Anda di halaman 1dari 9

MASA PEMBAYARAN BEBAN MUTAH DAN NAFKAH IDDAH

KAITANNYA DENGAN HAK PENGUCAPAN IKRAR TALAK


(Kajian putusan perkara cerai talak yang memuat beban mut’ah dan nafkah iddah)
Oleh : Kusnoto, SHI, MH*

I. Permasalahan

Pengucapan ikrar talak di hadapan sidang Pengadilan Agama setelah


diizinkan oleh pengadilan tersebut merupakan hak bagi Pemohon (seorang suami
yang akan menceraikan) terhadap Termohon (isteri yang akan diceraikan).
Sedangkan penunaian mut’ah dan nafkah iddah merupakan kewajiban bagi
Pemohon atas Termohon (mantan isteri) setelah terjadinya talak.

Dalam beberapa perkara cerai talak, sering dijumpai amar putusan


mengabulkan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak disertai
dengan menghukum (membebankan kepada) Pemohon untuk membayar kepada
Termohon berupa sejumlah harta berupa mutah, nafkah iddah dan/atau nafkah lain
yang terkait dengan kewajiban suami terhadap istri yang diceraikannya.

Sejauh pengamatan penulis, pada umumnya bunyi amar dalam beberapa


putusan perkara cerai talak di Pengadilan Agama hanya menyebutkan beberapa
unsur. Diantaranya adalah unsur subyek yang membayar, obyek yang dibayar,
jumlah dan wujud harta yang harus dibayarkan, serta jenis pembayaran. Amar
putusan tersebut tidak memuat batas waktu pembayaran. Padahal di sisi lain yan
erat kaitannya dengan hal itu, bahwasanya masa pengucapan ikrar talak tersebut
dibatasi oleh waktu maksimal 6 bulan setelah ditetapkan hari sidang ikrar talak.1

Pada saat hari sidang ikrar talak yang telah ditetapkan ternyata Pemohon
serta Termohon hadir di persidangan. Namun Pemohon belum siap dengan sejumlah
uang atau harta yang dibebankan kepadanya untuk diserahkan kepada mantan istri
nantinya. Dalam kondisi semacam itu, tidak jarang dijumpai Majelis Hakim yang
hendak menyaksikan pengucapan ikrar talak tersebut berusaha menyarankan atau
mempengaruhi bahkan terkesan menekan Pemohon agar menunda pengucapan
ikrar tersebut hingga telah siap dengan sejumlah harta tersebut dalam batas waktu
maksimal 6 bulan.

Sebagai akibatnya, sering terjadi adu pendapat antara majelis hakim dengan
Pemohon, dimana Pemohon bersikeras menghendaki pengucapan ikrar talak saat itu

*. Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Natuna.


1
. Pasal 131 angka (4) Kompilasi Hukum Islam berbunyi : bila suami tidak mengucapkan
ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak
gugur dan ikatan perkawinannya tetap utuh.

1
juga dengan alasan amar putusan tidak menetapkan batas waktu penunaian beban
tersebut. Pemohon mengemukakan logika berpikir bahwa seorang suami terlebih
dahulu harus dinyatakan telah menceraikan isterinya barulah kemudian ia dibebani/
dihukum untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan istrinya.
Sedangkan majelis hakim bersikeras menghendaki penunaian beban dilaksanakan
sebelum atau bersamaan pengucapan ikrar talak dengan alasan-alasan yang
bermuara kepada kemaslahatan dan dilandasi pada iktikad baik. Majelis Hakim
beralasan bahwa tujuannya adalah agar nantinya pembayaran terlaksana tanpa
perlu upaya eksekusi paksa mengingat nominal harta yang akan dieksekusi tidak
seimbang dengan biaya eksekusi dan demi tercapainya penyelesaian perkara yang
cepat dan biaya ringan.

Menyadari bahwa posisi majelis hakim dalam persidangan lebih kuat


daripada Pemohon, maka selanjutnya Pemohon “mengalah” lalu keluar ruang sidang
sambil marah dan curiga dalam hatinya bertanya-tanya mengapa majelis hakim
menyimpangi bunyi amar putusan yang telah dibuatnya dan telah berkekuatan
hukum tetap, padahal yang saya pahami dari bunyi amar putusan tersebut adalah
bahwa saya diberi izin untuk menggunakan hak mengucapkan ikrar talak terhadap
isteri terlebih dahulu baru kemudian saya terkena beban kewajiban untuk membayar
sejumlah harta kepada mantan isteri saya tanpa kejelasan batas waktunya.
Benarkah hal itu dikarenakan iktikad baik dari majelis hakim ataukah dikarenakan
adanya keberpihakan? Lalu sebagai bentuk kekesalan Pemohon terhadap pihak
pengadilan dan terhadap Termohon maka sering dijumpai Pemohon menempuh
strategi pembiaran, yaitu membiarkan perkaranya menggantung bahkan hingga
gugur haknya mengikrarkan talak dengan disertai niat tetap mentalak isterinya
menurut ketentuan fikih (talak tanpa dicatatkan).

Hal tersebutlah yang menggugah kegelisaan akademik Penulis sehingga


tertarik untuk menuangkannya dalam tulisan ini. Muncul pertanyaan siapakah pihak
yang tidak konsisten dengan amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap?.
Siapa pula pihak yang merugikan pihak lain dalam hal pelaksanaan isi putusan?
Serta bagaimanakah tawaran solusi untuk menyikapinya. Hal inilah yang menjadi
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

II. Pembahasan
A. Gambaran Putusan Perkara Cerai Talak yang baik

Putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk
umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
pihak yang berperkara.2 Juga dikatakan putusan adalah kesimpulan akhir yang
diambil oleh majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan

2
. Sudikno Kertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1999. hal. 175.

2
atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.3

Asas-asas putusan secara umum diantaranya adalah bahwa putusan harus


memuat alasan-alasan dan dasar-dasar yang jelas dan rinci, serta mencantumkan
pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang berhubungan dengan
perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis, yurisprudensi atau
doktrin hukum. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
dikemukakan dalam gugatan (Ultra Petitum Partium), kecuali bila didasarkan pada ex
aquo et bono maka dapat dibenarkan asalkan masih dalam kerangka yang sesuai
dengan inti petitum primeir.4

Amar putusan merupakan bagian terpenting dari sebuah putusan yang


menjelaskan tentang status hukum suatu hak atau kewajiban sehingga sering dibaca
terlebih dahulu oleh kebanyakan para pihak berperkara. Dalam menyusun amar
putusan hakim haruslah tegas dan jelas terperinci serta jelas maksudnya sehingga
mudah dalam pelaksanaanya, dan pada amar itu dilihat sifat-sifat putusan tersebut
dalam amar juga disebut besarnya biaya dan pembebanannya kepada siapa.5

B. Realita putusan condemnatoir pada beberapa perkara cerai talak.

Dalam realitanya, bunyi putusan perkara cerai talak yang memuat amar
condemnatoir yang ditetapkan berdasarkan ex officio hakim secara garis besar
misalnya berbunyi sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon.


2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap
Termohon di depan sidang Pengadilan Agama ...
3. Menghukum kepada Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa:
a. mutah sebesar Rp.....
b. nafkah selama iddah sebesar Rp.....
c. nafkah anak bernama ...... sebesar Rp..... tiap bulan hingga anak tersebut
dewasa dengan penambahan .... % (... persen) setiap tahunnya.

4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. ....

Sedangkan putusan perkara cerai talak yang memuat amar condemnatoir


dalam perkara yang memuat gugatan rekonpensi pada umumnya secara garis besar
misalnya berbunyi sebagai berikut :

Dalam Konpensi.

3
. Prof. Dr. Abdul Manan SH.,SIP.,M.Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta : Penerbit Kencana, 2005, hlm 292.
4
. baca pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv.
5
. baca pasal 181 HIR/192 RBG, pasal 89 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989.

3
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap
Termohon di depan sidang Pengadilan Agama ...

Dalam Rekonpensi

1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi sebagian.

2. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar kepada Penggugat


Rekonpensi berupa :

2.1. Nafkah madliyah sejumlah Rp....

2.2. Nafkah anak bernama .... diluar biaya ..... setiap bulan minimal sejumlah
Rp.... hingga anak tersebut dewasa.

3. Menolak selain dan selebihnya.

Dalam Konpensi dan Rekonpensi

Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.....

C. Teori-teori tentang Cerai talak dan beban mutah

Hak mengucapkan ikrar talak, dalam Al-Quran dan hadis maupun kitab fikih
belum ditemukan ketentuan pasti mengenai batas waktu pelaksanaanya. Namun
dalam Kompilasi Hukum Islam telah tegas mengatur mengenai tempat dan batas
waktu pelaksanaannya. Tempat yang ditetapkan adalah di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang memeriksa dan mengadili perkaranya 6, sedangkan batas
waktu yang ditetapkan adalah paling lama 6 bulan sejak putusan berkekuatan hukum
tetap atau ditetapkan hari sidang ikrar talak.7 Dengan demikian hakim terikat untuk
memedomani ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan
tempat dan waktu pelaksanaan ikrar talak tersebut.

Di sisi lain yang masih terkait erat, bahwa pemberian mut’ah merupakan
kewajiban suami dan merupakan hak seorang isteri yang dicerai suami.8 Dalam Al-
Quran maupun kitab fikih serta Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan ketentuan

6
. Sesuai dengan Pasal 39 Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah RI
Nomor 9 tahun 1975 serta Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Dalam produk pengadilan, pernyataan
mengenai tempat (locus) pengucapan ikrar talak biasanya tercantum secara jelas dalam amar
putusan.
7
. Sesuai dengan Pasal 131 angka (4) Kompilasi Hukum Islam. Dalam surat-surat yang
diterbitkan oleh pengadilan, pemberitahuan kepada pihak Pemohon mengenai batas waktu (tempus)
pengucapan ikrar talak biasanya dengan tercantum secara jelas dalam Penetapan Hari Sidang dan
relass/surat panggilan sidang ikrar talak.
8
. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya perlindungan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas isteri.

4
pasti mengenai batas waktu dan tempat penunaian mut’ah.9 Begitu juga dengan
nafkah iddah, belum ditemukan ketentuan pasti mengenai tempo dan tempat
penunaiannya.10

Bila dipedomani secara parsial, kondisi semacam ini menyebabkan hakim


menilai bahwa dirinya bebas untuk tidak menentukan batas waktu penunaian mutah
dan nafkah iddah ketika ia telah memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan
ikrar talak. Tapi bila dipahami bahwa masalah mut’ah dan nafkah iddah adalah
sangat berkaitan erat dan merupakan satu kesatuan (unity) yang tidak dapat
terpisahkan dengan masalah talak, tentunya akan mengilhami hakim untuk
menentukan batas waktu penunaian mutah dan nafkah iddah ketika ia telah memberi
izin ikrar talak kepada Pemohon terhadap Termohon.

Pada beberapa perkara cerai talak semacam itu yang telah diputus oleh
majelis hakim, seringkali terkait batas waktu dipedomani secara parsial. Diantara
alasan yang digunakan adalah untuk menghindari Ultra Petitum Partium, serta
alasan untuk keseragaman bunyi amar putusan untuk jenis perkara yang sama
sebagaimana diharapkan oleh mahkamah agung.11 Namun jika diterapkan secara
konsisten, kondisi semacam ini mengikat hakim untuk tidak menghalang-halangi
Pemohon hendak mengikrarkan talak terhadap isteri Pemohon meskipun Pemohon
belum siap menunaikan beban mutah maupun nafkah iddah.

Sesungguhnya, rangkaian peristiwa yang meliputi pernikahan, kemudian


perceraian (talak), kemudian kewajiban membayar mut’ah merupakan rangkaian
yang jenjang waktunya harus tertib berurutan. Sebagaimana dimaksud pada al-
Quran surat al-Ahzab ayat 49 yang berbunyi:

‫ُﻦ‬
‫َن َﺗَﻤﺴﱡﻮﻫﱠ‬
ْ ‫َﺒْﻞ أ‬
ِ ‫ْﺘُﻤ ُﻮﻫﱠﻦ ِﻣْﻦ ﻗـ‬
ُ ‫ﺛُﻢ ﻃَﻠﱠﻘ‬
‫ﻨَﺎت ﱠ‬
ِ ‫ﺘُﻢ اﻟُْﻤِﺆْﻣ‬
ُ ‫َﺤ‬
ْ ‫اﻟﱠﺬَﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا إِذَا ﻧَﻜ‬
ِ ‫ﻳَ ﺎ أَﻳـَﱡﻬﺎ‬
‫َﺳﺮُﱢﺣ ُﻮﻫﱠﻦ ََﺳﺮًاﺣﺎ َﺟِﻤﻴﻼ‬ ‫ُﻦ َو‬
‫ِﻦِﻣْﻦ ِﻋﺪﱠةٍ ﺗْـَﻌﺘَ ﺪﱡوﻧَـَﻬﺎ ﻓََﻤﺘـﱢﻌُﻮﻫﱠ‬
‫ﻓََﻤﺎ ﻟَﻜُْﻢ َﻋﻠَﻴْﻬ ﱠ‬
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu (telah) menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu (telah) ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka tidak wajib bagimu iddah atas mereka. Maka
berilah mut'ah kepada mereka dan lepaskanlah mereka dengan cara yang
sebaik-baiknya.”

Dari ayat tersebut diatas dipahami bahwa lafal nakahtum (pernikahan)


disebutkan dalam bentuk fiil madhi yang menunjukkan telah terjadi/lampau,
9
. Baca Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 49 serta Pasal 149 dan Pasal 158 Kompilasi Hukum
Islam.
10
. baca kitab Iqna juz 2 halaman 118
11
. juga sebagaimana umumnya format atau bunyi putusan dalam SIADPA pada pengadilan
yang bersangkutan.

5
dilanjutkan dengan lafal thallaqtum (cerai/talak) disebutkan pula dalam bentuk fiil
madhi yang menunjukkan telah terjadi, baru kemudian dilanjutkan dengan lafal
famatti’u (berilah mut’ah) disebutkan pula dalam bentuk fiil amar yang menunjukkan
perintah yang akan dilaksanakan dalam waktu segera atau mendatang. Dari tinjauan
lughowiyah ayat di atas dapat dipahami bahwa talak dan beban kewajiban
membayar mut’ah maupun nafkah iddah adalah saling berkaitan dan jelas waktunya.

Dengan demikian pula, urusan ikrar talak dan beban kewajiban membayar
mut’ah maupun nafkah iddah harus diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang
saling berkaitan juga. Keberadaan talak merupakan syarat mutlak atau conditio sine
qua non yang harus ada terlebih dahulu sebelum keberadaan mut’ah maupun nafkah
iddah. Seorang suami harus dinyatakan terlebih dahulu telah menceraikan isterinya
sebelum ia dibebani/dihukum untuk membayar nafkah iddah atau mut’ah. Hubungan
antara sebab akibat kedua hal tersebut merupakan suatu penalaran logis dalam
penerapan hukum.

D. Hambatan dan Tantangan pelaksanaan putusan cerai talak condemnatoir

Amar putusan yang jelas akan mudah dipahami dan lebih mudah
dilaksanakan oleh para pihak berperkara dan pihak yang terkait. Begitu juga dengan
amar putusan perkara cerai talak yang memuat menghukum membayar sesuatu
terkait mut’ah dan/atau nafkah iddah. Pencantuman locus dan tempus secara jelas
dalam amar putusan perkara cerai talak kabul yang disertai kewajiban membayar
mut’ah maupun nafkah iddah akan mudah dipahami dan lebih mudah dilaksanakan
(eksecutable). Sedangkan amar putusan perkara tersebut yang tidak jelas akan
sangat berpotensi mengalami hambatan dalam pelaksanaan. Bilapun dapat
terlaksana dengan mudah hal itu terjadi setelah melalui upaya keras majelis hakim
untuk menyadarkan Pemohon, atau menggugah kesukarelaan Pemohon, atau untuk
mempengaruhi Pemohon ataupun Termohon, atau bahkan melalui tekanan-tekanan
(paksaan phsikis) terhadap Pemohon ataupun Termohon.

Saat hari sidang ikrar talak yang dihadiri Pemohon dan kuasa hukumnya
serta Termohon, Namun Pemohon belum siap dengan sejumlah harta untuk mut’ah.
Dalam kondisi semacam itu, tidak jarang dijumpai Majelis Hakim berusaha
mempengaruhi atau menyarankan agar Pemohon menunda pengucapan ikrar
hingga siap dengan sejumlah harta tersebut. Sedangkan Pemohon bersikeras
menghendaki pengucapan ikrar talak saat itu juga dengan alasan amar putusan tidak
menetapkan batas waktu penunaiannya. Kondisi semacam ini sering menuai
komplain dari kuasa hukum Pemohon yang kemudian berakibat mengurangi
kesakralan persidangan serta memicu munculnya cercaan yang cukup melemahkan
wibawa pengadilan. Bahkan bisa berpotensi munculnya pengaduan atau laporan
kepada instansi pengawas hakim dengan pengaduan bahwa majelis hakim
menjalankan persidangan secara tidak proffesional (unproffesional conduct).
Padahal sesungguhnya maksud dan tujuan majelis hakim untuk menunda

6
persidangan adalah didasari pada iktikad baik agar perkara dapat terselesaikan
menurut asas sederhana cepat biaya ringan serta dapat terlaksana secara sukarela.

Bisa dipahami pertimbangan majelis hakim untuk menyelesaikan perkara


cerai talak yang diperiksa dan diadilinya secara tuntas tanpa meninggalkan gugatan
eksekusi mut’ah dan nafkah iddah di belakang hari. Amat bisa dimaklumi
pertimbangan majelis hakim terkait hal itu dengan alasan kemaslahatan dan iktikad
baik membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi
segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok kekuasaan Kehakiman.

Namun sayangnya, pertimbangan tersebut tidak dimuat (tidak pernah ditulis)


dalam putusan sehingga tidak dimuat pula dalam amar putusan. Tapi justru muncul
dan diucapkan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap yaitu ketika
sidang penyaksian ikrar talak yang merupakan kategori tahap penyelesaian perkara.
Jika majelis hakim telah mempunyai pertimbangan hukum dan sikap yang jelas
mengenai hal itu namun hanya dalam pikiran majelis hakim karena tidak ditulis
dalam putusan, maka pertanyaannya adalah siapakah yang bisa membaca alam
pikiran orang lain? Dan siapa pula bisa memahami maksudnya? Apakah
pertimbangan hukum serta sikap tegas majelis hakim yang tidak termuat dalam
putusan menjamin kepastian hukum serta pasti mengikat para pihak berperkara?
Penulis berpendapat bahwa hal itu kurang tepat dan lemah dalam kepastian
hukumnya.

Terkait dengan putusan cerai talak yang memuat beban kewajiban mut’ah
dan nafkah iddah tanpa disertai masa penunainnya, Lalu bagaimana jadinya jika
pihak mantan suami belum menunaikannya terhadap mantan istrinya. Muncul
pertanyaan sejak kapankah mantan suami dinilai telah melanggar kewajibannya?.
Sejak kapan pula telah terjadi peristiwa hukum terkait hal itu yang patut dinilai cukup
memenuhi unsur atau memenuhi syarat formil diajukannya permohonan eksekusinya
ke pengadilan agama? Hal ini tentunya menjadi masalah baru yang muncul
disebabkan tidak ada kejelasan dan kepastian mengenai hal itu dalam putusan
perkaranya.

E. Tuntunan syariat islam terkait isi putusan pengadilan

Tidak asing bagi warga peradilan agama akan tuntunan mulia sebagaimana
tercantum dalam risalah al-qadha’ Umar bin Khattab yaitu surat (keputusan) amirul
mukminin yang ditujukan kepada Abdullah bin Qais (hakim di daerah). Diantara
tuntunan itu berbunyi :

‫ﻓﺎﻓﮭم إذا أدﻟﻰ إﻟﯾك وا ﻧﻔد اذا ﺗﺑﯾن ﻟك ﻓﺈﻧﮫ ﻻ ﯾﻧﻔﻊ ﺗﻛﻠم ﺑﺣق ﻻ ﻧﻔﺎذ ﻟﮫ‬

7
Artinya :

“ Fahamilah (posisi kasus) yang diserahkan kepadamu, baru kemudian memutusnya


setelah jelas (fakta hukumnya), karena sesungguhnya putusan hakim yang tidak
dapat dilaksanakan (dieksekusi) akan menjadi sia-sia.”12

Dari potongan risalah al-qadha tersebut dapat dipahami bahwa majelis hakim
diharapkan teliti dan berupaya agar putusannya dapat dipahami dan dilaksanakan
oleh pihak berperkara. Putusan yang baik tentulah mudah dipahami oleh
pembacanya beberapa saat setelah putusan dibacakan atau diterimanya salinan
putusan. Sehingga untuk pelaksanaan isi putusan tersebut setelah berkekuatan
hukum tetap akan terhindar dari silang pendapat antara majelis hakim berlawanan
dengan para pihak berperkara, atau bahkan terhindar dari upaya memberi tekanan
atau upaya mempengaruhi.

F. Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menyusun


putusan majelis hakim dihadapkan pada sekurang-kurangnya dua pilihan yang
kemudian diharapkan konsisten untuk tetap memedomani isi putusannya tersebut.
Pilihan pertama yaitu majelis hakim mempertimbangkan batas waktu penunaian
beban mut’ah dan nafkah iddah dalam putusannya kemudian menegaskannya dalam
amar putusan. Jika dalam petitum primeir gugatan rekonpensi (Termohon Konpensi)
tidak memuat mengenai batas waktu penunaian mut’ah dan nafkah iddah, agar
putusannya terhindar dari Ultra Petitum Partium, maka majelis hakim dapat
menggunakan petitum subsideir ex aquo et bono sebagai pintu masuk untuk
menetapkan batas waktu penunaian pembayaran. Sedangkan dalam putusan yang
memuat pembebanan mut’ah berdasarkan ex officio hakim, maka majelis hakim
menjadi bebas tanpa terikat karena memang pasal 41 huruf (c) Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 juga bersifat terbuka.13

Pilihan kedua, yaitu majelis hakim tidak mempertimbangkan batas waktu


penunaian beban mut’ah dan nafkah iddah dalam putusannya kemudian tidak
menegaskannya dalam amar putusan. Namun majelis hakim ketika sidang
penyaksian ikrar talak ia tidak mempunyai dasar hukum maupun alasan menolak
kehendak Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak meskipun Pemohon belum siap
dengan pembayaran mut’ah maupun iddah. Majelis hakim tidak berhak untuk
menyimpangi putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap meski dengan alasan
iktikad baik untuk kemaslahatan ummat. Dalam hal ini, diperlukan konsistensi majelis
hakim untuk memedomani isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
telah dibuatnya.

12
. diundangkan pada tahun 16 Hijriyah.
13
. Pasal tersebut berbunyi : “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

8
Pilihan yang pertama kiranya lebih logis dan mempunyai kepastian hukum
lebih kuat dibandingkan pilihan kedua maupun pilihan lain yang diwarnai dengan
upaya majelis hakim untuk mempengaruhi atau mengarahkan Pemohon untuk
menunda ikrar talak hingga Pemohon siap menunaikan kewajibannya dengan batas
waktu 6 bulan. Majelis hakim tidak perlu khawatir terkait dengan keseragaman
maupun terkait bunyi amar putusan dalam SIADPA, karena umumnya point amar
putusan yang memuat rekonpensi diserahkan kepada majelis hakim, dalam arti
belum dibakukan sebagaimana point lainnya. SIADPA memberikan kelonggaran
kepada majelis hakim untuk mengemukakan bunyi amar dalam putusannya. Begitu
juga dengan penentuan beban melalui ex officio hakim.

Di lain sisi,bahwa putusan adalah sebuah karya tulis ilmiah yang harus dapat
dipertanggungajawabkan secara ilmiah. Kaidah-kaidah lughowiyah dan metode
penalaran harus dipenuhi sehingga dapat menghasilkan putusan yang logis serta
mudah dipahami oleh para pihak berperkara dengan berbagai tingkat pendidikan dan
pihak lain yang berkepentingan terhadap putusan seperti peneliti atau akademisi.
Putusan juga diharapkan tidak membuka ruang penafsiran yang berbeda sehingga
pada saat berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan dengan mudah.

Akhirnya, Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna menjawab


permasalahan yang ada. Oleh karenanya penulis mengharapkan munculnya artikel
dengan tema yang sama/mirip untuk kesempurnaan pemikiran ini.

Wallahu a’lam bis sawwab.

Anda mungkin juga menyukai