Anda di halaman 1dari 47

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP KADAR

PEMBEBANAN NAFKAH LAMPAU TERHADAP ISTRI


(Studi Kasus pada Pengadilan Agama Bitung)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk diseminarkan dalam Sidang Proposal Skripsi Dalam Program


Studi Akhwalul Syakhsiyyah pada IAIN Manado

Oleh :
Muhammad Dzikrul Fikri
NIM.1811048

PROGRAM STUDI AKHWALUL SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MANADO

1443 H/ 2022 M
A. Latar Belakang
Dalam ajaran agama Islam salah satu hal yang paling penting yakni
mengenai aspek perkawinan atau pernikahaan. Perkawinan dalam Islam
sangat dianjurkan, agar dorongan terhadap biologis dan psikisnya dapat
tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindari diri dari
perbuatan zina,1 sehingga melaksanakan perkawinan merupakan ibadah
dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Perkawinan di
artikan sebagai menghimpun 2 orang menjadi satu. Melalui bersatuhnya
dua insan manusia yang di pertemukan oleh Allah swt. untuk berjodoh
menjadi satu sebagai pasangan suami istri yang saling melengkapi
kekurangan masing-masing.
Perkawinan telah diatur dalam hukum Islam maupun dalam hukum
positif. Dalam hukum positif terdapat dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”.2 Begitu juga terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yaitu “Perkawinan adalah akad
yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah
swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah”.3
Hidup berumah tangga itu pada akhirnya ditujukan untuk
membangun kedekatan kita dengan Allah swt. sehingga bisa
mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral, serta memiliki akibat hukum dari ikatan
pernikahan tersebut. Yang mana, mengakibatkan timbulnya hak dan

1
Rahcmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Cetakan I
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 352
2
Tim Redaksi Bi, Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: BIP Kelompok Gramedia, 2017), 2
3
Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Cet.6 (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015),
7
kewajiban bagi keduanya.4 Di antara kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang ayah atau seorang suami dalam bahtera
rumah tangga adalah memberikan nafkah kepada orang-orang yang
berada dalam tanggungannya.5 Nafkah tentunya memiliki fungsi dan
pengaruh sangat besar untuk keberlangsungan suatu rumah tangga. Di
dalam hubungan berumah tangga tidak selamanya berjalan dengan
lancar, ada kalanya terdapat pasangan suami istri yang mengalami
masalah sehingga dapat menyebabkan kerenggangan, salah satunya
mengenai nafkah. Apabila nafkah tersebut tidak dapat terpenuhi atau
kurang mencukupi, dapat manimbulkan permasalahan rumah tangga
yang dapat berujung berakhirnya rumah tangga (perceraian). 6 Akan
tetapi permasalahan yang terdapat di antara pasangan dapat diselesaikan
secara musyawarah. Jika cara tersebut tidak berjalan dengan baik maka
dampak terburuknya akan menimbulkan perceraian antara suami dan
istri.
Perceraian adalah suatu istilah yang digunakan untuk menegaskan
terjadinya suatu peristiwa hukum berupa putusnya perkawinan antara
suami istri, dengan alasan-alasan hukum, proses hukum tertentu dan
akibat-akibat hukum yang ditimbulkan setelah diputuskan di depan
sidang pengadilan.7
Salah satu akibat hukum dari adanya perceraian baik perceraian
talak maupun gugat yaitu mantan suami wajib meberikan nafkah
terhadap istri. Dalam hukum positif tentunya diatur dalam berbagai
aturan perundang-undangan, di antaranya dalam ketentuan Pasal 41

4
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan (Malang: Universitas MuhamMadhiyah Malang, 2020),
1-3.
5
Kurniawan Subakti, “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Gugatan Nafkah Madhiyah
Anak Ditinjau Dari Maqashid Syariah” (Skripsi, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2022), 1
6
Riyan Ramdani and Firda Nisa Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah
Dan Mut’ah Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” Adliya: Jurnal Hukum Dan
Kemanusiaan 15, no. 1 (2021), 38
7
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 18
huruf c dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.”8 Lebih jelas lagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 poin 3 Hasil
Pleno Kamar Agama mengenai “Kewajiban suami akibat perceraian
terhadap istri yang tidak nusyuz, mengakomodir Perma Nomor 3 tahun
2017 tentang pedoman mengadili perkara Perempuan berhadapan
dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan
mut’ah dan nafkah Iddah, sepanjang tidak terbukti nusyuz (perselisihan
di antara suami-isteri)”. Sehingga berdasarkan SEMA tersebut, tidak
menutup kemungkinan dalam perkara cerai gugat pihak Penggugat
(istri) memperoleh mut’ah dan nafkah Iddah dari suaminya sepanjang
terbukti tidak nusyuz.9
Nafkah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami
sebagaimana di tuangkan dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam. Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.10
Ketika terjadinya perceraian antara suami dan istri maka tentunya
akan timbul beberapa hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh
masing-masing pihak. Terhadap mantan suami kewajiban yang harus
dilaksanakan ialah salah satunya memberi nafkah Madhiyah (nafkah
8
Ramdani and Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah
Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” 43
9
Syafiul Anam, “Menghitung Besaran Nafkah Istri Dan Anak Pasca Perceraian,” Mahkamah
Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Pengadilan Agama, 2022,
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menghitung-besaran-nafkah-istri-
dan-anak-pasca-perceraian-oleh-syafiul-anam-26-4.
10
Ramdani and Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah
Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” 39
lampau) sebagai salah satu kewajiban dalam bentuk ketentuan hukum
akibat putusnya perkawinan karena perceraian, adanya pemberian
nafkah iddah dan nafkah mut’ah kepada mantan istri serta kepada
anaknya yang belum mumayyiz yang dalam pengasuhan ibunya hak
pemeliharaan (hadhanah). 11
Dalam masalah percerian umumnya istri yang diceraikan oleh
suaminya hanya menuntut nafkah iddah dan muttah saja, akan tetapi
hak nafkah lainnya tidak dituntut walaupun selain nafkah tersebut bisa
dituntut. Nafkah Madhiyah (nafkah lampau) adalah nafkah yang telah
dilalaikan atau ditinggalkan oleh suami ketika masih dalam rumah
tangga.12 Selama nafkah terutang belum dibayarkan oleh suami kepada
istri dan anaknya maka suami masih memiliki hutang yang wajib
dibayarkan untuk memenuhi nafkah keluarganya, sehingga dalam hal
ini ada kemungkinan suami merasa diberatkan namun istri juga merasa
dirugikan. Oleh karena itu demi mencapai nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum perlu adanya kepastian terhadap
kadar pembebanan nafkah lampau. Kepastian kadar pembebanan nafkah
tersebut ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kemadharatan setelah terjadinya perceraian.
Penentuan kadar nafkah belum diatur dalam al-Quran, sunnah, dan
ijma’serta dalam hukum positif dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Maka dalam hal ini hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara nafkah harus mengadili dan memberikan
pertimbangan dengan melihat rasa keadilan dan kepatutan dengan
menggali fakta-fakta terkait kemampuan ekonomi mantan suami dan
fakta-fakta kebutuhan dasar hidup mantan istri dan anak. Dengan
memberikan kewenangan kepada hakim untuk menentukan besaran
nafkah kepada mantan istri dan anak, tentu berdasarkan petimbangan-

11
Ramdani and Syahfithri, 38
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2007), 112
pertimbangan sehingga dalam menentukan kadar pemberian nafkah
kepada mantan istri dan anak harus memenuhi rasa keadilan dan
kepatutan. Pengadilan Agama Bitung sebagai lokasi penelitian,
berdasarkan hasil observasi bahwa telah memberikan pertimbangan-
pertimbangan terhadap gugatan mantan istri terkait dengan pemberian
nafkah. Dalam hal ini dapat dilihat pada putusan Nomor
171/Pdt.G/2021/PA.Bitg, dan Nomor 204/Pdt.G/2021/PA.Bitg.
Berdasarkan putusan-putusan tersebut hakim telah menetapkan
kadar dan besaran nafkah kepada mantan istri. oleh karena itu
dilakukannya penelitian ini, karena adanya masalah yaitu tidak ada
penetapan kadar besaran nafkah sehingga tentu dalam hal ini hakim
berbeda-beda dalam memberikan putusan mengenai besaran nafkah.
Kemudian penulis ingin meneliti dari putusan hakim tersebut apakah
memenuhi rasa keadilan dan kepatutan atau tidak.
Dan dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
tertarik meneliti tentang Pertimbangan Hakim Terhadap Kadar
Pembebanan Nafkah Lampau Terhadap Istri (Studi Kasus Bitung).

B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka


identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Tidak ada kadar nafkah yang di tetapkan baik dalam


al-Quran, sunnah, ijma’ maupun hukum positif dalam
peraturan perundang-undangan.

2. Ada kemungkinan, hakim memberikan pertimbangan


terhadap Kadar nafkah tersebut tidak memenuhi rasa
keadilan dan kepatuatan sehingga menimbulkan
ketidakpuasan di antar keduanya.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dan melihat beberapa nafkah
yang harus dipenuhi oleh mantan suami, peneliti membatasi masalah
hanya kepada pertimbangan hakim mengenai pembebanan nafkah
Madhiya atau yang biasa disebut nafkah lampau terhadap istri. Dimana
putusan hakim inilah yang akan menentukan berapa besar kadar
pembebanan nafkah lampau yang akan dipenuhi oleh suami terhadap
istri pasca perceraian.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan tersebut
dalam penelitian ini rumusan masalah yang di rumuskan sebagai brikut:
1. Bagaimana metode hakim Pengadilan Agama Bitung dalam
menentukan pembebanan nafkah lampau terhadap istri?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menangani perhitungan
kadar pembebanan nafkah lampau terhadap istri di Pengadilan
Agama Bitung?

E. Tujuan Masalah
Sehubungan dengan penelitian ini, adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis yaitu:
1. Untuk mengetahui metode hakim Pengadilan Agama Bitung
dalam menentukan pembebanan nafkah lampau terhadap istri
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menangani
perhitungan kadar pembebanan nafkah lampau terhadap istri di
Pengadilan Agama Bitung
F. Kegunaan Penelitian
Adapun Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Untuk penulis, hasil penelitian ini dapat memperluas
pengetahuan terhadap masalah pertimbangan hakim terhadap
penentuan kadar pembebanan nafkah lampau kepada istri, juga
dapat menerapkan serta mengembangkan teori-teori yang telah
didapat selama masa perkuliahan.
2. Manfaat Praktis
Hasil yang telah ditemukan melalui penilitian ini diharapkan
bisa memberikan kontribusi pemikiran beserta manfaat bagi
individu dan masyarakat dalam memperluas pengetahuan yang
terkait dengan nafkah lampau terhadap istri yang dilalaikan oleh
suaminya.

G. Definisi Oprasional
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan suatu alasan atau argumen
yang digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum untuk
menjadi dasar sebelum memutuskan suatu perkara. Pertimbangan
hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi
dengan teliti, baik, dan cermat.
Analisis pertimbangan hakim merupakan suatu penyelidikan
terhadap salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi
dengan teliti, baik dan cermat.
Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai
pandangan hakim tentang penentuan nafkah lampau akibat
perceraian. Berarti mengenai bagaimana sikap hakim atau langkah
hukum apa yg akan dilakukan dalam menentukan nafkah lampau
atau bagaimana hakim memandang putusan terhadap nafkah lampau
setelah perceraian.
2. Kadar Pembebanan Nafkah Lampau
Kadar pembebanan nafkah lampau merupakan jumlah atau
besaran yang ditetapkan secara musyawarah dan adil keseluruh
pihak. Nafkah yang tidak sempat diberikan oleh suami selama 3
(tiga) bulan atau lebih ini yang nantinya akan menjadu hutang bagi
suami terhadap istrinya, setelah itu nafkah terutang tersebut dapat
dituntut atau digugat ilrg istri lewat gugatab nafkah Madhiyah atau
nafkah lampau.
Berdasarkan pengertian di atas, secara operasional peneliti
mengambil kesimpulan bahwa analisis pertimbangan hakim
mengenai kadar pemberian nafkah lampau terhadap istri merupakan
tolak ukur hakim dalam masalah pemberian kadar nafkah yang
seharusnya diperoleh oleh istri dan menjadi keputusan hakim
setelah perceraian terjadi.

H. Penelitian Terdahulu
Table 1. Penelitian Terdahulu

No Nama Metodologi Penelitian


Judul Penelitian
. Peneliti Persamaan Perbedaan
1. Kurniawan Pertimbangan Persamaan dalam Perbadaannya dalam
Hakim Dalam penelitian ini ialah penilitian ini membahas
Memutus Perkara sama-sama meneliti pertimbangan hakim
Gugatan Nafkah mengenai putusan dalam memutus perkara
Madhiyah Anak hakim terhadap gugatan nafkah
Subakti Ditinjau Dari putusan perkara madhiya anak,
(2022) Maqashid Syariah nafkah. sedangkan penulis
membahasn mengenai
nafkah lampau atau
nafkah madhiyah
terhadap istri.
Implementasi Dalam penilitian ini Perbedaan dalam
Nafkah Madhiyah sama-sama membahas penelitian ini ialah
Suami Terhadap mengenai nafkah membahas mengenai
Istri Pasca madhiyah suami Implemantasi nafkah
Perceraian di terhadap istri madhiyah terhadap
Nur Dewi Pengadilan istri. sedangkan penulis
2.
(2017) Agama Kendari membahas mengenai
Tahun 2013-2016 pertimbangan hakim
dalam penetuan kadar
nafkah lampau
(madhiyah) terhadap
istri
3. Riswandi Analisis Mengenai persamaan Perbedaanya yaitu
(2020) Pertimbangan dalam penelitian ini dalam penilitian ini
Hakim yakni sama-sama terletak pada tempat
Pengadilan menganalisis penilitiannya. Penilitian
Agama Terhadap pertimbangan hakim ini meneliti di
Kadar terhadap kadar Pengadilan Agama
Pembebanan pembebanan nafkah Kelas 1A Watampone
Nafkah Lampau lampau terhadap istri Sedangkan penulis
Terhadap Istri memilih untuk meneliti
(Studi di di Pengadilan Agama
Pengadilan Bitung.
Agama Kelas 1A
Watampone)
Pertimbangan Mengenai persamaan Pada penelitian ini,
Hakim Terhadap dalam penelitian ini, perbedaannya
Tanggungjawab yaitu sama-sama pertimbangan hakim
Tergugat Dalam meneliti mengenai yang dibahas mengenai
Pemberian putusan hakim pertimbangan terhadap
Nafkah Pasca terhadap pemberian tanggung jawab
Putusan Cerai nafkah pasca tergugat dalam
Erwin
perceraian. memberikan nafkah
4. Prahara
dalam kajian putusan
(2018)
nomor
2257/Pdt.G/2011/PA.S
M. Sedangkan penulis,
para pertimbangan
hakim terhadap kadar
pembebanan nafkah
lampau.
5. Khairuddin Pertimbangan Pada penelitian ini Sedangkan
, Badri dan Hakim terhadap sama-sama meneliti perbedaannya pada
Nurul Putusan Nafkah pertimbangan hakim penelitian ini
Auliyana Pasca Perceraian mengenai putusan membahas mengenai
(2019) (Analisis Putusan nafkah pasca pertimbangan hakim
Mahkamah perceraian. terhadap nafkah-nafkah
Syar’iyah Aceh pasca perceraian seperti
Nomor nafkah Iddah, nafkah
01/Pdt.G/2019/M Mut’ah, nafkah Kiswah
s.Aceh) dan nafkah anak.
Sedangkan peneliti
membahas pertimbanga
terhadap nafkah lampau
(Madhiyah).
Sumber: olahan mandiri (2022)

I. Kajian Teori
1. Pembebanan Hakim
Menurut Lilik Mulyadi bahwa hakekat pada pertimbangan
yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik
apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan
delik yang didakwakan oleh pentutut umum sehingga pertimbngan
tersebut relevan terhadap amar/diktum putusan hakim.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung
kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi
para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini
harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan
hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan
adanya pembuktian, di mana hasil dari pembuktian itu akan
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara.
Pembuktia merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang
diajukan itu benar-benar terjad, guna mendapatkan putusan hakim
yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan
sebelum nyata baginya bahwa peristiwa fakta tersebut benar-benar
terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya
hubungan hukum antara para pihak.
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalik-dalil
yang disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala
aspek menyangkut semua fakta atau hal-hal yang terbukti dalam
persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus
dipertimbangankan atau diadili secara satu demi satu sehingga
hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan
dapat dikabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan.13
2. Kadar Pembebanan Nafkah Lampau
Dalam memberikan pertimbangan terhadap penentuan nafkah,
majelis hakim didasarkan kepada dua hal pertama ketika istri tidak
termasuk dalam kategori nusyuz dan kedua berdasarkan penghasilan
suami (faktor ekonomi). Dua kategori tersebut menjadi bahan
pertimbangan ketika tidak menemukan kesepakatan antara kedua
belah pihak, baik berdasarkan keinginan dari istri ataupun suami
yang tidak mau untuk memenuhi permtintaan dari pihak istri.
Pertimbangan selanjutnya oleh hakim setelah diketahui
penghasilan suami maka hakim akan memberikan pertimbangan

13
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2011), 140-142
dalam hal kebutuhan masingmasing pihak. Kebutuhan tersebut ialah
kebutuhan yang wajar dari biaya penghidupan sehari-hari berupa
makanan, biaya hidup lainnya dalam jangka waktu tertentu dan atau
tempat tinggal bagi bekas istri selama menjalani masa idahnya.
Kebutuhan seorang suami dalam penentuan besaran nafkah
terhadap mantan istrinya menjadi salah satu pertimbangan, karena
dikhawatirkan jika sautu putusan hakim yang telah ditetapkan oleh
hakim dalam jumlah yang banyak, dan ternyata mantan suami untuk
keperluan sendirinyapun tidak dapat terpenuhi, maka putusan hakim
tersebut menjadi tidak adil bagi pihak mantan suami. Dalam hal ini
hakim harus juga bisa menentukan jumlah nafkah yang ditentukan
berdasarkan penghasilan dari mantan suami yang dikurangi dengan
kebutuhan dari pihak masing-masing, selan itu pula diharapkan dari
ditetapkannya putusan tersebut dapat dilaksanakan tanpa merugikan
kedua belah pihak.
Andi Syamsu Alam salah satu Hakim Mahkamah Agung
memberikan penjelasan bahwa walaupun oleh undang-undang
diperbolehkan, gugatan nafkah masih belum popular atau dikenal
oleh di masyarakat. masih banyak yang tidak mengetahui bahwa
gugatan nafkah bisa diajukan, bahkan apabila anak butuh biaya
sekolah namun bapaknya yang mampu ternyata tidak mau
memberikan biaya kepada anaknya, maka hal ini bisa digugat.
Terhadap nafkah anak, bagi seorang ayah tidak boleh melalaikan
tanggungjawab dan kewajibannya dalam memberikan nafkah
terhadap anaknya, sekalipun ayah dan ibu dari anak tersebut telah
bercerai. Peraturan sebagaimana termaktub dalam Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan bahwa pemberian nafkah disesuaikan
dengan kemampuan ayah.
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan majelis
hakim dalam menentukan kadar besaran nafkah yang harus
diberikan oleh bekas suami setelah perceraian terhadap istri dan
anak-anaknya:
a) Berdasarkan kepatutan dan kemampuan suami yang diukur
dengan melihat penghasilan suami setiap bulannya
b) Melihat usia perkawinan yang telah dijalankan
c) Melihat apakah istrinya nusyuz atau tidak
d) Menyesuaikan antara kebutuhan dan kemampuan suami sesuai
dengan kondisi suatu daerah
e) Melihat apakah seorang suami melakukan kedzaliman terhadap
istrinya, seperti kekerasan dalam rumah tangga.
Dari beberapa faktor tersebut menjadi dasar pertimbangan
majelis hakim dalam mengambil keputusan terhadap penetapan
jumlah nafkah dan setelah perceraian yang harus diberikan seorang
mantan suami kepada istri dan anak-anaknya.
3. Perceraian atau Talak
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Maksudnya adalah undang-undang tidak memperbolehkan
penceraian dengan pemufakatan saja antara suami dan istri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perceraian berarti
“pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) melepaskan
ikatan pernikahan.. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah
digunakan pada masa jahiliyah. 14
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq”
atau “Furqah”. Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan
perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan
lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai
pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala

14
Aris Tristanto, “Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Ilmu Sosial,” Sosio
Informa 6, no. 3 (2020), 295
macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah
perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian
adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena tidak ada
kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya
istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak. Menurut hukum Islam,
perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain:
karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya
perceraian, karena adanya putusan Pengadilan. 15
Perceraian dalam Islam bukan sebuah larangan, namun
sebagai pintu terakhir dari rumah tangga, ketika tidak ada jalan
keluar lagi. Bahkan, secara yuridis, perceraian telah diatur dalam
pasal 38 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Di dalamnya dijelaskan bahwa putusnya suatu
perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan
putusan pengadilan. Dalam undang-undang tersebut terlihat jelas
bahwa putusnya perkawinan karena perceraian adalah berbeda
halnya dengan putusnya perkawinan. Sedangkan dalam pasal 39
undang undang perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan bukan dengan
putusan Pengadilan. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur tentang
perkara talak pada perkawinan menurut Agama Islam. Pada
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 digunakan istilah cerai
talak dan cerai gugat, hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan
pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada undang-undang
tersebut.16

15
Khoirul Abror, Hukum Perkawinan Dan Perceraian (Yogyakarta: Bening Pustaka, 2020), 161
16
Linda Azizah, “Analisis Penceraian Dalam Hukum Islam,” Al-’Adalah 10, no. 4 (2012), 416
Talak (ath-thalaq) berasal dari kata al-ithlaq yang artinya
melepaskan dan meninggalkan. Menurut istilah, talak adalah
melepaskan ikatan pernikahan, atau menghilangkan ikatan
pernikahan ketika itu juga. Menurut syariat, talak adalah
melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami
istri.17
Dalam menjatuhkan talak seorang suami harus mengajukan
perkaranya ke Pengadilan dengan alasan-alasan yang menjadi sebab
ingin menceraikan istrinya. UndangUndang No. 1 Tahun 1974
cenderung mempersulit terjadinya suatu perceraian. Namun bila
suatu perkara tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan
oleh pihak-pihak yang berperkara, maka jalan terakhir yang dapat
ditempuh adalah dengan cara meminta bantuan kepada Pengadilan
Agama dengan mengajukan permohonan gugatan oleh si istri
kepada suaminya. Bila Pengadilan Agama telah memproses dan
memutuskan untuk menceraikan, maka akta cerai dapat dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama. Perceraian semacam ini disebut dengan
cerai gugat, namun bila suami yang melaporkan istrinya ke
Pengadilan Agama dan perceraianpun diputuskan, maka cerai
semacam ini lazim disebut dengan cerai talak.18
Adapun yang dimaksud talak pasal 117 kompilasi hukum
Islam, talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan yang
dimaksud dengan perceraian adalah:
a. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat, kecuali meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
17
Honey Miftahuljannah, A-Z Taaruf, Khitbah, Nikah, & Talak Bagi Muslimah (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2014), 140
18
Azizah, “Analisis Penceraian alam Hukum Islam.” 416
b. Dalam hal gugat bertempat kediaman di luar negeri, ketua
pengadilan agama memberitahukan gugatan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan republik indonesia setempat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian dengan
jalan talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami,
sedangkan gugatan perceraian diajukan oleh pihak isteri atau
kuasanya kepada pengadilan agama.
Adapun sebab-sebab perceraian adalah sebagaimana yang
diterangkan dalam hukum positif dimana terdapat beberapa sebab
atau alasan yang dapat menimbulkan perceraian, sebagaimana
ditegaskan dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 19.19
4. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak
dan terujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
dimaksud. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai
penetapan rukun talak, sebagaimana dikutip oleh Husni Syams.
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun talak itu adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Kasani sebagai berikut:
ِ ‫ق هُ َواللَّ ْفظُ الَّ ِزي ُج ِع َل َداَل لَةً َعلَى َم ْعنَى الطَّاَل‬
‫ق لُ َغةً َوهُ َو التَّ ْخليَةُ َوإِاْل‬ ِ َ‫فَ ُر ْكنُ الطَّال‬
ِّ‫ َوهُ َوٕازَ الَةُ ِحل‬،‫ط ُع ْال َوصْ لَ ِة َونَحُوْ هُ فِي ْال ِكنَايَ ِة َٔاوْ شَرْ عًا‬ ْ َ‫َّريح َوق‬
ِ ِ ‫رْ َسا ُل َو َر ْف ُع ْالقَ ْي ِد فِي الص‬
‫ْال َم َحلِّيَّ ِة فِي النَّوْ َع ْي ِن َأوْ َما يَقُو ُم َمقَا َم اللَّ ْف ِظ‬
Terjemahnya :
"Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap
makna talak, baik secara etimologi, yaitu altakhliyyah
(meninggalkan atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf al-
Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya
pada lafal kinayah, atau secara syara' yang menghilangkan
19
Abror, Hukum Perkawinan Dan Perceraian., 418
halalnya ("bersenang-senag" dengan) isteri dalam kedua bentuknya
(raj'iy dan ba'in), atau apapun yang menempati posisi lafal"
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun
talak itu dalam pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu
şighah atau lafal yang menunjukkan pengertian talak, baik secara
etimologi, syar'iy maupun apa saja yang menempati posisi lafal-
lafal tersebut.
Menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
a. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang
yang menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa
hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.
b. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan
talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori
lafal sharih atau lafal kinayah yang jelas.
c. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu
mesti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu
pernikahan yang sah.
d. Adanya lafal, baik bersifat şarih (gamblang/ terang) ataupun
termasuk kategori lafal kinayah.20
Fuqaha (ahli fikih) berbeda pandangan tentang jumlah atau
pengangkatan rukun-syarat talak. Namun dari sekian banyak
pengangkaan jumlah syarat rukun syarat talak itu, seluruhnya dapat
dikelompokkan dalam hal-hal sebegai berikut :
a. Munthaliq,
Munthaliq yaitu suami yang terikat dalam jalinan pernikahan
yang sah, yang pada dirinya terdapat otoritas talak secara
independen. Muntahaliq (suami yang mengucapkan talak) harus
memenuhi syarat sebegai berikut :
1.) Berada dalam kondisi taklif. Munthaliq (suami yang
20
Abror, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, 163
mengucapkan talak) harus dalam keadaan sadar dan sehat
pikiran, bukan dalam keadaan tertidur, tidak mengalami
gangguan kejiwaan (junun) dan kehilangan kesadaran akibat
pengaruh penyakit (mughma ‘alaih).
2.) Berada dalam situasi batin stabil. Munthaliq tidak sedang
mengalami intervensi mental, tidak dalam paksaan orang
atau sebuah situasi dimana kehendak hati dan bicaranya
dikendalikan oleh orang lain (mukrah/ikrah).
b. Munthallaqah,
Munthallaqah adalah isteri sebagai pihak yang menjadi tujuan
atau objek yang kepadanya talak dijatuhkan. Dalam bahasa atau
sebutan yang lain untuk menyebut munthallaqahjuga disebut
juga dengan sebutan mahall.
Beberapa syarat dalam rukun ini antara lain :
1.) Terikat dalam jalinan nikah yang sah dengan munhalliq
2.) Muthallaqah adalah talak raj’i yang masih dalam ikatan
nikah, dan dalam masa iddah.
c. Sighat
Sighat adalah lafaz yang digunakan untuk menyatakan talak.
Sighat ini hanya bersifat sepihak, atau dapat dikatakan hanya
mengandung unsur ijab saja, tanpa diperlukan adanya kerelaan
atau penerimaan (qabul) dari isteri. Hal ini karena talak adalah
hak suami secara mutlaq.
d. Qashad
Qashad adalah adanya unsur kesengajaan dalam pelafalan talak
(sighat talak) yaitu dengan sadar dan sungguh-sungguh
mengetahui apa maksud dan konsekuensi dari yang
diucapkannya. Dengan kata lain unsur ini menghendaki unsur
keseriusan yang sifatnya memang abstrak.21
21
Safrizal and Karimuddin, “Penetapan Jatuh Talak Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Fiqh
Talak di pandang shah menurut syari’at apabila memenuhi
syarat syarat tertentu, syarat tersebut ada pada rukun talak itu
sendiri. Ada syarat suami yang ingin menjatuhkan talak, ada syarat
istri yang akan di talakkan suami nya dan ada syarat tertentu pada
lafaz talak itu sendiri. Syarat-syarat shah talak menurut rukun rukun
sebagai berikut :
a. Syarat yang terdapat pada suami :
1) Suami musti berakal sehat. Tidak shah talak yang di ucapkan
oleh suami apabila suami tidak berakal sehat seperti orang
gila. Syari’at Islam sangat lah sesuai dengan fitrah manusia
oleh karena itu dalam urusan pernikahan dan apa apa yang
terkait dengan nya harus lah di lakukan dengan sadar apalagi
untuk urusan perceraian maka syarat utama nya adalah
suami harus dalam keadaan sehat rohani nya atau tidak
dalam keadaan gila. Jika suami melafazkan talak kepada istri
nya dalam keadaan sehat rohani maka talak nya shah dan
sebalik nya apabila suami dalam keadaan tidak waras maka
talak nya tidak shah.
2) Suami dalam keadaan sadar. Maksud nya adalah suami
ketika melafazkan talak tidak dalam keadaan tidur atau
dalam keadaan terkena pitam. Kalau ada suami dalam
keadaan tidur lalu dia melafazkan kata talak kepada istri nya
maka talak nya tidak di pandang shah begitu juga jika suami
dalam keadaan kena pitam talak yang di ucpkan pun tidak
shah atau batal.
3) Suami sudah baligh. Suami yang mentalak istri nya musti
sudah baligh atau sudah dewasa menurut syari’at Islam. Jika
suami belum baligh menceraikan istri nya maka talak tidak
di pandang shah.
Syafi’iyah,” Al-Fikrah 1, no. 2 (2020), 273-274
4) Niat untuk cerai. Maksud nya adalah jika suami
menjatuhkan talak kepada istri nya tetapi menggunakan
lafaz sindiran atau kinayah maka perlu ada niat dari suami
apa maksud berkata sedemikian perlu ada penjelasan yang
lebih akurat. Jika ada suami melafazkan kata talak tetapi
dengan lafaz kinayah di sertai dengan niat cerai maka talak
jatuh satu kepada istri nya, jika tidak ada niat sama sekali
maka talak nya tidak jatuh. Tapi jika suami melafazkan kata
talak dengan kalimat yang jelas atau shorih maka jatuh talak
nya walaupun tidak ada niat karena ucapannya sudah jelas
menunjukkan perceraian.
b. Syarat istri yang di talakkan. Istri yang akan di talak suami harus
lah memang istri nya yang shah menurut syari’at Islam yaitu
dalam proses pernikahan yang sesuai dengan tata cara syar’i.
Dengan kata lain suami memang memiliki istri secara mutlak.
Jika ada sorang lelaki menceraikan seorang perempuan tapi
perempuan tersebut bukan istri nya maka talak yang dia ucapkan
tidak shah. Perlu juga kita ketahui kalau ada seorang lelaki
berkata talak kepada perempuan lain sedangkan dia masih
sedang mempunyai istri maka talak yang dia ucapkan itu
kembali kepada istri nya, secara tidak langsung dia telah
melafazkan kata talak untuk istri nya maka jatuhlah talak nya
kepada istri nya tersebut. Dan jika seorang lelaki berkata talak
kepada seorang perempuan yang lain sedangkan dia sedang
dalam keadaan bercerai dengan istri nya tapi masih lagi dalam
‘iddah maka talak nya jatuh kepada istri nya yang masih dalam
masa ‘iddah tersebut.
c. Syarat yang berhubungan dengan lafaz talak. Syarat yang harus
ada pada lafaz talak adalah lafaz talak harus di fahami dengan
jelas dengan tujuan yang jelas terarah pada tujuan nya hanya
untuk perceraian. Kata talak bisa langsung di ucapkan oleh
suami atau dengan menulis lafaz talak kepada istri nya. Lafaz
talak sebagaimana telah di terangkan di atas ada dua macam,
lafaz talak shorih dan lafaz talak kinayah atau sindiran.22
5. Macam-Macam Talak
Ulama fikih membagi talak dari dua segi, yaitu dari segi boleh
tidaknya suami rujuk dengan istrinya dan dari segi cara
menjatuhkannya. Talak jika ditinjau dari segi cara menjatuhkannya
Talak dilihat dari cara menjatuhkannya terbagi menjadi tiga macam,
menurut Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan sebagai berikut :
a. Sharîh, yaitu pernyataan suami dalam menjatuhkan talak secara
lahiriah telah mengandung makna talak tanpa membutuhkan
adanya niat dengan cara menggunakan lafadh-lafadh sebagai
berikut :
‫ والفرالفراق‬،‫ والسراح‬،‫الطال‬
Contoh pernyataan suami kepada istrinya:
‫ انت مفا ر قة‬،‫ سر حتك‬،‫انت طل لق‬
b. Kinayah, yaitu suami dalam menjatuhkan talaknya dengan
menggunakan sindiran yang mengandung makna selain talak
dan harus disertai dengan niat dalam menjatuhkannya atau
dengan menggunakan lafadh-lafadh yang mengarah pada talak
c. Talak selain Sunni dan Bid'i, yaitu bentuk atau cara seseorang
dalam menjatuhkan talaknya dalam kondisi masih kecil,
menopause dan hamil atau pun wanita yang menuntut khuluk
yang belum dicampuri oleh suaminya.23
Talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan
istrinya

22
Abdul Hadi Ismail, “Pernikahan Dan Syarat Sah Talak,” Jurnal Agama Dan Pendidkan Islam
11, no. 1 (2019), 16-17
23
Safrizal and Karimuddin, 275
a. Talak Raj’i, adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami
pada istri yang telah digauli, bukan karena mendapatkan ganti
(iwad) dari sang istri. Dalam keadaan ini, suami berhak rujuk
dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu
dilakukan dalam masa iddah .
b. Talak Ba’in, Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan suami
pada istrinya di mana tidak memberikan hak suami merujuk
istrinya kembali, namun suami berhak kembali kepada istrinya
melalui akad dan mahar baru dengan persyaratan tertentu.
Ulama fiqih membagi talak ba’in menjadi talak ba’in sughra
dan talak ba’in kubra:
1) Talak ba’in Sughra, adalah talak raj’i yang telah habis masa
‘‘iddah nya, talak sebelum berkumpul pada saat masa suci,
talak dengan tebus (khuluk).
2) Talak ba’in kubro, adalah talak yang dijatuhkan suami untuk
ketiga kalinya. Dalam keadaan ini, suami tidak boleh rujuk
dengan istrinya itu sampai ia menikah dengan laki-laki lain
dan laki-laki itu meninggal atau telah bercerai dengannya
sesudah berkumpul, dan sudah habisnya masa ‘‘iddah
wanita itu tanpa adanya niat nikah tahlil.24
Islam mensyariatkan ‘‘iddah (masa menunggu) agar hilang
amarahnya dan rasa tidak sukanya pada isteri sehingga muncul
perasaan ingin memperbaiki bahteranya. Apabila suami kembali
kepada istri yang telah ditalak itu dengan akad nikah dan mahar
baru, maka ia memiliki kembali hak talak sebanyak tiga kali
karena perkawinannya yang kedua dianggap sebagai perkawinan
baru Maka dari itu Suami dilarang mengusir istrinya dari
rumah, dan istri yang dicerai dengan talak satu atau dua tersebut
juga tidak boleh pergi untuk tinggal di luar rumahnya.
24
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Bandung: CV. Pustaka, 2001), 55
6. Nafkah Pasca Perceraian
Kata nafkah secara bahasa berasal dari bahasa Arab (‫)نفقة‬
anfaqa - yunfiqu - infaqan - nafaqatan yang berarti mengeluarkan,
nafkah ini betuk tunggal, jamaknya bisa (‫ )نفق““ات‬bisa juga (‫)نف““اق‬.
Aslinya makna nafkah merujuk kepada harta dari dirham. Lantas
digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang diberikan kepada
orang yang menjadi tanggungannya. Kata ini kebanyakan digunakan
untuk hal yang baik saja. Kata nafkah juga sudah diserap menjadi
bahasa resmi Indonesia yang berarti pengeluaran. Sedangkan
menurut syariat, para ulama menyebutkan bahwa nafkah adalah
mancakupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungan baik berupa
makanan, lauk, pakaian dan tempat tinggal dan trunuannya, sesuai
dengan kebiasaan (urf).25
Dalam hukum positif tentunya diatur dalam berbagai aturan
perundangundangan, diantaranya dalam Ketentuan Pasal 41 huruf c
dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa: “(c)
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.”26
Nafkah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami
terhadap isteri. Maka dari itu tentunya akan timbul beberapa hak
dan kewajiban yang harus ditunaikan. Kewajiban seorang suami
dalam memberikan nafkah telah dijelaskan dalam surat al-Baqarah
ayat 233, Allah berfirman:

ِ ‫َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهُ ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتَه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
ُ َّ‫ُوف اَل تُ َكل‬
{ ‫ف نَ ْفسٌ ِإاَّل‬
‫[ } ُو ْس َعهَا‬233 :‫]اببقرة‬
Terjemahnya :

Maharati Marfuah, Hukum Fiqih Seputar Nafkah (Jakarta: Lentera Islam, 2020), 6-8
25
26
Ramdani and Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah
Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” 43
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. (Q.S. al-Baqarah: 233).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban seorang suami
memberi makan, pakaian kepada istri dengan cara makruf, dan itu
dilakukan sesuai dengan kesanggupan.27
Dalam Pasal 80 ayat 4 huruf a memberikan penjelasan bahwa
sesuai dengan penghasilannya suami menanggung nafkah, pasal ini
menerangkan bahwa meskipun nafkah ditunaikan oleh suaminya
berdasarkan kemampuannya, namun tetap saja nafkah tersebut
merupakan kewajiban bagi suami kepada istri dan anaknya yang
tidak boleh dilalaikan. Di sisi lain Pasal 80 ayat 6 menjelaskan
bahwa sebagai istri dapat membaskan suaminya dari kewajiban
dalam pemenuhan atas nafkah, tempat tinggal, dan biaya rumah
tangga serta biaya perawatan atau pengobatan istri dan anak. Ini
menunjukan bahwa seorang istri berhak untuk membebaskan atas
suaminya dari kewajiban dalam pemenuhan nafkah kepadanya,
kendati demikian meskipun istri tidak menggunakan hak tersebut
maka suami tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi nafkah yang
harus ditunaikan kepada istrinya.28
Adapun nafkah yang timbul akibat dari putusnya perkawinan
sebagai berikut:
a. Mut’ah
Dalam Islam, mut’ah dikenal dengan pemberian dari suami
terhadap istri yang telah diceraikan. Adapun pemberian mut’ah
diberikan sesuai dengan kemampuan. Dalam hukum positif arti
mut’ah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Bab I Pasal I
huruf (j) yang berbunyi: Mut’ah adalah pemberian bekas suami
Marfuah, 10
27
28
Ramdani and Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah
Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” 44
kepada istri yang dijatuhi talak, berupa benda atau uang dan
lainnya‛. Menurut Hussein Bahreisjh sebagaimana yang dikutip
oleh Sudarsono ditegaskan bahwa seorang istri yang telah
dicerai berhak menerima hadiah perceraian dengan cara yang
pantas, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah: 241.29

ِ ‫ت َمتَ ٰـ ۢ ُع ِب ْٱل َمع َْر‬


‫۝‬١٤٢ َ‫وف ۖ َحقًّا“ َعلَى ْٱل ُمتَّقِين‬ ِ ‫َولِ ْل ُمطَلَّقَ ٰــ‬
Terjemahnya :
“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai
suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”(Q.S Al-
Baqarah: 241). 30
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Abu Tsaur
berkata bahwa ayat ini adalah ayat muhkamah (yang sudah jelas
maksudnya). Mut’ah adalah untuk setiap istri yang ditalak”.
Seperti ini juga yang dikatakan oleh Az-Zuhri bahwa “bahkan
budak perempuan yang ditalak oleh suaminya”. Demikian juga
yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair bahwa “setiap istri yang
ditalak berhak mendapatkan mut’ah”.31
b. Nafkah iddah
Nafkah iddah terdiri dari dua kata nafkah dan iddah. Secara
bahasa kata nafkah dan iddah berasal dari bahasa arab. Kata
Nafkah berasal dari kata ‫النفقة‬ yang bermakna ‫المصروف واإلنفاق‬
yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang. Kata nafkah juga ada
yang mengatakan dari kata al-infaq yang berarti pengeluaran.
Namun apabila kata nafaqah ini dihubungkan dengan

29
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 245
30
Yayasan Penerjemah Al-Qur’an RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannnya Al-Jumanatul Ali
(Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005), 40
31
Muhammad Ibrahim Al Hifnawi dan Mahmud Hamid Utsman, Tafsir Al Qurthubi Jilid 3
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
perkawinan mengandung arti “sesuatu yang dikeluarkan dari
hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan
hartanya menjadi berkurang. Yang dimaksud dengan nafkah istri
yakni termasuk termasuk kewajiban suami terhadap istrinya
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu
dan obat-obatan, apabila suaminya kaya.
Kata iddah berasal dari bahasa ( ‫ )ع““ ّدة – ع““ ّد – يع““ ّد‬dan
jamaknya ‘idad yang mempunyai arti hitungan. Maksud dari
kata hitungan tersebut yaitu masa tunggu seorang perempuan
yang ber-iddah untuk berlalunya waktu.32 Iddah merupakan
nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan
mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami atau
berpisah dengannya. Macam-macam iddah isteri yakni iddah
karena talak raj’i (cerai tetapi suami masih diperkenankan untuk
kembali ke pangkuan isteri), iddah karena talak ba’in (cerai
yang dilakukan tiga kali oleh suami atau dengan melalui talak
khulu), iddah dalam masa hamil dan iddah sebab ditinggal mati
suaminya. Dalam masa iddah seorang wanita tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya selesai.33
c. Nafkah Madhiyah
Nafkah madhiyah (lampau), merupakan nafkah terdahulu yang
tidak atau belum ditunakan oleh suami kepada istri sewaktu
masih terikat perkawinan yang sah, dan oleh karena hal ini istri
menggugat suaminya ke Pengadilan Agama dengan gugatan
Nafkah Madhiyah atau nafkah yang belum ditunaikan oleh
suami selama lebih dari 3 bulan secara berturut-turut

32
Syaiful Annas, “Masa Pembayaran Beban Nafkah Iddah Dan Mut’ah Dalam Perkara Cerai Talak
(Sebuah Implementasi Hukum Acara Di Pengadilan Agama),” Al-Ahwal 10, no. 1 (2017). 3
33
Erwin Hikmatiar, “Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat,” Mizan: Jurnal Ilmu Syariah 4, no.
1 (2016). 148-149
sebagaimana yang tercantum dalam Shigat Thalaq.34
7. Nafkah Madhiyah
Nafkah madhiyah terdiri dari dua kata yaitu nafkah dan
madhiyah. Nafkah berarti belanja dan madhiyah berasal dari kata
isim madli dalam bahasa arab yang mempunyai arti lampau atau
terdahulu. Nafkah madhiyah adalah nafkah yang terhutang.35 Dan
disebutkan dalam sebuah kamus Indonesia bahwa kata “lampau”
memiliki dua makna yakni lalu, lewat, dan lebih, sangat. 36 Nafkah
madhiyah adalah nafkah terdahulu yang telah dilalaikan atau
ditinggalkan oleh suami ketika masih dalam rumah tangga.
Sedangkan nafkah lampau anak (nafkah maḍiyah anak) adalah
nafkah yang tidak ditunaikan atau dilaksanakan oleh ayah kepada
anak sewaktu ayah dan ibu dari anak tersebut masih terikat
perkawinan yang sah. 37
Seorang ayah atau suami yang melalaikan tanggung jawabnya
atau karena keadaan atau kondisi tertentu yang belum mampu untuk
memberikan nafkah, maka suami/ayah dianggap telah memilki
hutang baik hutang kepada istrinya maupun kepada anaknya hal ini
disebut dengan Madhi dalam bahasa arab diartikan sebagai lampau
atau terdahulu.38 Nafkah ini belum ditunaikan oleh suami dalam
kurun waktu tiga bulan atau lebih dan dapat dijadikan sebagai
nafkah terutang. Nuriel Amiriyyah menjelaskan bahwa nafkah
madhiyah sebagai nafkah yang belum dipenuhi oleh seorang suami
selaku kepala rumah tangga terhadap istrinya. Maka dari itu, istri
memiliki hak untuk mengajukan gugatan terhadap suaminya kepada
34
Sisca Hadi Velawati, Abdul Rachmad Budiono, and Rachmi Sulistyarini, “Nafkah Madliyah
Dalam Perkara Perceraian,” Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 4, no. 1 (2015): 1–23.
35
Amiur Naruddin and Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta:
kencana, 2004), 245
36
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1996)., 60
37
Aria Gandi, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Penolakan Terhadap Gugatan Nafkah Lampau
Anak" (Studi Putusan Hakim Nomor: 0207/Pdt.G/2018/PA.Bn, 2020), 50
38
Adib Bisri and Munawwir Al Fatah, Kamus Al Bisr (surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 174
Pengadilan Agama dengan gugatan nafkah madhiyah atau nafkah
yang belum dituntaskan oleh suami selama lebih dari tiga bulan
berturut-turut sesuai yang tercantum dalam Shigat Thalaq. 39
Perceraian timbul dari akibat tidak dilaksanakannya hak-hak
dan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, hal ini sebagaimana
yang telah tertuang di dalam Pasal 116 huruf a hingga huruf k
Kompilasi Hukum Islam, salah satu alasan penyebabnya yaitu
suami melanggar Ta’lik Talak atau disebut dengan Shigat Ta’lik
(Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam), salah satu bentuk
pelanggaran Ta’lik Talak atau Shigat Ta’lik yang dilakukan suami
adalah Suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya selama 3
(tiga) bulan lamanya, dan akibat perbuatan suaminya tersebut istri
tidak ridho dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, jika
pengaduan istrinya tersebut dapat dibenarkan serta diterima oleh
pengadilan atau petugas yang bersangkutan dan istri membayar
uang pengganti (‘Iwadl) kepada suami, maka jatuhlah talak satu dari
suami kepada istrinya.
Kewajiban untuk memberi nafkah merupakan salah satu
hukum pasti dalam Islam, hal ini sebagaimana disebutkan dalam
Surat Al-Baqarah : 233 yang menyatakan bahwa :

ِ ۗ ْ‫َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
ُ َّ‫ف اَل تُ َكل‬
ٌ‫ف نَ ْفس‬
‫اِاَّل ُو ْس َعهَا‬
Terjemahnya :
“Kewajiban ayah (suami) untuk memberi makan dan pakaian
kepada para ibu (istri) dengan cara ma‟ruf atau baik dan patut.
Seseorang (suami) tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya”.

Ramdani and Syahfithri, “Penentuan Besaran Nafkah Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah
39

Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama,” 44-45


Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban suami untuk
memberikan nafkah kepada istri dengan cara ma’ruf (kebaikan
sesuai dengan ketentuan agama), tidak berebihan dan tidak
kekurangan.40
Adapun aturan yang mengatur tentang nafkah Madhiyah
terdapat dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 34
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Atas Perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan 34 UU
Perkawinan, walaupun tidak disebutkan secara langsung tentang
nafkah madhiyah, namun undang-undang tersebut mengatur tentang
pemberian nafkah madhiyah.
a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
c. (Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Dalam penetapan putusan nafkah madhiyah hakim tidak selalu
mengutamakan asas kemampuan, hakim juga menggunakan asas
kepatutan, keadilan, lamanya menikah/usia pernikahan dan perlu
juga keterangan saksi-saksi supaya hakim memeliki informasi yang
jelas dan akurat. Jika hakim hanya menggunakan asas kemampuan
dikhawatirkan akan merugikan pihak istri maka dari itu ada
tambahan pandangan hakim dalam penentuan nakah. Para hakim
juga menjelaskan bahwa semua asas tersebut menjadi satu-kesatuan
atau tidak dapat berdiri sendiri supaya putusan yang ditetapkan oleh
hakim tidak merugikan kedua belah pihak. Di atas juga sudah
disebutkan ketika para hakim menggunakan beberapa asas tersebut
maka hasil putusannya tidak akan merugikan salah satu pihak,
40
Velawati, Budiono, and Sulistyarini, “Nafkah Madliyah Dalam Perkara Perceraian.”, 7
hakim akan mencari bagaimana hasil putusannya itu tidak berat
sebelah. Tetapi terkadang pihak istri merasa dirugikan ketika
putusannya ditetapkan karena kecenderungan yang nuntut itu tidak
akan kecil mungkin karena masih ada rasa sakit hati dan ketika
hakim langsung memutuskan sesuai dengan apa yang dituntut oleh
si istri tadi kemungkinan akan terjadi kelalaian atau tidak
terlaksananya pembayaran nafkah jika hakim semerta-merta
memutus tanpa memikirkan kesanggupan suami dan bahkan itu juga
menjadi kerugian terbesar oleh si istri ketika si suami tidak
membayarkan nafkahnya karena ketiksanggupan dan diluar
kesanggupan si suami. Terkadang dari kejadian tersebut pihak istri
merasa dirugkan padahal hakim sudah memberikan putusan yang
terbaik bagi keduanya supaya tidak terjadi kerugian di kedua belah
pihak.
Penetapan nafkah madhiyah itu pada dasarnya sama dengan
nafkah-nafkah yang lain, cuman nafkah madhiyah ini bukan
termasuk hak ex officio, maka dari itu si istri harus hadir dan
menuntut sendiri, itu cuman perbedaannya dengan nafkah-nafkah
yang lain. Nafkah madhiyah itu pada umumnya merupakan
kewajiban seorang suami terhadap istri yang telah dilalaikan.
Dimana nafkah tersebut dapat berubah menjadi hutang sejak
menjadi kewajiban dan suami menolak untuk melaksanakannya.
Statusnya dapat menjadi hutang yang kuat kecuali dengan
dibayarkan dan adanya kerelaan dari istri, sehingga hutang nafkah
tersebut dapat dianggap lunas. Imam Malik dan Imam Ahmad
mereka mengatakan bahwa nafkah madhiyah dianggap menjadi
terhutang yang wajib dilunasi semenjak suami tidak mengeluarkan
nafkah terhadap istrinya, dan kewajiban ini tidak terputus kecuali
dengan cara melunasi atau membebaskannya seperti halnya
hutang.41
8. Nafkah Madiyah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dari ketentuntuan dalam Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum
Islam junto Pasal 34 ayat (3) undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 mengartikan bahwa apabila suami terbukti dengan
sengaja untuk melalaikan tanggung jawabnya untuk memberikan
nafkah kepada istrinya padahal suami dianggap mampu untuk
memenuhi nafkah yang belum atau tidak dibayarkannya tersebut
maka istri berhak untuk menggugat suaminya ke Pengadilan Agama
atau ke Pengadilan Negeri.
Di dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a menyatakan bahwa sesuai
dengan penghasilannya suami menanggung nafkah, pasal ini
menerangkan bahwa meskipun nafkah ditunaikan oleh suaminya
berdasarkan kemampuannya namun tetap saja nafkah merupakan
kewajiban bagi suami kepada istri dan anaknya yang tidak boleh
dilalaikan.
Sedangkan didalam pasal 80 ayat (6) menyatakan bahwa istri
dapat membebaskan suaminya dari kewajiban atas nafkah, tempat
tinggal, dan biaya rumah tangga serta biaya perawatan atau
pengobatan bagi istri dan anak. Hal ini menerangkan bahwa istri
berhak untuk membebaskan kewajiban suaminya untuk tidak
memberi nafkah kepadanya, namun apabila istri tidak memakai
haknya tersebut maka suami tetaplah berkewajiban untuk memberi
nafkah kepada istrinya.
Apabila suami terbukti sengaja untuk tidak mau membayarkan
nafkah yang merupakan kewajibannya, sedangkan dirinya sudah
mengetahui kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada
istrinya atau hakim telah menetapkan kadar nafkah wajib yang

41
Ali Masheri, “Pemenuhan Nafkah Madhiyah Istri Pasca Perceraian” (IAIN Madura, 2020), 22-
23
harus dibayarkan, sedangkan suami tersebut merupakan orang yang
mampu dan memiliki harta, maka hakim berhak untuk menjual harta
milik suami yang dimilikinya secara paksa dan membayarkan hasil
penjualan atas harta tersebut untuk dibayarkan kepada istrinya
sebagai nafkah yang terutang sesuai kebutuhan istrinya, akan tetapi,
jika ternyata suami memang tidak mempunyai harta maka ia tidak
boleh dipaksakan untuk membayar nafkah, istri wajib menunggu
sampai suaminya tersebut berkelapangan, hal ini ditegaskan dalam
Surah Al-Qur‟an Ath-Thalaq ayat 7, yang menyatakan bahwa:
ۚ ُ ‫لِيُنفِ ْق ُذو َس َع ۢ ٍة ِّمن َس َعتِ ِهۦ ۖ َو َمن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهۥُ فَ ْليُنفِ ْق ِم َّمٓا َءات َٰىهُ ٱهَّلل‬
ٍ ۢ ‫ف ٱهَّلل ُ نَ ْفسًا ِإاَّل َمٓا َءات َٰىهَا ۚ َسيَجْ َع ُل ٱهَّلل ُ بَ ْع َد ُعس‬
‫ْر يُ ْس ۭ ًرا‬ ُ ِّ‫اَل يُ َكل‬
Terjemahnya :
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah Kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
Akan tetap menjadi hutang bagi suami yang harus dibayar
ketika suami tersebut telah mampu apabila suami pada saat ini tidak
mampu atau belum mampu untuk membayar nafkah kepada istrinya
yang hal ini merupakan kewajiban seorangsuami untuk memberik
nafka, oleh karena itu, bukan berarti kewajibannya membayar
nafkah itu akan menjadi gugur untuk seluruhnya akan tetap dibayar
pada saat suami sudah mampu secara finansial, atau pada saat suami
istri bercerai maka hutang tersebut masih dapat dibayarkan,
walaupun hakim sudah menjatuhkan putusan cerai kepada mereka.
Gugatan nafkah madhiyah yang dituntut oleh istri kepada
suami pada saat masa perkawinan yang telah terbukti suami tidak
atau belum mampu untuk memberikan nafkah selama 3(tiga) bulan
berturut-turut maka akan dapat berakibat kepada perceraian,
sebagaimana yang tertuang dalam shighat ta’liq atas istri yang
diikrarkan oleh suaminya setelah akad nikah berlangsung, yang
menyatakan bahwa:
a. Suami Meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut
b. Suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya dalam
jangka waktu selama 3 (tiga) bulan.
c. Suami menyakiti badan atau jasmani atau fisik istrinya
d. Suami membiarkan atau tidak memperdulikan istrinya lagi
selama 6 (enam) bulan
Maka jatuhlah talak satu apabila suami melakukan salah satu
atau beberapa dari yang sudah dijelaskan diatas atau yang telah
menjadi ikrar tersebut dan kemudian istri tidak ridho (tidak ikhlas)
diperlakuakan suaminya tersebut maka istri dapat memohon kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus
pengaduan itu. Apabila pengaduan istrinya tersebut dapat
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas yang
bersangkutan dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh
kepada suami, maka jatuhlah talak satu atas suami kepada istriya
tersebut.
Poin kedua dari Shighat ta’lik diatas menyebutkan bahwa
Suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya selama 3 (tiga)
bulan atau bahkan dapat lebih, maka atas dasar hal tersebut seorang
istri dapat menuntut perceraian kepada suaminya disertai dengan
tuntutan nafkah atas nafkah yang menjadi utang yang belum
dibayarkan tersebut dengan tuntutan nafkah madliyah yaitu nafkah
yang terutang atau yang telah lampau, oleh seorang suami kepada
istri dan anaknya yang hingga sekarang belum terbayarkan.
Dalam hal perceraian yang telah diajukan oleh pihak suami
atau cerai talak, seorang istri berhak untuk memperoleh haknya atas
nafkah lampau yang belum dibayarkan seorang suami kepada
istrinya atau hak-hak lainnya seperti nafkah anak, nafkah iddah dan
nafkah mut’ah. Hanya saja hak-hak tersebut harus dimintakan
kepada Majelis Hakim, sehingga para pihak khususnya istri sebagai
pihak tergugat dalam perkara perceraian yang diajukan oleh
suaminya tersebut harus selalu hadir dalam persidangan terutama
pada saat tahap jawaban atas surat permohonan yang diajukan oleh
suami. Karena pada saat jawaban tersebutlah istri dapat menuntut
hak-haknya tersebut.
Namun, apabila istri terbukti melakukan perbuatan nuzyus
atau membangkang kepada suaminya pada masa perkawinan maka
nafkah madliyah (terutang) tidak dapat digugat oleh istri, karena
berdasarkan Pasal 80 ayat (7) menerangkan bahwa kewajiban
seorang suami yaitu untuk memberikan nafkah, kiswah (pakaian),
dan tempat kediaman bagi istri dapat gugur apabila istri terbukti
berbuat nuzyus.
Dari yang telah dijelaskan diatas penulis berpendapat bahwa
didalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam tidak menerangkan
secara jelas mengenai nafkah madliyah (hutang suami atas nafkah di
masa lampau) namun menurut Pasal 80 ayat (4) huruf a Kompilasi
Hukum Islam sesuai dengan kemampuannya dari suami, suami wajb
memberikan nafkah, kiswah (pakaian), tempat tinggal untuk
istrinya, apabilas suami dengan sengaja maupun tidak sengaja
melalaikan tanggung jawabnya untuk memberikan nafkah kepada
istrinya maka pasal 80 ayat (5) memberi hak kepada masing masing
pihak dalam hal ini undang-undang memberi hak kepada
masingmasing pihak dalam hal ini undang-undang memberi hak
kepada istri untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama atas
tidak ditunaikannya nafkah yang menjadi kewajiban suami kepada
istri dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan atau lebih sebagaimana yang
tertuang dalam poin 2 (dua) shigat thalak atau taklik talak, maka
istri berhak mengajukan gugatan nafkah madliyah yang belum
ditunaikan suaminya ke Pengadilan Agama.
Gugatan nafkah yang diajukan oleh istri tersebut dapat disertai
dengan perceraian (penggabungan gugatan) maupun tidak, namun
dalam hal suami menjatuhkan talak kepada istrinya maka istri diberi
hak oleh undang-undang untuk melakukan gugatan balik
(rekonvensi) atas nafkah madliyah (lampau).
Sebagaimana bunyi shigat ta‟lik yang tercantum dalam buku
nikah yang dikeluarkan Departemen Agama Republik Indonesia
pada poin 2 (dua) baik milik suami maupun milik istri menyatakan
bahwa, Suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya selama 3
(tiga) bulan dan istri tidak ridho (tidak ikhlas) diperlakuakan
suaminya tersebut maka istri dapat meminta kepada Pengadilan
Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus permohonan itu.
Jika pengaduan istrinya tersebut dapat dibenarkan serta diterima
oleh pengadilan atau petugas yang bersangkutan dan istri membayar
uang pengganti atau ‘iwadh kepada suami, maka jatuhlah talak satu.
Seorang suami diperbolehkan untuk tidak memenuhi
kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya apabila di dalam
persidangan seorang suami terbukti dan memang dalam
kenyataannya tidak mampu baik secara fisik, mental (kejiwaan),
secara materi (finansial) dan suatu keadaan darurat yang tidak
memungkinkan seorang suami untuk memenuhi kewajbannya.
Dengan keadaan demikian barulah seorang suami dapat
diperbolehkan untuk tidak memenuhi kewajibannya memberikan
nafkah kepada istrinya, sehingga pengadilan dapat menetapkan
bahwa suami diperbolehkan untuk tidak memberikan nafkah hal ini
berlaku bagi yang mengalami halangan permanen sehingga tidak
mampu untuk mencari nafkah, namun apabila suami yang
berhalangan sementara untuk mencarai nafkah atau masih mampu
untuk beraktifitas setelahnya maka hutang nafkah yang belum
dibayar oleh suaminya, maka sampai kapanpun suami wajib untuk
membayar hutang tersebut, dan apabila seorang suami sengaja
melalaikan tanggung jawabnya untuk mememberikan nafkah
kepada anaknya namun di dalam persidangan suami terbukti tidak
mampu baik secara fisik, mental, materi maupun adanya keadaan
yang darurat yang seperti dijelaskan diatas maka kewajiban seorang
suami untuk memberika nafkah kepada istri dan keluraganya dapat
digugurkan atau gugatan terkait tuntutan nafkah tersebut dapat
ditolak oleh pengadilan.

J. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan beberapa temuan yang tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari
kuantifikasi (pengukuran). Penenlitian kualitatif dapat digunakan
untuk kegiatan penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah,
tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan
ekonomi. Hasil kegiatan dari penelitian kualitatif dapat berupa
uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku
yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok masyarakat, dan
atau organisasi tertentu dalam suatu keadaan, konteks tertentu yang
dikaji dari sudut pandang yang menyeluruh.42
2. Data dan Instrumen

42
I Made Laut Mertha Jaya, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif (Yogyakarta: Anak
Hebat Indonesia, 2020), 6
a. Sumber Data
Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal
yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian,
tidak semua informasi atau keterangan merupakan data. Data
hanyalah sebagian saja dari informasi yakni yang berkaitan
dengan penelitian.43
Adapun sumber data pada penelitian ini yaitu :
1) Data Primer.
Data primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber
datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data
baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan
data primer, peneliti harus mengumpulkan secara langsung.
Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan
data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi
terfokus dan penyebaran kuisioner.44 Adapun data primer
pada penelitian ini yaitu berupa hasil wawancara langsung
terhadap pihak-pihak yang menguasai dan mengetahui
permasalahan yang terkait dengan objek penelitian.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti
sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku,
laporan, jurnal, dan lain-lain.45 Adapun sumber data
sekunder pada penelitian ini berupa buku-buku, jurnal

43
Tatang M. Amirin, Menyususn Rencana Penelitian, Cet. 3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), 65
44
Sandu Siyoto, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015), 67-
68
45
Siyoto, 68
umum, dan kumpulan skripsi yang berkatan dengan bahasan
dari penelitian ini.
b. Instrumen
Instrument penelitian ialah alat bantu yang digunakan
dalam sebuah Penelitian untuk mengumpulkan berbagai
informasi yang diolah dan disusun secara sistematis. Menurut
Sugiono peneliti kualitatif sebagai human instrumen berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber
data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data,
analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas
temuannya. PeneÍiti sebagai instrumen atau alat penelitian
karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala
stimulus dan lingkungan yang harus diperkirakannya
bermakna atau tidak bagi penelitian.
2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap
semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka
ragam data sekaligus
3) Tiap situasi merupakan keseluruhan artinya tidak ada suatu
instrumen berupa test atau angket yng dapat menangkap
keseluruhan situasi kecuali manusia
4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat
dipahami dengan pengetahuan semata dan untuk
memahaminya, kita perlu sering merasakannya,
menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita
5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data
yang diperoleh.
6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil
kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu
saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk
memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau
perlakuan.46
Instrumen penelitian kualitatif dilakukan pada latar yang
alami (natural setting), lebih memperhatikan proses daripada
hasil semata, yang terpenting ialah berusaha memahami makna
dan suatu kejadian atau berbagai interaksi dalam situasi yang
wajar. Oleh karena itu, instrumen yang digunakan bukanlah
kuesioner atau tes, melainkan peneliti itu sendiri. Pemanfaatan
manusia sebagai instrurnen penelitian dilandasi oleh keyakinan
bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai
makna dan suatu peristiwa atau berbagai interaksi sosial. Semua
alat yang digunakan oleh peneliti kualitatif dalam
mengumpulkan data adalah sekedar alat bantu, sedangkan
instrumen utamanya adalah dirinya sendiri.47

3. Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi
Observasi yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang
akan diteliti. Dalam hal ini fokus penelitian yang diteliti adalah
pertimbagan hakim mengenai kadar pembebanan nafkah lampau
terhadap istri.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab ataupun pecakapan
untuk mendapatkan sebuah data yang dapat menjawab
pertanyaan peneliti yang telah tersusun secara sistematis dengan
tujuan menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam karya
tulis. Adapun pihak yang diwawancarai pada penelitian ini

46
Mamik, Metodologi Kualitatif (Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015), 76-77
47
Mamik, 83
yaitu Hakim Pengadilan Agama Bitung.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan pengamatan keruangan yang digunakan sebagai
tempat usaha yang dilakukan bertujuan sebagai penguatan dari
penelitian.48
4. Teknik Pengolahan Data
Teknik analisis data adalah sebuah upaya atau cara dalam
mengolah sebuah data menjadi informasi sehingga data tersebut
dapat dimengerti dengan mudah serta bermanfaat.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini
berupa deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa data yang
dikumpulkan oleh penulis dari literatur yang berkaitan dengan
pokok pembahasan yang kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode deduktif yaitu sejumlah data yang sifatnya umum dan
dikembangkan secara khusus untuk selanjutnya ditarik suatu
kesimpulan yang jelas.
5. Teknik Analisis Data
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,
untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah
dikemukakan, makin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah
data akan makin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu
segera dilakukan analisi data melalui reduksi data. Mereduksi
data berarti merangkum. Memili hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya dan membuang yang tidak perlu.49
b. Display Data (Penyajian Data)
48
Nasrudin and Khaqiqi, 110
49
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D
(Bandung: ALFABETA, 2016), 338
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan
informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Bentuk penyajian data kualitatif dapat berupa teks naratif
berbentuk catatan lapangan, matriks, grafik, jaringan, dan
bagan. Bentuk-bentuk ini menggabungkan informasi yang
tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih,
sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi,
apakah kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya melakukan
analisis kembali.50
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara
terusmenerus selama berada di lapangan. Dari permulaan
pengumpulan data, peneliti kualitatif mulai mencari arti benda-
benda, mencatat keteraturan pola-pola (dalam catatan teori),
penjelasan-penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin,
alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan ini
ditangani secara longgar, tetap terbuka, dan skeptis, tetapi
kesimpulan sudah disediakan. Mula-mula belum jelas, namun
kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan
kokoh.
Kesimpulan-kesimpulan itu juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung, dengan cara :
1) Memikir ulang selama penulisan
2) Tinjauan ulang catatan lapangan
3) Tinjauan kembali dan tukar pikiran antarteman sejawat
untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif
4) Upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu

50
Ahmad Rijali, “Analisis Data Kualitatif,” Jurnal Alhadharah 17, no. 33 (2018), 94
temuan dalam seperangkat data yang lain.51

K. Sistemtika Pembahasan
Dalam memudahkan pembuatan dan gambaran umum pada
penelitian ini, maka perlunya penulis menyajikan sistematika
pembahasan sehingga menunjukkan hasil penelitian yang baik serta
mudah dipahami. Maka sistematikanya sebagai berikut :
BAB I menggambarkan latar belakang masalah, identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu.
BAB II terdapat landasan teori yang berisi kajian pustaka yang
menyangkut tentang konsep perceraian yang meliputi pengertian dan
dasar hukum perceraian/talak, rukun dan syarat perceraian macam-
macam talak dan akibat hukumnya. Juga membahas tentang konsep
nafkah yang ditimbulkan akibat dari putusnya perkawinan terkhususnya
nafkah madhiyah serta menurut kompilasi hukum Islam.
BAB III, berisi metode penelitian yang dipakai, terdiri dari
beberapa sub bahasan yaitu jenis sumber data, dan metode
pengumpulan data, teknik pengolahan data serta teknik analisis data.
BAB IV, yaitu menggambarkan menganai hasil penelitian, yang
mana menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian, metode
hakim Pengadilan Agama Bitung dalam menentukan pembebanan
nafkah lampau terhadap istri, pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perhitungan kadar pembebanan nafkah lampau terhadap
istri di Pengadilan Agama Bitung.
BAB V, merupakan bab penutup dari keseluruhan isi skripsi yang
berisi tentang kesimpulan akhir serta saran-saran yang dapat diambil
sebagai masukan yang berharga upaya perbaikan skripsi ini.

51
Rijali, 94
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Khoirul. Hukum Perkawinan Dan Perceraian. Yogyakarta: Bening


Pustaka, 2020.
Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Munakahat. Bandung: CV. Pustaka, 2001.
Amirin, Tatang M. Menyususn Rencana Penelitian. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.
Anam, Syafiul. “Menghitung Besaran Nafkah Istri Dan Anak Pasca Perceraian.”
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Pengadilan
Agama, 2022.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menghitung-
besaran-nafkah-istri-dan-anak-pasca-perceraian-oleh-syafiul-anam-26-4.
Annas, Syaiful. “Masa Pembayaran Beban Nafkah Iddah Dan Mut’ah Dalam
Perkara Cerai Talak (Sebuah Implementasi Hukum Acara Di Pengadilan
Agama).” Al-Ahwal 10, no. 1 (2017).
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2011.
Azizah, Linda. “Analisis Penceraian Dalam Hukum Islam.” Al-’Adalah 10, no. 4
(2012).
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2007.
Bi, Tim Redaksi. Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: BIP Kelompok
Gramedia, 2017.
Bisri, Adib, and Munawwir Al Fatah. Kamus Al Bisr. surabaya: Pustaka Progresif,
1999.
Cahyani, Tinuk Dwi. Hukum Perkawinan. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2020.
Gandi, Aria. “Tinjauan Hukum Islam Tentang Penolakan Terhadap Gugatan
Nafkah Lampau Anak (Studi Putusan Hakim Nomor:
0207/Pdt.G/2018/PA.Bn, 2020),” 2020.
Hartono. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Hifnawi, Muhammad Ibrahim Al, and Mahmud Hamid Utsman. Tafsir Al
Qurthubi Jilid 3. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Hikmatiar, Erwin. “Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat.” Mizan: Jurnal Ilmu
Syariah 4, no. 1 (2016).
Ismail, Abdul Hadi. “Pernikahan Dan Syarat Sah Talak.” Jurnal Agama Dan
Pendidkan Islam 11, no. 1 (2019).
Jaya, I Made Laut Mertha. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif.
Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2020. https://doi.org/978-623-244-548-
0.
Mamik. Metodologi Kualitatif. Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015.
Marfuah, Maharati. Hukum Fiqih Seputar Nafkah. Jakarta: Lentera Islam, 2020.
Masheri, Ali. “Pemenuhan Nafkah Madhiyah Istri Pasca Perceraian.” IAIN
Madura, 2020.
Miftahuljannah, Honey. A-Z Taaruf, Khitbah, Nikah, & Talak Bagi Muslimah.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2014.
Naruddin, Amiur, and Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia. Jakarta: kencana, 2004.
Nasrudin, Moh., and Moh. Nur Khaqiqi. Kompilasi Karya Ilmiah UKM-F Dycres
2019. Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management, 2020.
Nuansa, Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Cet.6. Bandung: CV.
Nuansa Aulia, 2015.
Ramdani, Riyan, and Firda Nisa Syahfithri. “Penentuan Besaran Nafkah
Madhiyah, Nafkah Iddah Dan Mut’ah Dalam Perkara Perceraian Di
Pengadilan Agama.” Adliya: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan 15, no. 1
(2021).
Rijali, Ahmad. “Analisis Data Kualitatif.” Jurnal Alhadharah 17, no. 33 (2018).
Safrizal, and Karimuddin. “Penetapan Jatuh Talak Dalam Perspektif Hukum
Positif Dan Fiqh Syafi’iyah.” Al-Fikrah 1, no. 2 (2020).
Siyoto, Sandu. Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi Media
Publishing, 2015.
Subakti, Kurniawan. “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Gugatan
Nafkah Madhiyah Anak Ditinjau Dari Maqashid Syariah.” Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2022.
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan
R&D. Bandung: ALFABETA, 2016.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Tristanto, Aris. “Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Ilmu
Sosial.” Sosio Informa 6, no. 3 (2020).
Usman, Rahcmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di
Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Velawati, Sisca Hadi, Abdul Rachmad Budiono, and Rachmi Sulistyarini.
“Nafkah Madliyah Dalam Perkara Perceraian.” Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya 4, no. 1 (2015): 1–23.
Yayasan Penerjemah Al-Qur’an RI. Al-Qur’an Dan Terjemahannnya Al-
Jumanatul Ali. Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005.

Anda mungkin juga menyukai