Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Lex Suprema

ISSN: 2656-6141 (online)


Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel

STUDI KASUS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PUTUSAN


NOMOR 1365/Pdt.G/2021/PA.BPP DI PENGADILAN AGAMA
BALIKPAPAN

CASE STUDY OF CHILD CUSTODY N DECISION NO.


1365/Pdt.G/2021/PA. BPP N BALIKPAPAN RELIGIOUS COURT

Randy Septian1, Meitri Widya Pangestika2, Inri Rawis3


Fakultas Hukum, Universitas Balikpapan
Jalan Pupuk Raya, Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan,
Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, 76114
Email: randy.s.taj@gmail.com, meitri1901@gmail.com, inri.rawis23@gmail.com

ABSTRAK
Rumusan masalah dalam penulisan ni adalah bagaimana kepastian hukum terhadap salah satu pihak
yang tidak melaksanakan si putusan dalam perkara hak asuh anak nomor 1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp,
dan upaya hukum apa yang bisa dilakukan kepada pihak yang dirugikan dengan tidak dilaksanakannya
si putusan dalam perkara hak asuh anak nomor 1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp.Berdasarkan hasil
pembahasan, disimpulkan bahwa salah satu pihak yang tidak melaksanakan si putusan dalam perkara
hak asuh anak nomor 1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp belum ada regulasi yang mengatur secara jelas terkait
hal tersebut. Karena pada mplementasinya pihak dari yang tidak melaksanakan putusan (pihak bu)
tersebut masih terbayang oleh trauma dalam rumah tangga bersama mantan suaminya sehingga ni
mempengaruhi dalam pertemuan dan memberikan akses kepada bapaknya untuk dapat mencurahkan
perhatian dan kasih sayang. Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak diantaranya banding
dan kasasi. Upaya hukum banding telah dilakukan oleh pihak ayahnya namun putusannya menguatkan
putusan pengadilan agama Balikpapan. Terhadap putusan tersebut sebenarnya pihak dari ayah tidak
mempersoalkan tentang hak asuh anak kepada bunya hanya saja pihak dari ayah menginginkan amar
putusan pada angka 3, 4, dan 5 dijalankan kepada pihak bu yang memiliki hak asuhnya.

Kata Kunci: Perkawinan, Anak, Hak Asuh Anak.

ABSTRACT
The formulation of the problem n this writing s how legal certainty against one of the parties who did
not carry out the contents of the verdict n the child custody case number 1365 / Pdt.G / 2021 / PA.
Bpp, and what legal efforts can be made to the aggrieved party by not mplementing the contents of the
verdict n the child custody case number 1365 / Pdt.G / 2021 / PA. Based on the results of the
discussion, t was concluded that one of the parties who did not carry out the contents of the verdict n
the child custody case number 1365 / Pdt.G / 2021 / PA. Bpp has no regulations that clearly regulate
this. Because n ts mplementation the party that does not carry out the verdict (the mother) s still
magined by the trauma n the household with her ex-husband so that this affects n the meeting and
gives access to her father to be able to devote attention and affection. Legal efforts that can be made
by the parties nclude appeals and cassation. Legal appeals have been made by his father's side but the
ruling upheld the verdict of the Balikpapan religious court. Against the verdict, actually the father

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan
3
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan
839
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
does not question about the custody of the child to his mother only the party of the father wants the
verdict on the numbers 3, 4, and 5 to be carried out to the mother who has custody.

Keywords: Marriage, Child, Child Custody.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan atau biasa disebut dengan perkawinan, pengertiannya terdapat dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan “Perkawinan adalah katan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami steri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian ni dapat dijelaskan bahwa perkawinan adalah awal dari hidup bersama antara
seorang pria dan seorang wanita sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perkawinanijugaimerupakan penyatuan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita karena saling mencintai agar sah terhadap hukum dan agama.4
Perkawinan merupakan upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain dalam
satu katan suci. Pada pernikahan diharapkan untuk menikah dan menikahi orang yang sesama
agama dengannya agar sesuai dengan tujuan dilakukannya pernikahan yaitu untuk
mewujudkan suatu kehidupan keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (kasih yang
bersifat jasmani) dan rahmah (sayang yang bersifat rohani). Perkawinan dilakukan oleh orang
yang sudah siap lahir dan batin, serta dilakukan dengan orang seagamanya. Hal ni dilakukan
supaya rumah tangga yang terbangun bisa mendapatkan keharmonisan dan dapat menghindari
perseteruan karena adanya perbedaan agama atau cara beribadah. Dalam pernikahan pastilah
akan lahir seorang anak, hal ni adalah anugerah terindah bagi setiap pasangan suami dan stri.
Anak yang lahir dapat memiliki legalitas mengenai status sebagai anak yang sah. dentitas
setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya, dentitas tersebut dituangkan dalam akta
kelahiran, pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.5 Kedudukan keluarga sangat fundamental
dan mempunyai peranan yang vital dalam mendidik anak.6 Karena anak yang lahir dalam
cinta serta sayang dari seorang ayah dan bu yang baik akan tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik.
Anak juga merupakan sebuah aset sumber daya manusia yang kelak dapat membantu
membangun bangsa dan negara. Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang
dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.
Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-
cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Masa depan
bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik

4
Umul Khair, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian,” JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 5,
no. 2 (2020): hlm. 2.
5
Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 73.
6
Maidin Gultom, Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia
(Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 57.
840
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu
pula sebaliknya, Apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan
bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak
merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan.7
Pada Undang-Undang Perkawinan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk tu suami steri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiil. Karena tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang tersebut menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-
alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.8
Menurut Soemijat, bagi orang beragama slam perceraian dilakukan dengan mengajukan
permohonan cerai kepada Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang beragama selain slam
mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri.9 Salah satu hal yang perlu
dipertimbangkan oleh suami steri yang akan melakukan perceraian adalah masalah anak yang
telah dilahirkan dalam perkawinan tu. Dalam hal ni perceraian akan membawa akibat hukum
terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk kut ayah atau kut bunya.10
Hukum mengatur bahwa kedua orang tua dari anak yang dilahirkan memiliki kesempatan
untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara mengajukan permintaan hak asuh anak. Dalam
hal pemeliharaan anak di dalam Kompilasi Hukum slam secara mutlak jika anak yang belum
berumur 12 tahun atau disebut mumayyiz yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak
adalah bunya.
Dalam penelitian ni, penulis lebih fokus kepada pelaksanaan eksekusi hasil putusan dalam
perkara hak asuh anak nomor 1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp yang jadi permasalahannya yaitu
akibat dari perceraian kedua belah pihak tersebut kedua belah pihak sama-sama
memperebutkan hak asuh anak, sekalipun dalam undang-undang sudah jelas bahwa anak yang
dilahirkan belum mencapai dewasa atau belum cukup umur adalah hak asuh terhadap bunya,
namun bapaknya tetap bertanggungjawab dalam memberikan penghidupan atau membesarkan
anak yang telah dilahirkan. Sedangkan kenyataannya pada putusan nomor
1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp terdapat amar putusan yang tidak dilaksanakan oleh bu yang
mendapat hak asuh yaitu tidak memperbolehkan atau memberikan aksesbapak dari anak
tersebut untuk menemui anaknya yang kemudian melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, penelitian ni
akan membahas mengenai pelaksanaan eksekusi hasil putusan dalam perkara hak asuh anak
putusan nomor 1365/Pdt.g/2021/PA.Bpp di Pengadilan Agama Balikpapan. Oleh sebab tu,
artikel ni disampaikan dengan judul “Studi Kasus Terhadap Hak Asuh Anak Dalam
Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp di Pengadilan Agama Balikpapan”

7
Darmoko Yuti Witanto, Hukum keluarga: hak dan kedudukan anak luar kawin: pasca keluarnya putusan MK
tentang uji materiil UU perkawinan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 59.
8
Nunung Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” Keadilan Progresif 5, no. 1 (2014): hlm. 121.
9
Ny Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm.
56.
10
Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 122.
841
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan eksekusi hasil putusan dalam perkara hak asuh anak nomor
1365/Pdt.G/2021/PA.Bpp?

C. Metode
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ni adalah penelitian yuridis normatif,
sedangkan data yang diperoleh dalam penulisan ni menggunakan data sekunder. Penelitian ni
dilakukan guna untuk mendapatkan bahan-bahan berupa: teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan hukum yang berhubungan dengan pokok bahasan.

D. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Dalam Kamus Besar Bahasa ndonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.11 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal
dari nikah (‫( نكاح‬yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan
untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.12
Perkawinan adalah katan sosial atau katan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya
setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya ntim dan seksual.
Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan.
Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa
berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan tu ekslusif dan mengenal konsep
perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya
dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Umumnya perkawinan harus
diresmikan dengan pernikahan.
Pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum slam (KHI) pada Pasal 1, yaitu
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati
perintah ALLAH dan melaksanakannya merupakan badah. Menurut hukum slam,
pernikahan adalah akad yang ditetapkan syara” untuk membolehkan bersenang-senang
antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya
perempuan dengan laki-laki. Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia
dalam hidup dan perkembangannya. Untuk tu Allah Swt melalui utusan-Nya
memberikan suatu tuntunan mengenai pernikahan.
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya perkawinan
tersebut di atas, maka bisa ditegaskan hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
Namun berdasarkanillat-nya atau dilihat dari segi kondisinya, maka perkawinan
tersebut dapat berubah hukumnya menjadi wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah.
Nikah tu akan berubah hukumnya menjadi wajib, apabila seseorang dipandang telah

11
KBBI KBBI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),” Kementerian Pendidikan Dan Budaya, 2016.
12
H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh munakahat (Prenada Media, 2019), hlm. 7.
842
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
mampu benar mendirikan rumah tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus
kehidupan keluarganya, telah matang betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya.
Tujuan pernikahan menurut agama slam alah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis
dalam rangka menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir batin, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar keluarga.
Menurut mam Al-Ghazali dalam kitab hyanya menyatakan bahwa tujuan
perkawinan yaitu sebagai berikut:13
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya;
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal; dan
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Tentang tujuan pernikahan, slam juga memandang bahwa pembentukan keluarga
tu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang
meliputi berbegai aspek masyarakat yang mempunyai pengaruh besar dan mendasar
terhadap umat slam.

2. Tinjauan Umum Tentang Anak


Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Anak memiliki
peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar
mereka mampu memikul tanggung jawab tu, mereka perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun
spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi, dan disejahterakan.
Karenanya segala bentuk kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi. Marsaid
mengutip pengertian Anak dalam Kamus Umum Bahasa ndonesia, adalah sebagai
manusia yang masih kecil. Marsaid juga mengutip dari Soedjono Dirjisisworo yang
menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak di bawah umur adalah mereka yang belum
menentukan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa a telah dewasa.14
Adapun, pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, bahwa anak merupakan setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan
belas) tahun. Dan juga pengertian anak dalam UU No. 17/2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang dalam kandungan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang yang masih kecil, baik laki-
laki maupun perempuan, yang belum terlihat tanda-tanda fisik seorang dewasa, yang

13
Muhamad Dede Iqbal Fauzy, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Nikah Misyar (Studi
Komparatif)” (PhD Thesis, Universitas Islam Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" Banten, 2018), hlm. 24.
14
Marsaid Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam (Maqasid Asy Syari’ah)
(Palembang: NoerFikri Offset, 2015), hlm. 56-58.
843
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
berdasarkan perspektif undang-undang bahwa batasan usia anak adalah yang belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun.
Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria dan
wanita. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.15 Secara umum
menurut para ahli, dikatakan bahwa anak adalah anugerah dari tuhan yang maha kuasa
yang harus dijaga, dididik sebagai bekal sumber daya, anak merupakan kekayaan yang
tidak ternilai harganya. Seorang anak hadir sebagai amanah dari Tuhan untuk dirawat
dijaga dan dididik yang kelak setiap orang tua akan diminta pertanggungjawaban atas sifat
dan perilaku anak semasa didunia. Secara harafiah anak yaitu seorang cikal bakal yang
kelak akan meneruskan generasi keluarga, bangsa dan negara.
Pengertian anak secara umum maupun pendapat para ahli, ketika anak beranjak
dewasa, dan orang tua tidak mampu maka anak merupakan harapan orang tua untuk
bertumpu. Namun pada perkembangan zaman yang semakin canggih, pergaulan anak juga
harus diperhatikan secara seksama. Pergaulan anak serta kepada siapa anak berteman yang
mana dapat mempengaruhi hidup dan perjalanan hidupnya kelak saat dewasa. Dalam
pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang lmu pengetahuan (the
body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan.
Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan
aktual dalam lingkungan sosial. Disertai dengan ketentuan hukum atau persamaan
kedudukan dalam hukum (equality before the low) dapat memberikan legalitas formal
terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang
ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum tu sendiri, atau meletakan ketentuan
hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat
peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan.

3. Tinjauan Umum Tentang Hadhanah (Hak Asuh Anak)


a. Pengertian Tentang Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal
memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak
yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk). Adapun Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang
rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pengakuan. Seperti halnya
seorang bu waktu menyusukan, meletakkan anak dipangkuannya, dan melindungi dari
segala yang menyakitinya.16
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Seorang bu waktu
menyusukan, meletakkan anak di pangkuannya, dan melindunginnya dari segala yang
menyakiti. Erat hubungannya dengan pengertian tersebut, sedangkan menurut stilah
alah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak a lahir

15
Nasir Djamil, Anak Bukan untuk dihukum (Sinar Grafika, 2017), hlm. 8.
16
Dina Enggia, “Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Terhadap Putusan Pa Sawahlunto Dalam Perkara Nomor
7/Pdt. G/2018/Pa. Swl Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam,” 2020, hlm. 13.
844
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.17 Dalam stilah fiqh, Hadhanah
dan kaffalah mempunyai arti yang sama yaitu “pemeliharaan” atau pengasuhan”. a
juga mengartikan bahwa hadhanah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah
terjadinya perceraian suami dan stri sedangkan anak-anak masih memerlukan bantuan
dari ayah dan atau bunya.18
Hadhanah hanya berlaku bagi anak kecil saja seperti halnya meskipun sudah besar
tapi belum mumayyiz atau belum cukup umur. Bagi seseorang yang sudah berakal dan
baligh, a boleh memilih sendiri dengan siapa saja a akan tinggal dari kedua
orangtuanya yang akan disukainya. Tetapi a tidak boleh tinggal sendiri kecuali laki-
laki yang sudah baligh dan berakal a tidak membutuhkan orangtuanya dikarenakan
laki-laki lebih mandiri dan bisa hidup sendiri tanpa orangtuanya. Kenapa hanya laki-
laki yang boleh hidup sendiri sedangkan perempuan tidak, Karena perempuan
mempunyai sifat kelemahan tabiatnya dan perlu pengawasan dari orangtua karena dia
wanita yang apabila hidup sendiri akan membahayakan dirinya dan pastinya akan
mendapatkan suatu mudhorat.19 Dalam Kompilasi Hukum slam pada pasal 98
menyatakan:20
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik atau mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan;
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan; dan
3. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan selama ayah dan bu masih
terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya
perceraian.

II. PEMBAHASAN
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, yang mana harus memperhatikan norma
dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya tidak semua orang berprinsip
demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan sepanjang masih
bisa diterima oleh masyarakat stilah sakral dalam perkawinan diabaikan sehingga tidak
dihargai kesakralannya.21
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan alah katan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
stri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum
slam (KHI) adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan badah.

17
Masrufah Masrufah, “Pengalihan Hak pengasuhan Anak (Hadhanah)(Study Komperatif Menurut Empat Imam
Mazhab)” (PhD Thesis, UIN SMH BANTEN, 2019), hlm. 40.
18
Masrufah, hlm. 41-42.
19
ENGGIA, “Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Terhadap Putusan Pa Sawahlunto Dalam Perkara Nomor
7/Pdt. G/2018/Pa. Swl Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam,” hlm. 14.
20
Loc.cit.
21
Rokiyah Rokiyah dkk., “Perwujudan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 105 Huruf A
Kompilasi Hukum Islam Tentang Penentuan Hak Perwalian,” SENTIA 2018 10, no. 1 (2018): hlm. 1.
845
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan
keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa
suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Perkawinan merupakan nstitusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi nstitusi
ni adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang
dimaksud dengan perkawinan adalah katan lahir batin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri.22
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum slam memandang bahwa perkawinan tu tidak hanya
dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi dilihat juga dari aspek agama dan sosial. Aspek
agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah
menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Dalam konsepsi
hukum perdata barat, perkawinan tu dipandang dalam hukum keperdataan saja. UU hanya
mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang
pegawai catatan sipil.23
Perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Allah memang
membenci perceraian akan tetapi apabila dengan mem pertahankan perkawinan tu akan lebih
besar mudharatnya daripada manfaatnya, maka perceraian tu diperbolehkan.24 Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, akibat perceraian alah:
1. Bahwa stri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.
Persatuan harta perkawinan menjadi terhenti, dan dapat dilakukan pemisahan dan
pembagiannya. Harta besama dibagi dua (pasal 128 KUHPerdata);
2. Kekuasaan orang tua juga menjadi terhenti. Untuk anak dibawah umur diserahkan
kepada pengadilan, siapa yang ditunjuk menjadi wali (pasal 229 ayat 1 KUHPerdata);
dan
3. Kewajiban memberi nafkahpun akan terhenti kecuali apa yang diatur dalam pasal 225
KUHPerdata (bila suami atau stri yang atas permohonannya dinyatakan perceraian,
tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka
Pengadilan Negeri akan menetapkan pembayaran tunjangan hidup baginya dari harta
pihak yang lain. Dengan demikian akibat perceraian menurut KUHPerdata, seorang
stri yang telah bercerai akan kembali statusnya menjadi tidak kawin, harta bersama
menjadi tidak ada oleh karena telah dibagi diantara suami/istri, kekuasaan orang tua
menjadi terhenti oleh karena pengadilan telah menunjuk salah satu menjadi wali anak.
Dari sudut pandang hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya, harus
ada alasan yang dibenarkan oleh hukumuntuk melakukan suatu perceraian. tu sangat
mendasar, terutama bagi pengadilan yang berwenang untuk memutuskan, apakah suatu
perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut
konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.

22
Hidayatul Ma’unah, Nanik Sutarni, dan Purwadi Purwadi, “Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Perceraian Karena Adanya Perselisihan Dan Pertengkaran (Studi Putusan Nomor: 0708/Pdt. G/2019/Pa. Bi),”
Jurnal Bedah Hukum 4, no. 1 (2020): hlm. 3.
23
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 61.
24
Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 121.
846
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Misalnya, soal perebutan hak asuh anak, pemberian nafkah mantan stri dan anak, serta
pembagian harta gono gini.25
Dalam perceraian, akan menimbulkan suatu masalah yaitu pembagian harta bersama dan
apabila memiliki keturunan maka akan timbul pertanyaan siapa yang berhak untuk
mendapatkan hak asuh anak (hadhanah). stilah di bawah umur berdasarkan Pasal 105 huruf a
Kompilasi Hukum slam adalah bahwa “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak bunya”.
Tugas dari pemeliharaan anak atau yang disebut dengan Hadhanah menurut KHI yang
terdapat dalam Pasal 1 huruf G mengatakan bahwa Hadanah tu adalah kegiatan mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Kompilasi Hukum
slam pasal 105 menjelaskan secara rinci dalam hal suami stri terjadi perceraian yaitu:
1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
bunya;
2. pemeliharaan anak yang sudah mumayis diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau bunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Hak asuh anak atau hadhanah pada dasarnya dapat diberikan kepada ayah atau bu, dalam
aturan hukumnya terdapat pada nstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum slam.
Menurut Sayyid Sabiq Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah
dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari suatu
yang merusak jasmani, rohani, dam akalnya agar mampuiberdiri sendiri dalam menghadapi
hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila a sudah dewasa.
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk
mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari
seorang anak oleh orangtua. Selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan
dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinue sampai anak tersebut
mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yangitelah mampu berdiri sendiri.26
Hadhanah dalam hukum perdata biasa disebut dengan stilah pengasuhan atau perwalian.
Hak pengasuhan atau perwalian merupakan hak seorang anak dari orang tua dan juga
merupakan kewajiban orang tua terhadap anak. Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan memuat ketentuan mperatif bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak tu
kawin atau dapat berdiri sendiri.
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang
lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri,
bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena tu, orang yang menjaganya perlu
mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, danimempunyai keinginan agar anak tu tumbuh
menjadi anak baik (shaleh) di kemudian hari.

25
Debora Purba, “Rights Of Children After Divorce Husband Arguments That Results From Wife” (PhD Thesis,
Universitas Medan Area, 2016), hlm. 17.
26
Trihartina Trihartina, “Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Pendidikan Anak Pasca Perceraian Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” (Phd Thesis, Uin Raden Fatah
Palembang, 2019), Hlm. 54.
847
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Di samping tu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas tu.
Untuk tu dapat disimpulkan bahwa pihak yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita.
Menurut Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum slam, disebutkan bahwa hak asuh anak yang
belum mumayyiz (dibawah umur 12 tahun) merupakan hak dari bunya dan Pasal 156 huruf
(a) Kompilasi Hukum slam juga menjelaskan bahwa hak asuh anak yang masih di bawah
umur 12 tahun adalah hak dari pada bu kandungnya, dan posisi bu kandung terebut dapat
digantikan apabila bu tersebut telah meninggal dunia, dalam Pasal ni disebutkan posisi bu
dapat digantikan oleh ayah apabila si bu telah meninggal dunia dan perempuan garis keatas
dari bu (nenek atau tantenya) juga sudah tidak ada. Kompilasi Hukum slam menyatakan hak
hadhanah yang utama jatuh ke tangan bu memiliki pertimbangan bahwa bu yang memiliki
katan batin yang lebih kuat kepada anak, bu yang mempunya rasa kasih sayang yang lebih di
bandingkan bapak, dan bu juga yang lebih memiliki waktu lebih banyak untuk mengasuh dan
merawat anak.
Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang tidak jarang para bu yang memiliki
kesibukan kerja di luar rumah yang melebihi kesibukan si ayah, sehingga perhatian, kasih
sayang dan waktu yang seharusnya didapatkan anak dari bunya, malah berbanding terbalik,
karena kesibukan bunya anak kehilangan semua tu dari bunya. Undang-Undang perlindungan
anak dan Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa siapapun yang akan mendapatkan
hak asuh anak (hadhanah) baik bu maupun bapak, harus dilihat dari faktor kepentingan anak.
Jadi hak hadhanah dapat diberikan kepada bu ataupun bapak dengan pertimbangan lebih
dominan kepada bu atau bapak untuk kepentingan si anak tersebut.
Hubungan keperdataan anak kepada bapaknya (baik bapak biologisnya meskipun yang
bukan bapak biologisnya) yang dijelaskan dalam Pasal-Pasal Kompilasi Hukum slam mulai
dari pasal 99 sampai dengan pasal 103 yang berbunyi: Hubungan keperdataan anak kepada
bapaknya (baik bapak biologisnya meskipun yang bukan bapak biologisnya) yang dijelaskan
dalam Pasal-Pasal Kompilasi Hukum slam mulai dari pasal 99 sampai dengan pasal 103 yang
berbunyi:
1. Pasal 99: “Anak yang sah adalah: 1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah. 2) Hasil pembuahan suami steri yang sah diluar Rahim dan
dilahirkan oleh steri tersebut.”;
2. Pasal 100: “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan bunya dan keluarga bunya.”;
3. Pasal 101: “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang steri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”;
4. Pasal 102: “Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari strinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah
hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami tu
mengetahui bahwa strinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.Pengingkaran yang diajukan
sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima”;
5. Pasal 103: “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau
alat bukti lainya. 2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya yang tersebut dalam ayat
(1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-
usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-
bukti yang sah. 3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat

848
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
(2), maka nstansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama
tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan”.
Terdapat hak yang lebih penting diberikan oleh kedua orang tua, yakni hak akan kasih
sayang. Kasih sayang sebagai hak yang utama serta sebagai pondasi guna mendidik dan
memberi pengalaman hidup kepada anak. Bagaimana mungkin hak-hak lain akan diberikan
jika tidak diberikan kasih sayang yang penuh.27
Kalau dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan dijelaskan di dalam Pasal 41 terkait
dengan putusnya perkawinan akibat dari perceraian, yang berhak memelihara dan
membesarkan anak yang telah dilahirkan adalah kedua orang tua merupakan kewajibannya,
semua biaya yang ditimbulkan terhadap anak yang dilahirkan menjadi beban dan
tanggungjawab sepenuhnya kepada bapaknya.28
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan. Pengaturan tersebut merupakan bagian dari usaha dan
kegiatan untuk menjamin terwujudnya perlindungan kepada hak-hak anak.29
Pertama-tama hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan mengenai anak merupakan
golongan yang masih membutuhkan tumbuh kembang, baik rohani, jasmani, maupun sosial.
Dengan demikian yang menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak yaitu:30
a. Dasar filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan sekeluarga,
bermasyarakat bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan
anak;
b. Dasar estis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang
berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan berkewenangan,
kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
c. Dasar yuridis, perlindungan anak didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan
perundangundangan lainnya yang berlaku. mplementasi dalam hal yuridis ni harus
secara ntegratif, yakni penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan
dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.
Dalam putusan pengadilan Agama Nomor: 1365/Pdt.G/2021/PA.BPP, yang memperoleh
hak asuh anak adalah bunya (penggugat). Dalam pertimbangan Majelis Hakim menjelaskan
tinjuan dari sudut hukum slam mengenai Pemeliharaan anak, karena Penggugat dan Tergugat
beragama slam yang memiliki prinsip bahwa anak adalah amanah dan titipan dari Allah SWT,
Kepada suami stri/ ayah bunya dan anak mempunyai hak untuk dilindungi baik keselamatan
agamannya, harta maupun jiwa raga oleh kedua orang tuannya dari hal-hal yang akan
menjerumuskan anak kedalam neraka, kedua orangtualah yang paling bertanggungjawab
terhadap keselamatan anaknya dunia akhirat dan melindungi mereka dari hal-hal yang tidak
baik dan salah satu anggota keluarga nti adalah anak, oleh karena tu kedua orang tua
hendaknya memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak-anaknya agar mereka tumbuh
menjadi anak yang sehat, baik, jasmani maupun rohani dan berakhlaqul karimah serta
memiliki ntelegensi yang tinggi, anak dapat membuat senang hati kedua orangtuannya
manakala anak tersebut berbakti kepada mereka, serta taat dalam menjalankan badahnya.

27
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.66.
28
sang Ayu Putu Sukma Dewi, Aa Sri Indrawati, Dan Suatra Putrawan, “Hak Asuh Anak Dalam Suatu
Perceraian (Study Kasus Putusan No. 114/Pdt. G. 2016) Di Pengadilan Negeri Denpasar,” t.t., hlm. 8.
29
Dewi, Indrawati, dan Putrawan, hlm. 8.
30
Dewi, Indrawati, dan Putrawan, hlm. 8.
849
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi sehingga hak dan kewajiban anak dalam Undang-Undang ni
untuk melindungi anak sangat lebih diutamakan dimana hal ni tetap harus dilakukan
meskipun diantara bu atau ayahnya terjadi perceraian.
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila
terjadi perceraian, anak tetap harus terlindungi dan kedua orangtuannya tetap mempunyai
kewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya semata-mata demi kepentingan anak,
bukan demi kepentingan orang tua atau salah satun orangtuannya.
Menimbang bahwa secara normatif penyelesaian tentang sengketa pengasuhan anak telah
diatur dalam Pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum slam (KHI) selengkapya berbunyi sebagai
berikut: Dalam hal terjadinya perceraian : pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak bunya oleh karenannya tu pada dasarnya hak bu lebih
dominan untuk memelihara anak yang belum berusia 12 Tahun.
Menimbang bahwa atas dalil dan bantahan masing-masing pihak dalam perkara ni,
Majelis berpendapat bahwa untuk dapat atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai pemegang
hak hadhanah terhadap anak adalah ditentukan dengan persyaratan sesuai dengan hukum slam
yang berlaku hal mana bahwa diantara ketentuan dasar yang berkenaan dengan perkara ni
antara lain, sebagaimana dalam Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum slam yang
menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumu 12 (dua
belas) tahun adalah hak bunya, juga disebutkan dalam Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum
slam menyebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah anak yang
belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanahnya dari bunya kecuali bila bunya meninggal
dunia maka kedudukannya digantikan oleh garis lurus bunya.
Dengan adanya putusan dari pengadilan tersebut yang berhak atas hak asuh anak adalah
Penggugat (ibunya) karena pertimbangan secara normatif ketika anak belum berusia 12 tahun
maka yang menjadi hak asuhnya adalah bunya. Sedangkan dalam amar putusan menyebutkan
dalam point 4 bahwa Tergugat (bapaknya) wajib diberikan akses untuk berjumpa dengan
anaknya melalui Penggugat (ibunya). Tapi, sejak di bacakan putusan tersebut sampe dengan
saat ni kepastian hukum tu belum berpihak kepada Tergugat (bapaknya) karena pihak
Penggugat (ibunya) tidak menjalankan amar putusan tersebut. Terhadap Penggugat (ibunya)
yang tidak memberikan akses bertemu bagi Tergugat (bapak). Sedangkan Tergugat sangat
ngin mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada anaknya.
Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir saja, tetapi
juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal dan pendidikan nformal. Dalam hal ni
siapapun yang melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan
ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak
berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut
Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua
yang lain.31

31
Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 123.
850
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Terhadap gugatan hak asuh anak berdasarkan nomor perkara 1365/Pdt.G/2021/PA.BPP,
upaya yang dilakukan oleh pihak dari bapaknya adalah melakukan upaya banding. Putusan
banding dengan nomor perkara banding 22/Pdt.G/2021/PTA.Smd yang telah di putus pada
tanggal 15 April 2021 dengan amar putusan adalah menguatkan Putusan Pengadilan Agama
Balikpapan. Untuk putusan tersebut pihak bapak menerima dan tidak melakukan upaya kasasi
terhadap hak asuh anak tersebut. Namun, Pihak dari bu, sejak di putus dipengadilan Agama
Balikpapan sampai adanya putusan dari Pengadilan Tinggi tidak kunjung menjalankan amar
putusan pada point 4 yakni: Mewajibkan Penggugat (ibunya) untuk memberikan akses
(tempat, ruang dan waktu) kepada Tergugat untuk bertemu, berkumpul, dan sewaktu-waktu
membawa anak mencurahkan kasih sayang kepada anak tersebut.
Pada dasarnya, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam hal terjadi
pemisahan anak dengan orang tua, misalnya pemisahan akibat perceraian, maka anak tetap
berhak bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang
tuanya.Sehingga mantan stri dan pihak keluarganya tidak berhak melarang anak bertemu
dengan pihak Tergugat (bapak).
Pada Huruf c angka 4 Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (“SEMA 1/2017”) mengatur: Dalam
amar penetapan hak asuh anak (hadlanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak
hadlanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu
dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan
bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat
dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlanah.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Hakim Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Wahita
Damayanti, bahwa dalam praktiknya, Pengadilan Agama telah menerapkan SEMA tersebut
karena pengaturan amar hadhanah dalam SEMA tersebut bersifat antisipatif untuk mencegah
terjadinya sengketa lebih lanjut.32 Jika dalam amar penetapan hak asuh anak (hadhanah)
ditetapkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak
memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya, tapi kewajiban ni tidak
dilaksanakan, pihak tergugat (bapak) bisa mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah
menggunakan alasan tersebut.
Maka mengingat bahwa putusan pengadilan tu mempunyai kekuatan mengikat, putusan
pengadilan juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Yaitu kekuatan dimana putusan
pengadilan tersebut dapat dimintakan permohonan untuk mengeksekusi dengan alat negara
apabila pihak yang telah dinyatakan oleh pengadilan untuk memenuhi suatu kewajiban yang
wajib dilaksanakan dan apabila pihak yang seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut
tidak melaksanakan dengan sukarela sesuai dengan putusan pengadilan atau sengaja
melalaikan untuk tidak menjalankan suatu putusan maka dapat dimintakan permohonan untuk

32
Erizka Permatasari S.H, “Dilarang Bertemu Anak Pasca Cerai, Hak Asuh Bisa Digugat - Klinik
Hukumonline,” hukumonline.com, diakses 18 Januari 2022, https://www.hukumonline.com/klinik/a/dilarang-
bertemu-anak-pasca-cerai--hak-asuh-bisa-digugat-lt608c7b9c8ca81.
851
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
mengeksekusi putusan tersebut secara paksa yaitu dengan cara pemohon mengajukan
permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama terkait.33
Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama akan menerbitkan penetapan aanmaning, yang
berisi perintah kepada jurusita supaya memanggil termohon eksekusi hadir pada sidang
aanmaning, dalam sidang tersebut Ketua Pengadilan Agama akan menyampaikan peringatan
supaya dalam tempo 8 (delapan) hari dari setelah peringatan termohon eksekusi melaksanakan
putusan, jika dalam tempo 8 (delapan) hari setelah peringatan, pemohon eksekusi melaporkan
bahwa termohon eksekusi belum melaksanakan si putusan, Ketua Pengadilan Agama
menerbitkan perintah eksekusi. Namun menurut penulis alangkah lebih baiknya ada upaya
lain, selain melakukan eksekusi terhadap mantan stri atau ayah dari anak tersebut, dengan
nterprestasi hakim untuk mengembangkan hukum menjadi lebih fleksibel dan tidak terkesan
kaku, dengan melakukan pendekatan secara kultural yaitu untuk menyelesaikan secara lebih
kekeluargaan atau ada upaya dari pengadilan untuk memberi tahu ke kantor tempat si ayah
bekerja terhadap beban yang sedang ditanggung oleh ayah dari anak tersebut, untuk kemudian
dapat dijadikan sebagai pertimbangan kebijakan kantor terhadap karyawan yang sedang
mengalami kesulitan.
Berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
yang menyatakan bahwa: “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: a sangat melalaikan
kewajiban terhadap anakanaknya; a berkelakuan buruk sekali”. Namun, apabila kekuasaan
orang tua dicabut mereka tetap masih berkewajibannya dalam melakukan pemeliharaan
terhadap anakanaknya, hal ni sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan Meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberikan pemeliharaan kepada anak
tersebut. Sehingga, akibat hukum bagi orang tua yang tidak melaksanakan tanggung jawab
terhadap anak yaitu permohonan eksekusi dan pencabutan hak asuh.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Terhadap salah satu pihak yang tidak melaksanakan si putusan dalam perkara Hak Asuh
Anak Nomor : 1365/Pdt.G/2021/PA.BPP, sesuai dengan Pada Huruf c angka 4 Lampiran
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi
Pengadilan (“SEMA 1/2017”) mengatur: Dalam amar penetapan hak asuh anak (hadlanah)
harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadlanah memberi akses kepada orang tua
yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan
hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada
orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan
gugatan pencabutan hak hadhanah. Dan akibat hukum bagi orang tua yang tidak

33
Virianto Andrew Jofrans Mumu, “Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak
Setelah Perceraian Dalam UU No 1 1974 Pasal 45 Ayat (1),” Lex Privatum 6, no. 8 (2019): hlm. 166.

852
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
melaksanakan tanggung jawab terhadap anak yaitu permohonan eksekusi dan pencabutan hak
asuh.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata slam di ndonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Djamil, Nasir. Anak Bukan untuk dihukum. Sinar Grafika, 2017.

Ghazaly, H. Abdul Rahman. Fiqh munakahat. Prenada Media, 2019.

Gultom, Maidin. Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak di
ndonesia. Bandung: Refika Aditama, 2014.

Kamil, Ahmad. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di ndonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010.

KBBI, KBBI. “Kamus Besar Bahasa ndonesia (KBBI).” Kementerian Pendidikan Dan Budaya, 2016.

Marsaid, Marsaid. Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum slam (Maqasid Asy
Syari’ah). Palembang: NoerFikri Offset, 2015.

Mertokusumo, Sudikno. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Soemiyati, Ny. Hukum Perkawinan slam Dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty,
1986.

Witanto, Darmoko Yuti. Hukum keluarga: hak dan kedudukan anak luar kawin: pasca keluarnya
putusan MK tentang uji materiil UU perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum slam.

Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas bagi Pengadilan

C. Sumber lain

853
Jurnal Lex Suprema
ISSN: 2656-6141 (online)
Volume 4 Nomor I Maret 2022
Artikel
Dewi, Sang Ayu Putu Sukma, AA Sri ndrawati, dan Suatra Putrawan. “HAK ASUH ANAK DALAM
SUATU PERCERAIAN (STUDY KASUS PUTUSAN NO. 114/PDt. G. 2016) DI
PENGADILAN NEGERI DENPASAR,” t.t.

ENGGIA, DINA. “PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK TERHADAP PUTUSAN PA


SAWAHLUNTO DALAM PERKARA NOMOR 7/PDT. G/2018/PA. SWL DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM SLAM,” 2020.

Fauzy, Muhamad Dede qbal. “Tinjauan Hukum slam dan Hukum Positif terhadap Nikah Misyar (Studi
Komparatif).” PhD Thesis, Universitas slam Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" Banten,
2018.

Khair, Umul. “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian.” JCH (Jurnal Cendekia
Hukum) 5, no. 2 (2020): 291–306.

Masrufah, Masrufah. “Pengalihan Hak pengasuhan Anak (Hadhanah)(Study Komperatif Menurut


Empat mam Mazhab).” PhD Thesis, UIN SMH BANTEN, 2019.

Ma’unah, Hidayatul, Nanik Sutarni, dan Purwadi Purwadi. “Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan
Perkara Perceraian Karena Adanya Perselisihan Dan Pertengkaran (Studi Putusan Nomor:
0708/Pdt. G/2019/Pa. Bi).” Jurnal Bedah Hukum 4, no. 1 (2020): 1–14.

Mumu, Virianto Andrew Jofrans. “Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap
Anak Setelah Perceraian Dalam UU No 1 1974 Pasal 45 Ayat (1).” Lex Privatum 6, no. 8
(2019).

Purba, Debora. “Rights Of Children After Divorce Husband Arguments That Results From Wife.”
PhD Thesis, Universitas Medan Area, 2016.

Rodliyah, Nunung. “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.” Keadilan Progresif 5, no. 1 (2014).

Rokiyah, Rokiyah, Shohib Muslim, Ane Fany Novitasari, dan Kadek Suarjuna Batubulan.
“PERWUJUDAN PASAL 49 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 jo PASAL
105 HURUF a KOMPILASI HUKUM SLAM TENTANG PENENTUAN HAK
PERWALIAN.” SENTIA 2018 10, no. 1 (2018).

S.H, Erizka Permatasari. “Dilarang Bertemu Anak Pasca Cerai, Hak Asuh Bisa Digugat - Klinik
Hukumonline.” hukumonline.com. Diakses 7 Februari 2022.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/dilarang-bertemu-anak-pasca-cerai--hak-asuh-bisa-
digugat-lt608c7b9c8ca81.

TRIHARTINA, TRIHARTINA. “TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN DAN PENDIDIKAN


ANAK PASCA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK NDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.” PhD Thesis, UIN RADEN FATAH
PALEMBANG, 2019.

854

Anda mungkin juga menyukai