I. Permasalahan
Pada saat hari sidang ikrar talak yang telah ditetapkan ternyata Pemohon
serta Termohon hadir di persidangan. Namun Pemohon belum siap dengan sejumlah
uang atau harta yang dibebankan kepadanya untuk diserahkan kepada mantan istri
nantinya. Dalam kondisi semacam itu, tidak jarang dijumpai Majelis Hakim yang
hendak menyaksikan pengucapan ikrar talak tersebut berusaha menyarankan atau
mempengaruhi bahkan terkesan menekan Pemohon agar menunda pengucapan
ikrar tersebut hingga telah siap dengan sejumlah harta tersebut dalam batas waktu
maksimal 6 bulan.
Sebagai akibatnya, sering terjadi adu pendapat antara majelis hakim dengan
Pemohon, dimana Pemohon bersikeras menghendaki pengucapan ikrar talak saat itu
1
juga dengan alasan amar putusan tidak menetapkan batas waktu penunaian beban
tersebut. Pemohon mengemukakan logika berpikir bahwa seorang suami terlebih
dahulu harus dinyatakan telah menceraikan isterinya barulah kemudian ia dibebani/
dihukum untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan istrinya.
Sedangkan majelis hakim bersikeras menghendaki penunaian beban dilaksanakan
sebelum atau bersamaan pengucapan ikrar talak dengan alasan-alasan yang
bermuara kepada kemaslahatan dan dilandasi pada iktikad baik. Majelis Hakim
beralasan bahwa tujuannya adalah agar nantinya pembayaran terlaksana tanpa
perlu upaya eksekusi paksa mengingat nominal harta yang akan dieksekusi tidak
seimbang dengan biaya eksekusi dan demi tercapainya penyelesaian perkara yang
cepat dan biaya ringan.
II. Pembahasan
A. Gambaran Putusan Perkara Cerai Talak yang baik
Putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk
umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
pihak yang berperkara.2 Juga dikatakan putusan adalah kesimpulan akhir yang
diambil oleh majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan
2
. Sudikno Kertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1999. hal. 175.
2
atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.3
Dalam realitanya, bunyi putusan perkara cerai talak yang memuat amar
condemnatoir yang ditetapkan berdasarkan ex officio hakim secara garis besar
misalnya berbunyi sebagai berikut :
4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. ....
Dalam Konpensi.
3
. Prof. Dr. Abdul Manan SH.,SIP.,M.Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta : Penerbit Kencana, 2005, hlm 292.
4
. baca pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv.
5
. baca pasal 181 HIR/192 RBG, pasal 89 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989.
3
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap
Termohon di depan sidang Pengadilan Agama ...
Dalam Rekonpensi
2.2. Nafkah anak bernama .... diluar biaya ..... setiap bulan minimal sejumlah
Rp.... hingga anak tersebut dewasa.
Hak mengucapkan ikrar talak, dalam Al-Quran dan hadis maupun kitab fikih
belum ditemukan ketentuan pasti mengenai batas waktu pelaksanaanya. Namun
dalam Kompilasi Hukum Islam telah tegas mengatur mengenai tempat dan batas
waktu pelaksanaannya. Tempat yang ditetapkan adalah di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang memeriksa dan mengadili perkaranya 6, sedangkan batas
waktu yang ditetapkan adalah paling lama 6 bulan sejak putusan berkekuatan hukum
tetap atau ditetapkan hari sidang ikrar talak.7 Dengan demikian hakim terikat untuk
memedomani ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan
tempat dan waktu pelaksanaan ikrar talak tersebut.
Di sisi lain yang masih terkait erat, bahwa pemberian mut’ah merupakan
kewajiban suami dan merupakan hak seorang isteri yang dicerai suami.8 Dalam Al-
Quran maupun kitab fikih serta Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan ketentuan
6
. Sesuai dengan Pasal 39 Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah RI
Nomor 9 tahun 1975 serta Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Dalam produk pengadilan, pernyataan
mengenai tempat (locus) pengucapan ikrar talak biasanya tercantum secara jelas dalam amar
putusan.
7
. Sesuai dengan Pasal 131 angka (4) Kompilasi Hukum Islam. Dalam surat-surat yang
diterbitkan oleh pengadilan, pemberitahuan kepada pihak Pemohon mengenai batas waktu (tempus)
pengucapan ikrar talak biasanya dengan tercantum secara jelas dalam Penetapan Hari Sidang dan
relass/surat panggilan sidang ikrar talak.
8
. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya perlindungan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas isteri.
4
pasti mengenai batas waktu dan tempat penunaian mut’ah.9 Begitu juga dengan
nafkah iddah, belum ditemukan ketentuan pasti mengenai tempo dan tempat
penunaiannya.10
Pada beberapa perkara cerai talak semacam itu yang telah diputus oleh
majelis hakim, seringkali terkait batas waktu dipedomani secara parsial. Diantara
alasan yang digunakan adalah untuk menghindari Ultra Petitum Partium, serta
alasan untuk keseragaman bunyi amar putusan untuk jenis perkara yang sama
sebagaimana diharapkan oleh mahkamah agung.11 Namun jika diterapkan secara
konsisten, kondisi semacam ini mengikat hakim untuk tidak menghalang-halangi
Pemohon hendak mengikrarkan talak terhadap isteri Pemohon meskipun Pemohon
belum siap menunaikan beban mutah maupun nafkah iddah.
ُﻦ
َن َﺗَﻤﺴﱡﻮﻫﱠ
ْ َﺒْﻞ أ
ِ ْﺘُﻤ ُﻮﻫﱠﻦ ِﻣْﻦ ﻗـ
ُ ﺛُﻢ ﻃَﻠﱠﻘ
ﻨَﺎت ﱠ
ِ ﺘُﻢ اﻟُْﻤِﺆْﻣ
ُ َﺤ
ْ اﻟﱠﺬَﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا إِذَا ﻧَﻜ
ِ ﻳَ ﺎ أَﻳـَﱡﻬﺎ
َﺳﺮُﱢﺣ ُﻮﻫﱠﻦ ََﺳﺮًاﺣﺎ َﺟِﻤﻴﻼ ُﻦ َو
ِﻦِﻣْﻦ ِﻋﺪﱠةٍ ﺗْـَﻌﺘَ ﺪﱡوﻧَـَﻬﺎ ﻓََﻤﺘـﱢﻌُﻮﻫﱠ
ﻓََﻤﺎ ﻟَﻜُْﻢ َﻋﻠَﻴْﻬ ﱠ
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu (telah) menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu (telah) ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka tidak wajib bagimu iddah atas mereka. Maka
berilah mut'ah kepada mereka dan lepaskanlah mereka dengan cara yang
sebaik-baiknya.”
5
dilanjutkan dengan lafal thallaqtum (cerai/talak) disebutkan pula dalam bentuk fiil
madhi yang menunjukkan telah terjadi, baru kemudian dilanjutkan dengan lafal
famatti’u (berilah mut’ah) disebutkan pula dalam bentuk fiil amar yang menunjukkan
perintah yang akan dilaksanakan dalam waktu segera atau mendatang. Dari tinjauan
lughowiyah ayat di atas dapat dipahami bahwa talak dan beban kewajiban
membayar mut’ah maupun nafkah iddah adalah saling berkaitan dan jelas waktunya.
Dengan demikian pula, urusan ikrar talak dan beban kewajiban membayar
mut’ah maupun nafkah iddah harus diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang
saling berkaitan juga. Keberadaan talak merupakan syarat mutlak atau conditio sine
qua non yang harus ada terlebih dahulu sebelum keberadaan mut’ah maupun nafkah
iddah. Seorang suami harus dinyatakan terlebih dahulu telah menceraikan isterinya
sebelum ia dibebani/dihukum untuk membayar nafkah iddah atau mut’ah. Hubungan
antara sebab akibat kedua hal tersebut merupakan suatu penalaran logis dalam
penerapan hukum.
Amar putusan yang jelas akan mudah dipahami dan lebih mudah
dilaksanakan oleh para pihak berperkara dan pihak yang terkait. Begitu juga dengan
amar putusan perkara cerai talak yang memuat menghukum membayar sesuatu
terkait mut’ah dan/atau nafkah iddah. Pencantuman locus dan tempus secara jelas
dalam amar putusan perkara cerai talak kabul yang disertai kewajiban membayar
mut’ah maupun nafkah iddah akan mudah dipahami dan lebih mudah dilaksanakan
(eksecutable). Sedangkan amar putusan perkara tersebut yang tidak jelas akan
sangat berpotensi mengalami hambatan dalam pelaksanaan. Bilapun dapat
terlaksana dengan mudah hal itu terjadi setelah melalui upaya keras majelis hakim
untuk menyadarkan Pemohon, atau menggugah kesukarelaan Pemohon, atau untuk
mempengaruhi Pemohon ataupun Termohon, atau bahkan melalui tekanan-tekanan
(paksaan phsikis) terhadap Pemohon ataupun Termohon.
Saat hari sidang ikrar talak yang dihadiri Pemohon dan kuasa hukumnya
serta Termohon, Namun Pemohon belum siap dengan sejumlah harta untuk mut’ah.
Dalam kondisi semacam itu, tidak jarang dijumpai Majelis Hakim berusaha
mempengaruhi atau menyarankan agar Pemohon menunda pengucapan ikrar
hingga siap dengan sejumlah harta tersebut. Sedangkan Pemohon bersikeras
menghendaki pengucapan ikrar talak saat itu juga dengan alasan amar putusan tidak
menetapkan batas waktu penunaiannya. Kondisi semacam ini sering menuai
komplain dari kuasa hukum Pemohon yang kemudian berakibat mengurangi
kesakralan persidangan serta memicu munculnya cercaan yang cukup melemahkan
wibawa pengadilan. Bahkan bisa berpotensi munculnya pengaduan atau laporan
kepada instansi pengawas hakim dengan pengaduan bahwa majelis hakim
menjalankan persidangan secara tidak proffesional (unproffesional conduct).
Padahal sesungguhnya maksud dan tujuan majelis hakim untuk menunda
6
persidangan adalah didasari pada iktikad baik agar perkara dapat terselesaikan
menurut asas sederhana cepat biaya ringan serta dapat terlaksana secara sukarela.
Terkait dengan putusan cerai talak yang memuat beban kewajiban mut’ah
dan nafkah iddah tanpa disertai masa penunainnya, Lalu bagaimana jadinya jika
pihak mantan suami belum menunaikannya terhadap mantan istrinya. Muncul
pertanyaan sejak kapankah mantan suami dinilai telah melanggar kewajibannya?.
Sejak kapan pula telah terjadi peristiwa hukum terkait hal itu yang patut dinilai cukup
memenuhi unsur atau memenuhi syarat formil diajukannya permohonan eksekusinya
ke pengadilan agama? Hal ini tentunya menjadi masalah baru yang muncul
disebabkan tidak ada kejelasan dan kepastian mengenai hal itu dalam putusan
perkaranya.
Tidak asing bagi warga peradilan agama akan tuntunan mulia sebagaimana
tercantum dalam risalah al-qadha’ Umar bin Khattab yaitu surat (keputusan) amirul
mukminin yang ditujukan kepada Abdullah bin Qais (hakim di daerah). Diantara
tuntunan itu berbunyi :
ﻓﺎﻓﮭم إذا أدﻟﻰ إﻟﯾك وا ﻧﻔد اذا ﺗﺑﯾن ﻟك ﻓﺈﻧﮫ ﻻ ﯾﻧﻔﻊ ﺗﻛﻠم ﺑﺣق ﻻ ﻧﻔﺎذ ﻟﮫ
7
Artinya :
Dari potongan risalah al-qadha tersebut dapat dipahami bahwa majelis hakim
diharapkan teliti dan berupaya agar putusannya dapat dipahami dan dilaksanakan
oleh pihak berperkara. Putusan yang baik tentulah mudah dipahami oleh
pembacanya beberapa saat setelah putusan dibacakan atau diterimanya salinan
putusan. Sehingga untuk pelaksanaan isi putusan tersebut setelah berkekuatan
hukum tetap akan terhindar dari silang pendapat antara majelis hakim berlawanan
dengan para pihak berperkara, atau bahkan terhindar dari upaya memberi tekanan
atau upaya mempengaruhi.
F. Penutup
12
. diundangkan pada tahun 16 Hijriyah.
13
. Pasal tersebut berbunyi : “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”
8
Pilihan yang pertama kiranya lebih logis dan mempunyai kepastian hukum
lebih kuat dibandingkan pilihan kedua maupun pilihan lain yang diwarnai dengan
upaya majelis hakim untuk mempengaruhi atau mengarahkan Pemohon untuk
menunda ikrar talak hingga Pemohon siap menunaikan kewajibannya dengan batas
waktu 6 bulan. Majelis hakim tidak perlu khawatir terkait dengan keseragaman
maupun terkait bunyi amar putusan dalam SIADPA, karena umumnya point amar
putusan yang memuat rekonpensi diserahkan kepada majelis hakim, dalam arti
belum dibakukan sebagaimana point lainnya. SIADPA memberikan kelonggaran
kepada majelis hakim untuk mengemukakan bunyi amar dalam putusannya. Begitu
juga dengan penentuan beban melalui ex officio hakim.
Di lain sisi,bahwa putusan adalah sebuah karya tulis ilmiah yang harus dapat
dipertanggungajawabkan secara ilmiah. Kaidah-kaidah lughowiyah dan metode
penalaran harus dipenuhi sehingga dapat menghasilkan putusan yang logis serta
mudah dipahami oleh para pihak berperkara dengan berbagai tingkat pendidikan dan
pihak lain yang berkepentingan terhadap putusan seperti peneliti atau akademisi.
Putusan juga diharapkan tidak membuka ruang penafsiran yang berbeda sehingga
pada saat berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan dengan mudah.