabkan oleh talak
ataupun adanya gugatan perceraian.
Dalam pernikahan maupun pasca terjadinya perceraian, tidak bisa terlepas dari hak-hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi, terlebih jika dalam pernikahan tersebut telah dilengkapi
dengan lahirnya anak.
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasca terjadinya perceraian, seorang anak
berhak :
1. Menerima hadhanah dari orang tuanya, terutama dari ayah. Hadhanah diartikan sebagai
biaya pemeliharaan, pengasuhan, serta pendidikan terhadap anak hingga anak tersebut
tumbuh dewasa, atau hingga ia kawin dan mampu mengurus dirinya sendiri.
2. Bertemu ayah dan ibunya.
3. Mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Pasca perceraian yang terjadi karena cerai gugat, mantan istri berhak atas:
1. Nafkah madhiyah atau nafkah yang telah lampau atau nafkah terutang, apabila selama
perkawinan tersebut suami tidak memberi nafkah.
2. Nafkah idah, yang diberikan kepada mantan istri yang menjalani masa idah selama 3 bulan.
3. Hak hadhanah bagi anak.
Hak-hak tersebut bisa dikabulkan oleh majelis hakim selama permohonannya diajukan
oleh pihak penggugat (istri) serta berdasarkan alasan dan keputusan yang adil.

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 6
AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
e-ISSN: 2723-3995
Vol/No/Tahun

Sehingga dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hak


perempuan (mantan istri) dan hak anak-anaknya sama-sama diperhatikan dan harus
dipenuhi baik oleh mantan suami kepada mantan istri, ataupun oleh kedua belah pihak
(mantan suami dan mantan istri) sebagai orang tua meskipun telah terjadi adanya
perceraian.

DAFTAR PUSTAKA
Abror, Khoirul. 2020. Hukum Perkawinan dan Perceraian. Yogyakarta : Ladang Kata.
Fikri. 2016. Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia. Yogyakarta : Trustmedia Publishing.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Indonesia. KUHPerdata. Jakarta
Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.
Mahkamah Agung RI. 2011. Himpunan Peraturan Perundang-undagan yang Berkaitan dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian dalam Pembahasannya. Jakarta.
Sanjaya dan Faqih. 2017. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Gama Media.
Surat Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Nomor 1960/DjA/HK.00/6/2021 perihal
Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan Anak Pascaperceraian. Jakarta.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Jakarta.

www.jurnal.iaicirebon.ac.id 7

Anda mungkin juga menyukai