Anda di halaman 1dari 17

Akses Mudah Informasi Hukum Covid-19

 Pro
 Data
 Berita
 Klinik
 Events
 Stories
 Jurnal
 Produk

BerlanggananMasuk Daftar

1. Beranda
2. Klinik
3. Keluarga
4. Hak Asuh Anak dalam ...

KeluargaJumat, 19 Juli 2019

Hak Asuh Anak dalam Perceraian


Pasangan Beda Agama

Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol


Bacaan 6 Menit
Pertanyaan
Mohon penjelasannya untuk kasus saya. Kami menikah beda agama melalui catatan
sipil, mempunyai dua anak perempuan (2 tahun dan 6 bulan). Yang 2 tahun ikut agama
suami, dan 6 bulan ikut agama istri karena ada persoalan yang mendasar yang tidak
bisa dicarikan solusinya lagi. Jika terjadi perceraian, bagaimana dengan hak asuhnya?
Apakah anak bisa dibagi, yang 2 tahun tetap sama suami, dan 6 bulan tetap sama istri,
namun untuk biaya anak 6 bulan tetap menjadi tanggungan suami? Mohon penjelasan,
terima kasih sebelumnya.

Intisari Jawaban

Ulasan Lengkap
 
Agama dan Hak Asuh Anak
Anda tidak menyebutkan secara lengkap apa agama dari Anda dan pasangan Anda.
Kami akan menjelaskan dalam hal misalnya Anda dan pasangan Anda beragama Islam
dan non-Islam.
 
Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perceraian tidak menghapus kewajiban
ayah dan ibu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dalam pasal terebut juga
dikatakan bahwa jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
yang akan memberi keputusan.
 
Ini berarti mengenai hak asuh anak, jika tidak ditemui kata sepakat antara suami dan
istri, maka diselesaikan melalui jalur pengadilan.
 
Tetapi sebagai gambaran mengenai pembagian hak asuh, jika melihat dari Hukum
Islam, kita dapat merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pada Pasal 105 KHI,
dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaan.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya


Terjangkau
Mulai Dari
Rp 149.000
Lihat Semua Kelas 
 
Mengenai ketentuan Pasal 105 KHI ini terdapat pengecualian, yaitu apabila terbukti
bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak
ibu untuk memelihara anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No.: 210/K/AG/1996, yang mengandung abstraksi hukum bahwa agama
merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas
pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz.
 
Hal ini juga didukung oleh pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, halaman
94, sebagai berikut:
 
Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadhanah ada tujuh macam:
berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, tinggal di daerah
tertentu, dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut,
gugur hak hadlonah dari tangan ibu.
 
“Hadhanah” adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya
pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya agar
terjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal.
 
Hal ini juga sejalan dengan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu
1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang (“UU 17/2016”) yang menyatakan bahwa kuasa asuh adalah
kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi,
dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya.
 
Ini berarti anak harus diasuh sesuai dengan agama yang dianutnya agar
perkembangan mental dan spiritualnya baik.
 
Akan tetapi, selain melihat agama dari orang tua yang akan mendapatkan hak asuh si
anak, tentu saja harus dilihat juga perilaku dari si orang tua. Kesamaan agama tidak
menjadi satu-satunya faktor untuk menentukan hal yang terbaik bagi si anak (dalam
pengasuhan ayah atau ibunya).
 
Contoh Kasus
Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Maumere No.:
1/Pdt.G/2013/PA.MUR. Pada awalnya Pemohon (suami) dan Termohon (istri)
beragama Islam dan menikah secara Islam serta telah terdaftar pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka. Kemudian Termohon berpindah
agama, dan hal tersebut menjadi salah satu alasan percekcokan mereka yang berujung
pada perceraian. Dalam perceraian tersebut Pemohon meminta agar hak asuh
diberikan kepada Pemohon karena anak-anak Pemohon dan Termohon beragama
Islam, dengan alasan yang merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.:
210/K/AG/1996 dan pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, halaman 94,
di atas.
 
Akan tetapi pengadilan memutuskan hak asuh jatuh pada Termohon (istri) dikarenakan
Pemohon (suami) pernah terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Maumere dalam
perkara penelantaran anak.
 
Dalam hal ini berarti baik Pemohon dan Termohon memiliki kecacatan untuk
mendapatkan hak asuh anak. Akan tetapi, majelis hakim menimbang bahwa mudharat
yang paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan
ibunya, karena ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan
terlalaikan.
 
Selain itu, Anda juga dapat melihat Putusan Mahkamah Agung No.: 376
PK/Pdt/2011. Penggugat dan Tergugat pada awalnya menikah secara Gereja dan
tercatat pada Kantor Catatan Sipil Jakarta. Kemudian Tergugat pindah agama, begitu
juga dengan anak dari Penggugat dan Tergugat, menjadi beragama Islam. Dalam
putusannya, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung,
memberikan hak asuh kepada Penggugat (istri) dikarenakan si anak (berumur 12
tahun) memilih untuk ikut dengan ibunya.
 
Jadi, mengenai hak asuh pada dasarnya harus mempertimbangkan juga
perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan mempertimbangkan faktor-
faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi si anak.
 
Mengenai biaya untuk anak, berdasarkan Pasal 41 huruf b UU Perkawinan, bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ;


2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  sebagaimana
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan
sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
3. Kompilasi Hukum Islam.

 
Referensi:

1. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.: 210/K/AG/1996;


2. Putusan Mahkamah Agung No.: 376 PK/Pdt/2011 ;
3. Putusan Pengadilan Agama Maumere No.: 1/Pdt.G/2013/PA.MUR .

Punya Masalah Hukum Yang Sedang Dihadapi?


 Kirim Pertanyaan Baca Disclaimer
Atau
 Chat Sekarang
Mulai dari Rp 30.000

Klinik Terbaru
1

Investasi ‘Gagal’, Begini Tanggung Jawab Perusahaan ke Investor

Sahkah Perceraian dengan Surat Talak dari Suami atau Pernyataan di


Atas Meterai?

10 Sebab Hapusnya Perikatan Menurut KUH Perdata

Status Hibah Tanah untuk CSR

Karyawan Kontrak Resign, Berhak Dapat Uang Kompensasi?

Tips Hukum
Lihat Semua 
Hukum Poligami dan Prosedurnya yang Sah di Indonesia
3 Langkah Transaksi Aset Kripto Secara Legal di Indonesia
Mau Mengubah Perjanjian Tanpa Adendum? Lakukan Ini

Klinik Terkait
Jika Tidak Hadir Pada Sidang Perceraian
Instansi yang Berwenang Menerbitkan dan Menyerahkan Akta Cerai

Jika Tidak Ada Buku Nikah Saat Mengajukan Gugatan Cerai


Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin

Berita Terkait
Walhi Kaltim Beberkan 3 Persoalan dalam RUU Ibu Kota Negara
Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat
Mengingatkan Kembali Batasan Hak Imunitas Advokat dalam Putusan
MK
Pelibatan Kejaksaan dalam Perkara Penyalahgunaan Data Pribadi

AD Premier 9th floor,


Jl. TB Simatupang No.5 Ragunan,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12550,
DKI Jakarta, Indonesia

Phone: +62 21 - 2270 - 8910


Fax: +62 21 - 2270 - 8909

redaksi@hukumonline.com

marketing@hukumonline.com
customer@hukumonline.com
Layanan Kami
 Pro
 Data
 Berita
 Klinik
 Events
 Stories
 Jurnal
 Produk
 Online Course
 Ranking
Hukumonline
 Tentang Kami
 Redaksi
 Pedoman Media Siber
 Kode Etik
 Syarat Penggunaan Layanan
 Bantuan dan FAQ
 Karir
© 2022 Hak Cipta Milik Hukumonline.com

Grup
Sertifikat
Ikuti Kami
2Shares
 1

 1

Anda mungkin juga menyukai