Anda di halaman 1dari 12

BEBERAPA CRITICAL POINT PENGATURAN BIDANG PERTANAHAN

DALAM UNDANG - UNDANG NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA*)

Oleh
Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa,SH.,MH.**)
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Bandung

Dalam makalah ini, ada 2 (dua) hal mendasar yang akan disampaikan, yaitu

konstitusionalitas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91 / PUU – XVIII / 2020 ; dan catatan kritis pengaturan

bidang pertanahan dalam UU Cipta Kerja. Konstitusionalitas UU Cipta Kerja pasca

Putusan MK itu perlu disampaikan karena di tengah – tengah masyarakat timbul

kontroversial terhadap Putusan MK, khususnya terhadap frasa “inkonstitusional

bersyarat” antara yang berpendapat bahwa UU Cipta Kerja tetap konstitusional selama

2 (dua) tahun dengan syarat harus dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dan

yang berpendapat sebaliknya, yaitu menganggap atau menilai bahwa UU Cipta Kerja

inkonstitusional sampai dilakukannya perbaikan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun

terhitung sejak MK memutus pengujian formil UU Cipta Kerja.

_______________
*)Makalah disampaikan dalam WEbminar yang diselenggarakan oleh Pengurus
Wilayah Jawa Barat IPPAT yang diadakan secara hybrid pada hari Rabu, 15
Desember 2021
**) Guru Besar Fakultas Hukum Unpad

1
I. Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020

Menyimak Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, paling tidak ada 4 (empat) hal

pokok yang disebutkan dalam amar putusannya, yaitu :

(1) Menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak punya ketentuan hukum

yang mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang dimaknai “tidak

dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan” ;

(2) Jika dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang – undang (dalam hal

ini, DPR bersama Presiden – Pen.) tidak dapat menyelesaikan perbaikan

terhadap UU Cipta Kerja, maka UU atau pasal – pasal ataupun materi muatan

UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, harus dinyatakan

berlaku kembali ;

(3) UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan

pembentukannya sesuai tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam

Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 ;

(4) Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat

setrategis dan berdampak luas, serta dilarang membentuk peraturan pelaksana

baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Berdasarkan amar Putusan MK tersebut, maka UU Cipta Kerja, secara

konstitusional masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan sesuai

dengan tenggat waktu yang ditentukan (dua tahun) terhitung sejak Putusan MK

diucapkan. Mengingat bahwa Putusan MK tersebut adalah putusan yang

mengabulkan permohonan pengujian formil (formele toetsingsrecht) dari para

Pemohon, maka perbaikan atas UU Cipta Kerja sesuai dengan bunyi amar

2
putusannya adalah berkenaan dengan hal – hal yang bersifat prosedural atau tata

cara pembentukan UU sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (UU P3). Sehubungan

dengan itu, Putusan MK tersebut juga memerintahkan agar merevisi UU P3 dengan

memasukkan metode Omnibus Law.

Menyikapi Putusan MK tersebut, maka Badan Legislasi DPR – RI dan

Pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) dalam Rapat Kerja

yang diadakan pada tanggal 6 Desember 2021 telah menyetujui untuk menyepakati

Kesimpulan sebagai berikut :

1. Memasukkan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, ke dalam

Daftar Prolegnas Rancangan Undang – Undang Prioritas Tahun 2022 (Naskah

Akademik dan RUU disiapkan oleh Badan Legislasi DPR – RI);

2. Memasukkan RUU tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja ke dalam Daftar Rancangan Undang – Undang Komulatif

Terbuka akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (DPR / Pemerintah).

II. Pengaturan Bidang Pertanahan Dalam UU Cipta Kerja

Tujuan penyusunan UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan regulasi

dan / atau perizinan yang dinilai menghambat upaya untuk menarik investor (baik

dari luar maupun dari dalam negeri) untuk menanamkan investasinya.

Penyederhanaan dilakukan dengan mengubah dan / atau menghapus UU asal dalam

berbagai kluster untuk kemudian dirumuskan kembali dalam satu UU (itulah makna

Omnibus Law : metode satu untuk semua). Dengan demikian, jelas bahwa harus ada

3
UU asal yang dirujuk (dalam naskah awal UU Cipta Kerja, ada 79 UU asal yang

disederhanakan). Bagaimana halnya dengan substansi Pertanahan dalam UU Cipta

Kerja ?

Substansi Pertanahan, pengaturannya terdapat dalam BAB VIII Bagian

Keempat UU Cipta Kerja, yang terdiri atas :

 Paragraf Pertama, mengatur tentang Bank Tanah, mulai dari Pasal 125 sampai

dengan Pasal 135 ;

 Paragraf Kedua, mengatur mengenai penguatan Hak Pengelolaan (HPL), mulai

dari Pasal 136 sampai dengan Pasal 142 ;

 Paragraf Ketiga, mengatur mengenai Satuan Rumah Susun (Sarusun) untuk

Orang Asing (WNA), mulai dari Pasal 143 sampai dengan Pasal 145 ; dan

 Paragraf Keempat, mengatur mengenai Pemberian Hak Atas Tanah / Hak

Pengelolaan Pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah, mulai dari Pasal

146 sampai dengan Pasal 147.

Khusus Paragraf Pertama sampai dengan Paragraf Ketiga, dari Pasal 125 sampai

dengan Pasal 145 yang mengatur tentang : Bank Tanah, Penguatan Hak

Pengelolaan (HPL), dan Sarusun Untuk Orang Asing, kesemua pasal a quo tidak

memperlihatkan simplikasi atau penyederhanaan regulasi karena UU No. 5 Tahun

1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UU PA) sebagai UU asal tidak dirujuk untuk

diubah dan / atau dihapus, sebagaimana halnya klaster / bidang lain yang merujuk

pada UU asal. Bahkan pengaturan beberapa hal dalam Pasal 125 – Pasal 147 UU

Cipta Kerja, tidak kompatibel dengan beberapa hal prinsip dalam UU PA, Putusan

MK, dan Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

4
Sumber Daya Alam. Hal itu, misalnya, tampak pada ketentuan yang mengatur

tentang Badan Bank Tanah, Penguatan HPL, dan Satuan Rumah Susun (Sarusun).

Dasar pemikiran yang melatarbelakangi penyusunan pengaturan pertanahan

dilandasi skenario besar untuk membuka peluang inventasi melalui perolehan tanah

yang relatif mudah untuk pelaku usaha. Untuk itu, maka dibentuklah Badan Bank

Tanah (BBT) yang akan menyediakan tanah dan membantu memberikan

kemudahan perizinan berusaha. Kedudukan Hak Pengelolaan (HPL) sebagai “fungsi”

dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk

menjalankan usahanya dengan memperoleh hak atas tanah di atas HPL. Hak Guna

Bangunan (HGB) di atas HPL dijadikan primadona karena mayoritas jenis

pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB

belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak hak setelah

diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai

salah satu tujuan Bank Tanah tidak ada dampaknya terhadap redistribusi tanah

pertanian, selain berpotensi melemahkan pelaksanaan RA sebagaimana diatur

dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

III. Beberapa Catatan Kritis Terhadap Badan Bank Tanah (BBT), Penguatan Hak

Pengelolaan, dan Satuan Rumah Susun Untuk Orang Asing

Dalam konteks BBT ini, ada beberapa hal krusial yang ditelaah, di

antaranya adalah :

Pertama,Gagasan dasar pembentukan Bank Tanah (BT) adalah untuk

menanggapi keluhan investor yang kesulitan memperoleh tanah.

Menteri ATR dalam wawancara siaran langsung TVRI tanggal 9

5
Oktober 2020 malam menyatakan bahwa :”Bank Tanah dapat

diperuntukan bagi kepentingan umum, kepentingan sosial, dan

kepentingan ekonomi. Selama ini Pemerintah kesulitan menyediakan

tanah bagi investor. Dengan adanya Bank Tanah, Pemerintah

memberikan tanah kepada perusahaan apabila dapat membuka dan

menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat Indonesia”.

Atas dasar itu, dari rumusan ketentuan Pasal 125 UU Cipta Kerja

diketahui bahwa Badan Bank Tanah (BBT) merupakan “badan khusus”

yang mengelola tanah, kekayaannya merupakan kekayaan Negara

yang dipisahkan (tetapi bukan BUMN) yang berfungsi untuk

melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan,

pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 126 UU Cipta Kerja disebutkan

bahwa BBT menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi

berkeadilan untuk :

a. Kepentingan umum ;

b. Kepentingan social ;

c. Kepentingan pembangunan nasional ;

d. Konsolidasi lahan ;

e. Pemerataan ekonomi ; dan

f. Reforma Agraria.

Ketersediaan tanah untuk reforma agrarian paling sedikit 30 % dari

tanah Negara yang diperuntukkan Bank Tanah.

6
Ketika gagasan dasar pembentukan BBT adalah menyediakan tanah

untuk kepentingan investor dikaitkan dengan tujuan Reforma Agraria,

tampak bahwa tujuan utama BBT tidak kompatibel dengan tujuan

Reforma Agraria, yaitu merombak ketimpangan dalam akses

penguasaan dan pemilikan tanah sebagai upaya yang terstruktur dan

terfokus untuk memberikan keadilan di tengah situasi dan kondisi di

mana sekelompok masyarakat yang kuat posisi tawarnya berpeluang

memperoleh akses seluas – luasnya atas tanah dan sebaliknya,

kelompok masyarakat yang lebih besar jumlahnya tetapi lemah posisi

tawarnya, relatif tertutup untuk memperoleh akses terhadap tanah yang

merupakan hak ekonomi setiap orang.

Ketidak kompatibelan antara gagasan dasar pembentukan BBT dengan

tujuan Reforma Agraria, selain berpotensi akan menimbulkan, bahkan

menambah konflik, sengketa, dan perkara agraria di kemudian hari,

juga berpotensi melemahkan pelaksanaan Reforma Agraria

sebagaimana diatur dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang

Reforma Agraria

Kedua, menarik untuk mencatat tentang sumber kekayaan BBT, khususnya

yang berasal dari “pendapatan sendiri” (vide Pasal 128 b. UU Cipta

Kerja). Hal ini cukup memberikan kejelasan tentang pentingnya

memberikan status HPL untuk BBT, yaitu bahwa BBT sebagai

pemegang HPL dapat memberikan seluruh atau sebagian tanah HPL

untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga, yang sudah barang tentu BBT

7
memperoleh pendapatan atas pemanfaatan tanah HPL-nya oleh pihak

ketiga. Belum lagi BBT dapat menentukan tarif, yang sudah barang

tentu juga menerima pendapatan dari pelayanan yang diberikan (vide

Pasal 129 ayat 4 huruf d.). Demikian pula kewenangan BBT untuk

membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha / persetujuan

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 129 ayat (4) huruf b UU

Cipta Kerja. Kewenangan memberikan izin adalah kewenangan publik,

dalam hal ini kewenangan mengurus (beheersdaad), sekaligus

kewenangan mengawasi sebagai turunan dari Hak Menguasai Negara

(HMN) yang berbeda dengan persetujuan sebagai bentuk dari tindakan

keperdataan. Izin sebagai produk Hukum Administrasi tentu berbeda

dengan persetujuan yang bersifat keperdataan, sehingga penggantian

izin dengan persetujuan memiliki akibat hukum yang signifikan. Adanya

kekurangan yuridis dalam penerbitan izin akan berakibat pada gugatan

TUN, sedangkan kekurangan yuridis dalam memberikan persetujuan

berakibat pada gugatan keperdataan, dalam hal ini gugatan Perbuatan

Melawan Hukum (PMH). Pelaksanaan ketentuan Pasal 129 ayat (4)

huruf b dan huruf d UU Cipta Kerja benar – benar diuji, yakni dalam

pelaksanaan tugas – wewenangnya BBT akan bersifat transparan,

akuntabel, dan non profit (vide Pasal 127 UU Cipta Kerja) ;

Ketiga, dalam konteks penguatan HPL, keistimewaan BBT sebagai pemegang

HPL dan kedudukan HGB di atas HPL sebagai “primadona”, pertama -

tama dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 129 ayat (3) UU Cipta Kerja

8
yang menyebutkan :”Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak

pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan

perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan /

atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya”. Apa

makna frasa “sudah digunakan dan / atau dimanfaatkan sesuai dengan

tujuan pemberian haknya” ? Dalam Penjelasan Atas Pasal 129 ayat (3)

disebutkan bahwa :”Setelah diperoleh Sertifikat Laik Fungsi” (SLF).

Dengan demikian, ketentuan Pasal 129 ayat (3) mengandung arti

bahwa setelah pemegang HGB memperoleh SLF sehingga siap untuk

dioperasionalkan atau dimanfaatkan, maka dapat diberikan

perpanjangan dan pembaharuan HGB. Itu berarti bahwa HGB diberikan

tanpa jeda atau secara langsung walaupun tidak dirumuskan secara

eksplisit. Jadi rumusan ketentuan Pasal 129 ayat (3) adalah rumusan

pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGB secara langsung

dengan bahasa terselubung. Dalam rumusan Pasal 129 ayat (3) tidak

ada pula penegasan bahwa perpanjangan dan pembaharuan HGB itu

diberikan dalam bentuk Surat Keputusan sebagaimana diatur dalam PP

No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah ;

Keempat, keistimewaan kedua dari HGB di atas HPL adalah dengan diaturnya

secara khusus tentang kepemilikan Satuan Rumah Susun yang tanah –

bersamanya berstatus HGB di atas HPL bagi WNA dan Badan Hukum

Asing (Pasal 143 – Pasal 145). Logikanya, dengan dibukanya pintu

investasi, perlu disediakan kemungkinan pemilikan apartemen bagi

9
WNA yang bekerja di Indonesia. Definisi Rumah Susun dipelintir

sedemikian rupa dengan sengaja mengaburkan pengertian Rumah

Susun yang berdiri di atas tanah sewa dan Rumah Susun yang berdiri

di atas Hak Atas Tanah, dalam hal ini HGB dan Hak Pakai.

Keseluruhan Pasal 143 – Pasal 145 UU Cipta Kerja mengatur bahwa

WNA dan Badan Hukum Asing dapat memiliki Sarusun yang berdiri di

atas tanah HGB, jelas – jelas melanggar konsepsi tentang Rumah

Susun dan melanggar Asas Pemisahan Horizontal serta prinsip UU PA

tentang kepemilikan hak atas tanah bagi WNA ;

Kelima, bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun ditegaskan

perbedaan antara Rumah Susun yang berdiri di atas tanah sewa

dan yang berdiri di atas tanah hak, dalam hal ini HGB dan Hak

Pakai(HP). Rumah susun di atas tanah sewa, boleh disewa atau dimiliki

oleh siapapun juga : WNI / WNA, Badan Hukum Indonesia / Badan

Hukum Asing, karena tidak tidak menyangkut pemilikan – bersama atas

tanah. Tanda bukti haknya berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan

Gedung (SKBG) karena yang dimiliki hanya bangunan / gedungnya.

SKBG diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota. Berbeda jika

rumah susun berada di atas tanah HGB / HP, di mana ada kepemilikan

individu atas Unit / Flat / Apartemen, sekaligus pemilikan secara

bersama atas tanah, bangunan, dan bagian dari rumah susun yang

bersangkutan. Tanda bukti kepemilikannya berupa Serifikat Hak Milik

10
atas Satuan Rumah Susun (Sertifikat HMSRS) yang diterbitkan oleh

instansi pertanahan.

Bandung, 15 Desember 2021

Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa,SH.,MH.

_______________

11
*)Makalah disampaikan dalam WEbminar yang diselenggarakan oleh Pengurus
Wilayah Jawa Barat IPPAT yang diadakan secara hybrid pada hari Rabu, 15
Desember 2021
**) Guru Besar Fakultas Hukum Unpad

12

Anda mungkin juga menyukai