Anda di halaman 1dari 5

A. Latarbelakang Masalah.

Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia


dimanaperkawinan menimbulkan akibat-akibat hukum, bukan hanya kepada
suami/isteriyang bersangkutan, melainkan juga kepada anak-anak dan/atau
keturunannya, orangtua, keluarga, dan masyarakat pada umumnya.
Perkawinan merupakan suatulembaga suci yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal,sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa perkawinanialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah-tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai negara yang


berdasarkankepada Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinanmempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga
memiliki unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting. Menikah
merupakan sunnatullah, sunnah para rasul dan merupakan sunnah yang sangat
dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Tujuan perkawinan ialah untuk membangun
rumah-tangga yang bahagia, harmonis, tenteram, dan sakinah.2

Allah memerintahkan kaum muslimin agar menikah, seperti yang


tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32:

ُ ‫صلِ ِحي َ?ْن ِم ْن ِعبَ?ا ِد ُك ْم َواِ َم? ۤ?ا ِٕى ُك ۗ ْم اِ ْن يَّ ُكوْ نُ?وْ ا فُقَ? َر ۤا َء يُ ْغنِ ِه ُم هّٰللا‬
ّ ٰ ‫َواَ ْن ِكحُوا ااْل َيَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال‬
‫ِم ْن فَضْ لِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم‬
Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,
dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah

1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan., pasal 1, accessed June 13, 2022,
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019.
2
Hakim Nasution Andi, Membina Keluarga Bahagia, 4 ed. (Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1996), 28.
akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”3

Perkawinan adalah suatu lembaga yang diperlukan dan suatu keharusan.


Al-Qur’an mengutuk pembujangan sebagai hasil perbuatan setan, dan begitu juga
Nabi Muhammad SAW. Menikah berarti memenuhi sunnah Nabi yang dianggap
penting.4 “Pernikahan adalah sunnah (peraturan)-ku, barang siapa yang benci
kepada sunnahku, maka ia bukan termasuk golongan (umat)-ku’’(HR. Bukhari
Muslim).

Sebagai upaya menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan


pencapaian esensi dari suatu perkawinan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam
perkawinan. Salah satu di antaranya adalah ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) yang
menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas)
tahun”. Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang makin kompleks,
muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, lunturnya moral value
atau nilai-nilai akhlak yaitu pergaulan bebas di kalangan remaja dan hubungan
zina menjadi hal biasa sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Akibatnya, orang
tua menutupi aib tersebut dengan menikahkan anaknya tanpa mempertimbangkan
lagi usia dan masa depan anaknya.

Kehamilan di luar nikah mendorong orang tua untuk segera menikahkan


anaknya, Tujuannya adalah wujud pertanggungjawaban laki-laki yang telah
menghamili, menyelamatkan status hukum anak yang berada dalam kandungan
agar terlahir dalam perkawinan yang sah dan menghindari terbukanya aib
keluarga.5 Persoalan kawin hamil karena zina tidak ditemui dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Regulasi tentang kawin hamil dapat ditemukan dalam
3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar, 2004), 494.
4
Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan (Bandung: Mizan,
1997), 51.
5
Wibisana Wahyu, “Perkawinan wanita hamil di luar nikah serta akibat hukumnya perspektif fiqh
dan hukum positif,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 1 (2017): 32.
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 53 menyatakan bahwa perempuan yang
hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa
menunggu kelahiran janin yang dikandung. Pasal ini disatu sisi ingin melindungi
perempuan dan anak yang ada dalam kandungan, tetapi disisi lain memunculkan
kesan bahwa hubungan seksual di luar nikah boleh dilakukan.

Persoalan kawin hamil juga masih menjadi problem di Indonesia. Karena


pada akhirnya akan berimplikasi kepada status anak yang dilahirkan dari kawin
hamil tersebut. Berkaitan dengan status anak ini pada dasarnya telah di atur dalam
Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP), ”Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Sedangkan menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada dua
kemungkinan anak yang sah, yatu :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;


b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.

Status anak ini menjadi hal penting karena nantinya berhubungan langsung
dengan hak serta kewajiban antara seorang anak terhadap orang tuanya, baik dari
segi hak dan kewajiban selama masih hidup seperti nafkah anak, maupun hak dan
kewajiban setelah salah satu pihak yaitu anak atau salah satu atau kedua orang
tuanya setelah meninggal dunia seperti dalam hal kewarisan.

Berkaitan dengan waris, Peradilan Agama sebagai salah satu dari


penyelenggara kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara antara orang-orang yang beragama Islam pada tingkat
pertama dalam berbagai bidang perdata agama, seperti perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah serta ekonomi syari’ah sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Perkara-perkara tersebut merupakan kewenangan absolut yang
melekat pada Pengadilan Agama.

Oleh karena perkara kewarisan menjadi kewenangan absolut Peradilan


Agama maka setiap warga negara Indonesia yang beragama islam yang memiliki
masalah yang berkaitan dengan kewarisan dapat mengajukan perkara kewarisan.
Ada dua bentuk perkara kewarisan yang diterima oleh Peradilan Agama yaitu:
Pertama, P3HP/Penetapan Ahli Waris dimana perkara ini diajukan manakala
semua ahli waris tidak bersengketa terhadap objek maupun subjek waris tersebut,
hal ini biasanya diperuntukkan bagi pihak yang memerlukan legal standing dalam
mengurus administrasi terhadap objek waris seperti balik nama sertifikat harta
waris, mencairkan uang tabungan pewaris dan lain sebagainya. Kedua, Gugatan
Waris dimana perkara ini di ajukan manakala para bihak bersengketa terhadap
subjek waris seperti siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris atau berkaitan
dengan objek waris seperti bagian-bagian ahli waris terhadap objek waris dan lain
sebagainya.

Dari data Laporan Tahunan Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Dirjen
BADILAG yang membawahi bidang administrasi di Peradilan Agama baik
tingkat pertama maupun banding menyebutkan bahwa pada tahun 2021 di seluruh
Indonesia terdapat 17.650 perkara P3HP/Penetapan Ahli Waris yang masuk di
Peradilan Agama seluruh Indonesia dan terdapat 2.030 perkara Gugatan Waris 6.
Tingginya perkara tersebut sebagai sebuah cerminan bahwa masyarakat
memerlukan perlindungan hukum berkaitan dengan kewarisan.

Pengadilan Agama Sangatta sebagai salah satu pelaksana kekuasaan


kehakiman pada tingkat pertama juga memiliki peran dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara antara orang-orang yang beragama Islam pada tingkat
pertama khususnya dalam bidang waris dimana pada tahun 2022 ini Pengadilan
Agama telah menyelesaikan dalam sebuah penetapan P3HP/Penetapan Ahli Waris
dengan nomor perkara 48/Pdt.P/2022/PA.Sgta. yang menurut penulis menarik
untuk dikaji. Karena dalam amar penetapan tersebut menetapkan anak pertama
dari istri kedua pewaris sebagai pihak yang tidak termasuk dalam kelompok ahli
waris akan tetapi sebagai pihak yang mendapatkan wasiat wajibah sebesar 12.5%.

6
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Laporan Tahunan Badilag Tahun 2021” (Jakarta),
5, diakses 13 Juni 2022,
https://drive.google.com/file/d/1rVbpLsLCeUqEXhK3ipVtSMdpOsGhrR83/view?
usp=sharing&usp=embed_facebook.
Dari latar belakang tersebut maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam berkaitan tentang “Interpretasi hakim terhadap pasal 99 huruf a KHI
dalam perkara penetapan ahli waris untuk memenuhi hak-hak anak (Studi
penetapan perkara nomor 48/Pdt.P/2022/PA.Sgta)”

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan


guna membatasi pembahasan yang akan dianalisa adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aturan hukum waris yang berlaku di Indonesia?


2. Bagaimana pemenuhan hak waris bagi anak dalam ketentuan yang berlaku
di Indonesia?
3. Bagaimana Interpretasi hakim terhadap pasal 99 huruf a KHI yang
berkaitan dengan kedudukan anak dalam penepan perkara nomor
48/Pdt.P/2022/PA.Sgta?

C. Tujuan Penulisan.

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tulisan ini


bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana aturan hukum waris yang berlaku di


Indonesia?
2. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak waris bagi anak dalam
ketentuan yang berlaku di Indonesia?
3. Untuk mengetahui bagaimana Interpretasi hakim terhadap pasal 99 huruf a
KHI yang berkaitan dengan kedudukan anak dalam penepan perkara
nomor 48/Pdt.P/2022/PA.Sgta?

Anda mungkin juga menyukai