Oleh
Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa,SH.,MH.**)
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Bandung
Dalam makalah ini, ada 2 (dua) hal mendasar yang akan disampaikan, yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91 / PUU – XVIII / 2020 ; dan catatan kritis pengaturan
bersyarat” antara yang berpendapat bahwa UU Cipta Kerja tetap konstitusional selama
2 (dua) tahun dengan syarat harus dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dan
yang berpendapat sebaliknya, yaitu menganggap atau menilai bahwa UU Cipta Kerja
_______________
*)Makalah disampaikan dalam WEbminar yang diselenggarakan oleh Pengurus
Wilayah Jawa Barat IPPAT yang diadakan secara hybrid pada hari Rabu, 15
Desember 2021
**) Guru Besar Fakultas Hukum Unpad
1
I. Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020
(1) Menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak punya ketentuan hukum
(2) Jika dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang – undang (dalam hal
terhadap UU Cipta Kerja, maka UU atau pasal – pasal ataupun materi muatan
UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, harus dinyatakan
berlaku kembali ;
(3) UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 ;
(4) Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat
dengan tenggat waktu yang ditentukan (dua tahun) terhitung sejak Putusan MK
Pemohon, maka perbaikan atas UU Cipta Kerja sesuai dengan bunyi amar
2
putusannya adalah berkenaan dengan hal – hal yang bersifat prosedural atau tata
Pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) dalam Rapat Kerja
yang diadakan pada tanggal 6 Desember 2021 telah menyetujui untuk menyepakati
dan / atau perizinan yang dinilai menghambat upaya untuk menarik investor (baik
berbagai kluster untuk kemudian dirumuskan kembali dalam satu UU (itulah makna
Omnibus Law : metode satu untuk semua). Dengan demikian, jelas bahwa harus ada
3
UU asal yang dirujuk (dalam naskah awal UU Cipta Kerja, ada 79 UU asal yang
Kerja ?
Paragraf Pertama, mengatur tentang Bank Tanah, mulai dari Pasal 125 sampai
Orang Asing (WNA), mulai dari Pasal 143 sampai dengan Pasal 145 ; dan
Pengelolaan Pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah, mulai dari Pasal
Khusus Paragraf Pertama sampai dengan Paragraf Ketiga, dari Pasal 125 sampai
dengan Pasal 145 yang mengatur tentang : Bank Tanah, Penguatan Hak
Pengelolaan (HPL), dan Sarusun Untuk Orang Asing, kesemua pasal a quo tidak
1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UU PA) sebagai UU asal tidak dirujuk untuk
diubah dan / atau dihapus, sebagaimana halnya klaster / bidang lain yang merujuk
pada UU asal. Bahkan pengaturan beberapa hal dalam Pasal 125 – Pasal 147 UU
Cipta Kerja, tidak kompatibel dengan beberapa hal prinsip dalam UU PA, Putusan
MK, dan Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
4
Sumber Daya Alam. Hal itu, misalnya, tampak pada ketentuan yang mengatur
tentang Badan Bank Tanah, Penguatan HPL, dan Satuan Rumah Susun (Sarusun).
dilandasi skenario besar untuk membuka peluang inventasi melalui perolehan tanah
yang relatif mudah untuk pelaku usaha. Untuk itu, maka dibentuklah Badan Bank
dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk
menjalankan usahanya dengan memperoleh hak atas tanah di atas HPL. Hak Guna
pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB
belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak hak setelah
diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai
salah satu tujuan Bank Tanah tidak ada dampaknya terhadap redistribusi tanah
III. Beberapa Catatan Kritis Terhadap Badan Bank Tanah (BBT), Penguatan Hak
Dalam konteks BBT ini, ada beberapa hal krusial yang ditelaah, di
antaranya adalah :
5
Oktober 2020 malam menyatakan bahwa :”Bank Tanah dapat
Atas dasar itu, dari rumusan ketentuan Pasal 125 UU Cipta Kerja
berkeadilan untuk :
a. Kepentingan umum ;
b. Kepentingan social ;
d. Konsolidasi lahan ;
f. Reforma Agraria.
6
Ketika gagasan dasar pembentukan BBT adalah menyediakan tanah
Reforma Agraria
untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga, yang sudah barang tentu BBT
7
memperoleh pendapatan atas pemanfaatan tanah HPL-nya oleh pihak
ketiga. Belum lagi BBT dapat menentukan tarif, yang sudah barang
Pasal 129 ayat 4 huruf d.). Demikian pula kewenangan BBT untuk
huruf b dan huruf d UU Cipta Kerja benar – benar diuji, yakni dalam
tama dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 129 ayat (3) UU Cipta Kerja
8
yang menyebutkan :”Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak
tujuan pemberian haknya” ? Dalam Penjelasan Atas Pasal 129 ayat (3)
eksplisit. Jadi rumusan ketentuan Pasal 129 ayat (3) adalah rumusan
dengan bahasa terselubung. Dalam rumusan Pasal 129 ayat (3) tidak
No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah ;
Keempat, keistimewaan kedua dari HGB di atas HPL adalah dengan diaturnya
bersamanya berstatus HGB di atas HPL bagi WNA dan Badan Hukum
9
WNA yang bekerja di Indonesia. Definisi Rumah Susun dipelintir
Susun yang berdiri di atas tanah sewa dan Rumah Susun yang berdiri
di atas Hak Atas Tanah, dalam hal ini HGB dan Hak Pakai.
WNA dan Badan Hukum Asing dapat memiliki Sarusun yang berdiri di
Kelima, bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun ditegaskan
dan yang berdiri di atas tanah hak, dalam hal ini HGB dan Hak
Pakai(HP). Rumah susun di atas tanah sewa, boleh disewa atau dimiliki
rumah susun berada di atas tanah HGB / HP, di mana ada kepemilikan
bersama atas tanah, bangunan, dan bagian dari rumah susun yang
10
atas Satuan Rumah Susun (Sertifikat HMSRS) yang diterbitkan oleh
instansi pertanahan.
_______________
11
*)Makalah disampaikan dalam WEbminar yang diselenggarakan oleh Pengurus
Wilayah Jawa Barat IPPAT yang diadakan secara hybrid pada hari Rabu, 15
Desember 2021
**) Guru Besar Fakultas Hukum Unpad
12