Anda di halaman 1dari 5

Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus 12 permohonan

pengujian UU Cipta Kerja (UUCK). Dari 12 permohonan UUCK itu, hanya ada satu perkara
yang dikabulkan oleh MK terkait dengan pengujian formil (Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020).
Satu perkara tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki legal standing, dan 10
perkara lainnya terkait dengan pengujian materil tidak dapat diterima karena permohonan
kehilangan objek sebab MK telah menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat.

Setelah putusan MK, muncul perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi mengenai
apa sebenarnya inti dan implikasi dari putusan MK tersebut, serta bagaimana seharusnya
pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan MK tersebut? Presiden Joko Widodo (29 Nov
2021) menyatakan bahwa UUCK masih berlaku berikut dengan peraturan pelaksananya, dan
pemerintah menjamin investasi yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh investor aman
terjamin. Pernyataan tersebut terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan secara
menyeluruh aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengadakan Webinar Nasional membahas


Putusan MK terhadap UUCK pada 15-16 Desember 2021. Hari pertama seminar membahas
perbaikan mendasar dan menyeluruh aspek formil pembentukan UUCK. Kegiatan ini
menjadi sarana untuk memperkaya materi yang akan dimasukkan ke dalam Policy Paper
yang sedang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum UGM untuk memberikan masukan kepada
Pemerintah dan DPR. Sesi ini dipandu oleh Dr. Richo A Wibowo dengan pembicara antara
lain:

1. Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, SH, MA, MPhil, PhD.


2. Yance Arizona, SH, MH, MA.
3. Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, SH, MA.
4. I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD.

2
Beberapa hal pokok yang disimpulkan dari diskusi ini, antara lain:

• MK menyatakan pembentukan UUCK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak


mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” (Amar 3).
Hal ini berarti bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak putusan
dibacakan sampai dengan dipenuhi persyaratan menurut MK yaitu dilakukan perbaikan
UUCK oleh Presiden dan DPR paling lambat dalam waktu dua tahun. Bila tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun, maka UUCK menjadi inkonstitutional
permanen (Amar 5), dan seluruh undang-undang yang diubah dan dicabut oleh UUCK
dinyatakan berlaku kembali (Amar 6).
• MK menyatakan UUCK masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam
putusan (Amar 4). Hal ini menimbulkan kontroversi dan menjadi dasar bagi pemerintah
untuk menilai bahwa UUCK masih bisa diterapkan. Padahal untuk memahami hal ini
dengan baik harus bersandar pada prinsip mengenai perbedaan antara daya laku (validity)
dan daya ikat (efficacy) dari suatu peraturan perundang-undangan. Pernyataan MK bahwa
UUCK masih tetap berlaku harus ditempatkan pada konteks keabsahan atau daya laku
(validity) suatu undang-undang, bukan pada daya ikatnya (efficacy) sebab MK sudah
menyatakan pada Amar 3 bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
sehingga UUCK tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa
dilakukan oleh Presiden dan DPR terhadap UUCK ialah melakukan perbaikan, bukan
menerapkannya.
• Bahkan Amar 7 Putusan MK menyatakan agar Pemerintah menangguhkan segala
tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan
pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK. Artinya
hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan UUCK, sebab
ruang lingkup UUCK seluruhnya ialah mengatur hal yang bersifat strategis (Pasal 4
UUCK).

3
• Dengan dinyatakan bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK
[sampai dengan dilakukan perbaikan], maka seluruh peraturan pelaksananya, termasuk
peraturan lain yang terkait dengan UUCK, tidak memiliki kekuatan hukum untuk
dijadikan sebagai dasar menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat. Hal ini
sejalan dengan konsep rantai keabsahan peraturan (the chain of validity), bahwa
keberlakuan suatu peraturan harus didasarkan pada peraturan di atasnya yang masih
memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam kondisi ini, bila pemerintah memaksakan
menerapkan UUCK dan peraturan pelaksananya, maka akan rentan menjadi objek
gugatan, menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebaiknya UUCK harus dicabut.

Rekomendasi

• Presiden dan DPR segera mencabut UUCK sebagai langkah awal untuk melakukan
perbaikan sebagaimana dikehendaki oleh Putusan MK. Pencabutan UUCK dilakukan
dengan sekaligus memberlakukan kembali undang-undang yang sudah diubah dan
dicabut oleh UUCK untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum.
• Pemerintah untuk menghentikan penerapan UUCK, termasuk pelaksanaan peraturan
pemerintah dan peraturan lainnya yang sudah dibuat. Hal ini mengingat bahwa UUCK
sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan, sehingga
sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian, ketidakadilan, dan mudharat dalam
pelaksanaannya.
• DPR bersama dengan Presiden perlu segera melakukan perubahan terhadap UU No. 12
Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Substansi perubahan UU PPP
paling tidak memperhatikan dengan serius dua hal berikut:
a. Memasukkan pengaturan mengenai metode omnibus law secara kluster. Sehingga
materi yang dilakukan perubahan ialah materi dari berbagai undang-undang dengan
satu kluster tematik. Tidak seperti UUCK yang multi-kluster.

4
b. Memasukkan asas partisipasi publik sebagai semangat utama dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Norma-norma mengenai partisipasi publik yang
bermakna (meaningful participation) harus disusun agar aspirasi masyarakat didengar
dan dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam setiap tahapan pembentukan undang-
undang mulai dari pengajuan, pembahasan sampai dengan persetujuan.

Perubahan UU PPP diharapkan bisa memperbaiki proses pembentukan undang-undang


dikemudian hari, agar tidak terulang proses legislasi yang cacat prosedur dan tidak
partisipatif seperti UUCK.

• Bila Presiden dan DPR kemudian hari hendak membuat undang-undang guna
mendukung penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, maka paradigmanya harus
diubah dengan mendasarkan pada semangat ekonomi kerakyatan dan perlindungan hak-
hak asasi manusia yang ditegaskan dalam UUD 1945, tidak menghamba pada
kepentingan investasi dengan mengorbankan keselamatan rakyat dan kelestarian
lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai